sakha tupperware — saora dan seni

Semasa SMP, Saora bersekolah di sebuah sekolah swasta yang lumana bergengsi. Seperti tipikal sekolah swasta lainnya, tempat itu dipenuhi anak-anak dari keluarga berada yang sejak kecil sudah diberi tekanan untuk menjadi dokter, pengacara, atau melanjutkan bisnis keluarga. Saat melihat bagaimana teman-temannya mati-matian belajar padahal masih SMP sering membuatnya merasa bersyukur dirinya tidak diberikan tekanan serupa. Namun kadang, ia merasa kesepian. Ia tidak mengikuti club yang sama dengan kebanyakan temannya dan tidak mendatangi tempat les yang sama pula. Karena itu, tidak jarang dirinya menghabiskan waktu di art room sendirian sementara teman-temannya yang lain lebih memilih untuk mendatangi lab.

Saat memasuki SMA negeri, Saora sempat berpikir dirinya akan menemukan lebih banyak teman dengan minat yang sama. Memang, teman-temannya di sini tidak sesibuk teman-temannya semasa SMP. Tetapi tetap saja tidak banyak teman yang memiliki minat yang sama dengannya. Buktinya, sekarang Saora menghuni art room sendirian.

Sampai pintu tiba-tiba terbuka dan dua siswa laki-laki menyelonong masuk dengan heboh.

“Wah ternyata gini bentukan art room…”

“Kok berantakan? Kirain lukisannya dipajang di dinding semua terus kita bisa liat.”

“Itu museum tolol.”

Dua laki-laki itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sakha dan Alvaro, lengkap dengan kresek jajanan masing-masing. Keduanya langsung sibuk melihat-lihat isi ruangan, mengabaikan Saora yang melayangkan tatapan tajam; bingung karena mereka tiba-tiba muncul, namun juga kesal karena ketenangannya terusik.

“Ngapain kalian kesini?” Sewotnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Si Varo kepo tuh.” Tunjuk Sakha pada temannya yang sudah sibuk melihat-lihat karya lukis yang ditempel di dinding. Kemudian, Sakha mengangkat kresek hitam di tangannya. “Kita numpang makan disini ye.”

“Emangnya—”

“Jangan banyak protes lo, ikut makan aja.” Ucapan Sakha itu membuat Saora mengerutkan keningnya bingung. “Kita beliin makanan buat lo juga nih.”

Gadis itu tidak bereaksi selama beberapa detik pertama. Padahal tadi dirinya tidak benar-benar serius saat bilang ingin makanan juga, karena ia sudah berencana untuk menghabiskan jam istirahat kedua dengan melukis. Sakha pun tadi sudah jelas-jelas menolak permintaannya, jadi dirinya tidak berekspektasi. Terlebih, mereka pun sebenarnya belum sedekat itu dan belum bisa benar-benar disebut berteman. Jujur saja, dirinya merasa tersentuh karena perlakuan itu, mengingat urusan tupperware mereka belum selesai.

“Cepet lo tar gak kebagian.” Panggil Sakha saat gadis itu masih diam di tempat.

Dengan semangat, gadis itu berjalan menghampiri Sakha dan Varo yang sudah lebih dulu duduk lesehan di tengah ruangan. Saora duduk bersila di sebrang keduanya sambil menggosok-gosok kedua tangannya, siap untuk menyambut makanan.

“Lo emang suka sendirian disini?” Tanya Sakha setelah mereka semua selesai makan. Keduanya masih duduk lesehan di lantai, sementara Alvaro sedang melihat-lihat buku-buku lukisan di sudut ruangan.

“Iya. Gue doang anggota klub seni yang paling semangat di sini.” Jawab Saora sambil menyeruput thai tea yang dibelikan oleh Sakha dan Alvaro.

“Tampang lo bukan tampang seniman.” Komentar Sakha yang membuat gadis itu kembali naik pitam.

“Lo bisa gak sih ngomongnya yang bagus-bagus aja?

“Gue cuma ngomong jujur???”

“Emang tampang gue kayak anak gak punya bakat ya?” Tanya Saora beberapa saat kemudian.

“Ya enggak gitu.” Laki-laki itu menjawab dengan cepat. “Lo keliatan lempeng aja gitu, jadi gue kira gak punya minat dan bakat.”

“Awas aja lo nanti kalau gue jadi seniman terkenal jangan minta tanda tangan.” Balas Saora kesal. Ucapannya ternyata menarik perhatian Sakha.

“Lo serius mau jadi pelukis? Gue kira hobi doang.”

“Gue gak punya minat lain selain jadi seniman. Otak gue juga kayaknya gak nyampe di bidang lain.” Jawab Saori. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini nada bicaranya lebih serius. “Sekarang gue mau banyakin portofolio buat daftar kuliah. Gue mau ambil jurusan seni rupa murni. Terus sepuluh taun dari sekarang, gue punya pagelaran karya gue sendiri.”

Setelahnya tidak ada yang bicara lagi. Sepertinya keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebagai siswi SMA, Saora sebenarnya merasa terlalu cepat untuk memikirkan masa depan. Terlebih kedua orang tuanya pun tidak pernah memberikan tekanan apapun. Tapi terkadang tekanan itu datang sendiri saat ia melihat teman-temannya yang sudah mulai menaruh minat pada tes masuk perguruan tinggi, padahal mereka baru kelas sepuluh.

Bunyi bel memecah keheningan di ruangan itu. Sakha segera berdiri dan membereskan sampah bungkus makanan di lantai. Saora pun ikut berdiri untuk merapikan peralatan lukis yang sempat ia gunakan. Sakha yang penasaran pergi mengikuti gadis itu dan mengintip lukisannya.

“Wih beneran jago lo.” Komentarnya begitu lukisan milik Saora tertangkap oleh matanya. “Kalau lo beneran jadi pelukis terus bikin pameran, kasih gue tiket gratis ya. Tar gue ajak si Alvaro juga biar pameran lo gak sepi-sepi amat. Tapi kalau ngeliat lukisan lo…kayaknya ya lumayan banyak yang dateng sih.”

Kalimat yang keluar dari mulut Sakha sekali lagi berhasil membuat Saora merasa tersentuh. Awal pertemuan mereka sama sekali tidak bagus. Meskipun Saora sesekali mengeluarkan usaha untuk berdamai dan berteman, ia sama sekali tidak berekspektasi dirinya akan benar-benar rukun dengan Sakha. Pun ada kalanya ia merasa Sakha hanyalah anak menyebalkan yang perhitungan dan tidak berperasaan. Prasangka itu sepertinya perlahan mulai gugur. Melihat Sakha yang sekarang, sepertinya ucapan Alvaro kala itu memang bisa dipercaya.

Mendengar ucapan Sakha, Alvaro yang masih melihat-lihat buku lukisan itu ikut menyaut.

“Iya ajakin gue juga.” Ucapnya, membuat Saora tersenyum kecil. Namun dua detik kemudian, ia melempar pertanyaan yang membuat Sakha dan Saora menghela napas. “Btw Saora, ini kok ada lukisan orang telanjang? Emang sekolah boleh ya nyimpen konten pornografi gini?”