sakha tupperware — saora, sakha, dan confess ((terakhir))
Saora meletakkan ponselnya kembali ke atas meja setelah membahas pesan terakhir dari Sakha. Ia bisa merasakan kedua pipinya menghangat karena membayangkan skenario laki-laki itu menyatakan perasaan padanya. Disaat yang bersamaan, ia juga merasa gugup karena takut yang terjadi nanti justru tidak sesuai dengan ekspektasinya. Tetapi semua perasaan itu seolah terbang seketika saat Sakha masuk ke art room tempatnya berada.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA!”
Tawa Saora pecah begitu pintu art roomdibuka, menampakkan Sakha yang masuk menggunakan kostum balon berbentuk sapi. Meskipun dirinya sudah melihatnya tadi, kostum sapi itu masih membuatnya tertawa. Bayangan tentang Sakha yang bersusah payah bermain relay games dalam balutan kostum sapi tadi muncul lagi di kepalanya. Untuk sesaat, dirinya lupa akan rasa gugupnya saat membaca pesan dari Sakha tadi. Berbanding dengan Saora yang kegirangan, Sakha memasang raut kesal bercampur malu. Namun ia berusaha terlihat senang saat melihat Saora tertawa. Ia pun bersikap pasrah saat ditertawakan, tidak protes seperti apa yang normalnya akan ia lakukan. Laki-laki itu melangkah masuk dan menutup pintu dengan pelan.
“Ni kostum kalau belinya bukan pake uang kas kelas udah gue buang!” Omelnya sambil berjalan. “Imagecowok atletik gue ilang.”
“Lo emang gak cocok jadi cowok keren.” Gadis itu tertawa lagi.
Setelah Saora berhenti tertawa, barulah Sakha membuka mulutnya.
“Osa.” Mulainya dengan nada yang serius, membuat Saora meletakkan semua alat lukis di tangannya, dan memutar kursinya agar menghadap Sakha. “Udahan aja yuk.”
“Hah?” Kalimat itu membuat mood Saora seketika berubah drastis. Senyum usil yang sebelumnya muncul kini hilang berganti dengan tatapan bingung. Melihat ekspresinya itu, Sakha buru-buru melanjutkan.
“Udahan sesi pdkt-nya maksud gue!” Koreksi Sakha cepat. “Gue mau confess nih sekarang.”
“Oh…oke.” Ucap gadis itu canggung.
Saora duduk mematung di kursinya sementara Sakha melangkah mendekat. Laki-laki itu bersusah payah berjalan dalam balutan kostum sapi-nya. Kini ia berdiri di hadapan gadis itu. Lalu tanpa aba-aba, ia meraih satu tangan Saora dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. Hal itu membuat Saora refleks menarik tangannya karena kaget.
“M—mau ngapain?” Tanyanya sedikit gugup karena masih kaget. Sakha tidak langsung menjawabnya, melainkan bergerak untuk kembali menggenggam tangannya.
“Diem aja elah.” Ucapnya. “Gue mau ngomong serius ini.”
Kalimat itu membuat jantung Saora mulai berdebar-debar. Selama satu minggu kebelakang, jantungnya sudah dibuat jungkir balik oleh sikap dan perlakuan Sakha terhadapnya. Meskipun dimulai dengan drama penuh komedi, Sakha ternyata sangat serius tentang niatnya untuk pdkt dengan Saora. Berkali-kali gadis itu dibuat meleleh olehnya. Alvaro adalah saksinya. Meskipun begitu, bukan berarti Saora tidak merasa cemas. Sesekali gadis itu overthinking tentang hubungan keduanya, takut kalau ternyata pada akhirnya ia akan tetap menjadi korban friendzone. Namun apa yang dilakukan Sakha sekarang membuatnya merasa pikiran buruknya itu tidak akan terjadi.
“Waktu itu gue bilang gue masih bingung kan, gue suka sama lo itu sebagai apa.” Mulai Sakha sambil menatap Saora serius. Kedua tangannya masih mengenggam satu tangan milik gadis itu, sesekali mengusapnya dengan kedua ibu jarinya. “Tapi sekarang gue udah nyadar. Gue gatau kenapa bisa-bisanya selama ini gue gak peka, tapi ternyata perasaan gue ke lo dari lama juga udah kayak gini. Gue gatau juga pastinya dari kapan, pokoknya ya gue seneng dan nyaman ngabisin waktu bareng lo, gue pengen ngasih perhatian ke lo, terus gue khawatir kalau lo kenapa-kenapa.”
Laki-laki itu menyelesaikan paragrafnya dengan hembusan napas lega. Selama bicara, tidak sekalipun ia mengalihkan pandanganny dari Saora. Sekarang, jantung gadis itu bukan lagi berdebar tetapi sudah berdisko ria. Kedua pipinya mulai terasa hangat saat memikirkan kemana arah pembicaraan ini. Jangan lupa rasa gugup yang sudah menguasainya. Ia bahkan merasa lebih gugup dibanding saat ia mengungkapkan perasaannya pada laki-laki itu.
“Sekarang gue udah tau.” Ucap Sakha setelah beberapa saat. Ia berhentik sejenak dan menjatuhkan pandangannya ke bawah, pada tangan Saora yang berada dalam genggamannya. Hal itu menimbulkan rasa penasaran dan antisipasi yang tinggi dalam diri gadis itu. Sakha terlihat mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali menatap gadis itu dan melanjutkan kalimatnya. “Gue juga suka sama lo, Osa. Suka banget.”
Kalau dibandingkan dengan suara bedug masjid, suara debaran jantung Saora masih jauh lebih kencang. Meskipun bukan sesuatu yang diluar ekspektasi, kalimat Sakha masih membuatnya merasa sangat terkejut—dan tersipu. Terlebih saat laki-laki itu mengucapkannya sambil menatapnya dalam dan menggenggam tangannya.
“Hah—b-beneran?”
“Beneran lah.” Jawab laki-laki itu yakin. “Jadi—”
“Tes tes…Halo! Ada pengumuman nih. Kepada semua siswa-siswi diharapkan berkumpul di lapangan ya, karena sebentar lagi ada pengumuman pemenang perlombaan selama classmeet. Sekali lagi semua siswa-siswi harap kembali berkumpul di lapangan. Terima kasih.”
Suara yang berasal dari speaker yang berada di setiap ruangan menginterupsi kalimat Sakha. Laki-laki itu menatap sinis pada speaker yang terletak di sudut ruangan itu.
“Ah ganggu aja lo!”