semestastellar

semesta untuk dunia yang fiksi – alternative universe(s)


KAISAAAAARR!” Sapa—atau teriak seorang perempuan yang baru saja melangkah memasuki gerbang utama kampusnya. Panggilannya itu dilayangkan kepada laki-laki berambut hitam yang sedang berjalan beberapa meter di depannya. Laki-laki itu mengenakan jaket canvas hitam dengan kaos putih polos di dalamnya, kontras dengan sweater biru muda yang dikenakan oleh perempuan itu. Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk menyamai langkah laki-laki itu. Ia menepuk bahu laki-laki itu dengan senang. “Bareng dong!”

“Duh sakit, Le,” Laki-laki itu meringis sambil memegang area yang baru saja tersentuh, membuat perempuan itu mengeluarkan ekspresi panik.

“Eh kenapa???”

“Cedera waktu main basket.” Jawabnya sambil menggerak-gerakan bahu dan pundaknya.

“Aduh maaf gak tau…” Ucap perempuan itu tidak enak. “Eh tapi kok gue gak tau sih?”

“Ya karena emang gak harus tau.” Balas laki-laki itu cuek sambil mempercepat langkahnya, membuat perempuan itu kembali tertinggal.

Laki-laki itu bernama lengkap Kaisar Jisaka Haidar. Mahasiswa tahun ketiga Ilmu Hukum yang lumayan aktif di kampusnya. Karena itu mungkin cukup banyak juga mahasiswa di luar fakultasnya yang mengenalnya. Disaat yang bersamaan, hanya sedikit yang benar-benar mengenalnya karena laki-laki itu sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya. Memiliki lingkaran sosial yang luas pun tidak membuat lingkaran pertemanannya ikut menjadi luas. Beberapa orang mungkin menilainya sebagai misterius, sebagian menilainya sebagai sosok yang sulit didekati. Meskipun demikian, semua orang pasti tetap setuju bahwa Kaisar adalah sosok yang baik, ramah, dan senang membantu. Singkatnya, seroang gentleman. Hanya saja, sepertinya perempuan ber-sweater biru itu adalah pengecualian.

“Lagi bad mood ya? Pagi-pagi udah jutek.”

Namanya adalah Maure. Maure Zianne. Mahasiswa tahun pertama jurusan Ilmu Komunikasi yang memutuskan untuk menyukai Kaisar sejak hari-hari pertamanya sebagai mahasiswa baru, tepatnya di sebuah after party ala-ala selepas masa OSPEK—yang sebenarnya hanyalah panggung pentas biasa. Hari itu, Kaisar datang mengenakan jaket denim longgar dan trousers berwarna hitam. Laki-laki itu berada di stand musik bersama beberapa orang lainnya yang sepertinya temannya. Ia menjadi pengiring gitar dalam penampilan salah satu band yang tampil. Sejak hari itu tidak ada hari di mana Maure tidak mencoba untuk mendekati Kaisar. Walau seperti yang bisa dilihat, hasilnya masih belum terlihat.

Fakta bahwa Maure menyukai Kaisar sudah seperti rahasia umum. Maure sendiri tidak pernah menyembunyikan perasaannya dan cenderung bersikap terang-terangan. Tidak ada yang tahu bagaimana bisa perempuan itu bersikap santai sambil menyatakan perasaannya secara gamblang dan tanpa rasa segan sama sekali. Mungkin, itu memang sifatnya. Mungkin, itu adalah kekuatan cinta.

“IH Kaisar tunggu dong!”

Sayangnya, sudah menjadi rahasia umum juga bahwa laki-laki itu menolaknya. Selalu.


Daffa ngajak gue ke Kebun Raya Bogor. Waktu ditanya tujuannya apa, katanya biar adem aja. Oke sip. Kita ngabisin waktu buat jalan-jalan dan ngobrol-ngobrol. Enggak, kita nggak ada ribut sama sekali. Ternyata emang gue nya aja yang nethink. Selain malu, gue juga ngerasa bersalah. Gue udah bikin Daffa panik sampai ninggalin masakannya yang belum mateng itu. Gue juga takut overthinking-nya gue lama-lama bikin dia ngerasa kalau reassurance yang selama ini dia kasih ke gue itu sia-sia. Tapi Daffa selalu bisa berpikir positif dan dewasa.

“Wajar kok, Kal.” Katanya waktu gue bahas lagi kejadian tadi pagi. “Bukan lo aja, tapi kita berdua jadi lebih sensitif. Lagi sibuk-sibuknya, dapet banyak tekanan, terus gak bisa ketemu satu sama lain. Menurut gue itu bisa banget bikin kita jadi lebih sensitif. Dikit-dikit overthinking, dikit-dikit khawatir.”

“Tapi lo keliatan tenang—keliatan lebih stabil gitu.”

“Ya kalau gue ikutan uring-uringan, yang nenangin lo siapa?” Kali ini kita berhenti di pinggir danau. “Bahasa keren nya nih ya, kalau gue ikut jatoh, yang jadi sandaran lo siapa nanti? Kalau gue ikutan goyah, yang jadi tiang hubungan ini siapa nanti? Bukan bilang gue gak boleh ikutan lemah. Tapi maksudnya, kalau gue bisa jadi pihak yang kuat, ya kenapa enggak? Kan nanti bisa gantian. Gue yang overthinking lo yang nenangin.”

Gue terdiam setelah ngedenger ucapannya Daffa—yang sekarang lagi jongkok di depan danau. Gue duduk di sebelahnya, sambil masih merenungkan ucapannya dia. Gue heran, kok bisa ya gue ketemu sama Daffa? Di antara laki-laki brengsek yang jumlahnya gak sedikit, kok bisa ya gue seberuntung ini ketemunya sama Daffa?

“Oh iya, Kal,” panggilan Daffa ke gue kembali narik atensi gue. Sekarang dia udah ganti posisi jadi duduk. “Gue mau resign dari kantor yang sekarang.”

“Hah?”

“Iya, jadinya mau kerja di kantor—perusahannya Ayah gue aja.”

“Bukannya lo suka banget ya kerja di finansial? Kok resign? Terlalu banyak kah kerjaannya?”

“Hahaha, itu fakta sih, tapi bukan gara-gara itu.” Daffa yang duduk sambil meluk kedua lututnya itu menoleh ke gue. “Biar gampang management waktu nya, jadi kita bisa jalan pagi setiap hari Minggu lagi. Oh iya, kantornya juga lumayan deket sama kampus lo jadi kita bisa carpooling.”

“Tolong hargai keputusan gue buat benci sama olahraga dong.”

“Hahahaha, sehat, Kal, jalan pagi. Nggak capek juga.”

“Eh tapi serius dulu, emangnya nggak apa-apa lo gak jadi financial analyst lagi? Kalau di perusahaan Ayah lo, lo jatohnya jadi di management sama operasional nggak sih?”

“Gampang itu mah. Kalau kangen kan bisa jadi financial consultant sesekali.”

Gue dibikin gak bisa berkata-kata lagi sama Daffa. Dulu dia pernah cerita kalau dia suka banget sama bidang finansial (agak sulit dimengerti). Itu juga yang jadi alesan dia nunda-nunda perintah Ayahnya buat ikut ngemanage perusahaan beliau (yang pada dasarnya punya Daffa juga). Katanya, dia nggak begitu minat kalau soal management dan operasional. Tapi sekarang, dia ngambil keputusan itu. Alasannya? Karena kita. Buat hubungan kita.

Dan kalian mau tahu hal yang lucu? Gue juga udah resign dari monospace. Tiba-tiba? Nggak juga, karena gue udah kepikiran tentang ini dari beberapa waktu lalu. Tapi gue baru bener-bener memantapkan keputusan gue dua-tiga hari kebelakang. Waktu gue bilang “akhirnya gue libur”, sebenernya maksud gue itu libur karena udah gak kerja, bukan sekedar gak ada shift. Alasan gue? Ya sama kayak Daffa. Buat hubungan kita.

Fun fact, gue juga udah resign dari monospace.”

“Lah kok? Katanya nyaman jadi barista.”

“Ya biar kita ada waktu buat ngedate.”

Masih inget ‘kan, tentang gue sama Daffa yang punya kehidupan masing-masing? Bahwa di luar hubungan ini, kita punya kehidupan yang lebih dulu jadi prioritas kita masing-masing. Tapi sekarang, kita ada di dalam kehidupan itu. Kita udah jadi bagian dari kehidupan satu sama lain. Kita udah jadi prioritas satu sama lain.

Beberapa waktu lalu, gue masih akan beranggapan kalau keputusan kayak gini itu berlebihan. Dan emang bener, dulu kita gak punya urgensi. Tapi sebenernya, keputusan kayak gini juga sesuatu yang lambat laun bakal kita lakuin. Bukan tentang resign dari kerjaan dan nyari kerjaan lain yang lebih suitable buat hubungan kita. Bukan tentang jadi bucin dan memprioritaskan cinta. Tapi keputusan tentang menyesuaikan aktifitas masing-masing supaya bisa punya waktu buat satu sama lain. Menyediakan ruang di kehidupan masing-masing buat hubungan kita.

Dan menurut gue, ini resolusi dari cerita kita sejauh ini.


Gue masih nangis waktu Mama masuk ke kamar gue. Biasanya gue tipe yang nangis diem-diem, apalagi kalau soal cinta-cintaan gini. Tapi kali ini gue bodo amat banget mau Mama nanya-nanya, mau dibilang lebay, mau dibilang cengeng, pokoknya terserah. Gue cuma mau menangisi kisah cinta gue yang terancam.

“Lah lagi nangis? Kenapa, Sekala?” Tanya Mama sambil duduk di kasur, di sebelah gue.

Sebenernya, gue juga gak menduga kalau gue bakal sampe nangis gini padahal gue gak di apa-apain. Awalnya gue juga bingung kok gue sampe nangis? Kayak…bagian mana dari chat-nya Daffa yang nyakitin gue? Selama beberapa waktu belakangan ini kita kan emang sibuk. Telat bales chat, ngasih notice kalau lagi gak bisa diganggu, hal-hal kayak gitu bukan sekali-dua kali aja terjadi dan selama ini gue biasa aja. Tapi kali ini rasanya emosi gue membludak sampai bikin gue nangis.

Mungkin karena kali ini, notice “jangan chat gue dulu” seolah tanda renggangnya hubungan kita. Mungkin karena kali ini, situasinya beda. Situasinya—kesibukan, minim komunikasi, no quality time—bikin jadi masuk akal kalau Daffa ngerasa capek sama hubungan ini.

“Sekala, kenapa hey?” Tanya Mama lagi. Akhirnya, gue bangkit dari posisi gue dan duduk di sebelah Mama.

“Kalau aku sama Daffa udahan, Mama sedih nggak?” Tanya gue sambil sesenggukan. Ngedenger pertanyaan gue, raut muka Mama langsung berubah bingung.

“Maksudnya?”

“Aku sama Daffa kayaknya bakal udahan deh…” Lirih gue, masih sambil nangis dikit-dikit.

“Lah kamu ngomong apa? Orang Daffa ada di depan mau ngajak kamu jalan.”

“HAH?”

Kalimat Mama sukses bikin kedua mata gue membuka lebar. Mulut gue juga ikutan kebuka lebar saking kaget dan bingungnya. Gue menatap Mama dengan tatapan gak percaya sedangkan Mama balik natap gue heran.

“Mama suruh Daffa nunggu di taman belakang. Kamu siap-siap sana, jelek banget abis nangis. Mama mau pergi ke arisan ya.” Dan Mama ninggalin gue gitu aja tanpa penjelasan. Gue masih duduk planga plongo di atas kasur sampai beberapa menit kemudian. Sampai gue mulai ngerasa cemas. Kedatangan Daffa bukan buat ngajak gue jalan, tapi buat ngobrolin semuanya.


Mama gak bohong, Daffa beneran lagi berdiri di taman belakang rumah gue sambi liatin kolam ikan. Begitu gue ngebuka pintu ke taman, Daffa sontak menoleh. Gue langsung disambut sama eskpresi khawatirnya dia. Ekspresi yang bikin gue bingung. Tapi lebih bingung lagi sama kenapa dia ada di sini sekarang. Daffa langsung menghampiri gue.

“Kal kenapa telfon gue—lah kok nangis?” Tanya dia, dengan nada khawatir campur panik.

“Lo kok disini…”

“Ya mau ketemu lo lah.” jawab dia dengan nada as in a matter of fact. “Lo kenapa nangis ini? Telfon gue juga gak diangkat.”

“Itu…soalnya terakhir lo bilang jangan chat dulu…”

Daffa langsung diem begitu ngedenger jawaban gue. Sementara gue berdiri sambil mainin jari karena tahu dan gak tahu secara bersamaan tentang arah percakapan ini. Waktu ngeliat ekspresinya yang berubah datar, gue udah siap kalau misalnya dia mulai ngebahas tentang kenapa hubungan kita gak bisa dilanjutin.

“Kal…” Mulai Daffa pelan. Nada bicara itu bikin nimbulin rasa penasaran sekaligus anxiety. Takut dugaan gue bener.

“Iya…” Lirih gue.

“Itu gue bilang gitu soalnya gue lagi masak…takut masakan gue gosong kalau sambil main hp.”

Bener kata Nadin Amizah, hidup berjalan seperti bajigur.

“AH ELU!” Teriak gue spontan setelah berhasil memproses situasi. Seketika genre adegan ini berubah drastis dari angst jadi komedi. Tawa Daffa langsung pecah begitu ngedenger respon gue. Bahkan keliatannya dia bakal ikutan nangis gara-gara kebanyakan ketawa.

“Lo mikir apaan Kal?” tanya Daffa di sela-sela tawanya, sementara gue masih berdiri di depan dia dengan perasaan gak karuan karena ngerasa jadi badut—gak, gue emang badut banget. Badut manapun juga kalah sama gue.

Di sini gue nangis-nangis bombay mikirin kemungkinan hubungan gue sama Daffa yang merenggang, sedangkan anaknya lagi asik-asikan masak di dapur. Gue di sini overthinking segala macem sedangkan Daffa di tempatnya lagi oseng-oseng masakan di atas wajan. Gue nangisin orang yang pergi buat matiin kompor??? Hidup gue masih bisa lebih sitcom dari ini gak ya?

“Gue kira itu minta break…” Jawab gue yang masih sedikit sesenggukkan. Jawaban gue bikin Daffa ketawa lagi. “Diem lu jangan ketawa. Kesel.”

“Makannya baca lanjutan chat-nya, Kal.”

Daffa masih ketawa, mengabaikan muka campur aduk gue, antara sedih, kesel dan malu. Setelah puas ketawa, dia ngambil satu langkah dan naro kedua tangannya di pundak gue. Raut wajahnya langsung berubah serius. Dia ngeliat gue yang masih sedikit seseunggukan itu dengan tatapan paling teduh yang dia punya. Atau seenggaknya itu yang gue rasain, tatapannya teduh banget.

“Kal,” mulai Daffa pelan. “Kan udah dibilangin perasaan gue ke lo gak akan ilang cuma karena kita sibuk dan jarang ketemu. Gue bener-bener gak kepikiran dan gak akan pernah kepikiran buat ngelepasin lo. Mau kita LDR beda planet juga kalau sama lo mah gue mau-mau aja dan sanggup-sanggup aja. Nih barangkali lo lupa, gue ingetin lagi. Masalah kesibukan dan gak bisa ketemu beberapa minggu doang mah gak cukup buat bikin gue nyerah, Kal.”

Tangis gue yang udah hampir berhenti itu datang lagi. Kali ini bukan karena sedih soal hubungan yang bakal kandas, bukan. Tapi karena gue ngerasa terharu dan gue ngerasa…seneng. Karena Tuhan ngasih gue seseorang bernama Daffa Putra yang luar biasa green flag-nya. Daffa yang literally bakal ngasih pundaknya buat jadi sandaran gue kalau lagi capek. Daffa yang mau-mau aja nemenin gue lewat video call walaupun itu hampir tengah malem. Daffa yang ngegojek-in sarapan bikinan dia buat gue di kampus. Daffa yang lagi, lagi, dan lagi, selalu bisa ngasih gue reassurance kalau perasaan dia—juga perasaan gue—bukan sesuatu yang bisa hilang semudah itu. Bahwa hubungan kita yang isinya jokes receh campur salting gak jelas ini, bukan sesuatu yang hancur semudah itu.

Begitu ngeliat mata gue yang berkaca-kaca, Daffa langsung narik gue ke dalam pelukannya. Dia ngusap-ngusap kepala dan punggung gue pelan.

“Jangan dipikirin lagi ya, Kal.” ucap dia pelan ke telinga gue. “Tapi gak apa-apa sih mau overthinking juga, lucu menghibur.”

“Sial.”

“Dah sekarang siap-siap sana, kan mau ngedate.


bonus

Setelah perasaan gue jauh lebih tenang, gue mulai bisa mikir dengan jernih lagi. Termasuk merhatiin penampilan Daffa yang anehnya, rapih banget. Dia pake kemeja putih dan trousers warna beige. Bahkan rambutnya pun udah disisir rapi padahal sekarang masih pagi. Berbanding terbalik sama gue yang masih pake piyama dan bermuka sembab.

“Kok lo rapih banget sih?” Tanya gue akhirnya.

“Ya kan mau pacaran.” Jawab Daffa santai, yang bikin gue refleks noleh ke dia.

“Emang kita pacaran? Nembak aja gak pernah.” canda gue sambil ngebuka pintu buat masuk ke dalem rumah.

Gue ngambil langkah buat jalan duluan ke ruang tengah. Tapi gue gak ngedenger ada langkah kaki yang ngikutin gue. Karena itu, gue noleh buat ngeliat Daffa yang ternyata masih berdiri di ambang pintu. Dia ngeliat gue dengan tatapan serius.

“Ya udah, mau jadi pacar gue gak, Kal?”

Dan begitulah, kicah cinta gue gak jadi kandas dan genre cerita ini gak jadi berubah angst.


Begitu gue keluar kafe, bener aja, Daffa lagi senderan ke pintu mobilnya dengan dua tangan yang dia masukin ke saku celana. Pose itu bikin dia keliatan keren banget, apalagi ditambah setelan jasnya yang masih rapih. Gue langsung disapa sama senyumnya begitu dia ngeliat gue. Sejujurnya, masih banyak yang gue pikirin. Sampai sebelum percakapan kita sebelumnya, ada banyak hal yang menuhin kepala gue. Salah satunya—dan yang terbesar—adalah tentang hubungan gue sama Daffa.

Hubungan kita sejauh ini emang selalu mulus. Tapi hubungan yang mulus bukan berarti gak ada worries-nya. Kecemasan gue masih sama. Gue takut kesibukan kita masing-masing malah mengalihkan kita dari hubungan ini. Seperti yang pernah gue bilang juga, di luar hubungan ini, gue sama Daffa punya kehidupan. Kehidupan yang udah ada lebih dulu dibanding hubungan ini. Sebagai contoh, gue yang gak bisa gitu aja resign dari monospace walaupun itu bisa ngasih gue lebih banyak waktu yang bisa gue habisin bareng Daffa. Iya, gue punya pilihan buat resign, pilihan yang bakal membantu hubungan percintaan gue. Tapi gue gak bisa, karena kerja jadi barista juga udah jadi kehidupan gue. Itulah sumber overthinking gue.

TAPI lagi, begitu ngeliat senyumnya Daffa, kayaknya kecemasan gue langsung hilang semua. Isi kepala gue sekarang dipenuhin sama obrolan kita tadi. Tentang Daffa yang bilang lalau kita gak akan kenapa-kenapa. Lagi, Daffa ngasih gue reassurance kalau hubungan kita ini gak akan pudar gitu aja.

“Kenapa?” Tanya gue begitu gue berdiri di depan Daffa. Dia cuma senyum sambil geleng-geleng pelan.

“Gak ada, cuma pengen puk-puk kepala lo aja.”

Detik selanjutnya, gue ngerasain ada tangan yang nepuk-nepuk kepala gue pelan dan ngusap rambut gue dengan lembut. Daffa beneran nge-puk-puk kepala gue.

“Makasih ya, Kal.” Katanya sambil narik tangannya dari kepala gue. Gue mengernyit karena bingung dia bilang makasih buat apa. Daffa ngebuka mulutnya lagi buat ngelanjutin. “Makasih buat semuanya, buat nerima perasaan gue, buat ngebales perasaan gue, dan buat percaya sama gue.”

Ada perasaan—yang gue gak tahu apa namanya—yang muncul begitu Daffa bilang demikian. Perasaan yang lebih kompleks dibanding kupu-kupu yang muncul di perut gue. Perasaan yang cukup kuat buat bikin gue berani ngambil langkah maju dan melingkarkan tangan gue ke badannya Daffa. Gue gak peduli kalau-kalau nanti Sania lewat atau Kanaya liat dan gue diceng-cengin. Gue juga gak peduli sama kucing garong yang ngasih tatapan sinis ke kita. Gak butuh waktu lama buat Daffa ngebales pelukan gue. Dia melingkarkan tangannya ke bahu gue dan narik gue lebih deket.

“Percaya terus ya, Kal,” Mulai Daffa lagi sambil ngeletakin dagunya di atas kepala gue. “Perasaan gue gak akan berubah.”

“Iya.” Jawab gue pelan.

“Gak usah overthinking lagi ya?”

“Iya.”

“Kita bisa—”

Dot com.”

Kalau ngeliat kebelakang, alur hubungan kita agak unik. Mungkin buat beberapa orang kecepetan. Ya gue juga sempet mikir gitu. Mungkin karena gue terbiasa sama alur hubungan yang tipikal—kenalan, getting to know each other, kencan tak terhitung, terus pacaran—rasanya jadi agak aneh waktu gue dikasih hubungan yang baru ngobrol sebentar langsung klop. Seperti yang pernah gue bilang, I see long term relationship in him saat kita bahkan belum kenal selama itu. Mungkin ini namanya mature relationship kali ya? Kita gak buang-buang waktu cuma buat nanya hobi, makanan favorit, dan sebagainya; sebaliknya, gue sama Daffa langsung masuk ke keseharian masing-masing, naturally.

Pertemuan gue sama Daffa ngajarin gue kalau kita gak harus tahu seluk beluk seseorang dulu buat bisa jatuh cinta dan berkomitmen. Dan kita gak selalu butuh waktu yang lama buat bisa yakin sama seseorang. Buat bisa seyakin itu sampai berani bilang kalau jarak, kesibukan, dan waktu gak akan bikin perasaan itu pudar. Daffa ngajarin gue kalau kadang overthinking itu bisa diatasi oleh satu frasa sederhana.

“Hahahaha, iya, kita bisa.com.”


Gue langsung nengok ke luar jendela setelah baca bubble chat terakhir dari Daffa. Bener aja, dia lagi berdiri di samping sedan hitamnya, dan di depannya berdiri Mama gue yang baru pulang jalan pagi. Sedikit panik, gue buru-buru keluar rumah buat nyamperin keduanya. Selama ini, tiap Daffa nganterin gue pulang biasanya ortu gue belum pada pulang atau lagi pergi juga. Adik gue juga—iya, gue punya satu adik laki-laki—gak pernah ketemu Daffa karena dia ngekos. Jadi, ini bener-bener perdana Daffa ketemu anggota keluarga gue. Bukannya gue bermaksud nyembunyiin dia atau sengaja gak mau ngenalin dia, tapi gue ngerasa ya masih ada waktu aja gitu buat kenal-kenalan sama keluarga. Toh gue sama Daffa juga santai-santai aja ngejalanin hubungannya.

Waktu gue nyamperin keduanya, Mama langsung ngelirik gue dengan tatapan bertanya, sedangkan Daffa cuma senyum-senyum. Gue gak tahu mereka sempet ngobrol apa aja ataupun Mama gue sempet nanya apa aja. Apapun itu, semoga bukan sesuatu yang bakal mempermalukan gue.

“Mama katanya pulang siang???” Tanya gue langsung ke Mama dengan nada yang agak pelan. “Ini masih pagi udah pulang lagi???”

“Sengaja, biar bisa liat kamu pacaran.” Jawab Mama, dengan nada bicara yang normal; alias kedengeran sama Daffa. Anaknya senyum-senyum lagi sekarang.

“Bukan pacar.” Sergah gue cepet sebelum Mama gue ngomong yang aneh-aneh.

“Terus apa?”

“Ya gitu deh.”

“Kalau gitu kenalin dong?”

Gue ngelirik Daffa lagi buat ngeliat reaksi dia. Daffa ngasih senyum simpulnya ke gue sambil ngangguk-ngangguk, tanda kalau dia gak keberatan sama sekali. Akhirnya, gue jalan ke sebelah dia dan ngomong lagi ke Mama gue.

“Kenalin, Ma, ini Daffa. Dia…” Gue berhenti di tengah kalimat karena gue juga bingung term yang tepat buat ngenalin Daffa ke Mama gue itu apa. Kita belum pacaran. Tapi sebenernya udah kayak orang pacaran juga. Mau bilang gebetan, tapi setelah gue pikir lagi, gebetan itu kesannya uncertain gitu gak sih? Kayak masih masa seleksi. Mau bilang HTS—Mama gue mana ngerti. Apa bilang sugar daddy aja kali ya? (Ngadi-ngadi lo Kal). “Dia…pawang.”

Satu detik kemudian gue menyesali ucapan gue sendiri. Kayak…dari sekian banyak kata di dalam kamus kenapa gue nyebut pawang sih???

“Pawang???” Tanya Mama gue heran. Ya iyalah heran.

“Pawang hujan.” Bales gue lagi. (Pake lo bales lagi, Kal).

“Yang bener aja Kal…” Daffa disebelah gue refleks nengok ke arah gue dengan tatapan gak percaya.


Setelah melewati waktu brutal antara gue, Mama, dan Daffa, akhirnya sekarang kita berdua bisa nikmatin date kita dengan tenang. Sesuai rencana (tepatnya sesuai keinginan gue), kita pergi ke mini zoo gitu. Sekarang gue sama Daffa lagi liat-liat dan ngasih makan anak-anak domba yang kalau udah besar jadi domba qurban ini (bercanda domba).

“Kal,” Mulai Daffa.

“Hm?”

“Sebenernya tadi gue udah kenalan sih sama Mama lo.” Lanjut dia. “Waktu gue bilang ada nyokap lo, itu kita udah beres ngobrol.”

“KENAPA GAK BILANG ELAH?” Sewot gue. “Pantesan lo diem doang senyum-senyum bukannya bantuin ngobrol. Dibilang pawang malah diem lagi lo.”

“Hahahahahaha…” Ketawanya Daffa menuhin telinga gue. “Lucu soalnya, Kal, menghibur.”

Kita sibuk main lagi sama anak-anak domba sampai beberapa menit kemudian. Sebenernya, gue pengen nanya pendapatnya Daffa soal dia yang mendadak kenalan sama Mama gue. Ya walaupun dia keliatan gak keberatan sama sekali, gue tetep ngerasa gak enak aja. Karena itu akhirnya gue ngebuka mulut lagi.

“Daffa,”

“Ya?”

“Lo ngerasa gak nyaman gak?”

Pertanyaan gue bikin Daffa berhenti di tempatnya dan natap gue dengan alis mata yang berkerut.

“Gak nyaman kenapa?”

“Itu tadi…tiba-tiba ketemu sama Mama gue.”

“Oh…kenapa harus gak nyaman, Kal?”

“Kecepetan gak sih? Menurut lo ya ini.”

“Baru ketemu doang kok, Kal, belum disuruh ngelamar.” Canda Daffa sambil lanjut jalan ngelewatin kandang anak-anak domba ini.

“IH serius dulu…” Gue spontan mukul dia pake rumput loyo yang kita pake buat ngasih makan anak domba tadi. Kali ini Daffa muter badannya menghadap gue. Dia ngeluarin senyum simpul khas-nya sambil natap mata gue lekat-lekat.

“Enggak, Kal, gak kecepetan dan gue gak keberatan.” Jawab Daffa pake nada lembutnya. “Lagian emang bener kan, kenalan doang? Nyokap lo juga baik, welcome ke gue, dan nyokap lo juga gak ngasih tekanan apapun ke gue. Jadi gue fine fine aja, Kal.”

Gue langsung ngerasa lega ngedenger jawaban Daffa.

“Mana tau juga kan besok bisa jadi lo yang ketemu ortu gue.” Lanjut Daffa lagi sambil ngelanjutin jalannya.

“Bercanda lo,” Komentar gue yang diem-diem berdoa semoga jangan sampai kejadian kayak gitu. Soalnya ya gue bingung anjir kalau tiba-tiba ketemu keluarganya Daffa gitu??? Ketemu temen-temennya aja gue belum pernah.

Kali ini kita jalan ke area taman setelah puas liat-liat binatang. Kita jalan sebelahan sambil nyari tempat duduk. Gak lama kemudian kita nemuin meja taman yang letaknya di bawah pohon. Kita mutusin buat duduk di situ supaya gak kena sinar matahari yang terik. Disitulah Daffa ngucapin kalimat yang bikin kupu-kupu langganan gue muncul lagi di perut.

“Tapi kalau beneran ketemu mau nggak, Kal?”


Bohong kalau gue bilang gue gak kepikiran sama omongannya Diandra. Karena hubungan gue sama Daffa yang lancar lancar aja sejauh ini, gue sampe lupa kalau senin nanti gue udah masuk kuliah. (Ingetin gue buat ngisi IRS). Emang kesannya sepele banget, kuliah doang, bukan LDR beda benua. Tapi gue tetep kepikiran aja, kalau nantinya gue sama Daffa sama-sama sibuk, kita masih bisa blusukan nyari sate taichan gak ya? Kita masih bisa muter-muter taman nyari abang telur gulung gak ya?

Gue emang baru kenal kurang lebih sebulan sama Daffa. Masih ada banyak hal yang belum kita tau tentang satu sama lain. Misalnya nama ketua RT di daerah tempat tinggalnya Daffa. Oke serius lagi. Tapi, ada banyak hal juga yang udah gue tahu tentang Daffa. Misalnya tembok depan rumah dia yang dulunya warna ijo pandan, tetangganya dia yang agen Tupperware jadi nyokapnya Daffa punya koleksi Tupperware, dan love language-nya Daffa. Selain ngasih makan orang, quality time juga termasuk love language-nya dia. Dan love language gue juga. Makannya gue kepikiran omongan Diandra karena gue sendiri agak ketar-ketir takut ternyata gue jadi terlalu sibuk sampai gak bisa ngabisin waktu bareng Daffa lagi.

“Kenapa ngelamun Kal?” Dan gue juga sampe lupa kalau sekarang gue lagi sama Daffa. Seminggu ini dia rutin banget nganterin gue pulang.

“Gak kenapa kenapa.” Jawab gue sedikit bohong, karena ngerasa worries gue itu mungkin gak seberapa buat orang lain. Tapi kayaknya Daffa gak akan berhenti sebelum gue jawab yang jujur.

“Cerita aja, Kal.” Mobil berhenti di lampu merah. Daffa kini ngeliat ke arah gue dan natap gue dengan serius tapi tetep lembut. “Lagi ada pikiran apa, hm?”

Akhirnya, gue mutusin buat cerita. Karena kalau dipendem sendiri juga gak ada gunanya. Dan karena Daffa sifat bawannya lebih dewasa dari gue, gue rasa dia bakal punya solusi buat concern gue.

“Senin nanti gue udah masuk kuliah.” Mulai gue. Di detik itu juga kayaknya Daffa langsung nangkep arah pembicaraan gue. “Nanti kita masih bisa nge-date gak jelas kayak gini gak sih? Kita bakal jadi jauhan gak sih?”

Daffa baru ngebuka mulutnya disaat lampu berubah hijau. Dia pun terpaksa nutup mulutnya lagi. “Bentar ya kal, kita cari McD dulu.”

Gak lama kemudian kita udah ada di parkiran McD yang dulu juga kita datengin. Daffa mesenin gue pie sama McFlurry doang, karena kita baru aja makan ayam geprek.

“Kenapa kepikiran kayak gitu kal?” Tanya Daffa sambil ngeluarin french fries dari dalem paper bag.

“Soalnya gue pasti jadi tambah sibuk. Pagi siangnya kuliah, sorenya part time, weekendnya nugas—”

“Kal,” Potong Daffa disaat gue mulai kedengeran kayak lagi ngerap. “Lo kan cuma pergi kuliah, bukan mau pergi nyari kitab suci.”

Gue mukul pelan tangannya waktu denger bercandaan dia. Sedangkan anaknya ketawa gara-gara jokesnya sendiri.

“Iya ini serius.” Mulai Daffa lagi. “Beneran tapi, Kal, lo cuma pergi kuliah. Ya bener sih gak akan bisa sarapan bareng atau pulang bareng setiap hari. Tapi kan bukan berarti gak bisa ketemu sama sekali. Sejauh-jauhnya kampus lo, masih ada di kota yang sama. Nyamperin lo ke kampus doang mah, gampang, Kal. Gak usah nunggu weekend buat ketemu.”

Ya bener juga sih. Gue bukan pergi jauh, bukan ke luar kota apalagi luar benua. Selain itu, ngeliat gimana Daffa mau-mau aja nganterin gue pulang padahal rumah kita beda arah, dia juga pasti gak akan keberatan nyamperin gue ke kampus walaupun gue bilang gak usah. At the very least, gue masih bisa ketemu Daffa di weekend, kalau dia lagi gak ada kerjaan tambahan, dan kalau gue lagi gak ada tugas. Tapi tetep aja, gue ngerasa agak aneh. Ada perasaan aneh tentang topik ini, yang gak bisa gue jelasin.

Gue sama Daffa gak hidup di dunia ideal dengan cerita ideal dimana cowoknya CEO muda yang WFH tiap hari dan ceweknya turunan sultan yang nafas doang ngasilin uang. Daffa kerjanya bukan liburan berkedok business trip terus ngumpul-ngumpul sama sirkelnya. Gue juga kerjanya bukan nongkrong sana sini sambil pamer outfit.

Gue sama Daffa punya kehidupan. Kehidupan yang comes first before love. Gue cuma kepikiran aja kalau hubungan kita yang belum seberapa ini lambat laun kalah sama kehidupan yang kita kejar itu.

“Kal,” Daffa ngomong lagi. “Perasaan gue ke lo gak akan tiba-tiba ilang cuma karena jarang ketemu.”

Gue menyerap kalimat yang diucapin Daffa baik-baik. Ekspresi tenang Daffa disaat ngomong demikian bikin perasaan aneh tadi kayak hilang gitu aja. Setelah dipikir lagi, ya emang gue yang terlalu banyak mikir. Walaupun kecemasan gue cukup realistis. Tapi Daffa meyakinkan gue kalau kecemasan itu gak akan kejadian. Alasannya?

“Soalnya buat gue sekarang it is you or no one. Perasaan gue buat lo bukan suka-sukaan kayak cinta monyet anak sekolah, Kal.” Ucap Daffa serius sambil ngarahin mobilnya keluar dari parkiran. Dia ngeliat ke arah gue, ngasih senyum simpulnya, lalu ngelanjutin kalimatnya. “Gue gak ada pikiran ngelepasin lo sama sekali.”

Setelah gue amati lagi, kayaknya gue sama Daffa juga sama-sama suka words of affirmation.

Daffa ngasih gue reassurance kalau hubungan kita yang belum seberapa ini, yang bahkan belum ada statusnya ini, bukan sesuatu yang gampang hilang. Hubungan kita yang belum seberapa ini, bukan hal sepele yang bakalan udahan gitu aja karena masalah yang sepele juga. Gue cuma bisa ngerespon kalimatnya dengan senyum. Sekali lagi, Daffa bikin gue senyum-senyum. Bukan karena gombalan recehnya, bukan karena sikap manisnya, tapi karena kehadiran dia yang bikin gue bersyukur banget.

He is in love with me, so I am.

“Soalnya lo makhluk langka, Kal.”

“Sial.”

Dan seperti biasa, obrolan gue sama Daffa gak pernah berakhir tanpa diwarnai candaan receh satu sama lain.


“Mau makan dulu nggak, Kal?” Tanya Daffa saat kita berhenti di lampu merah.

Ini pertama kalinya dia nganterin gue pulang. Rumah gue sama rumah dia bener-bener gak searah, jadi disaat Daffa nawarin pun gue selalu bilang gak usah. Sebagai gantinya, kalau kita lagi kebetulan beres kerjanya bareng, Daffa suka nemenin gue nungguin gojek dateng. Hari ini gue gaj nolak selain karena Daffa nya yang keukeuh, juga karena gue yang pengen (hehe). Selama tujuh hari belakangan ini, interaksi kita sedikit banget. Seperti yang udah Daffa bilang sebelumnya, dia lagi banyak kerjaan. Siangnya pun dia gak sempet mampir ke kafe.

“Ada waktu emang?” Tanya gue memastikan.

“Ada lah.” Jawab Daffa tanpa mikir. “Makannya gue nawarin.”

“Ya kali aja, kan ceritanya lagi sibuk.”

Akhirnya kita memutuskan buat mampir ke drive thru Mcd terdekat. Seperti biasa, Daffa gak mau kalau gue yang bayar. Katanya, soalnya yang ngajakin makan dia, jadi dia yang bayar. Tapi demi mewujudkan hubungan yang seimbang, sebagai gantinya gue suka bayarin kopi yang dia pesen, atau ngasih ekstra roti dan pastry.

“Lo masuk kuliah lagi kapan, Kal?” Tanya Daffa sambil ngebuka bungkusan double cheeseburger nya, sementara gue ngambil chicken nuggets dari dalem paper bag.

“Dua minggu lagi. Kenapa?”

“Bakal resign dari monospace nggak?”

“Kalau resign enggak sih, paling ngambil shift sore.”

“Yah nggak ketemu.” Ucap Daffa dengan nada yang dibuat sedih.

“Lebay ah, kan ada teknologi.”

“Tapi beda, Kal.” Balas Daffa lagi. “Jadi gak ada agenda sarapan bareng sama pulang bareng.”

“Yaudah jemput gue ke kampus.”

“Ada opsi yang lebih deket nggak, Kal?”

“Ngajak ribut lo ya?”

“Hahahahaha,” Tawa Daffa puas waktu gue melayangkan tatapan kesel ke dia. Tapi beberapa saat kemudian, dia ngelanjutin dengan ucapan yang lebih serius. “Lo nya keberatan nggak kalau sesekali gue jemput ke kampus?”

“Harusnya gue gak sih yang nanya gitu? Lo keberatan gak kalau nyetir jauh jauh cuma buat jemput gue?”

“Ya enggak lah kan sambil modus ketemu.” Jawab Daffa santai. Kayaknya pdkt yang frontal gini emang stylenya dia. “Beneran gak keberatan, Kal. Itu kan bagian dari usaha. Ngapain gue suka sama lo coba kalau dikasih jarak dikit doang ngeluh.”

Kalimatnya Daffa seketika bikin hati gue kerasa hangat. Dari awal-awal kenal gue udah tau Daffa orang baik. Dia juga karyawan dan senior yang baik. Makin jauh gue kenal dia, gue jadi makin ngerti tipe baiknya dia itu kayak gimana. Baiknya Daffa itu melebihi baik dalam artian basic manner. 'Baik’ nya Daffa itu dalam artian he constantly gives to others like a habit. Entah dia memberi barang, waktu, atau perhatian.

“Lo jangan terlalu baik gitu dong gue jadi baper.”

“Lah kan emang tujuannya pdkt biar baper.” Daffa ketawa kecil sambil masang seatbelt. Kita udah selesai makan dan mau lanjutin perjalanan ke rumah gue.

Gak lama kemudian, mobil sedan hitam Daffa berdiri di depan gerbang hitam rumah gue. Kalau ngeliat dari jendela rumah yang gelap, kayaknya orang tua gue belum pada balik kerja. Ya bagus sih, soalnya gue bingung kalau nanti mereka liat dan nanya gue dianter pulang sama siapa.

“Makasih banyak ya Daf,” Ucap gue sambil ngelepas seatbelt.

“Iya—”

Tring tring

Kalimat Daffa kepotong oleh bunyi alarm yang berasal dari handphone gue. Letak handphone yang ada di atas pangkuan gue bikin layarnya keliatan jelas. Gue yang awalnya lupa kenapa nyalain alarm jam segini langsung panik waktu liat judul alarm yang terpampang di layar.

Beres 7 hari kerja, tanya Daffa

Sial. Tanpa ngeliat pun gue tahu kalau Daffa lagi senyum senyum sambil ngeliatin gue yang nyembunyiin muka merah gue.

“Cie nungguin.” Goda Daffa sambil berusaha nyari wajah gue yang ketutupan rambut.

“Enggak itu gue po barang ke temen.” Elak gue yang tentunya gak berguna orang itu jelas banget ada nama Daffa.

“Cari alesan yang bagusan dikit napa Kal,” Ejek Daffa yang bikin pipi gue kerasa makin panas. Beberapa saat kemudian, dia nanya. “Penasaran ya, Kal?”

Karena sadar percuma juga gue ngelak dan ngehindar, akhirnya gue memberanikan diri buat ngeliat ke arah Daffa lagi. Ngeliat anaknya cuma senyum-senyum bikin gue tanpa sadar nyeletuk.

“Iyalah!”

Sial lagi. Mulut gue suka gak ada filternya.

“Hahahaha kalau gitu tanya lagi coba.”

Berpikir nothing could go wrong dari percakapan ini (ya karena udah jelas sama-sama suka, tinggal perkembangan cerita aja), gue pun membuka mulut.

“Udah cinta sama gue belum?” Tanya gue sambil natap Daffa tepat di matanya.

Entah perasaan gue doang atau emang bener, tapi gue ngerasa atmosfer di antara kita jadi lebih serius.

“Mau dijawab?” Daffa nanya balik ke gue. Gue ngeliat dia dengan tatapan heran sebentar, soalnya dia malah balik nanya. Tapi tiga detik kemudian gue ngangguk. Daffa ngebuka mulutnya lagi dan natap gue dengan serius. “Udah, gue udah jatuh cinta sama lo.”

Satu kalimat itu cukup untuk bikin pipi gue yang udah merah jadi makin merah. Detak jantung yang tadinya santai pun berubah jadi chaos. Padahal kita udah tau perasaan masing-masing, bahwa kita saling suka. Tapi ternyata gue masih salting kayak anak baru puber waktu denger confession langsung dari Daffa.

Biasanya, gue butuh waktu lama buat bisa bilang cinta sama orang. Gue harus ngelewatin proses pdkt yang penuh serba serbi dulu. Tapi kalau sama Daffa, kita sekedar pergi sarapan bareng aja perut gue udah banyak kupu-kupunya. Walaupun belum yakin yakin amat kita nantinya bakal gimana, seenggaknya gue yakin kalau gue jatuh cinta sama laki-laki ini.

“Kalau gitu sama, gue juga udah.”

Hari itu, di minggu ketiga masa pdkt gue sama Daffa, perasaan kita sama-sama udah selesai diproses.


Waktu gue keluar kafe, gue langsung dihadapkan kepada pemandangan makhluk Tuhan yang indah banget. Gak bohong, Daffa yang duduk di outdoor area sambil mantengin smartphone-nya itu keliatan ganteng banget. Kali ini dia pake setelan jas rapi, beda dari hari sebelumnya dimana dia pake kemeja polosan doang. Jam tangan warna silvernya berkilauan kena sinar matahari pagi. Sinar yang sama yang jatuh ke mukanya, bikin fitur mukanya keliatan lebih tajam. Gak butuh waktu lama buat Daffa sadar akan keberadaan gue. Iya lah orang pintu kafe bunyi kalau dibuka. Dia langsung senyum dan nyapa gue.

“Gue bikin sarapan kebanyakan.” Katanya sambil ngasihin paper bag berisi kotak makan lengkap dengan makanannya.

“Bilang aja modus ngasih gue makanan.”

“Nah itu tau.”

Gue gak begitu ngerti jelasnya gimana, tapi obrolan gue sama Daffa selalu nyambung. Kalau lagi mode normal, kita berkomunikasi layaknya orang normal lagi pdkt. Kalau lagi aneh, ya kita jadi sama anehnya. Walaupun ya belum begitu banyak juga interaksi kita. Selain itu, sejauh ini cerita pdkt kita no gimik no drama. Mungkin karena udah jelas sama-sama ngerasa tertarik, sama-sama suka, jadi ya ngapain juga dibikin ribet? Walaupun gue gak ada gambaran arah hubungan ini nantinya gimana.

“Gak sekalian modus nemenin sarapan?” Tanya gue bercanda.

“Gak dulu.” Geleng Daffa. “Gue lagi mode budak korporat.”

Karena kebanyakan obrolan kita santai, gue kadang lupa kalau Daffa ini orang sibuk. Dia kerjanya jadi financial analyst penganut paham kapitalis karena katanya kita harus realistis. Tapi bercanda, dia ngasal doang ngomong kayak gitu biar ngikutin rima -is. Aslinya, dia ya karyawan swasta pada umumnya yang tiap hari ngeluh harga bensin makin mahal.

“Kalau kemarin-kemarin?” Tanya gue lagi.

“Mode ngejar gebetan.” Jawab Daffa sambil senyum usil.

“Idih idih.”

“Hahahaha senyumnya jangan ditahan kal.”

Hari ini terhitung minggu kedua di masa pdkt gue dan Daffa. Dan udah gak terhitung lagi berapa kali gue salting gara-gara manusia ini. Walaupun kadang—kadang nih ya— menyamai level keanehan gue, Daffa kalau lagi mode pdkt itu bisa bikin gila.

“Beneran deh kenapa tiba-tiba masakin gue makanan?” Tanya gue serius.

“Gue bakalan sibuk terus sampe beberapa hari kedepan, jadi gak bisa ngajak makan bareng dulu.”

Setelah ngabisin banyak waktu bareng dan ngobrol lumayan banyak juga, gue tentunya nemuin banyak banget hal baru tentang Daffa (iyalah orang itu tujuannya pdkt). Salah satunya adalah dia yang suka ngabarin gue in advance tentang kesibukan dia. Dia ngabarin gue kalau dia gak akan mampir ke kafe di jam makan siang soalnya dia ada meeting. Dia ngabarin gue kalau dia gak bisa nemenin gue nunggu gojek dateng pas mau pulang karena ada kerjaan dia yang belum beres. Dia ngabarin gue dia gak akan bales chat gue dulu karena handphone-nya lagi rame sama chat dan telepon dari orang kantor. Dia juga ngabarin gue kalau dia gak akan ngirim morning texts soalnya dia mau bangun siang. Sekarang gue dapet fakta baru bahwa Daffa suka dan jago masak.

“Dimakan ya makanannya, bikinnya pake cinta itu.” Ucap Daffa sambil nunjuk paper bag yang sekarang ada di tangan gue dengan bangga.

“Emang udah cinta sama gue?” Canda gue lagi yang sebenernya dibarengi dengan niat memancing informasi.

“Belum, kan lagi proses. Tapi kayaknya bentar lagi sih, liat aja nanti kalau udah tujuh hari kerja.” Jawab Daffa santai, beda sama gue yang langsung kaget dan deg deg an waktu denger jawaban dia.

“Lo kira pre-order tujuh hari kerja???”

“Hahahaha, gue balik ke kantor ya, dadah!” Dia pamit dan ngambil langkah buat ninggalin kafe. Gue baru aja mau balik ke dalem waktu Daffa muter badannya lagi. Gue mengerutkan kening karena bingung, ngira ada yang ketinggalan. “Beneran tapi kal, tujuh hari lagi coba tanya gue udah cinta atau belum.”


Pagi ini jadi kali pertama gue sama Daffa ketemu diluar urusan per-kopi-an. Setelah percakapan pdkt itu, besoknya kita gak ada interaksi sama sekali karena gue beneran libur. Besoknya, kantornya Daffa yang libur. Besoknya lagi, dia pesen kopi kayak biasa dan interaksi kita gak lebih dari itu. Dan ya gitu aja sampai tiga hari berlalu. Jujur, sampe sekarang, gue masih gak tau omongan—tepatnya ketikan—dia soal pdkt itu serius atau enggak. Karena menurut gue konteks yang cocok dengan situasi ini ada banyak. Daffa bisa aja cuma bercanda karena di matanya gue adalah anak kuliahan yang seumuran sama adiknya (kalau dia punya) atau anak tetangga yang suka dia usilin. Daffa bisa aja cuma bercanda buat mencairkan suasana karena kayaknya kita bakal jadi temen. Since I’ve become friends with Sania, he might wants to befriend me as well. Terakhir, Daffa bisa aja bercanda karena…ya he was just being himself, alias dia tipe yang bercandanya flirty padahal anti pacaran ATAU lebih parah lagi udah punya pacar. Tapi mukanya gak ada muka-muka tukang selingkuh apalagi buaya darat sih. TERAKHIR banget, Daffa bisa aja bercanda karena gue anaknya keliatan santai—which is kinda true—dan ya mungkin kita se-frekuensi?

Waktu gue turun dari ojek online, pas banget Daffa juga baru turun dari kantornya dan lagi siap-siap mau nyebrang. Dia langsung melambaikan tangannya waktu ngeliat gue. Kita pergi makan di kedai bubur lima langkah dari kafe (aslinya 20 langkah, gue pernah ngitung). Sepanjang jalan, kita cuma basa-basi doang. Nanya masuk jam berapa dan sebagainya. Sampai akhirnya kita duduk di hadapan mangkuk bubur kita masing-masing. Sekarang, gue dihadapkan dengan isu dan pertanyaan paling penting, jauh lebih penting dibandingkan pertanyaan soal keseriusan ketikan Daffa itu, yaitu: Daffa makan bubur diaduk atau gak diaduk?

“Gue tim gak diaduk.” Ucap Daffa sambil ngambil sendok dan garpu di tempat alat makan di sisi meja.

“Gue belum nanya.”

“Udah keliatan dari mukanya.”

“Gue tim diaduk.”

Sebenernya, gak masalah juga sih mau masuk tim manapun. Kalau dia makan bubur diaduk, ya bagus kita satu selera. Tapi kalau enggak pun, ya berarti kita jadi punya satu topik obrolan abadi. Gue penasaran karena seru aja nebak-nebak cara orang makan bubur terus dilanjut ke perdebatan yang nggak perlu.

“Lo gak kasian apa kalau topping-nya pada misah-misah gitu?” Tanya gue, memulai obrolan.

“Lebih kasian kalau mereka dipaksa bersatu, Kal.” Jawab Daffa sambil ngebuka toples kerupuk dan ngambil beberapa buat dia taro di piring kecil yang disiapin abang bubur nya. Jawaban dia membuktikan hipotesis gue tentang kita yang se-frekuensi karena humor kita nyambung. “Terus nih, abangnya naro topping dipisah-pisah biar rapih dan cantik. Bayangin perasaan abangnya waktu liat hasil karyanya diaduk-aduk brutal gitu.”

Ya argumen Daffa lumayan masuk akal—dalam skala gue. Tapi dibanding mikirin perasaan abang penjual bubur, mending gue mikirin perasaan gue sendiri.

Perasaan gue juga lo aduk-aduk. Ucap gue dalam hati sambil memutar bola mata.

Waktu gue kembali ngeliat ke arah Daffa, dia lagi ngeliatin gue sambil senyum-senyum dengan kedua tangan yang dilipat di atas meja. Di saat itu gue sadar, kalau tadi gue bukan ngomong dalam hati melainkan malah mengungkapkan isi hati gue dengan lantang.

“Oh jadi nungguin…” Goda Daffa dengan senyum yang makin lebar, dan ngeselin. Kalau gue? Ya lagi mengutuk diri sendiri. Bisa-bisanya mulut gue gak bisa bedain mana yang boleh diomongin pake suara, mana yang cukup dipendam sendirian. Ngeliat gue yang menahan malu dan mungkin muka gue hampir semerah sambel bubur, Daffa ketawa pelan. “Gue banyak kerjaan kemarin-kemarin, Kal. ‘Kan masuk akhir bulan sekarang, ada laporan bulanan yang harus dikerjain. Jadi kemarin gue ngejar laporan bulanan dulu, sekarang baru ngejar lo.”

Anehnya, begitu Daffa selesai ngomong, gue ngerasa ada sesuatu di perut gue. Iya, ada kupu-kupu berterbangan di perut gue, khas anak remaja lagi kasmaran. Gue gak tau apakah itu karena suara Daffa, yang dari sananya udah bagus, ditambah nada bicara yang lembut; sorot matanya yang teduh dan tulus; atau karena dia ngasih alesan, ngejelasin situasinya dengan jujur tentang kenapa gue kesannya kayak digantung selama beberapa hari. Atau, fakta bahwa dia langsung ngajak gue ketemu, begitu kerjaan dia udah berkurang. Ngeliat pemilihan waktu ketemu kita, yang mana pagi-pagi sebelum jam kerja—padahal kita bisa ketemu nanti siang, bikin gue ngerasa kalau ketemu sekala ada di dalam to-do list nya dia yang langsung dia lakuin begitu ada waktu. Gue ngerasa ini artinya dia mikirin gue. Not in a cheesy way, tapi dalam artian bahwa dia nggak hit and run.

Setelah beberapa saat berlalu dan gue masih diem, karena gak tau mau jawab apa, Daffa ngomong lagi.

“Jangan salting dulu, Kal, baru juga mulai.” Katanya sambil ngasih senyum manisnya ke gue sebelum dia lanjutin makan buburnya.

“Diem.”

Kupu-kupu yang ada di dalem perut gue itu rasanya hampir sama anehnya kayak bubur gak diaduk. Tapi gue suka sih. I like the weird little feelings in my stomach, and the man that was sitting in front of me.

Minggir kalian para cerita angst, one-sided-love, complicated relationship, dan sebagainya. Sekala dan cerita manisnya mau lewat 😎


Gue gak bisa berkata-kata sama kebodohan gue sendiri hari ini. Rasanya gue pengen ngumpet di kolong meja dan gak keluar-keluar sampai besok. Bayangin. BAYANGIN oke? Bayangin image lo di mata mas crush berubah drastis dari barista jadi sugar daddy hunter kan gak lucu? Bayangin image anak kuliahan rajin bekerja ini berubah jadi cewek aneh? Gue baru aja beberapa hari nge-crushin dia masa udah ancur aja image gue? Ini sih namanya gagal sebelum dimulai.

“Kenapa Kal?” Kanaya, partner gue hari itu, yang pasti ngeliat moment of mental breakdown gue, bertanya.

“Gue kayaknya gak bisa kerja di sini lagi deh.” Ucap gue lesu.

“Kenapa?!”

Ting

Belum sempet gue buka mulut, bel di pintu udah berbunyi, tanda ada pelanggan yang masuk. Gue pun segera masukin hp ke dalam apron dan siap-siap buat nyiapin pesenan kopi buat kantor seberang. Tapi Kanaya tiba-tiba nyenggol tangan gue dengan sengaja. Gue yang belum nengok ke arah pintu sama sekali itu bingung atas sikap Kananya.

“Ada apa Nay?” Tanya gue.

Bukan Kanaya, justru malah sebuah suara bariton yang ngejawab pertanyana gue, Pelanggan yang baru masuk itu ternyata udah berdiri di depan counter.

“Ada gue, Kal.”

Akhirnya gue ngerti maksud Kananya nyenggol-nyenggol gue tadi. Suara bariton itu suaranya Daffa. Iya, Daffa karyawan kantor sebrang kafe yang kata gue ganteng itu, yang wangi vanilla bercampur kayu itu, dan yang gue kira sugar daddy itu. Hari ini pun, setelan dia gak beda jauh sama hari-hari sebelumnya. Dia pake kemeja putih polos dan celana bahan warna khaki. Dia gak pake blazer, vest, ataupun dasi. Bagian lengan kemejanya digulung rapi sampai sikut dan satu kancing teratas kemejanya dibiarin terbuka. Dan dia ngasih senyum manisnya ke gue.

Ingatan tentang chat kita yang emang belum hilang dari kepala gue itu kembali terngiang-ngiang, bikin gue gak bisa bereaksi apa-apa selain tersenyum kikuk.

“Mau ambil kopi ya? Sebentar ya.”

“Gue beresin meja-meja dulu ya Kal.” Seolah semesta lagi nggak mendukung gue, Kanaya malah pergi ninggalin counter buat ngambilin gelas dan piring kotor di meja-meja. Gue gak tahu ini halusinasi gue atau bukan tapi senyumnya Daffa makin lebar waktu liat Kanaya pergi.

Sementara gue? Ya gue berusaha menghindar dari tatapan dia lah. Dari sudut pandang gue yang masih anak kuliah ini, situasi ini rasanya hampir sama kayak trope salah chat dosen. Malunya dapet, takutnya dapet. Ya nomornya Daffa juga dapet sih….Tapi apa gunanya kalau image gue udah tercoreng gini? Selagi gue masukin kopi pesenannya satu per satu ke cup holder, gue ngerasain sorot mata dia yang masih aja fokus ke gue. Plis gue udah nervous jangan bikin gue jadi geer juga.

“Kal.”

“Nah udah selesai, totalnya dua ratus tiga puluh tiga ribu rupiah.” Gue menghiraukan panggilan dia karena masih ngerasa malu dan pura-pura ngejaga profesionalisme gue sebagai barista di sini. “Bayarnya pake credit card kayak biasa kan ya?”

Untungnya, Daffa gak manggil lagi dan langsung ngasihin kartu kredit perusahaan yang juga biasa dipake sama Sania itu. Dengan jantung yang masih dag dig dug gak jelas sambil menahan malu, gue menyelesaikan pembayaran kopi pesenannya. Tapi seolah gak bisa membiarkan gue hidup tenang, Daffa malah membuka mulutnya lagi.

“Nomor gue udah disave belum Kal?” Tanya Daffa sambil senyum senyum, seolah tahu kalau gue lagi nervous dan malu banget soal kejadian sebelumnya. Tapi kayanya emang takdir gue adalah jadi orang yang malu-maluin, karena setelahnya gue malah nyeletuk.

“Kenapa? Mau pdkt beneran emangnya?” Sial. Tiga detik kemudian gue langsung sadar sama apa yang gue omongin dan bisa-bisanya gue omongin. Gue pengen banget nyentil jidat gue sendiri. Saat itu juga otak gue langsung merancang justifikasi buat dijadiin jawaban kalau Kak Miranda nanti nanya kenapa kantor seberang gak pernah order ke kafe ini lagi. Dalam artian lain, gue udah pasrah banget dan bakal terima aja kalau seandainya image gue jadi seaneh itu sampai Daffa gak mau lagi order kopi di tempat ini. Tapi ternyata—dan untungnya, Daffa cuma ketawa ringan. Kayaknya, kayaknya sih dia memaklumi keanehan gue. Karena itu, gue akhirnya membuka mulut lagi. Kali ini, buat mengucapkan sesuatu yang normal. “Sorry ya gue ceplas ceplos. Ini struknya.”

“Hahahaha gak apa-apa, Kal, menghibur.” Ucap Daffa sambil ngambil struk dan kartu kredit dari tangan gue. Gue kira dia bakal langsung pergi dan act like nothing happened, karena gue kalau jadi dia pun gak akan buang waktu buat nanggepin anak kuliahan yang stress kerja dan nugas ini. Gue kira juga setelah ini gue bakal kembali ke agenda mengagumi Daffa dalam diam kayak yang tiga hari belakangan ini gue lakuin. Tapi ternyata, ceritanya nggak selesai sampai disitu, pemirsa. Setelah Daffa masukin kartu kredit dan struk itu ke dalam dompetnya, dia bergerak buat ngambil dua kantung kresek besar berisi kopi di atas counter. Di saat itulah dia ngomong lagi. “Kalau mau pdkt beneran boleh gak, Kal?”

Kaget, bingung, dan tersipu, semua perasaan itu campur aduk gue rasain. Gue gak tau konteks pertanyaannya Daffa itu bercanda atau enggak. Gue bilang gak tau karena walaupun mulutnya ngasih senyum usil ke gue, tetep ada kilatan serius di sorot matanya. Gue juga gak yakin apakah masuk akal atau enggak kalau Daffa suka sama gue, secara dia juga kenal gue beberapa hari dan kita baru ngobrol langsung hari ini. Akhirnya, gue yang bingung itu gak mampu buat merespon apa-apa.

“Hah?”

Tapi tanpa menjawab kebingungan gue sedikit pun, Daffa malah terkekeh sambil pamit pergi. Sedangkan gue masih berdiri dengan wajah bingung.

“Hahaha, see you later, Sekala.”

Waktu gue bilang gue memutuskan buat tertarik sama Daffa, sebenernya gue gak bermaksud dalam artian yang sangat serius. Gue sadar diri aja kalau gue ini cuma anak kuliahan yang kerja part-time di kafe ini, sedangkan Daffa karyawan kantoran yang mungkin udah mapan dan seleranya juga wanita karir yang siap diajak sukses bersama. Gue niatnya cuma mau suka dan mengagumi aja. Tapi setelah ngeliat senyumnya hari ini, dan gimana senyum itu bisa memunculkan perasaan aneh di perut gue, kayaknya perasaan gue lebih serius dari yang gue kira.

Gue beneran suka sama Daffa. Ah enggak, kayaknya gue emang jatuh cinta sejak pandangan pertama.