sakha tupperware — sakha, saora, dan confess part sekian
Terhitung sudah satu minggu sejak hari dimana Saora mencoba menyatakan perasaannya. Selama dua minggu itu pula, gadis itu berusaha menghindari Sakha. Mulai dari membalas pesan dengan singkat, tidak jajan di kantin, sampai keluar kelas sepuluh menit setelah bel pulang agar tidak berpapasan dengan laki-laki itu. Awalnya Sakha berpikir mungkin ia melakukan kesalahan atau gadis itu sedang kurang sehat. Saat melihat Saora masih berinteraksi dengan normal, kebingungannya ikut diwarnai oleh kecurigaan dan keyakinan, bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Tetapi ia tidak pernah menduga bahwa ‘sesuatu yang tidak beres’ itu ternyata perihal perasaan.
Kaget? Tentu saja. Selama ini tidak pernah sekalipun Sakha memikirkan tentang hal ini. Sejujurnya sampai detik ini pun laki-laki itu masih belum memikirkannya. Bahkan sebagian dari dirinya masih berpikir bahwa semua ini mungkin adalah skema prank buatan Saora dan Alvaro. Ia bertekad untuk menemui gadis itu terlebih dahulu untuk mengobrol secara langsung, agar semuanya bisa diperjelas.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Sakha merasa yakin kalau hari ini pun Saora akan menghindarinya. Karena itu, ia sudah bergerak untuk mencari gadis itu sebelum bel pulang berbunyi. Hari ini persiapan classmeet resmi dimulai. Sakha mengasumsikan bahwa perempuan itu akan lebih memilih menghabiskan waktu sendirian saat musim classmeet seperti sekarang. Dugaannya terbukti benar saat ia menemukan gadis itu di lorong tempat ruang kesenian berada.
“Heh Osa!” Panggilnya sambil berjalan cepat menghampiri Saora. Saat mendengar suara Sakha, gadis itu terlihat langsung memasang mode siaga untuk berlari. Sayangnya, Sakha lebih dulu berhasil menahan tanganya. “Jangan kabur anjir.”
“Gue mau ke ruang rapat.” Elak gadis itu sambil berusaha berjalan melewati Sakha. Laki-laki itu menatapnya dengan alis terangkat, tidak mempercayai alasannya.
“Lo ga ikutan jadi panitia ya, gue tau.”
“Gue mau…” Gadis itu kembali memutar otak untuk mencari jawaban yang meyakinkan, namun Sakha lebih dulu memotong kalimatnya.
“Gue mau ngobrol sama lo. Lo ngeblokir nomor gue ya jadi kita harus ngobrol langsung.” Ucapnya tegas. “Yang di chat lo kemarin itu maksud lo apa?”
Sebenarnya, Saora merasa belum ingin membicarakan hal ini. Perasaannya sendiri masih campur aduk. Tetapi ia kesal juga karena bisa-bisanya Sakha masih tidak peka terhadap situasi yang sedang terjadi. Akhirnya, gadis itu pun membuka mulutnya.
“Itu gue suka sama lo tolol!” Jawab Saora dengan nada kesal. “Gue udah confess dua—tiga kali sama sekarang masih kurang jelas apalagi???”
“Lo serius confess? Serius banget?”
“Lo kira gue bercanda???”
“Ya gue gak tau.” Sakha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gue juga gak tau kalau selama ini lo baper sama gue.”
“YA MENURUT LO AJA!” Sewot Saora penuh emosi. Ia mengambil langkah mendekat dan meraih tangan laki-laki itu dengan sedikit kasar. “Nih menurut lo ada temenan pegang-pegang tangan gini? Ngusap-ngusap kepala gini? Lo ke si Varo begitu? Enggak kan????”
“Ya enggak sih…” Jawab Sakha pelan sambil mengusap tangan dan kepalanya. Saora baru memperagakan skinship dan tindakan lainnya yang Sakha lakukan kepadanya, namun dengan versi penuh emosi. “Gue juga gak nyadar gue kaya gitu ke lo doang…”
“Yaudah sekarang udah jelas kan?” Balas Saora. “Lo bayangin aja tuh gue nahan nahan baper sampe akhirnya confess tapi malah dikira bercanda.”
“Gue minta maaf soal itu, Sa. Gue bener-bener gak tau sumpah!” Ucap Sakha dengan rasa bersalah. “Gue juga bukan sengaja ngebaperin lo terus pura-pura gak tau ya. Semua perlakuan gue ke lo itu beneran gak gimmick gue peduli sama lo. Ya walaupun gue gak nyadar sikap gue itu artinya gimana di mata lo.”
Apa yang diucapkan Sakha adalah sebuah kebenaran. Menjadi populer sejak kecil, laki-laki itu terbiasa berinteraksi dengan siapa saja. Ia pun tidak membatasi atau membeda-bedakan temannya berdasarkan gender. Sikap peduli dan perhatian pun sering ia berikan secara cuma-cuma. Hal yang sama juga berlaku kepada Saora. Meski pada kenyatannya sikapnya sedikit berbeda, Sakha bersikap demikian tanpa pikiran apapun. Karena di dalam kepalanya, Saora adalah temannya yang ia perhatikan sama seperti Alvaro.
Setelah beberapa saat, gadis itu kembali membuka mulutnya.
“Jadi…” Mulainya sedikit gugup, karena situasi keduanya jadi sedikit canggung sekarang. “Jadi…lo suka sama gue enggak?”
Gadis itu mengalihkan pandangannya sambil menunggu jawaban. Jantungnya mulai sedikit berdebar lagi. Ia memainkan jari-jarinya untuk mengatasi rasa gugup yang dirasa semakin menjadi. Tidak jauh berbeda darinya, Sakha juga terlihat sedikit gugup dan canggung. Setelah beberapa saat, ia menjawab pertanyaan itu.
“Gue gatau…” Jawab Sakha pelan. Jawaban itu membuat Saora menundukkan kepalanya.
“Gak suka ya?”
“Bukan gitu.” Respons Sakha cepat. Ia kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. “Itu…gue gak pernah mikirin suka atau enggak…”
Mendengarnya, rasa gugup dan berdebar yang sebelumnya dirasakan oleh Saora seketika hilang, dan mulai tergantikan kembali oleh rasa kesal.
“YAUDAH SEKARANG MIKIR!” Ucap Saora kesal sambil mendorong Sakha menjauh.
“Terus kalau udah mikir apa?”
Pertanyaan konyol itu sukses membuat emosi Saora kembali naik. Ia menatap tajam Sakha yang balik menatapnya dengan ekspresi tidak berdosa. Gadis itu menyunggingkan senyum kecut sebelum melepas sebelah sepatunya dan melemparnya ke arah laki-laki itu.
“ANJING RIBUT AJALAH KITA!” Teriaknya saat melempar sebelah sepatunya, yang sukses mengenai paha Sakha.
“Sa tahan emosi Sa!” Ucap laki-laki itu sambil berjalan mundur perlahan, kedua tangannya bersiap untuk menangkap sepatu lain yang mungkin ikut melayang ke arahnya. Sakha sambil mulai berjalan cepat menjauh dari gadis itu. Namun Saora terlihat seperti sudah mengunci targetnya. “Sa anjir lo jangan gini gue takut elah!”
“Lo ikutan taekwondo? Gue pernah ikutan karate sini maju lo!”
“IYA GUE MINTA MAAP SA!” Laki-laki itu berteriak memohon sambil berlari, sementara Saora mengejarnya dengan sepatu yang siap dilemparkan. “SA GUE MINTA MAAP DIATAS MATERAI SUMPAH!”
Keduanya kemudian terlibat sesi kejar-kejaran di sepanjang koridor sampai ke lapangan. Sementara Sakha mati-matian meminta nyawanya di selamatkan, ada Alvaro yang duduk manis di pinggir lapang dengan ponsel yang mengarah pada keduanya.
“Hehehe gue viralin kalian.”