sakha tupperware — bye, tupperware
Begitu tiba di lokasi, Sakha langsung mengedarkan pandangannya mencari Saora. Raut cemas nampak jelas pada wajah laki-laki itu. Dilihat dari tonepada pesan yang dikirimkannya tadi, anak itu kemungkinan besar sedang menangis. Ia berjalan menelusuri jalanan kompleks yang sangat sepi itu. Kepalanya tidak berhenti menoleh kesana kemari sampai akhirnya ia menangkap sosok yang ia cari. Benar saja, Saora terlihat sedang berjongkok di depan sebuah garasi dengan pundak yang bergetar, tanda ia sedang menangis. Sakha akhirnya bisa menghembuskan napas lega melihat Saora masih dalam keadaan yang utuh. Ia pun tidak membuang waktu dan segera berjalan mendekat.
“Osa?”
Mendengar namanya dipanggil, Saora langsung mendongak, menunjukkan wajah sembab yang penuh dengan jejak air mata dan helaian rambut. Sama seperti Sakha, Saora pun merasakan kelegaan yang langsung menguasai dirinya begitu melihat sosok yang sangat familiar itu. Namun disaat yang bersamaan, ia malah semakin ingin menangis.
“S-SAKHAAAA!” Ucapnya disertai gelombang tangis yang datang kembali. Tangisan itu membuat Sakha panik dan buru-buru mendekat, berjongkok di sebelahnya. Ia segera mengecek kondisi fisik perempuan itu. Kepala, pundak, tangan, sampai kaki. Setelah memastikan tidak ada luka fisik, ia kembali bernafas lega. Dirinya kini ikut berjongkok di sebelah Saora sambil mengusap-usap punggung perempuan itu.
“Iya gue udah di sini…” Ujarnya mencoba menenangkan. “Lo gak kenapa-kenapa kok.”
“T-takuuttt…” Isak Saora.
“Iya udah gapapa.” Balas Sakha yang masih mengusap punggungnya pelan. Keduanya diam dalam posisi itu selama hampir sepuluh menit. Saora masih belum pulih dari keterkejutannya setelah menjadi korban jambret. Sakha pun tmengerti kalau gadis itu belum siap untuk bicara. Karena itu ia pun tidak banyak membuka mulutnya dan hanya fokus untuk menenangkan Saora. Sampai tiba-tiba tangisan gadis itu kembali menjadi.
“Huaaaa Sakhaaaa…”
“Lah kok lo tambah nangis?” Tanya Sakha sedikit panik bercambur khawatir. “Udah, kan gue udah dateng ini.”
“Tupperware lo diambil sama jambretnya…” Rengek perempuan itu sambil kembali menenggelamkan kepalanya pada kedua tangannya. “Gimana—kalau lo dimarahin Bunda lo gimana…”
Kepanikan dan kekhawatiran pada wajah laki-laki itu langsung terganti oleh sebuah senyum simpul. Sebuah tawa nyaris keluar dari mulutnya. Saora yang berjongkok di pinggir jalanan yang sepi sambil menangisi botol Tupperware miliknya menjadi sebuah adegan yang lucu bagi laki-laki itu. Terlebih lagi saat melihat wajah Saora yang sangat serius itu.
“Yaelah Sa bisa-bisanya lo masih mikirin Tupperware.” Decak Sakha. Hal itu membuat Saora kembali mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah yang sama seperti saat pertama kali laki-laki itu datang. Ia menatap laki-laki itu dengan raut bingung.
“Lo gak marah?” Tanyanya di sela-sela isakannya.
“Ya kagak lah.”
“Beneran?” Tanya Saora lagi.
“Beneran Osaaaa.” Jawab Sakha sambil menampilkan senyumnya. “Udah jangan dipikirin itu Tupperware. Gue bisa beli lagi nanti. Yang penting lo gak kenapa-kenapa.”
Kali ini, ia menatap Sakha serius. Karena sibuk menangisi hal malang yang menimpanya, ia tidak sempat menaruh perhatian pada Sakha. Laki-laki itu datang mengenakan pakaian santai namun rapi dengan tas selempang hitam di pundaknya, berbeda dengan setelan seragam beratribut lengkap yang biasa Saora lihat sehari-hari. Baby hairs di sekeliling wajahnya terlihat sedikit basah oleh keringat, tanda bahwa laki-laki itu berjalan cepat—bahkan berlari saat menghampirinya. Ia pun terlalu fokus menangis untuk menyadari betapa khawatirnya Sakha tadi. Baru sekarang ia menyadari semuanya.
Gadis itu kemudian berusaha mencari raut emosi atau kesal disana, namun hasilnya nihil. Yang ada hanyalah raut tenang—dan senyum yang hangat. Sebuah versi dari Sakha Audriatama yang baru pertama kali ia lihat. Bukan Sakha yang selalu memberikan tatapan sinis ataupun berbicara dengan nada sewot. Tetapi Sakha yang tersenyum sambil menatapnya ramah, tidak lupa nada bicaranya yang lembut dan tangan yang masih mengusap pundaknya pelan.
“Heh jangan bengong!” Sakha menjentikkan jarinya di depan wajah Saora. Membuat gadis itu tersadar bahwa sedari tadi ia melamun. “Mending ceritain lo kenapa bisa kena jambret?”
“Gue cuma lagi jalan biasa, terus ada dua orang naik motor, terus tote bag gue direbut…” Jelas Saora yang sudah terdengar lebih tenang.
“Barang penting lo ada yang ilang ga? Mau lapor polisi?”
“Gak usah,” Geleng Saora. “Itu totebag isinya cuma Tupperware lo sama dompet gue. Isi dompetnya juga cuma kartu pelajar sama uang dikit.”
“Hadeh syukur deh,” Ujar laki-laki itu sambil menghembuskan napas lega. “Lo bikin khawatir tau ga?”
Saora kembali menoleh dan menatap laki-laki itu. Berapa lama pun ia mencari, gurat kesal apalagi marah sama sekali tidak bisa ditemukan di sana. Padahal gadis itu sudah menyiapkan diri kalau-kalau Sakha mengamuk. Tapi laki-laki itu benar-benar menunjukkan sisi barunya. Ternyata Alvaro benar, Sakha itu orang baik.
“Udah ah,” Sakha kembali memecah keheningan sambil bangkit dari posisinya. Ia kini berdiri di samping Saora yang masih berjongkok. Kemudian, ia mengulurkan tangannya. “Ayo berdiri, lo gue anter pulang sampe depan rumah.”
Versi baru dari Sakha Audriatama itu, membuatnya merasa hangat, namun berdebar-debar di saat yang bersamaan.