sakha tupperware — sakha dan rumahnya
“Eh ada Saora juga!”
Itu adalah kalimat yang menyambutnya begitu ia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah sederhana berwarna putih itu. Adinda yang sedang dalam perjalanan menuju dapur itu memutar arah untuk menghampiri Saora yang masih berada di ambang pintu. Gadis yang disambut hanya bisa tersenyum kikuk.
“Siang, tan—” Kalimatnya berhenti di udara saat wanita itu memberinya tatapan tidak setuju. “Bunda. Siang, Bunda.”
Menurut apa yang Saora dengar dari Alvaro, Bundanya Sakha adalah Bunda sejuta anak. Pasalnya semua teman-teman Sakha, bahkan yang tidak terlalu dekat sekalipun, diperlakukan dengan sangat baik. Kata Alvaro juga, rumah Sakha selalu menjadi kandidat pertama sebagai tempat kerja kelompok, saking nyamannya rumah itu. Rumahnya memang hanya rumah biasa. Tidak megah seperti deretan rumah di kompleks orang kaya yang harganya mencapai ratusan milyar. Rumah keluarga bertemakan putih, dengan halaman yang luas—pasti karena mereka memelihara seekor anjing.
“Ayo masuk, liat tuh si Varo udah rebahan dari tadi.” Wanita itu merangkul Saora dan membawanya ke ruang tengah, dimana Alvaro berbaring di atas karpet, ditemani seekor maltese putih mungil.
“Lucunya!” Seru Saora secara spontan. Ia segera berjongkok di depan anjing itu. Adinda meninggalkan keduanya dan kembali ke dapur.
“Lo lama banget datengnya.” Komentar Alvaro masih dalam posisi rebahan-nya. “Si Sakha diajak main kart rider kalah mulu.”
“Lo milih jalurnya yang gue gak hafal ya.” Protes Sakha yang baru kembali entah dari mana. Saora baru menyadari bahwa laki-laki itu sempat menghilang. Ia duduk di pinggir Alvaro. Begitu laki-laki itu menjatuhkan dirinya ke atas karpet, anjing kecil itu langsung menghampirinya. “Liat kan anjing gue gak suka sama lo, Sa.”
“Tadi sebelum lo dateng dia mau tuh dipegang.” Balas Saora. “Dia namanya siapa sih?”
“Yang Mulia Raja Bookkeu.” Jawab Sakha dengan nada yang dilebih-lebihkan. Tidak lama, Alvaro yang sedang bermain ponsel menimpali.
“Biar gampang panggil aja boker.” Kalimatnya itu mengundang dua reaksi; tawa kencang Saora dan raut malas Sakha. “Dia dipanggil Boker juga nengok. Liat nih..Boker!”
Di luar dugaan, anjing itu benar-benar menoleh pada Alvaro.
“HAHAHAHAHA!” Tawa Saora semakin meledak, sementara Sakha menatap anjingnya tidak percaya.
“Heh lo ngapain nengok anjir!”
Ketiganya menghabiskan waktu dengan bermain game dan mengajak main Bookkeu. Sesekali mereka mengobrol, namun seperti yang bisa diperkirakan, kebanyakan obrolan mereka berakhir dengan kadar emosi Sakha yang melonjak. Sesekali terlihat penampakkan anak laki-laki yang lebih muda dari mereka.
“Itu adik lo?” Tanya Saora penasaran.
“Iya, si Dino.” Angguk Sakha. Keduanya melihat ke arah laki-laki yang dimaksud, yang baru keluar dari dapur dengan sebuah susu kotak di tangannya.
“Hai Dino, kamu mau gabung gak?” Sapa Saora saat Dino melewati ruang tengah. Anak yang disebut namanya sempat terkejut sebentar, kemudian ia menggeleng.
“Gak mau ah, aku belum mau jadi orgil.” Jawabnya sebelum menaiki tangga dengan cepat.
“HEH MAKSUD LO APA BOCAH?!” Tanya Sakha emosi.
“Duh jangan teriak-teriak, Bang.” Disaat yang bersamaan Adinda kembali dari halaman belakang. “Bunda mau mau bikin hot pot, kalian mau?”
Setelah kenyang makan, kini waktunya mereka berundi siapa yang harus mencuci piring. Mereka memutuskan untuk memilih dua orang untuk mencuci piring, dan satu orang untuk membereskan ruang tengah. Ketiganya memutuskan dengan bermain kertas gunting batu.
“Satu…dua…” Sakha memulai aba-aba. “Tiga!”
Ada dua reaksi berbeda yang terdengar. Alvaro yang berseru yes karena menjadi pemenang yang artinya hanya perlu membereskan ruang tengah, dan Sakha dan Saora yang sama-sama berekspresi muram karena terpilih sebagai pencuci piring. Akhirnya keduanya bergerak untuk membereskan alat makan dan membawanya ke dapur.
“Bagi dua ya, gue yang nyabunin lo yang bilas.” Instruksi Saora begitu mereka tiba di dapur.
“Iya iya.” Angguk Sakha sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. “Bentar cuci piring itu enaknya pake lagu.”
“Ah tar lo malah nyanyi-nyanyi!” Protes Saora. Sayangnya gadis itu terlambat karena intro dari lagu Nobody oleh grup Korea Selatan *Wonder Girls8 sudah terdengar. “Lah suka K-pop lo?”
“Nobody nobody but you~” Dalam hitungan detik, laki-laki itu sudah melangkah ke kiri dan kanan sambil bernyanyi dan menirukan koreografi dari lagu tersebut. Pertanyaan Saora pun terabaikan. “Nobody nobody~~~” Melihat betapa up-to-date nya laki-laki itu, tidak heran kalau ia juga menjadi penggemar K-pop. Tapi Saora tidak pernah tahu sebelumnya bahwa Sakha SESUKA ITU pada K-pop.
“Piring ni cuci.” Komentarnya kesal. Sejenak, Sakha menghentikan acara fanboying-nya dan mulai membilas peralatan makan yang sudah disabuni sampai bersih. “Yang bener bilasnya.”
Sayangnya, ketenangan dan keseriusan itu tidak berlangsung lama karena Sakha kembali tenggelam dalam lagu. Kali ini lagu yang terputar di ponselnya adalah Girls milik Beyonce. Kalau seperti ini, Saora jadi ingin menarik kembali semua pujiannya tentang suara laki-laki itu. Pada akhirnya, Saora-lah yang menyelesaikan semua cucian. Sampai ia mengeringkan tangannya pun, Sakha masih sibuk bernyanyi. Hal itu membuatnya kesal dan melemparkan lap yang ia gunakan untuk mengeringkan tangan sebelumnya.
“Nyanyi terus lo!” Sewotnya. Sakha yang sempat kaget itu kini mematikan lagunya.
“Biarin lah yang punya suara kan gue.” Balasnya sambil menyerahkan kembali lap yang Saora lempar. Saat tangan gadis itu terulur untuk meraihnya, Sakha menyadari sebuah luka kecil di lengannya. Ia pun refleks meraih lengan gadis itu. “Eh ini lo kenapa?”
“Hah?” Saora yang kaget tangannya tiba-tiba ditarik hanya bisa memasang wajah bingung.
“Ini luka pas lo manggang daging ya?” Ekspresi heboh dan menyebalkan saat Sakha bernyanyi tadi kini berganti dengan raut serius. “Bentar-bentar gue ambilin obat.”
Sakha menarik lengan Saora menuju rak dimana kotak P3K berada. Kedua matanya fokus menelusur isi kotak mencari salep yang dibutuhkan—tanpa melepaskan Saora. Gadis itu pun diam saja dan tidak banyak bereaksi. Sepertinya ia masih sedikit kaget, pertama karena ia sendiri tidak menyadari ada luka di tangannya; kedua, karena perhatian yang diberikan oleh Sakha. Ia pun harus mengakui kalau jantungnya sedikit berdebar. Laki-laki itu mengoleskan obat luka bakar ke luka di tangannya dengan sangat hati-hati. Eskpresi wajahnya saat ini sangat serius dengan tatapan yang fokus pada lengan gadis itu.
“Kalau sakit bilang ya, Sa.” Ucapnya pelan. Entah perasaan Saora saja, atau nada bicara laki-laki itu jadi dua kali lipat lebih rendah saat berbicara serius.
“I—iya.” Jawabnya. Ia langsung merutuki dirinya sendiri dalam hati karena bisa-bisanya sampai menjadi gugup begitu.
“Nah udah.” Sakha meletakkan obat oles itu kembali ke dalam kotaknya. Namun ia masih belum melepaskan tangan gadis itu. Kedua matanya memperhatikan luka kecil itu dengan teliti. “Mau pake plester juga ga?” Tanyanya kemudian dengan sebelah alis yang terangkat.
“Eh—hah? Oh gak usah.” Jawab gadis itu kikuk sambil buru-buru menarik tangannya. Ia bisa merasakan kedua pipinya menghangat. Karena itu, ia buru-buru mengambil langkah untuk meninggalkan dapur. “Ayo ah, udah beres kan cuci piringnya.”
Kalian tahu perasaan saat teman laki-laki yang hanya kalian anggap ‘orang’ tiba-tiba berubah jadi laki-laki? Sepertinya itu yang sedang Saora rasakan.