sakha tupperware — sakha dan olahraga (dan bunda)
Walaupun sempat bersikap denial dengan berkata dirinya tidak minat sama sekali, pada akhirnya Saora tetap tiba di GOR yang Alvaro sebutkan. Ia datang lengkap dengan kantong kresek putih berisi minuman dan sedikit cemilan. Kini gadis itu duduk cantik di pinggiran lapang bersama Alvaro yang sedang sibuk pada ponselnya. Saora sesekali mengecek laki-laki itu dan hanya bisa menghela napas saat anaknya tetap sibuk bermain ponsel. Meskipun begitu ia merasa sedikit terharu, karena Alvaro tetap mau menemani Sakha bermain futsal walaupun dirinya sendiri tidak merasa tertarik. Sama seperti dirinya yang juga, sebenarnya, tidak terlalu tertarik menonton permainan olahraga seperti ini.
“Varo Varo,” Panggilnya sambil menepuk bahu laki-laki itu. Saat yang dipanggil menoleh, ia melanjutkan. “Sakha emang jago olahraga ya?”
Selama mereka saling mengenal, ini pertama kalinya Saora melihat Sakha tanding futsal. Ia sudah sering melihat laki-laki itu berdiri di barisan paduan suara atau belajar mati-matian di perpustakaan. Katanya juga, Sakha sudah di booking oleh para guru untuk diikutkan olimpiade-olimpiade yang akan datang. Memang ia pernah beberapa kali melewati lapangan saat para siswa laki-laki bermain bola. Tapi ia tidak menduga kalau Sakha menyeriusi aktifitas olahraganya. Terlebih lagi, laki-laki itu terlihat sangat bersemangat seolah hidupnya bergantung pada permainan futsal hari ini.
“Lebih ke suka olahraga sih, tapi gak jago, biasa aja.” Jawab laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Jawaban itu membuat Saora merasa tidak puas.
“Masa sih? Gue liat jago-jago aja tuh dia—tuh tuh liat hampir nyetak gol.” Tunjuk Saora ke arah lapang, pada Sakha yang sedang mengacak rambutnya kesal karena gagal mencetak gol.
“Iya kah?” Kali ini, Alvaro mengalihkan pandangannya dari ponsel. Kemudian ia mengangguk-anggukan kepalanya. “Hmm emang sih, kalau lagi jatuh cinta apa aja yang dilakuin bakal keliatan bagus.”
Saora sontak menatap Alvaro tajam atas perkatannya itu. Ia bahkan sampai berdiri dari duduknya—entah kaget atau merasa terciduk.
“MAKSUD LO?” Sewot gadis itu nyaris berteriak. “Gue gak suka sama Sakha—”
“Apa nih ngomongin gue?” Suara lain menginterupsi kalimatnya. Saora langsung membeku di tempatnya saat mendengar suara Sakha yang datang mendekat. Sedangkan Alvaro tidak terlihat terusik sama sekali.
“Oh ini, Saora katanya—” Mulai Alvaro yang tentu saja membuat Saora panik.
“Diem lo.” Potong Saora cepat. Matanya semakin tajam menatap Alvaro, sementara orang yang ditatap hanya tersenyum-senyum puas.
“Apa sih?” Tanya Sakha yang baru tiba di dekat mereka. Ia mengambil handuk kecil untuk mengelap keringatnya sambil memperhatikan kedua temannya itu. “Apa nih yang satu mukanya merah yang satu senyum-senyum?”
“Kepo lo.” Balas Saora pada akhirnya, menutup topik ini. Untungnya, tidak ada yang membahasnya lebih jauh karena Sakha lebih dulu merasa lapar.
“Eh cari makan depan yuk, laper nih gue.”
Dengan itu, ketiganya pun meninggalkan gor dan pergi mencari makanan ke luar. Mereka memilih untuk makan di minimarket karena itu yang paling dekat. Tidak banyak yang terjadi ketika makan. Mereka hanya berbincang tidak jelas seperti biasanya. Setelah kenyang, mereka memutuskan untuk pulang. Terlebih karena hari semakin larut. Alvaro menjadi yang pertama pulang karena ojek online pesanannya lebih dulu tiba. Kini hanya tinggal ada Saora, dan Sakha yang baru kembali dari dalam minimarket dengan sebotol air minum.
“Mana udah ada belum gojek lo?” Tanya Sakha sambil celingak-celinguk mencari penampakan helm hijau.
“Masih otw tulisannya.” Jawab Saora yang sedang memantau ponselnya. Jawaban itu membuat Sakha mengangguk. Kemudian laki-laki itu menarik kursi di sebrang Saora dan mendudukinya. Gadis itu pun menatapnya bingung. “Kenapa masih di sini? Gue udah gede kali gak usah ditungguin.”
“Dih orang gue juga nunggu dijemput.” Jawab Sakha yang membuat Saora seketika merasa malu. Ia menyembunyikan rasa malunya itu dengan berpura-pura sibuk dengan ponsel. Namun hanya beberapa detik kemudian, laki-laki itu melanjutkan. “Ya sekalian nungguin lo sih, biar gak kena jambret lagi.”
“JANGAN DIINGETIN.” Sewot Saora yang membuat Sakha tertawa puas.
Jawaban itu memang membuat Saora kesal, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa jawaban itu juga membuat hatinya terasa sedikit hangat. Persepsinya tentang Sakha Audriatama kini semakin berubah positif. Sakha dalam pandangan Saora bukan lagi sekedar bocah berisik yang ribet. Tetapi Sakha yang rajin, pintar, pandai dalam olahraga, dan baik kepada temannya.
“Lo suka banget olahraga ya ternyata?” Mulai Saora lagi, membuka obrolan baru. “Kenapa gak join ekskul olahraga di sekolah?”
“Gue suka olahraga tapi ya gak niat serius juga.” Jawab Sakha. “Tapi kalau gue gapunya bakat lain ya bakal jadi atlet sih gue. Kalau sekarang sih gue cuma main-main aja.”
“Lo ikutan terus tanding-tanding gini?”
“Ngapa? Kagak percaya lo?” Sewot laki-laki itu, sepertinya mulai kesal karena Saora kebanyakan bertanya.
“Ya lagian lo image nya anak ambis yang kehidupannya sekolah-kumon-sekolah-kumon.” Jelas gadis itu. “Ternyata sempet main juga.”
“Life study futsal balance.” Komentar Sakha sambil kembali menaruh perhatian pada ponselnya.
“Sakha,” panggil Saora setelah beberapa saat. Laki-laki itu pun mendongak lagi.
“Apa?”
“Tupperware lo beneran gapapa?” Tanya Saora serius. Sejujurnya, hal itu masih menganggunya. “Gue gapapa kok kalau harus beli lagi.”
“Ya elah Osaaa masih aja dipikirin.” Laki-laki itu mendecak sambil meletakkan ponselnya. “Gapapa serius.”
“Yakin? ”
“Iya. Tar gue tinggal alesan ke Bunda kenapa tupperware nya bisa ilang.” Jawab Sakha dengan yakin dan percaya diri.
Sayangnya, ia tidak menyadari keberadaan seorang wanita yang berdiri hanya beberapa langkah dari mereka dengan posisi berkacak pinggang. Itu adalah Bunda nya.
“Tupperware Bunda hilang???!”
Sontak kedua muda mudi itu menoleh ke arah sumber suara. Segera pandangan mereka disambut oleh raut emosi dari Adinda, ibunda dari Sakha. Kejadian horor yang selama ini ditakutkan pun terjadi: Bunda-nya Sakha mengetahui tentang kasus Tupperware yang melegenda itu.
“Eh Bun…” Sapa Sakha kikuk. “Jadi gini…”