sakha tupperware — sakha, saora, di rooftop sekolah


“INI SIH BUKAN ROOFTOP TAPI BANGUNAN BELUM SELESAI!” Teriak Saora kesal begitu ia tiba di rooftop yang Sakha sebutkan sebelumnya.

Rooftop itu ternyata bukan benar-benar atap gedung seperti yang gadis itu lihat di drama-drama Korea, melainkan hanyalah lantai atas dari gedung baru yang masih dalam proses pembangunan. Bukan rooftop dengan dinding yang dihiasi tulisan-tulisan aneh oleh para murid ataupun dipenuhi meja dan kursi rusak. Melainkan hanya lantai semen yang tidak rata, dinding benteng yang dibuat seadanya, dan tiang besi yang mencuat di sana-sini. Gadis itu berjalan dengan langkah malas menghampiri Sakha yang sudah duduk bersila kaki dengan dua kotak makan di depannya.

“Siapa juga yang bilang ini rooftop ala dakor?” Balas Sakha, merasa dirinya tidak bersalah. “Ekspektasi lo ketinggian, lupa ya lo sekolah kita cuma sekolah negeri biasa?”

Kalau melihat keseharian Sakha, Saora, dan Alvaro, ketiganya memang lebih cocok dengan stereotip anak swasta dibanding anak negeri. Sebenarnya, Saora memang bersekolah di sekolah swasta sedari kecil. Sayangnya, ia harus mengikuti ayahnya pindah karena pekerjaan, dan sekolahnya sekarang adalah sekolah yang paling dekat dengan rumahnya. Karena itulah Saora bisa dibilang tidak memiliki teman dekat disini, karena kebanyakan temannya berasal dari SMP dan mereka pergi ke SMA yang sama. Kedua, karena ia tidak menemukan teman yang benar-benar memiliki passion yang sama dengannya terkait dengan seni.

“Ya siapa tau kan,” Kini gadis itu ikut duduk bersila di depan Sakha.

Selama beberapa hari kebelakang, tiga sekawan itu selalu menghabiskan makan siang bersama ditemani bekal makanan yang bermacam-macam buatan bunda Sakha. Karena orang tuanya belum kembali dari Surabaya, tidak ada yang menyiapkan bekal makan siang yang layak untuk Saora. Gadis itu paling hanya membawa roti saja dan selebihnya mengandalkan makanan dari Sakha.

“Wah masakan Bunda gak pernah gagal.” Komentar gadis itu dramatis sambil menyuapkan pasta carbonara yang menjadi menu hari ini. “Ini kayak yang suka gue makan di restoran.”

“Lebay lo.” Balas Sakha yang juga sibuk makan. Tiba-tiba, laki-laki itu meletakkan garpunya dan menatap Saora bingung. “Eh tapi lo kayak orang kelaperan anjir berapa hari ini.”

“Bukan kelaperan, tapi jarang makan masakan rumah.” Koreksi gadis itu. “Ortu gue lagi gak di rumah, jadi gue makannya mie-sosis-kentang-telor, mentok-mentok pasta pake saos instant, sisanya pesen makanan.”

“Oh pantesan,” Laki-laki itu mengangguk-anggukan kepalanya khas orang yang baru mengerti sesuatu. “Lo seneng banget tiap dikasih makanan.”

Bertemu Sakha dan Alvaro seperti sebuah keberuntungan bagi Saora. Kapan lagi ia mendapat teman sebaik, seseru, dan sesantai mereka? Belum lagi ibunya Sakha yang luar biasa baik dan perhatian itu. Di masa sekarang dimana pertemanan berpusat pada sirkel, ia bertemu dengan dua manusia—yang walaupun banyak minusnya—yang tidak mempersulit hubungan pertemanan sama sekali. Walaupun mereka memiliki hubungan yang tidak baik di awal, Sakha tidak menyimpan dendam dan lama-lama semakin bersikap baik pada Saora. Alvaro pun sedari awal langsung bersikap santai dan menerima gadis itu sebagai temannya, tanpa syarat.

Keduanya selesai makan di waktu yang bersamaan. Mereka membereskan peralatan makan bersama-sama. Saat Sakha hendak mengambil kotak makan yang tadi digunakan oleh Saora, gadis itu mencegahnya.

“Eh gue aja yang cuci.” Ucapnya cepat.

“Hah?” Sakha menatapnya bingung dan aneh, karena sebelumnya gadis itu tidak pernah menawarkan hal itu.

“Bunda lo kan udah repot-repot bawain makanan buat gue jadi ya minimal gue cuci sendiri kotak makannya.” Jelas Saora.

“Idih kesambet apa lo?” Cibir Sakha, namun membiarkan gadis itu mengambil kotak makan dari tangannya. Tangan yang terulur untuk meraih kotak makan itu menarik perhatian Sakha. Pandangannya jatuh pada bagian lengan yang terluka beberapa hari lalu. Ia pun secara spontan menarik lengan gadis itu. “Eh tangan lo udah sembuh belum?”

Tindakan Sakha itu tentu saja membuat Saora kaget—cukup kaget sampai jantungnya sedikit berdebar. Laki-laki itu memperhatikan lengannya dengan seksama untuk melihat perkembangan luka bakar kecil yang ada disana. Untuk beberapa saat, gadis itu tidak bisa bereaksi apa-apa. Ia hanya diam tanpa suara dan membiarkan Sakha menginspeksi lukanya.

“Udah kering ya?” Tiba-tiba, laki-laki itu mengusap-usap luka kecil di tangannya itu. Ibu jarinya bergerak dengan lembut dan pelan di atas luka itu, seperti takut tidak sengaja menyakitinya. Hal itu membuat jantung Saora semakin berdebar dan pipinya perlahan menghangat. Sadar akan reaksi yang sedang dirasakannya, gadis itu buru-buru menarik tanganya.

“Luka segini doang berapa hari juga bakalan sembuh. Gue aja lupa punya luka ini.” Ujar Saora cepat untuk menyembunyikan rasa tersipunya. Ia memalingkan wajah karena takut rona wajahnya tertangkap mata laki-laki itu. Kini ia berpura-pura sibuk membereskan kotak makan yang sudah dibereskan sejak tadi itu.

“Yeu sok kuat lo.” Cibir Sakha. Laki-laki itu juga kini mengalihkan pandangannya dari Saora. Ia kini memilih untuk menatap langit yang sedang cerah-cerahnya itu. “Lagi bagus banget dah langitnya, harus gue foto!”

Saora memperhatikan Sakha yang sedang sibuk memotret langit dengan ponselnya itu. Belakangan ini, ia sering bertanya-tanya. Apakah kebaikan yang ia dapatkan ini, hanya diberikan kepadanya saja? Apakah Sakha bersikap demikian hanya kepadanya saja? Gadis itu tidak bisa menyangkal sedikit—sedikit sekali—harapan bahwa laki-laki itu hanya bersikap baik padanya saja. Tapi harapannya itu selalu terpatahkan setiap melihat Sakha berinteraksi dengan orang lain. Si social butterfly itu baik kepada semua orang. Terlebih lagi, Saora hanyalah satu di antara banyaknya orang di kehidupan laki-laki itu.

“Eh Sa, tar Sabtu gue mau tanding badminton, seru-seruan aja sih,” Sakha menoleh, membuat gadis itu refleks mengalihkan pandangannya agar tidak ketahuan sedang memperhatikannya. “Mau nonton gak lo? Jadi supporter gue.”