semestastellar

semesta untuk dunia yang fiksi – alternative universe(s)


Gue pernah liat shorts di YouTube yang judulnya “It is 3 p.m at the coffee shop”. Isinya tentang beragam orang yang mampir ke coffee shop di jam segitu. Ada anak sekolah, ada orang pulang kerja, ada yang pacaran, pokoknya macem-macem. Waktu ngeliat video itu gue mikir wah seru ya berbagai macam orang ngumpul di satu tempat. Setelah hampir tiga bulan kerja part-time di monospace, gue pelan-pelan ngerasain sensasi yang sama. Walaupun, gak se-estetik video itu. Ada waktu dimana suasana kafe kerasa dreamy dan lively. Tapi sayangnya, sekarang bukan jam 3 sore melainkan jam 12 siang. Jam di mana darah gue lagi naik-naiknya dan jadi makin naik saat ada customer nyebelin yang gak pergi-pergi.

“Mbak beneran nggak mau ngasih nomor telfonnya?” Tanya bapak-bapak di hadapan gue untuk yang ketiga kalinya.

“Maaf Pak kalau bukan mau pesen lebih baik bapak balik ke tempat duduk, takutnya menghalangi yang mau pesen.”

“Kalau mbak mau sama saya, mbak gak usah kerja di kafe kecil gini lagi.” Rayu si bapak—atau om-om ini.

Iya, ada waktu dimana kafe dipenuhin sama anak-anak muda yang lagi nongkrong, anak sekolah-kuliah yang lagi nugas, ciwi-ciwi yang lagi ghibah, atau pasangan yang lagi ngedate. Tapi gak jarang juga ada pengunjung nyebelin kayak om-om yang gue hadapin sekarang.

“Maaf Pak—”

“Misi Pak, saya mau pesen.”

Untungnya ditengah kelelahan itu, Sania dateng dan langsung peka sama keadaan. Ekspresi Sania gak beda jauh dari ekspresi muka gue; males dan kesel. Gue sama Sania udah lumayan akrab sekarang. Mungkin karena cuma beda setaun, kita jadi gampang akrab. Sania adalah karyawan intern di kantor yang ada di sebrang monospace. Makannya dia jadi orang yang ngambil pesenan kopi orang-orang kantor. Kata owner kafe, mereka emang langganan banget beli kopi kesini. Tapi kali ini, Sania dateng bareng dua orang lagi. Satu perempuan sebayaan sama dia, satu lagi laki-laki tinggi hidung mancung. Mungkin itu juga yang ngebuat si om-om ini langsung mundur. Dua temen—atau rekan kerja Sania itu juga ngeliatin si om dengan tatapan gak suka. Apalagi laki-laki tinggi yang naikin sebelah alisnya itu. Gak lama, si om langsung mundur dan pergi.

“Untung banget lo datengnya pas.” Kata gue ke Sania. Gak lupa, gue berbasa-basi. “Tumben gak sendiri.”

“Iya, pengen nongkrong dulu sebentar. Kopi buat orang kantor disiapin ntaran aja ya pas kita mau pergi.” Jelas Sania, gue cuma ngasih gestur OK sambil nunggu mereka nentuin pesenan. “Potato scone satu...lo mau croffle kan Wid? Croffle nya satu...kalau lo apa Daf?”

Kali ini, akhirnya, laki-laki tinggi yang sebelumnya cuma berdiri di belakang Sania dan temennya itu maju ke depan. Begitu dia berdiri di depan counter, wangi vanilla campur kayu-kayuannya langsung menuhin penciuman gue, hampir nyaingin wangi kopi dan pastry di sini. Waktu tau dari Kak Miranda alias owner tempat ini tentang karyawan di kantor sebrang yang sering group order kopi di sini, yang ada di kepala gue waktu itu sekumpulan bapak-bapak kantoran yang bahas pajak dan bbm. Tapi setelah ngeliat Sania dan beberapa karyawan lain yang kadang dateng bareng Sania, menurut gue vibes kantor itu malah mirip start up yang isinya anak-anak muda.

Garlic bread satu ya.” Suaranya persis kayak wanginya; manis, tapi ada hint maskulin, elegan, dan berkarisma. Kemudian dia nengok ke arah dua temen—atau rekan kerjanya itu. “Mau snack platter buat barengan nggak?”

Gue udah berbulan-bulan kerja part-time di beberapa coffee shop yang berbeda. Gue udah ketemu berbagai macam pelanggan, termasuk yang ganteng. Tapi yang ini gantengnya beda. Kalau kata gue yang satu ini gantengnya minta dimilikin. Setelan basic orang kantoran berupa kemeja polos dan trousers keliatan wah banget di dia. Jam tangan warna silver yang gue yakin harganya dua digit ke atas itu gak memancarkan aura bapak-bapak apalagi om-om, tapi memancarkan aura anak tunggal kaya raya. Bercanda. Maksud gue memancarkan aura pekerja keras berkarisma.

Selagi ketiganya makan di salah satu meja, gue sibuk nyiapin kopi buat karyawan kantor lainnya sambil sesekali curi-curi pandang ke arah laki-laki itu. Jujur, kalau tau Sania punya rekan kerja seganteng itu, gue ngusahain shift pagi aja dari dulu biar ada kesempatan buat ketemu.

Akhirnya, tiba juga waktunya kita berpisah (keren gak tuh). Sania dan dua temennya itu balik lagi ke counter buat ngambil sisa pesenan kopinya.

“Makasih ya Kal.” Ucap Sania. Temennya yang perempuan, yang kalau gak salah namanya Widya, juga ngucapin hal yang sama. Terakhir, giliran laki-laki tinggi ganteng yang wangi vanilla itu. Dia ngambil take-away cup colder terakhir di atas counter dan melayangakan senyum ke gue. Senyum yang gue yakin manisnya melebihi manis simple syrup.

“Makasih ya.”

Detik itu juga gue memutuskan kalau gue tertarik sama cowok ini. Walaupun ya gak tau juga ni cowok bisa digapai atau enggak.


Saora meletakkan ponselnya kembali ke atas meja setelah membahas pesan terakhir dari Sakha. Ia bisa merasakan kedua pipinya menghangat karena membayangkan skenario laki-laki itu menyatakan perasaan padanya. Disaat yang bersamaan, ia juga merasa gugup karena takut yang terjadi nanti justru tidak sesuai dengan ekspektasinya. Tetapi semua perasaan itu seolah terbang seketika saat Sakha masuk ke art room tempatnya berada.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHA!”

Tawa Saora pecah begitu pintu art roomdibuka, menampakkan Sakha yang masuk menggunakan kostum balon berbentuk sapi. Meskipun dirinya sudah melihatnya tadi, kostum sapi itu masih membuatnya tertawa. Bayangan tentang Sakha yang bersusah payah bermain relay games dalam balutan kostum sapi tadi muncul lagi di kepalanya. Untuk sesaat, dirinya lupa akan rasa gugupnya saat membaca pesan dari Sakha tadi. Berbanding dengan Saora yang kegirangan, Sakha memasang raut kesal bercampur malu. Namun ia berusaha terlihat senang saat melihat Saora tertawa. Ia pun bersikap pasrah saat ditertawakan, tidak protes seperti apa yang normalnya akan ia lakukan. Laki-laki itu melangkah masuk dan menutup pintu dengan pelan.

“Ni kostum kalau belinya bukan pake uang kas kelas udah gue buang!” Omelnya sambil berjalan. “Imagecowok atletik gue ilang.”

“Lo emang gak cocok jadi cowok keren.” Gadis itu tertawa lagi.

Setelah Saora berhenti tertawa, barulah Sakha membuka mulutnya.

“Osa.” Mulainya dengan nada yang serius, membuat Saora meletakkan semua alat lukis di tangannya, dan memutar kursinya agar menghadap Sakha. “Udahan aja yuk.”

“Hah?” Kalimat itu membuat mood Saora seketika berubah drastis. Senyum usil yang sebelumnya muncul kini hilang berganti dengan tatapan bingung. Melihat ekspresinya itu, Sakha buru-buru melanjutkan.

“Udahan sesi pdkt-nya maksud gue!” Koreksi Sakha cepat. “Gue mau confess nih sekarang.”

“Oh…oke.” Ucap gadis itu canggung.

Saora duduk mematung di kursinya sementara Sakha melangkah mendekat. Laki-laki itu bersusah payah berjalan dalam balutan kostum sapi-nya. Kini ia berdiri di hadapan gadis itu. Lalu tanpa aba-aba, ia meraih satu tangan Saora dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. Hal itu membuat Saora refleks menarik tangannya karena kaget.

“M—mau ngapain?” Tanyanya sedikit gugup karena masih kaget. Sakha tidak langsung menjawabnya, melainkan bergerak untuk kembali menggenggam tangannya.

“Diem aja elah.” Ucapnya. “Gue mau ngomong serius ini.”

Kalimat itu membuat jantung Saora mulai berdebar-debar. Selama satu minggu kebelakang, jantungnya sudah dibuat jungkir balik oleh sikap dan perlakuan Sakha terhadapnya. Meskipun dimulai dengan drama penuh komedi, Sakha ternyata sangat serius tentang niatnya untuk pdkt dengan Saora. Berkali-kali gadis itu dibuat meleleh olehnya. Alvaro adalah saksinya. Meskipun begitu, bukan berarti Saora tidak merasa cemas. Sesekali gadis itu overthinking tentang hubungan keduanya, takut kalau ternyata pada akhirnya ia akan tetap menjadi korban friendzone. Namun apa yang dilakukan Sakha sekarang membuatnya merasa pikiran buruknya itu tidak akan terjadi.

“Waktu itu gue bilang gue masih bingung kan, gue suka sama lo itu sebagai apa.” Mulai Sakha sambil menatap Saora serius. Kedua tangannya masih mengenggam satu tangan milik gadis itu, sesekali mengusapnya dengan kedua ibu jarinya. “Tapi sekarang gue udah nyadar. Gue gatau kenapa bisa-bisanya selama ini gue gak peka, tapi ternyata perasaan gue ke lo dari lama juga udah kayak gini. Gue gatau juga pastinya dari kapan, pokoknya ya gue seneng dan nyaman ngabisin waktu bareng lo, gue pengen ngasih perhatian ke lo, terus gue khawatir kalau lo kenapa-kenapa.”

Laki-laki itu menyelesaikan paragrafnya dengan hembusan napas lega. Selama bicara, tidak sekalipun ia mengalihkan pandanganny dari Saora. Sekarang, jantung gadis itu bukan lagi berdebar tetapi sudah berdisko ria. Kedua pipinya mulai terasa hangat saat memikirkan kemana arah pembicaraan ini. Jangan lupa rasa gugup yang sudah menguasainya. Ia bahkan merasa lebih gugup dibanding saat ia mengungkapkan perasaannya pada laki-laki itu.

“Sekarang gue udah tau.” Ucap Sakha setelah beberapa saat. Ia berhentik sejenak dan menjatuhkan pandangannya ke bawah, pada tangan Saora yang berada dalam genggamannya. Hal itu menimbulkan rasa penasaran dan antisipasi yang tinggi dalam diri gadis itu. Sakha terlihat mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali menatap gadis itu dan melanjutkan kalimatnya. “Gue juga suka sama lo, Osa. Suka banget.”

Kalau dibandingkan dengan suara bedug masjid, suara debaran jantung Saora masih jauh lebih kencang. Meskipun bukan sesuatu yang diluar ekspektasi, kalimat Sakha masih membuatnya merasa sangat terkejut—dan tersipu. Terlebih saat laki-laki itu mengucapkannya sambil menatapnya dalam dan menggenggam tangannya.

“Hah—b-beneran?”

“Beneran lah.” Jawab laki-laki itu yakin. “Jadi—”

“Tes tes…Halo! Ada pengumuman nih. Kepada semua siswa-siswi diharapkan berkumpul di lapangan ya, karena sebentar lagi ada pengumuman pemenang perlombaan selama classmeet. Sekali lagi semua siswa-siswi harap kembali berkumpul di lapangan. Terima kasih.”

Suara yang berasal dari speaker yang berada di setiap ruangan menginterupsi kalimat Sakha. Laki-laki itu menatap sinis pada speaker yang terletak di sudut ruangan itu.

“Ah ganggu aja lo!”


Terhitung sudah satu minggu sejak hari dimana Saora mencoba menyatakan perasaannya. Selama dua minggu itu pula, gadis itu berusaha menghindari Sakha. Mulai dari membalas pesan dengan singkat, tidak jajan di kantin, sampai keluar kelas sepuluh menit setelah bel pulang agar tidak berpapasan dengan laki-laki itu. Awalnya Sakha berpikir mungkin ia melakukan kesalahan atau gadis itu sedang kurang sehat. Saat melihat Saora masih berinteraksi dengan normal, kebingungannya ikut diwarnai oleh kecurigaan dan keyakinan, bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Tetapi ia tidak pernah menduga bahwa ‘sesuatu yang tidak beres’ itu ternyata perihal perasaan.

Kaget? Tentu saja. Selama ini tidak pernah sekalipun Sakha memikirkan tentang hal ini. Sejujurnya sampai detik ini pun laki-laki itu masih belum memikirkannya. Bahkan sebagian dari dirinya masih berpikir bahwa semua ini mungkin adalah skema prank buatan Saora dan Alvaro. Ia bertekad untuk menemui gadis itu terlebih dahulu untuk mengobrol secara langsung, agar semuanya bisa diperjelas.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, Sakha merasa yakin kalau hari ini pun Saora akan menghindarinya. Karena itu, ia sudah bergerak untuk mencari gadis itu sebelum bel pulang berbunyi. Hari ini persiapan classmeet resmi dimulai. Sakha mengasumsikan bahwa perempuan itu akan lebih memilih menghabiskan waktu sendirian saat musim classmeet seperti sekarang. Dugaannya terbukti benar saat ia menemukan gadis itu di lorong tempat ruang kesenian berada.

“Heh Osa!” Panggilnya sambil berjalan cepat menghampiri Saora. Saat mendengar suara Sakha, gadis itu terlihat langsung memasang mode siaga untuk berlari. Sayangnya, Sakha lebih dulu berhasil menahan tanganya. “Jangan kabur anjir.”

“Gue mau ke ruang rapat.” Elak gadis itu sambil berusaha berjalan melewati Sakha. Laki-laki itu menatapnya dengan alis terangkat, tidak mempercayai alasannya.

“Lo ga ikutan jadi panitia ya, gue tau.”

“Gue mau…” Gadis itu kembali memutar otak untuk mencari jawaban yang meyakinkan, namun Sakha lebih dulu memotong kalimatnya.

“Gue mau ngobrol sama lo. Lo ngeblokir nomor gue ya jadi kita harus ngobrol langsung.” Ucapnya tegas. “Yang di chat lo kemarin itu maksud lo apa?”

Sebenarnya, Saora merasa belum ingin membicarakan hal ini. Perasaannya sendiri masih campur aduk. Tetapi ia kesal juga karena bisa-bisanya Sakha masih tidak peka terhadap situasi yang sedang terjadi. Akhirnya, gadis itu pun membuka mulutnya.

“Itu gue suka sama lo tolol!” Jawab Saora dengan nada kesal. “Gue udah confess dua—tiga kali sama sekarang masih kurang jelas apalagi???”

“Lo serius confess? Serius banget?”

“Lo kira gue bercanda???”

“Ya gue gak tau.” Sakha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gue juga gak tau kalau selama ini lo baper sama gue.”

“YA MENURUT LO AJA!” Sewot Saora penuh emosi. Ia mengambil langkah mendekat dan meraih tangan laki-laki itu dengan sedikit kasar. “Nih menurut lo ada temenan pegang-pegang tangan gini? Ngusap-ngusap kepala gini? Lo ke si Varo begitu? Enggak kan????”

“Ya enggak sih…” Jawab Sakha pelan sambil mengusap tangan dan kepalanya. Saora baru memperagakan skinship dan tindakan lainnya yang Sakha lakukan kepadanya, namun dengan versi penuh emosi. “Gue juga gak nyadar gue kaya gitu ke lo doang…”

“Yaudah sekarang udah jelas kan?” Balas Saora. “Lo bayangin aja tuh gue nahan nahan baper sampe akhirnya confess tapi malah dikira bercanda.”

“Gue minta maaf soal itu, Sa. Gue bener-bener gak tau sumpah!” Ucap Sakha dengan rasa bersalah. “Gue juga bukan sengaja ngebaperin lo terus pura-pura gak tau ya. Semua perlakuan gue ke lo itu beneran gak gimmick gue peduli sama lo. Ya walaupun gue gak nyadar sikap gue itu artinya gimana di mata lo.”

Apa yang diucapkan Sakha adalah sebuah kebenaran. Menjadi populer sejak kecil, laki-laki itu terbiasa berinteraksi dengan siapa saja. Ia pun tidak membatasi atau membeda-bedakan temannya berdasarkan gender. Sikap peduli dan perhatian pun sering ia berikan secara cuma-cuma. Hal yang sama juga berlaku kepada Saora. Meski pada kenyatannya sikapnya sedikit berbeda, Sakha bersikap demikian tanpa pikiran apapun. Karena di dalam kepalanya, Saora adalah temannya yang ia perhatikan sama seperti Alvaro.

Setelah beberapa saat, gadis itu kembali membuka mulutnya.

“Jadi…” Mulainya sedikit gugup, karena situasi keduanya jadi sedikit canggung sekarang. “Jadi…lo suka sama gue enggak?”

Gadis itu mengalihkan pandangannya sambil menunggu jawaban. Jantungnya mulai sedikit berdebar lagi. Ia memainkan jari-jarinya untuk mengatasi rasa gugup yang dirasa semakin menjadi. Tidak jauh berbeda darinya, Sakha juga terlihat sedikit gugup dan canggung. Setelah beberapa saat, ia menjawab pertanyaan itu.

“Gue gatau…” Jawab Sakha pelan. Jawaban itu membuat Saora menundukkan kepalanya.

“Gak suka ya?”

“Bukan gitu.” Respons Sakha cepat. Ia kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. “Itu…gue gak pernah mikirin suka atau enggak…”

Mendengarnya, rasa gugup dan berdebar yang sebelumnya dirasakan oleh Saora seketika hilang, dan mulai tergantikan kembali oleh rasa kesal.

“YAUDAH SEKARANG MIKIR!” Ucap Saora kesal sambil mendorong Sakha menjauh.

“Terus kalau udah mikir apa?”

Pertanyaan konyol itu sukses membuat emosi Saora kembali naik. Ia menatap tajam Sakha yang balik menatapnya dengan ekspresi tidak berdosa. Gadis itu menyunggingkan senyum kecut sebelum melepas sebelah sepatunya dan melemparnya ke arah laki-laki itu.

“ANJING RIBUT AJALAH KITA!” Teriaknya saat melempar sebelah sepatunya, yang sukses mengenai paha Sakha.

“Sa tahan emosi Sa!” Ucap laki-laki itu sambil berjalan mundur perlahan, kedua tangannya bersiap untuk menangkap sepatu lain yang mungkin ikut melayang ke arahnya. Sakha sambil mulai berjalan cepat menjauh dari gadis itu. Namun Saora terlihat seperti sudah mengunci targetnya. “Sa anjir lo jangan gini gue takut elah!”

“Lo ikutan taekwondo? Gue pernah ikutan karate sini maju lo!”

“IYA GUE MINTA MAAP SA!” Laki-laki itu berteriak memohon sambil berlari, sementara Saora mengejarnya dengan sepatu yang siap dilemparkan. “SA GUE MINTA MAAP DIATAS MATERAI SUMPAH!”

Keduanya kemudian terlibat sesi kejar-kejaran di sepanjang koridor sampai ke lapangan. Sementara Sakha mati-matian meminta nyawanya di selamatkan, ada Alvaro yang duduk manis di pinggir lapang dengan ponsel yang mengarah pada keduanya.

“Hehehe gue viralin kalian.”


“INI SIH BUKAN ROOFTOP TAPI BANGUNAN BELUM SELESAI!” Teriak Saora kesal begitu ia tiba di rooftop yang Sakha sebutkan sebelumnya.

Rooftop itu ternyata bukan benar-benar atap gedung seperti yang gadis itu lihat di drama-drama Korea, melainkan hanyalah lantai atas dari gedung baru yang masih dalam proses pembangunan. Bukan rooftop dengan dinding yang dihiasi tulisan-tulisan aneh oleh para murid ataupun dipenuhi meja dan kursi rusak. Melainkan hanya lantai semen yang tidak rata, dinding benteng yang dibuat seadanya, dan tiang besi yang mencuat di sana-sini. Gadis itu berjalan dengan langkah malas menghampiri Sakha yang sudah duduk bersila kaki dengan dua kotak makan di depannya.

“Siapa juga yang bilang ini rooftop ala dakor?” Balas Sakha, merasa dirinya tidak bersalah. “Ekspektasi lo ketinggian, lupa ya lo sekolah kita cuma sekolah negeri biasa?”

Kalau melihat keseharian Sakha, Saora, dan Alvaro, ketiganya memang lebih cocok dengan stereotip anak swasta dibanding anak negeri. Sebenarnya, Saora memang bersekolah di sekolah swasta sedari kecil. Sayangnya, ia harus mengikuti ayahnya pindah karena pekerjaan, dan sekolahnya sekarang adalah sekolah yang paling dekat dengan rumahnya. Karena itulah Saora bisa dibilang tidak memiliki teman dekat disini, karena kebanyakan temannya berasal dari SMP dan mereka pergi ke SMA yang sama. Kedua, karena ia tidak menemukan teman yang benar-benar memiliki passion yang sama dengannya terkait dengan seni.

“Ya siapa tau kan,” Kini gadis itu ikut duduk bersila di depan Sakha.

Selama beberapa hari kebelakang, tiga sekawan itu selalu menghabiskan makan siang bersama ditemani bekal makanan yang bermacam-macam buatan bunda Sakha. Karena orang tuanya belum kembali dari Surabaya, tidak ada yang menyiapkan bekal makan siang yang layak untuk Saora. Gadis itu paling hanya membawa roti saja dan selebihnya mengandalkan makanan dari Sakha.

“Wah masakan Bunda gak pernah gagal.” Komentar gadis itu dramatis sambil menyuapkan pasta carbonara yang menjadi menu hari ini. “Ini kayak yang suka gue makan di restoran.”

“Lebay lo.” Balas Sakha yang juga sibuk makan. Tiba-tiba, laki-laki itu meletakkan garpunya dan menatap Saora bingung. “Eh tapi lo kayak orang kelaperan anjir berapa hari ini.”

“Bukan kelaperan, tapi jarang makan masakan rumah.” Koreksi gadis itu. “Ortu gue lagi gak di rumah, jadi gue makannya mie-sosis-kentang-telor, mentok-mentok pasta pake saos instant, sisanya pesen makanan.”

“Oh pantesan,” Laki-laki itu mengangguk-anggukan kepalanya khas orang yang baru mengerti sesuatu. “Lo seneng banget tiap dikasih makanan.”

Bertemu Sakha dan Alvaro seperti sebuah keberuntungan bagi Saora. Kapan lagi ia mendapat teman sebaik, seseru, dan sesantai mereka? Belum lagi ibunya Sakha yang luar biasa baik dan perhatian itu. Di masa sekarang dimana pertemanan berpusat pada sirkel, ia bertemu dengan dua manusia—yang walaupun banyak minusnya—yang tidak mempersulit hubungan pertemanan sama sekali. Walaupun mereka memiliki hubungan yang tidak baik di awal, Sakha tidak menyimpan dendam dan lama-lama semakin bersikap baik pada Saora. Alvaro pun sedari awal langsung bersikap santai dan menerima gadis itu sebagai temannya, tanpa syarat.

Keduanya selesai makan di waktu yang bersamaan. Mereka membereskan peralatan makan bersama-sama. Saat Sakha hendak mengambil kotak makan yang tadi digunakan oleh Saora, gadis itu mencegahnya.

“Eh gue aja yang cuci.” Ucapnya cepat.

“Hah?” Sakha menatapnya bingung dan aneh, karena sebelumnya gadis itu tidak pernah menawarkan hal itu.

“Bunda lo kan udah repot-repot bawain makanan buat gue jadi ya minimal gue cuci sendiri kotak makannya.” Jelas Saora.

“Idih kesambet apa lo?” Cibir Sakha, namun membiarkan gadis itu mengambil kotak makan dari tangannya. Tangan yang terulur untuk meraih kotak makan itu menarik perhatian Sakha. Pandangannya jatuh pada bagian lengan yang terluka beberapa hari lalu. Ia pun secara spontan menarik lengan gadis itu. “Eh tangan lo udah sembuh belum?”

Tindakan Sakha itu tentu saja membuat Saora kaget—cukup kaget sampai jantungnya sedikit berdebar. Laki-laki itu memperhatikan lengannya dengan seksama untuk melihat perkembangan luka bakar kecil yang ada disana. Untuk beberapa saat, gadis itu tidak bisa bereaksi apa-apa. Ia hanya diam tanpa suara dan membiarkan Sakha menginspeksi lukanya.

“Udah kering ya?” Tiba-tiba, laki-laki itu mengusap-usap luka kecil di tangannya itu. Ibu jarinya bergerak dengan lembut dan pelan di atas luka itu, seperti takut tidak sengaja menyakitinya. Hal itu membuat jantung Saora semakin berdebar dan pipinya perlahan menghangat. Sadar akan reaksi yang sedang dirasakannya, gadis itu buru-buru menarik tanganya.

“Luka segini doang berapa hari juga bakalan sembuh. Gue aja lupa punya luka ini.” Ujar Saora cepat untuk menyembunyikan rasa tersipunya. Ia memalingkan wajah karena takut rona wajahnya tertangkap mata laki-laki itu. Kini ia berpura-pura sibuk membereskan kotak makan yang sudah dibereskan sejak tadi itu.

“Yeu sok kuat lo.” Cibir Sakha. Laki-laki itu juga kini mengalihkan pandangannya dari Saora. Ia kini memilih untuk menatap langit yang sedang cerah-cerahnya itu. “Lagi bagus banget dah langitnya, harus gue foto!”

Saora memperhatikan Sakha yang sedang sibuk memotret langit dengan ponselnya itu. Belakangan ini, ia sering bertanya-tanya. Apakah kebaikan yang ia dapatkan ini, hanya diberikan kepadanya saja? Apakah Sakha bersikap demikian hanya kepadanya saja? Gadis itu tidak bisa menyangkal sedikit—sedikit sekali—harapan bahwa laki-laki itu hanya bersikap baik padanya saja. Tapi harapannya itu selalu terpatahkan setiap melihat Sakha berinteraksi dengan orang lain. Si social butterfly itu baik kepada semua orang. Terlebih lagi, Saora hanyalah satu di antara banyaknya orang di kehidupan laki-laki itu.

“Eh Sa, tar Sabtu gue mau tanding badminton, seru-seruan aja sih,” Sakha menoleh, membuat gadis itu refleks mengalihkan pandangannya agar tidak ketahuan sedang memperhatikannya. “Mau nonton gak lo? Jadi supporter gue.”


“Eh ada Saora juga!”

Itu adalah kalimat yang menyambutnya begitu ia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah sederhana berwarna putih itu. Adinda yang sedang dalam perjalanan menuju dapur itu memutar arah untuk menghampiri Saora yang masih berada di ambang pintu. Gadis yang disambut hanya bisa tersenyum kikuk.

“Siang, tan—” Kalimatnya berhenti di udara saat wanita itu memberinya tatapan tidak setuju. “Bunda. Siang, Bunda.”

Menurut apa yang Saora dengar dari Alvaro, Bundanya Sakha adalah Bunda sejuta anak. Pasalnya semua teman-teman Sakha, bahkan yang tidak terlalu dekat sekalipun, diperlakukan dengan sangat baik. Kata Alvaro juga, rumah Sakha selalu menjadi kandidat pertama sebagai tempat kerja kelompok, saking nyamannya rumah itu. Rumahnya memang hanya rumah biasa. Tidak megah seperti deretan rumah di kompleks orang kaya yang harganya mencapai ratusan milyar. Rumah keluarga bertemakan putih, dengan halaman yang luas—pasti karena mereka memelihara seekor anjing.

“Ayo masuk, liat tuh si Varo udah rebahan dari tadi.” Wanita itu merangkul Saora dan membawanya ke ruang tengah, dimana Alvaro berbaring di atas karpet, ditemani seekor maltese putih mungil.

“Lucunya!” Seru Saora secara spontan. Ia segera berjongkok di depan anjing itu. Adinda meninggalkan keduanya dan kembali ke dapur.

“Lo lama banget datengnya.” Komentar Alvaro masih dalam posisi rebahan-nya. “Si Sakha diajak main kart rider kalah mulu.”

“Lo milih jalurnya yang gue gak hafal ya.” Protes Sakha yang baru kembali entah dari mana. Saora baru menyadari bahwa laki-laki itu sempat menghilang. Ia duduk di pinggir Alvaro. Begitu laki-laki itu menjatuhkan dirinya ke atas karpet, anjing kecil itu langsung menghampirinya. “Liat kan anjing gue gak suka sama lo, Sa.”

“Tadi sebelum lo dateng dia mau tuh dipegang.” Balas Saora. “Dia namanya siapa sih?”

“Yang Mulia Raja Bookkeu.” Jawab Sakha dengan nada yang dilebih-lebihkan. Tidak lama, Alvaro yang sedang bermain ponsel menimpali.

“Biar gampang panggil aja boker.” Kalimatnya itu mengundang dua reaksi; tawa kencang Saora dan raut malas Sakha. “Dia dipanggil Boker juga nengok. Liat nih..Boker!”

Di luar dugaan, anjing itu benar-benar menoleh pada Alvaro.

“HAHAHAHAHA!” Tawa Saora semakin meledak, sementara Sakha menatap anjingnya tidak percaya.

“Heh lo ngapain nengok anjir!”

Ketiganya menghabiskan waktu dengan bermain game dan mengajak main Bookkeu. Sesekali mereka mengobrol, namun seperti yang bisa diperkirakan, kebanyakan obrolan mereka berakhir dengan kadar emosi Sakha yang melonjak. Sesekali terlihat penampakkan anak laki-laki yang lebih muda dari mereka.

“Itu adik lo?” Tanya Saora penasaran.

“Iya, si Dino.” Angguk Sakha. Keduanya melihat ke arah laki-laki yang dimaksud, yang baru keluar dari dapur dengan sebuah susu kotak di tangannya.

“Hai Dino, kamu mau gabung gak?” Sapa Saora saat Dino melewati ruang tengah. Anak yang disebut namanya sempat terkejut sebentar, kemudian ia menggeleng.

“Gak mau ah, aku belum mau jadi orgil.” Jawabnya sebelum menaiki tangga dengan cepat.

“HEH MAKSUD LO APA BOCAH?!” Tanya Sakha emosi.

“Duh jangan teriak-teriak, Bang.” Disaat yang bersamaan Adinda kembali dari halaman belakang. “Bunda mau mau bikin hot pot, kalian mau?”

Setelah kenyang makan, kini waktunya mereka berundi siapa yang harus mencuci piring. Mereka memutuskan untuk memilih dua orang untuk mencuci piring, dan satu orang untuk membereskan ruang tengah. Ketiganya memutuskan dengan bermain kertas gunting batu.

“Satu…dua…” Sakha memulai aba-aba. “Tiga!”

Ada dua reaksi berbeda yang terdengar. Alvaro yang berseru yes karena menjadi pemenang yang artinya hanya perlu membereskan ruang tengah, dan Sakha dan Saora yang sama-sama berekspresi muram karena terpilih sebagai pencuci piring. Akhirnya keduanya bergerak untuk membereskan alat makan dan membawanya ke dapur.

“Bagi dua ya, gue yang nyabunin lo yang bilas.” Instruksi Saora begitu mereka tiba di dapur.

“Iya iya.” Angguk Sakha sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. “Bentar cuci piring itu enaknya pake lagu.”

“Ah tar lo malah nyanyi-nyanyi!” Protes Saora. Sayangnya gadis itu terlambat karena intro dari lagu Nobody oleh grup Korea Selatan *Wonder Girls8 sudah terdengar. “Lah suka K-pop lo?”

Nobody nobody but you~” Dalam hitungan detik, laki-laki itu sudah melangkah ke kiri dan kanan sambil bernyanyi dan menirukan koreografi dari lagu tersebut. Pertanyaan Saora pun terabaikan. “Nobody nobody~~~” Melihat betapa up-to-date nya laki-laki itu, tidak heran kalau ia juga menjadi penggemar K-pop. Tapi Saora tidak pernah tahu sebelumnya bahwa Sakha SESUKA ITU pada K-pop.

“Piring ni cuci.” Komentarnya kesal. Sejenak, Sakha menghentikan acara fanboying-nya dan mulai membilas peralatan makan yang sudah disabuni sampai bersih. “Yang bener bilasnya.”

Sayangnya, ketenangan dan keseriusan itu tidak berlangsung lama karena Sakha kembali tenggelam dalam lagu. Kali ini lagu yang terputar di ponselnya adalah Girls milik Beyonce. Kalau seperti ini, Saora jadi ingin menarik kembali semua pujiannya tentang suara laki-laki itu. Pada akhirnya, Saora-lah yang menyelesaikan semua cucian. Sampai ia mengeringkan tangannya pun, Sakha masih sibuk bernyanyi. Hal itu membuatnya kesal dan melemparkan lap yang ia gunakan untuk mengeringkan tangan sebelumnya.

“Nyanyi terus lo!” Sewotnya. Sakha yang sempat kaget itu kini mematikan lagunya.

“Biarin lah yang punya suara kan gue.” Balasnya sambil menyerahkan kembali lap yang Saora lempar. Saat tangan gadis itu terulur untuk meraihnya, Sakha menyadari sebuah luka kecil di lengannya. Ia pun refleks meraih lengan gadis itu. “Eh ini lo kenapa?”

“Hah?” Saora yang kaget tangannya tiba-tiba ditarik hanya bisa memasang wajah bingung.

“Ini luka pas lo manggang daging ya?” Ekspresi heboh dan menyebalkan saat Sakha bernyanyi tadi kini berganti dengan raut serius. “Bentar-bentar gue ambilin obat.”

Sakha menarik lengan Saora menuju rak dimana kotak P3K berada. Kedua matanya fokus menelusur isi kotak mencari salep yang dibutuhkan—tanpa melepaskan Saora. Gadis itu pun diam saja dan tidak banyak bereaksi. Sepertinya ia masih sedikit kaget, pertama karena ia sendiri tidak menyadari ada luka di tangannya; kedua, karena perhatian yang diberikan oleh Sakha. Ia pun harus mengakui kalau jantungnya sedikit berdebar. Laki-laki itu mengoleskan obat luka bakar ke luka di tangannya dengan sangat hati-hati. Eskpresi wajahnya saat ini sangat serius dengan tatapan yang fokus pada lengan gadis itu.

“Kalau sakit bilang ya, Sa.” Ucapnya pelan. Entah perasaan Saora saja, atau nada bicara laki-laki itu jadi dua kali lipat lebih rendah saat berbicara serius.

“I—iya.” Jawabnya. Ia langsung merutuki dirinya sendiri dalam hati karena bisa-bisanya sampai menjadi gugup begitu.

“Nah udah.” Sakha meletakkan obat oles itu kembali ke dalam kotaknya. Namun ia masih belum melepaskan tangan gadis itu. Kedua matanya memperhatikan luka kecil itu dengan teliti. “Mau pake plester juga ga?” Tanyanya kemudian dengan sebelah alis yang terangkat.

“Eh—hah? Oh gak usah.” Jawab gadis itu kikuk sambil buru-buru menarik tangannya. Ia bisa merasakan kedua pipinya menghangat. Karena itu, ia buru-buru mengambil langkah untuk meninggalkan dapur. “Ayo ah, udah beres kan cuci piringnya.”

Kalian tahu perasaan saat teman laki-laki yang hanya kalian anggap ‘orang’ tiba-tiba berubah jadi laki-laki? Sepertinya itu yang sedang Saora rasakan.

Saora berjalan menyusuri koridor dengan sketchbookkesayangannya dalam pelukan. Gadis itu baru saja kembali dari sesi melukis singkat di art room. Entah ini bisa dibilang privillege atau bukan, tetapi guru seni yang bertanggung jawab atas ruangan itu memberi izin khusus kepada Saora untuk menggunakan ruangan itu kapan saja. Mungkin salah satu alasannya karena memang hanya Saora, murid di sekolah itu, yang paling semangat tentang melukis. Ia sedang dalam perjalanan kembali ke kelasnya saat langkahnya terhenti di depan ruang musik yang menarik perhatiannya. Lebih tepatnya, orang yang bernyanyi di dalam yang menarik perhatiannya.

Lewat celah pintu, ia bisa melihat dengan jelas Sakha yang berdiri di tengah ruangan sambil memegang sebuah botol air mineral—yang difungsikan sebagai mic. Mulutnya terbuka lebar seiring suara merdu yang kuat keluar; melantunkan lagu, yang kalau perkiraan Saora benar, ada;ah lagu dari penyanyi Tulus. Tidak jauh dari laki-laki itu, ada Alvaro yang duduk di atas sebuah kursi dengan posisi menghadap ke belakang, menjadikan sandaran kursi sebagai tumpuan dagunya.

Karena penasaran—dan suara Sakha bagus, Saora mendekatkan diri pada pintu agar bisa mendengar dengan lebih jelas. Namun dasar dirinya ceroboh, ia malah tidak sengaja mendorong pintu kayu itu, membuatnya terbuka semakin lebar. Suara decitan dari pintu membuat Sakha refleks menghentikan nyanyiannya. Dua orang yang berada di dalam ruangan itu pun menoleh ke arah pintu.

“Eh, hehe…gak sengaja.” Ucap Saora kikuk menahan rasa malu.

Melihat siapa yang datang, Sakha dan Alvaro yang mulainya kaget langsung memasang ekspresi lega.

“Yeu kirain siapa.” Komentar Sakha yang membuat Saora melebarkan cengirannya.

Gomen tidak bermaksud mengganggu.” Ucap Saora sambil bergerak hendak meninggalkan ruangan. Namun Sakha mencegah langkahnya.

“Eh mau kemana lo?” Tanyanya. Kemudian ia menarik ujung lengan seragam gadis itu dan menyuruhnya duduk di sebelah Alvaro. “Sini gue butuh penonton bayaran. Si Alvaro buta nada gue tanya bagus atau kagak jawabnya iya iya aja.”

Saora yang tidak diberikan kesempatan untuk menolak hanya bisa menerima takdirnya. Ia memberi tatapan bingung pada Alvaro di sebelahnya, yang hanya dibahas oleh anggukan kepala dan helaan napas. Sepertinya ia sudah mulai bosan berada di ruangan ini. Sementara itu Sakha sudah kembali bersiap-siap untuk bernyanyi.

“Cek satu dua oke…” Dengan itu, Sakha pun kembali mengeluarkan suaranya. “Lembaran hidup hitam putih~

Sudah menjadi informasi umum kalau Sakha merupakan bagian dari tim paduan suara. Ia bahkan cukup menonjol setiap upacara bendera, padahal dirinya masih kelas 10 dan masih baru bergabung. Sekarang Saora tahu alasannya. Laki-laki itu memang memiliki suara yang terlampau bagus. Ini pertama kalinya ia mendengar Sakha bernyanyi seorang diri dan perhatiannya langsung terserap seketika oleh penampilan sederhana itu. Suara merdu namun kuat milik laki-laki itu memenuhi ruangan. Minimnya instrumen musik yang mengiringi membuat warna suaranya terdengar jelas. Gadis itu bertepuk tangan pelan begitu nyanyian selesai.

“Wah…” Gumamnya kagum.

“Gimana?” Tanya Sakha meminta pendapat.

“Bagus.” Jawab Alvaro singkat, membuat Sakha memberinya tatapan tidak puas. Hal itu membuat Alvaro kesal. “Lo udah nyanyi lima kali, lima-limanya bagus. Gue harus jawab apa?”

“Ya lebih rinci kek komentarnya.”

“Tau ah gue mau balik ke kelas.” Pamit Alvaro kesal sambil beranjak untuk meninggalkan ruangan.

“Lah Varo? Varo?!” Panggil Sakha, yang tentunya tidak digubris. Kini, hanya Saora saja yang menjadi pentonton. “Yaudah lo aja. Gimana gue tadi?”

“Ya jawaban gue juga sama kayak si Varo…” Jawab gadis itu. “Paling ini sih, lo gak usah terlalu banyak improvisasi. Lagu-lagunya Tulus kan bukan lagu yang banyak pake teknik vokal.”

“Nah itu pendapat yang gue butuh! Emang dasar si Varo males mikir.” Ucap Sakha kesal, tidak lupa dengan ekspresi julid-nya. Ia berjalan menuju meja tempat ponselnya berada untuk mengganti lagu. Usai lantunan lagu-lagu manis dari Tulus, kini intro dari lagu yang sangat familiar terdengar. Lagu yang sudah seperti lagu wajib pernikahan. Karena itu Saora sempat mengernyit heran.

“Lagu-lagu pilihan lo bukan anak muda banget dah A Thousand Years. Lo ngapain nyanyi lagu ini? Mau nikah?” Tanyanya.

“NIKAH MATA LO!” Sergah laki-laki itu cepat. “Gue disuruh nyanyi di nikahan orang sama Bunda gue.” Jelasnya kemudian.

“Hah?”

“Ya ini salah satu hukuman ngerusakin Tupperware.” Keluh Sakha. “Udah dengerin aja lo.”

Dengan itu, lagu pun dimulai.

Heart…beat…fast…colors and promises~

Berbeda saat menyanyikan lagu Monokrom dari Tulus sebelumnya, kal ini Sakha memulai dengan suara yang lebih rendah. Suara yang sangat jarang terdengar mengingat laki-laki itu yang kebanyakan bicara dalam nada tinggi alias sewot. Suaranya itu juga berhasil membawa suasana baru pada lagu A Thousand Years yang mungkin sudah Saora dengarkan sebanyak seribu kali saking populernya lagu itu. Ia yang mulanya merasa malas saat mendengar intro dari lagu itu, kini mendengarkan dengan snagat seksama—nyaris tanpa berkedip. Seperti Sakha yang bernyanyi dengan penuh penghayatan, Saora pun sangat menghayati penampilan itu. Padahal lagu yang dinyanyikan bukan lagu yang istimewa, bukan lagu yang unik, juga bukan lagu yang ia sukai. Tetapi gadis itu seolah terhipnotis oleh nyanyian itu. Ia bahkan sampai tidak sadar bahwa lagu sudah selesai.

“Gimana?” Tanya laki-laki itu begitu lagu berakhir. Namun setelah beberapa saat, Saora masih belum menjawab. Akhirnya Sakha menjentikkan jarinya di depan wajah gadis itu. “Woi jawab!”

“Huh?” Saora yang terlalu menghayati nyanyian akhirnya kembali ke realita.

“Bagus kagak gue?” Tanya Sakha untuk yang kedua kalinya.

“Oh iya…”

“Iya iya apa yang jelas dong ah,”

“Iya bagus. Suara lo dari sananya udah bagus, nyanyiin lagu apa aja juga kayanya bakal bagus.” Jawab Saora pada akhirnya. “Lo juga jago nyanyinya jadi harusnya mau nyanyiin lagu apa aja juga bisa. Kalau padus juga suara lo itu menonjol tapi gak ngehalangin yang lain.”

Pujian itu sempat membuat Sakha, yang sedang mengatur kursi untuknya duduk, mematung di tempatnya sejenak. Ia Saora tatapan tidak percaya, tidak menyangka kalimat bagus akan keluar dari mulut gadis itu. Ekspresi Sakha yang seolah meragukan ucapannya itu membuatnya menaikkan alis matanya.

“Apa?”

“Ga, ga nyangka aja lo bisa ngomong yang baik-baik.”

“MAKSUD LO?”

Kalau dipikir-pikir, hubungan pertemanan keduanya memang bukan tipe pertemanan yang harmonis. Tidak terlalu sering terjadi percakapan normal di antara Sakha dan Saora. Awal mulanya saja dari insiden yang tidak mengenakkan—yang untungnya sudah selesai.

“Eh Sa, Bunda gue beneran nyuruh lo main ke rumah anjir!” Mulai Sakha setelah beberapa saat.

“Hah?” Gadis itu refleks menoleh dengan sorot mata yang melebar.

“Sumpah. Kok bisa sih Bunda gue baik sama lo? Pake pelet ya lo?”

“ENAK AJA!”

Saora jadi teringat kembali pada kepanikannya saat pertama kali di-chat oleh ibunya Sakha. Saat bertemu di GOR tiga hari yang lalu, wanita itu benar-benar memberikan aura yang tidak ramah. Yah, meskipun ketidakramahannya itu hanya ditujukan kepada Sakha, karena wanita itu masih menyapanya dengan lembut. Tetapi mereka tidak sempat berbincang karena ojek pesanan Saora lebih dulu tiba. Karena itulah ia merasa panik saat tahu ibunya Sakha meminta nomor teleponnya.

Tapi seperti yang diketahui, hasilnya diluar dugaan.

“Bunda lo pengen punya anak lagi kali.” Tambah Saora asal. “Kalau gue kandidat anak yang mau diadopsi gimana lo?”

“Amit-amit.” Jawab Sakha secepat kilat sambil bergidik ngeri, membuat Saora menendang kursinya pelan.

“Lo gak mau punya sodara?”

“Udah punya.”

“HAH kirain lo anak tunggal?” Tanya Saora yang kaget sungguhan atas fakta baru itu. “Keliatan anak mami banget soalnya.”

“Maksud lo anak mami??? Gue bukan anak manja ya!” Balas Sakha tidak terima, namun kemudian ia melanjutkan dengan serius. “Gue punya adik cowok satu, masih SMP.”

“IH SERU!” Ucap Saora dengan antusias. Sebagai anak tunggal, pembicaraan tentang anak bersaudara sering kali menarik baginya. “Adik lo lucu gak?”

“Udah segede gaban gitu mana ada lucunya.” Jawab Sakha sambil memutar bola mata malas memikirkan sosok adiknya. “Lo anak tunggal?”

“Iya…” Angguk Saora. Eskpresinya berubah sedikit sedih. “Makannya gue suka tiba-tiba ngajakin lo sama si Varo main game, itu gue gak ada temen main game di rumah.”

“Oohh…” Kali ini Sakha yang menganggukkan kepala. “Kalau lo mau adik gue aja ambil.”

“Kakak macam apa lo??? Gue aduin Bunda lo ya!”

“Idih sombong lo mentang-mentang Bunda gue suka sama lo.” Balas laki-laki itu sambil memberi tatapan malas pada Saora yang tersenyum puas. Beberapa detik kemudian ia kembali ke mode serius. “Eh tapi beneran ini tar Sabtu si Varo mau ke rumah gue, lo kalau mau ikutan, ikut aja.”

Ucapan itu menarik perhatian Saora, membuatnya ikut masuk ke mode serius.

“Beneran lo?”

“Ya iya, kenapa emang?”

“Ya…lo kan temenan sama Varo kayaknya udah lama gitu, gue jatohnya outsider gak sih?”

Sebenarnya bukan kali ini saja Saora berpikir demikian. Dari awal ia tidak berekspektasi ia dan Sakha akan berlanjut sebagai teman. Makannya ia seringkali merasa kaget campur terharu setiap menyaksikan kebaikan Sakha terhadap dirinya. Ketika melihat pertemanan Sakha dan Alvaro, ia bisa langsung tahu kalau keduanya sudah berteman sejak lama. Terkadang, diam-diam, ia merasa sedikit aneh saat menghabiskan waktu bersama keduanya walaupun hanya sekedar makan siang di kantin. Alasannya karena ia merasa seperti orang baru yang tiba-tiba datang dan masuk ke dalam sebuah pertemanan yang sudah terjalin sejak lama.

“Bahasa lo outsider outsider…” Komentar Sakha beberapa saat kemudian. “Kagak lah emangnya gue sama si Varo ngebangun komplotan rahasia???”

Belum sempat Saora merespons, laki-laki itu sudah bicara lagi.

“Santai aja kali ah. Emangnya kalau baru kenal jadi gaboleh temenan gitu? Gaboleh gabung? Ibu-ibu arisan kompleks kali yang begitu. Gue sama si Varo bodoamat soal yang gituan. Lagian Bunda gue seneng kalau gue bawa temen ke rumah.” Ucapnya panjang lebar. Kalimatnya itu nyaris membuat Saora merasa tersentuh ((untuk yang kesekian kalinya)) andaikan laki-laki itu tidak menambahkan kalimat terakhir. “Jangan so malu-malu gitu lo biasa juga gatau malu.”

“Maksud lo????”

“Gue sharelock aja dah rumah gue. Lo kalau mau dateng tinggal dateng.” Ucap Sakha, mengabaikan reaksi kesal gadis itu. Tidak lama kemudian, layar ponsel dalam genggaman gadis itu menyala, menunjukkan notifikasi pesan masuk dari Sakha—sekaligus memperlihatkan nama kontaknya. Sontak laki-laki itu membuka mulutnya dramatis. “LO NAMAIN KONTAK GUE SAKHA TUPPERWARE?”

Di saat yang bersamaan, Sakha tanpa sengaja memperlihatkan layar yang menampilkan ruang obrolannya bersama Saora—mengekspos nama kontak gadis itu. Sekarang, giliran Saora yang memasang ekspresi dramatis.

“LO JUGA NAMAIN KONTAK GUE SAORI SAOS TIRAM!”

Walaupun sempat bersikap denial dengan berkata dirinya tidak minat sama sekali, pada akhirnya Saora tetap tiba di GOR yang Alvaro sebutkan. Ia datang lengkap dengan kantong kresek putih berisi minuman dan sedikit cemilan. Kini gadis itu duduk cantik di pinggiran lapang bersama Alvaro yang sedang sibuk pada ponselnya. Saora sesekali mengecek laki-laki itu dan hanya bisa menghela napas saat anaknya tetap sibuk bermain ponsel. Meskipun begitu ia merasa sedikit terharu, karena Alvaro tetap mau menemani Sakha bermain futsal walaupun dirinya sendiri tidak merasa tertarik. Sama seperti dirinya yang juga, sebenarnya, tidak terlalu tertarik menonton permainan olahraga seperti ini.

“Varo Varo,” Panggilnya sambil menepuk bahu laki-laki itu. Saat yang dipanggil menoleh, ia melanjutkan. “Sakha emang jago olahraga ya?”

Selama mereka saling mengenal, ini pertama kalinya Saora melihat Sakha tanding futsal. Ia sudah sering melihat laki-laki itu berdiri di barisan paduan suara atau belajar mati-matian di perpustakaan. Katanya juga, Sakha sudah di booking oleh para guru untuk diikutkan olimpiade-olimpiade yang akan datang. Memang ia pernah beberapa kali melewati lapangan saat para siswa laki-laki bermain bola. Tapi ia tidak menduga kalau Sakha menyeriusi aktifitas olahraganya. Terlebih lagi, laki-laki itu terlihat sangat bersemangat seolah hidupnya bergantung pada permainan futsal hari ini.

“Lebih ke suka olahraga sih, tapi gak jago, biasa aja.” Jawab laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Jawaban itu membuat Saora merasa tidak puas.

“Masa sih? Gue liat jago-jago aja tuh dia—tuh tuh liat hampir nyetak gol.” Tunjuk Saora ke arah lapang, pada Sakha yang sedang mengacak rambutnya kesal karena gagal mencetak gol.

“Iya kah?” Kali ini, Alvaro mengalihkan pandangannya dari ponsel. Kemudian ia mengangguk-anggukan kepalanya. “Hmm emang sih, kalau lagi jatuh cinta apa aja yang dilakuin bakal keliatan bagus.”

Saora sontak menatap Alvaro tajam atas perkatannya itu. Ia bahkan sampai berdiri dari duduknya—entah kaget atau merasa terciduk.

“MAKSUD LO?” Sewot gadis itu nyaris berteriak. “Gue gak suka sama Sakha—”

“Apa nih ngomongin gue?” Suara lain menginterupsi kalimatnya. Saora langsung membeku di tempatnya saat mendengar suara Sakha yang datang mendekat. Sedangkan Alvaro tidak terlihat terusik sama sekali.

“Oh ini, Saora katanya—” Mulai Alvaro yang tentu saja membuat Saora panik.

“Diem lo.” Potong Saora cepat. Matanya semakin tajam menatap Alvaro, sementara orang yang ditatap hanya tersenyum-senyum puas.

“Apa sih?” Tanya Sakha yang baru tiba di dekat mereka. Ia mengambil handuk kecil untuk mengelap keringatnya sambil memperhatikan kedua temannya itu. “Apa nih yang satu mukanya merah yang satu senyum-senyum?”

“Kepo lo.” Balas Saora pada akhirnya, menutup topik ini. Untungnya, tidak ada yang membahasnya lebih jauh karena Sakha lebih dulu merasa lapar.

“Eh cari makan depan yuk, laper nih gue.”

Dengan itu, ketiganya pun meninggalkan gor dan pergi mencari makanan ke luar. Mereka memilih untuk makan di minimarket karena itu yang paling dekat. Tidak banyak yang terjadi ketika makan. Mereka hanya berbincang tidak jelas seperti biasanya. Setelah kenyang, mereka memutuskan untuk pulang. Terlebih karena hari semakin larut. Alvaro menjadi yang pertama pulang karena ojek online pesanannya lebih dulu tiba. Kini hanya tinggal ada Saora, dan Sakha yang baru kembali dari dalam minimarket dengan sebotol air minum.

“Mana udah ada belum gojek lo?” Tanya Sakha sambil celingak-celinguk mencari penampakan helm hijau.

“Masih otw tulisannya.” Jawab Saora yang sedang memantau ponselnya. Jawaban itu membuat Sakha mengangguk. Kemudian laki-laki itu menarik kursi di sebrang Saora dan mendudukinya. Gadis itu pun menatapnya bingung. “Kenapa masih di sini? Gue udah gede kali gak usah ditungguin.”

“Dih orang gue juga nunggu dijemput.” Jawab Sakha yang membuat Saora seketika merasa malu. Ia menyembunyikan rasa malunya itu dengan berpura-pura sibuk dengan ponsel. Namun hanya beberapa detik kemudian, laki-laki itu melanjutkan. “Ya sekalian nungguin lo sih, biar gak kena jambret lagi.”

“JANGAN DIINGETIN.” Sewot Saora yang membuat Sakha tertawa puas.

Jawaban itu memang membuat Saora kesal, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa jawaban itu juga membuat hatinya terasa sedikit hangat. Persepsinya tentang Sakha Audriatama kini semakin berubah positif. Sakha dalam pandangan Saora bukan lagi sekedar bocah berisik yang ribet. Tetapi Sakha yang rajin, pintar, pandai dalam olahraga, dan baik kepada temannya.

“Lo suka banget olahraga ya ternyata?” Mulai Saora lagi, membuka obrolan baru. “Kenapa gak join ekskul olahraga di sekolah?”

“Gue suka olahraga tapi ya gak niat serius juga.” Jawab Sakha. “Tapi kalau gue gapunya bakat lain ya bakal jadi atlet sih gue. Kalau sekarang sih gue cuma main-main aja.”

“Lo ikutan terus tanding-tanding gini?”

“Ngapa? Kagak percaya lo?” Sewot laki-laki itu, sepertinya mulai kesal karena Saora kebanyakan bertanya.

“Ya lagian lo image nya anak ambis yang kehidupannya sekolah-kumon-sekolah-kumon.” Jelas gadis itu. “Ternyata sempet main juga.”

Life study futsal balance.” Komentar Sakha sambil kembali menaruh perhatian pada ponselnya.

“Sakha,” panggil Saora setelah beberapa saat. Laki-laki itu pun mendongak lagi.

“Apa?”

Tupperware lo beneran gapapa?” Tanya Saora serius. Sejujurnya, hal itu masih menganggunya. “Gue gapapa kok kalau harus beli lagi.”

“Ya elah Osaaa masih aja dipikirin.” Laki-laki itu mendecak sambil meletakkan ponselnya. “Gapapa serius.”

“Yakin? ”

“Iya. Tar gue tinggal alesan ke Bunda kenapa tupperware nya bisa ilang.” Jawab Sakha dengan yakin dan percaya diri.

Sayangnya, ia tidak menyadari keberadaan seorang wanita yang berdiri hanya beberapa langkah dari mereka dengan posisi berkacak pinggang. Itu adalah Bunda nya.

“Tupperware Bunda hilang???!”

Sontak kedua muda mudi itu menoleh ke arah sumber suara. Segera pandangan mereka disambut oleh raut emosi dari Adinda, ibunda dari Sakha. Kejadian horor yang selama ini ditakutkan pun terjadi: Bunda-nya Sakha mengetahui tentang kasus Tupperware yang melegenda itu.

“Eh Bun…” Sapa Sakha kikuk. “Jadi gini…”

Begitu tiba di lokasi, Sakha langsung mengedarkan pandangannya mencari Saora. Raut cemas nampak jelas pada wajah laki-laki itu. Dilihat dari tonepada pesan yang dikirimkannya tadi, anak itu kemungkinan besar sedang menangis. Ia berjalan menelusuri jalanan kompleks yang sangat sepi itu. Kepalanya tidak berhenti menoleh kesana kemari sampai akhirnya ia menangkap sosok yang ia cari. Benar saja, Saora terlihat sedang berjongkok di depan sebuah garasi dengan pundak yang bergetar, tanda ia sedang menangis. Sakha akhirnya bisa menghembuskan napas lega melihat Saora masih dalam keadaan yang utuh. Ia pun tidak membuang waktu dan segera berjalan mendekat.

“Osa?”

Mendengar namanya dipanggil, Saora langsung mendongak, menunjukkan wajah sembab yang penuh dengan jejak air mata dan helaian rambut. Sama seperti Sakha, Saora pun merasakan kelegaan yang langsung menguasai dirinya begitu melihat sosok yang sangat familiar itu. Namun disaat yang bersamaan, ia malah semakin ingin menangis.

“S-SAKHAAAA!” Ucapnya disertai gelombang tangis yang datang kembali. Tangisan itu membuat Sakha panik dan buru-buru mendekat, berjongkok di sebelahnya. Ia segera mengecek kondisi fisik perempuan itu. Kepala, pundak, tangan, sampai kaki. Setelah memastikan tidak ada luka fisik, ia kembali bernafas lega. Dirinya kini ikut berjongkok di sebelah Saora sambil mengusap-usap punggung perempuan itu.

“Iya gue udah di sini…” Ujarnya mencoba menenangkan. “Lo gak kenapa-kenapa kok.”

“T-takuuttt…” Isak Saora.

“Iya udah gapapa.” Balas Sakha yang masih mengusap punggungnya pelan. Keduanya diam dalam posisi itu selama hampir sepuluh menit. Saora masih belum pulih dari keterkejutannya setelah menjadi korban jambret. Sakha pun tmengerti kalau gadis itu belum siap untuk bicara. Karena itu ia pun tidak banyak membuka mulutnya dan hanya fokus untuk menenangkan Saora. Sampai tiba-tiba tangisan gadis itu kembali menjadi.

“Huaaaa Sakhaaaa…”

“Lah kok lo tambah nangis?” Tanya Sakha sedikit panik bercambur khawatir. “Udah, kan gue udah dateng ini.”

“Tupperware lo diambil sama jambretnya…” Rengek perempuan itu sambil kembali menenggelamkan kepalanya pada kedua tangannya. “Gimana—kalau lo dimarahin Bunda lo gimana…”

Kepanikan dan kekhawatiran pada wajah laki-laki itu langsung terganti oleh sebuah senyum simpul. Sebuah tawa nyaris keluar dari mulutnya. Saora yang berjongkok di pinggir jalanan yang sepi sambil menangisi botol Tupperware miliknya menjadi sebuah adegan yang lucu bagi laki-laki itu. Terlebih lagi saat melihat wajah Saora yang sangat serius itu.

“Yaelah Sa bisa-bisanya lo masih mikirin Tupperware.” Decak Sakha. Hal itu membuat Saora kembali mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah yang sama seperti saat pertama kali laki-laki itu datang. Ia menatap laki-laki itu dengan raut bingung.

“Lo gak marah?” Tanyanya di sela-sela isakannya.

“Ya kagak lah.”

“Beneran?” Tanya Saora lagi.

“Beneran Osaaaa.” Jawab Sakha sambil menampilkan senyumnya. “Udah jangan dipikirin itu Tupperware. Gue bisa beli lagi nanti. Yang penting lo gak kenapa-kenapa.”

Kali ini, ia menatap Sakha serius. Karena sibuk menangisi hal malang yang menimpanya, ia tidak sempat menaruh perhatian pada Sakha. Laki-laki itu datang mengenakan pakaian santai namun rapi dengan tas selempang hitam di pundaknya, berbeda dengan setelan seragam beratribut lengkap yang biasa Saora lihat sehari-hari. Baby hairs di sekeliling wajahnya terlihat sedikit basah oleh keringat, tanda bahwa laki-laki itu berjalan cepat—bahkan berlari saat menghampirinya. Ia pun terlalu fokus menangis untuk menyadari betapa khawatirnya Sakha tadi. Baru sekarang ia menyadari semuanya.

Gadis itu kemudian berusaha mencari raut emosi atau kesal disana, namun hasilnya nihil. Yang ada hanyalah raut tenang—dan senyum yang hangat. Sebuah versi dari Sakha Audriatama yang baru pertama kali ia lihat. Bukan Sakha yang selalu memberikan tatapan sinis ataupun berbicara dengan nada sewot. Tetapi Sakha yang tersenyum sambil menatapnya ramah, tidak lupa nada bicaranya yang lembut dan tangan yang masih mengusap pundaknya pelan.

“Heh jangan bengong!” Sakha menjentikkan jarinya di depan wajah Saora. Membuat gadis itu tersadar bahwa sedari tadi ia melamun. “Mending ceritain lo kenapa bisa kena jambret?”

“Gue cuma lagi jalan biasa, terus ada dua orang naik motor, terus tote bag gue direbut…” Jelas Saora yang sudah terdengar lebih tenang.

“Barang penting lo ada yang ilang ga? Mau lapor polisi?”

“Gak usah,” Geleng Saora. “Itu totebag isinya cuma Tupperware lo sama dompet gue. Isi dompetnya juga cuma kartu pelajar sama uang dikit.”

“Hadeh syukur deh,” Ujar laki-laki itu sambil menghembuskan napas lega. “Lo bikin khawatir tau ga?”

Saora kembali menoleh dan menatap laki-laki itu. Berapa lama pun ia mencari, gurat kesal apalagi marah sama sekali tidak bisa ditemukan di sana. Padahal gadis itu sudah menyiapkan diri kalau-kalau Sakha mengamuk. Tapi laki-laki itu benar-benar menunjukkan sisi barunya. Ternyata Alvaro benar, Sakha itu orang baik.

“Udah ah,” Sakha kembali memecah keheningan sambil bangkit dari posisinya. Ia kini berdiri di samping Saora yang masih berjongkok. Kemudian, ia mengulurkan tangannya. “Ayo berdiri, lo gue anter pulang sampe depan rumah.”

Versi baru dari Sakha Audriatama itu, membuatnya merasa hangat, namun berdebar-debar di saat yang bersamaan.

Semasa SMP, Saora bersekolah di sebuah sekolah swasta yang lumana bergengsi. Seperti tipikal sekolah swasta lainnya, tempat itu dipenuhi anak-anak dari keluarga berada yang sejak kecil sudah diberi tekanan untuk menjadi dokter, pengacara, atau melanjutkan bisnis keluarga. Saat melihat bagaimana teman-temannya mati-matian belajar padahal masih SMP sering membuatnya merasa bersyukur dirinya tidak diberikan tekanan serupa. Namun kadang, ia merasa kesepian. Ia tidak mengikuti club yang sama dengan kebanyakan temannya dan tidak mendatangi tempat les yang sama pula. Karena itu, tidak jarang dirinya menghabiskan waktu di art room sendirian sementara teman-temannya yang lain lebih memilih untuk mendatangi lab.

Saat memasuki SMA negeri, Saora sempat berpikir dirinya akan menemukan lebih banyak teman dengan minat yang sama. Memang, teman-temannya di sini tidak sesibuk teman-temannya semasa SMP. Tetapi tetap saja tidak banyak teman yang memiliki minat yang sama dengannya. Buktinya, sekarang Saora menghuni art room sendirian.

Sampai pintu tiba-tiba terbuka dan dua siswa laki-laki menyelonong masuk dengan heboh.

“Wah ternyata gini bentukan art room…”

“Kok berantakan? Kirain lukisannya dipajang di dinding semua terus kita bisa liat.”

“Itu museum tolol.”

Dua laki-laki itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sakha dan Alvaro, lengkap dengan kresek jajanan masing-masing. Keduanya langsung sibuk melihat-lihat isi ruangan, mengabaikan Saora yang melayangkan tatapan tajam; bingung karena mereka tiba-tiba muncul, namun juga kesal karena ketenangannya terusik.

“Ngapain kalian kesini?” Sewotnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Si Varo kepo tuh.” Tunjuk Sakha pada temannya yang sudah sibuk melihat-lihat karya lukis yang ditempel di dinding. Kemudian, Sakha mengangkat kresek hitam di tangannya. “Kita numpang makan disini ye.”

“Emangnya—”

“Jangan banyak protes lo, ikut makan aja.” Ucapan Sakha itu membuat Saora mengerutkan keningnya bingung. “Kita beliin makanan buat lo juga nih.”

Gadis itu tidak bereaksi selama beberapa detik pertama. Padahal tadi dirinya tidak benar-benar serius saat bilang ingin makanan juga, karena ia sudah berencana untuk menghabiskan jam istirahat kedua dengan melukis. Sakha pun tadi sudah jelas-jelas menolak permintaannya, jadi dirinya tidak berekspektasi. Terlebih, mereka pun sebenarnya belum sedekat itu dan belum bisa benar-benar disebut berteman. Jujur saja, dirinya merasa tersentuh karena perlakuan itu, mengingat urusan tupperware mereka belum selesai.

“Cepet lo tar gak kebagian.” Panggil Sakha saat gadis itu masih diam di tempat.

Dengan semangat, gadis itu berjalan menghampiri Sakha dan Varo yang sudah lebih dulu duduk lesehan di tengah ruangan. Saora duduk bersila di sebrang keduanya sambil menggosok-gosok kedua tangannya, siap untuk menyambut makanan.

“Lo emang suka sendirian disini?” Tanya Sakha setelah mereka semua selesai makan. Keduanya masih duduk lesehan di lantai, sementara Alvaro sedang melihat-lihat buku-buku lukisan di sudut ruangan.

“Iya. Gue doang anggota klub seni yang paling semangat di sini.” Jawab Saora sambil menyeruput thai tea yang dibelikan oleh Sakha dan Alvaro.

“Tampang lo bukan tampang seniman.” Komentar Sakha yang membuat gadis itu kembali naik pitam.

“Lo bisa gak sih ngomongnya yang bagus-bagus aja?

“Gue cuma ngomong jujur???”

“Emang tampang gue kayak anak gak punya bakat ya?” Tanya Saora beberapa saat kemudian.

“Ya enggak gitu.” Laki-laki itu menjawab dengan cepat. “Lo keliatan lempeng aja gitu, jadi gue kira gak punya minat dan bakat.”

“Awas aja lo nanti kalau gue jadi seniman terkenal jangan minta tanda tangan.” Balas Saora kesal. Ucapannya ternyata menarik perhatian Sakha.

“Lo serius mau jadi pelukis? Gue kira hobi doang.”

“Gue gak punya minat lain selain jadi seniman. Otak gue juga kayaknya gak nyampe di bidang lain.” Jawab Saori. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini nada bicaranya lebih serius. “Sekarang gue mau banyakin portofolio buat daftar kuliah. Gue mau ambil jurusan seni rupa murni. Terus sepuluh taun dari sekarang, gue punya pagelaran karya gue sendiri.”

Setelahnya tidak ada yang bicara lagi. Sepertinya keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebagai siswi SMA, Saora sebenarnya merasa terlalu cepat untuk memikirkan masa depan. Terlebih kedua orang tuanya pun tidak pernah memberikan tekanan apapun. Tapi terkadang tekanan itu datang sendiri saat ia melihat teman-temannya yang sudah mulai menaruh minat pada tes masuk perguruan tinggi, padahal mereka baru kelas sepuluh.

Bunyi bel memecah keheningan di ruangan itu. Sakha segera berdiri dan membereskan sampah bungkus makanan di lantai. Saora pun ikut berdiri untuk merapikan peralatan lukis yang sempat ia gunakan. Sakha yang penasaran pergi mengikuti gadis itu dan mengintip lukisannya.

“Wih beneran jago lo.” Komentarnya begitu lukisan milik Saora tertangkap oleh matanya. “Kalau lo beneran jadi pelukis terus bikin pameran, kasih gue tiket gratis ya. Tar gue ajak si Alvaro juga biar pameran lo gak sepi-sepi amat. Tapi kalau ngeliat lukisan lo…kayaknya ya lumayan banyak yang dateng sih.”

Kalimat yang keluar dari mulut Sakha sekali lagi berhasil membuat Saora merasa tersentuh. Awal pertemuan mereka sama sekali tidak bagus. Meskipun Saora sesekali mengeluarkan usaha untuk berdamai dan berteman, ia sama sekali tidak berekspektasi dirinya akan benar-benar rukun dengan Sakha. Pun ada kalanya ia merasa Sakha hanyalah anak menyebalkan yang perhitungan dan tidak berperasaan. Prasangka itu sepertinya perlahan mulai gugur. Melihat Sakha yang sekarang, sepertinya ucapan Alvaro kala itu memang bisa dipercaya.

Mendengar ucapan Sakha, Alvaro yang masih melihat-lihat buku lukisan itu ikut menyaut.

“Iya ajakin gue juga.” Ucapnya, membuat Saora tersenyum kecil. Namun dua detik kemudian, ia melempar pertanyaan yang membuat Sakha dan Saora menghela napas. “Btw Saora, ini kok ada lukisan orang telanjang? Emang sekolah boleh ya nyimpen konten pornografi gini?”


Saora berjalan menuju ruang UKS dengan semangkuk bubur dan satu botol air mineral di tangannya. Setelah bertanya pada salah satu temannya, ternyata memang tidak ada yang berjaga di UKS hari ini karena suatu alasan. Karena itulah ia akhirnya menuruti permintaan Sakha. Begitu pintu UKS dibuka, sosok laki-laki itu langsung tertangkap matanya. Tidak seperti bayangan di kepalanya dimana Sakha terbaring lemah di atas kasur, laki-laki itu justru sedang duduk bersandar dengan sebuah buku pelajaran di depan matanya. Saora hanya bisa menatap laki-laki itu tidak percaya sambil berjalan masuk.

“Lo pura-pura sakit ya?!” Sewot gadis itu tanpa aba-aba, membuat Sakha refleks meringis sambil menutup telinganya.

“Berisik elah.” Balasnya. “Beneran sakit gue.”

“Itu lo masih bisa belajar???” Tunjuk Saora pada buku mata pelajaran sejarah yang baru saja Sakha baca. “Orang sakit mana bisa belajar.”

“Pegang jidat gue kalau lo gak percaya.”

Penasaran, Saora meletakkan tangannya di kening Sakha untuk memeriksa suhunya. Ia nyaris menarik tangannya refleks saat merasakan suhu badan laki-laki itu. Sakha tidak berbohong sama sekali, ia memang sakit. Raut kesal Saora hilang seketika. Emosinya yang sempat naik akibat harus mengantri demi bubur pesanan Sakha pun langsung turun kembali.

“Orgil ya lo sakit gini malah belajar?”

“Besok gue ada tes lisan.” Kini laki-laki itu menyimpan bukunya ke atas nakas di sebelah ranjang UKS. “Mana bubur gue? Gak pake kacang ‘kan?”

“Iya sesuai pesenan lo. Nih, gue beliin air minum sekalian.” Saora menyerahkan bubur dan botol air di tangannya dengan malas.

Saora tidak langsung pergi meninggalkan UKS. Entah karena lupa atau bagaimana, ia malah duduk di kursi di samping ranjang sambil melihat Sakha makan. Perhatiannya lalu teralih pada buku di atas nakas, buku yang laki-laki itu baca tadi. Ia tidak habis pikir, kenapa laki-laki itu masih sempat-sempatnya belajar saat sedang sakit. Kalau dirinya, mungkin akan langsung menyerah saja pada tes lisan itu. Ralat, Saora akan menjadikan sakitnya sebagai alasan untuk menghindari tes lisan. Penasaran, ia memutuskan untuk bertanya.

“Lo anak rajin ya?” Tanyanya. “Siswa teladan ya? Pasti sering ranking ya?”

“Banyak nanya lo kayak wartawan.”

“Jawab aja kek.”

“Iya gue ranking tiga besar.”

“Pantesan.” Kini Saora mengangguk-angguk mengerti. “Orang waras kalau sakit tuh tidur soalnya.”

Setelahnya tidak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya. Sakha fokus memakan buburnya, sementara Saora membolak balik halaman buku pelajaran milik laki-laki itu atas dasar penasaran. Sakha mulanya tidak begitu memperdulikan Saora yang tak kunjung pergi. Namun setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk bertanya.

“Kagak pergi lo?” Tanya Sakha sambil memberikan tatapan malas pada Saora.

“Kan nungguin mangkok buburnya.”

“Tar gue balikin sendiri.” Balas Sakha yang terlihat mulai kesal.

“Ah gue males ke kelas, gue di sini aja ya pura-pura jagain lo?” Gadis itu kini duduk menghadap Sakha sambil menyatukan kedua tangannya sebagai gestur memohon. “Lo perlu apa? Mau gue suapin gak?” Tanya Saora lagi sambil menatap laki-laki di depannya penuh harap. Sementara yang ditatap malah memberinya tatapan jijik.

“JAUH JAUH LO SANA SAORI!” Teriak Sakha yang kesabarannya habis. Ternyata tidak salah kalau orang bilang kesabarannya setipis tisu. “Udah sana lo ah jangan ganggu gue, gue alergi sama lo!” Ia mendorong pelan bahu gadis itu dengan satu tangannya, sementara Saora masih berusaha untuk bertahan.

“Plis ya gue pengen diem di sini!” Pinta Saora dengan se-memelas mungkin. Namun hal itu malah membuat Sakha semakin semangat untuk mengusirnya. Ia meletakkan mangkuk buburnya ke atas nakas dan turun dari ranjang untuk menyeret Saora keluar. Walaupun sedang sakit, tenaganya masih cukup untuk menarik Saora menuju pintu.

“Ayolah Sakha gue menawarkan pertemanan iniiiiiii!” Gadis itu memohon pada Sakha yang sudah hendak menutup pintu.

“Gantiin dulu Tupperware gue baru lo gue anggap temen.”

Dan dengan itu, pintu ruang UKS ditutup tepat di depan wajah Saora.