semestastellar

semesta untuk dunia yang fiksi – alternative universe(s)


Orang-orang yang kenal Kaisar, Arumi, atau Maure pasti kenal juga sama cerita kisah cinta segitiga mereka. Yes, people assumed it was a love triangle. Kaisar dan Arumi jadi pemeran utama, sedangkan Maure jadi second lead yang takdirnya buat kalah. Waktu awal-awal Maure muncul, gue pun sempet berasumsi yang sama. Karena sepengetahuan gue, Kaisar sama Rumi has been a thing for quiet a long time. Tapi seiring gue makin sering berinteraksi sama mereka, asumsi gue pun terpatahkan.

Gue emang gak tau cerita lengkapnya gimana, fakta yang sebenarnya gimana, ataupun perasaan dari masing-masing kayak gimana. Gue cuma menyimpulkan dari apa yang gue lihat dan apa yang gue tahu. Kesimpulan gue adalah, Kaisar peduli sama keduanya, equallybut in different sense.

He cares for the both of them, equally, but with—or under—different sentiments.

Iya, gue tahu, bikin bingung ‘kan? Jujur, waktu gue discovered the fact about their relationship, yang sempet ada dipikiran gue adalah Kaisar brengsek. Apalagi coba sebutan buat laki-laki yang mainin dua perempuan sekaligus? Tapi itu cuma asumsi sesaat yang muncul secara spontan. Gue mungkin bakal terus megang asumsi itu seandainya orang yang kita omongin disini bukan Kaisar. Seandainya orang yang dibahas ini bukan Kaisar, gue akan terus ngatain dan maki-maki dia. Tapi ini Kaisar. Orang yang gue yakin too soft, too gentle, to be an asshole. Kaisar yang gue kenal gak ngelakuin hal-hal itu—playing with relationship, I mean—buat kesenangan. If this is Kaisar that we’re talking about, gue sangat yakin dia punya alasan.

Waktu orang pertama kali denger ceritanya, mungkin mereka bakal punya impression yang sama kayak gue. The story sounds wild—Kaisar yang terikat stuationship sama Arumi, terus ada Maure yang suka sama Kaisar, Kaisar gak bisa ngebales perasaan Maure, tapi dia tetep peduli dan perhatian sama Maure disaat yang bersamaan mempertahankan hubungannya sama Arumi. But trust me, cerita aslinya lebih dari sekedar permainan perasaan. Cerita aslinya gak sesederhana itu. Tapi ya sayangnya, gak ada yang tahu cerita lengkapnya gimana. Gue pun cuma bisa menyampaikan cerita dari sudut pandang gue.

Kayak yang gue bilang sebelumnya, terlepas dari apapun hubungan di antara ketiganya, Kaisar peduli sama keduanya. Mungkin, bentuk kepeduliannya dan perasaan yang melandasi kepedulian itu aja yang beda. Misalnya, Kaisar sebisa mungkin selalu nanya harinya Arumi gimana. Dia gak nanya kayak gitu ke Maure. Tapi, Kaisar bakal ngedengerin kalau Maure cerita tentang harinya. Exhibit B, Kaisar sering ngajakin Arumi makan bareng, sedangkan ajakan Maure dia tolak. Tapi dia bakal nawarin Maure buat makan bareng Heksa biar gak sendirian. Arumi mungkin lebih kenal keseharian Kaisar, lebih tau kehidupan personalnya, atau bahkan dikenalin ke keluarganya. Tapi, cuma Maure yang Kaisar kenalin ke temen-temennya dan dia biarin buat ikutan temenan sama temen-temennya—salah satunya ya gue. Kaisar juga ibarat 911 buat Arumi yang sifatnya one call away. Mau dimanapun Arumi, kalau dia butuh Kaisar atau sekedar minta jemput, Kaisar bakalan langsung nyamperin. Beda sama Maure yang tiap ngajak pulang bareng, 99% ditolak. Meskipun gitu, Kaisar selalu mastiin ada yang bisa bantu atau jagain Maure disaat dia gak bisa. Kalau Arumi sama Maure tenggelam barengan, dia emang bakal langsung milih buat nyelamatin Arumi. Tapi, dia bakalan minta tolong Heksa, gue, atau temennya yang lain buat nyelamatin Maure.

He prioritizes Arumi, but he still makes sure Maure is safe.

Dari contoh-contoh itu gue menyimpulkan kalau siapapun yang jadi prioritas, Kaisar tetep peduli sama keduanya. Rasa peduli Kaisar ke Arumi mungkin didasari rasa ketertarikan antar lawan jenis atau bisa juga attachment; seseorang yang pengen dia prioritasin. Sedangkan rasa pedulinya ke Maure lebih ke arah genuine care dan fondness; seseorang yang pengen dia jaga. Kaisar peduli sama Arumi karena adanya romantic interest; dia peduli sama Maure karena adanya protective sense. Jadi, kalau ada yang bilang Maure itu sad girl second lead, gue rasa kurang tepat. Karena faktanya, Maure punya posisi yang sama besar kayak Arumi.


kaisar, rumi


SUV putih berhenti di halaman parkir sebuah banguan dengan perpaduan cat putih dan krem. Dari dalam mobil, keluar dua orang—satu laki-laki dan satu perempuan; yang satu menenteng paper bagcokelat, yang satu memeluk sebuah bucket bunga daisy. Keduanya sama-sama menatap bangunan itu lama, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam. Kedatangan keduanya langsung disambut oleh resepsionis yang sudah sangat familiar bagi mereka.

“Hai, Kaisar, Rumi!” Sapa wanita di pertengahan 20an itu, tersenyum ramah menyambut sepasang wajah yang familiar. Pemandangan yang masih sama seperti yang dilihatnya saat pertama kali bekerja di tempat itu. Sapaan ramah itu dibalas senyum sopan keduanya.

“Bunda lagi di mana, Kak?” Tanya Kaisar.

“Bunda lagi ngerajut di taman.”

Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju taman yang dimaksud. Melewati lorong dengan berbagai foto yang terpasang di dinding. Di bagian paling atas dinding, tertulis “Perempuan Bicara”. Sebuah yayasan yang didirikan untuk membantu—dan menjadi teman—untuk perempuan-perempuan di luar sana yang menjadi korban dari kekerasan. Utamanya kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Yayasan ini memberikan bantuan yang lengkap mulai dari layanan advokasi, perlindungan hukum, fasilitas kesehatan fisik dan mental, sampai sarana pelatihan dan pemberdayaan perempuan.

“Bunda?”

Kaisar dan Rumi kini sudah tiba di taman. Keduanya langsung menghampiri wanita yang sedang duduk di salah satu gazeebo dengan gulungan benang rajut di sebelahnya. Wanita berambut hitam pendek itu adalah ibunda dari Kaisar. Wanita yang kehadirannya sangat jarang ditemukan di rumah laki-laki itu, karena ia menghabiskan hampir semua waktunya di yayasan ini. Juga wanita yang menjadi alasan dibalik “kencan” wajib Kaisar dan Rumi di hari Jum’at.

“Eh, halo anak-anak Bunda!” Senyum wanita itu langsung merekah begitu melihat sepasang manusia yang menghampirinya itu.

Banyak yang tahu kalau Hanggia, ibunya Kaisar, adalah seorang single mother yang bekerja di industri fashion. Tetapi, tidak banyak yang tahu kalau wanita itu menjadi bagian dari yayasan ini—sebagai relawan dan pasien. Dan hampir tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan wanita itu menjadi pasien di tempat ini.

“Aku mampir ke toko kue tadi.” Laki-laki itu mengeluarkan isi dari paper bag di tangannya. “Rumi juga bawa bunga buat Bunda.”

“Ini pas banget bunganya baru dateng di florist-nya.” Kali ini giliran Rumi yang meletakkan bucket bunga di tangannya ke samping Hanggia.

“Makasih ya sayang,” Wanita itu membalas pemberian tersebut dengan senyum lebar yang begitu teduh. “Bunda harus nginep dulu sampai hari Senin.”

Diluar menjenguk ibunya, berkunjung ke yayasan ini di hari Jum’at merupakan agenda wajib Kaisar dan Rumi. Keduanya cukup sering ikut menjadi relawan pada acara tertentu bersama dengan Hanggia. Meskipun begitu, kebanyakan kunjungan mereka adalah untuk mengantar, menjenguk, atau menjemput wanita itu.

Mendengar kabar yang diberikan, Kaisar menghela napasnya pelan sambil memotong carrot cake yang ia bawa.

“Makannya Bunda, kesehatan fisiknya ikut dijaga. Aku dikasih tau kalau Bunda suka lupa makan.” Ucap laki-laki itu sambil memperhatikan wajah ibunya yang terlihat lebih tirus.

Orang mungkin berpikir wajah tirus itu disebabkan oleh banyaknya pekerjaan di butik miliknya. Tapi Kaisar, juga Rumi, tahu betul bukan itu masalahnya. Hidup memang penuh perubahan. Tetapi tidak banyak juga hal-hal yang menetap dalam kondisi yang sama. Hanggia contohnya. Meskipun waktu berlalu dan hidup berlanjut, ada beberapa bagian dari wanita itu yang tetap sama. Salah satunya adalah luka yang menggerogotinya dari dalam.

“Kalau lagi ke kantor juga Bunda jarang makan siang ‘kan? Bunda makan kalau lagi di rumah bareng aku doang.”

“Iyaaaa sayang iyaaa, nanti Bunda makan yang banyak.”

Ibu dan anak itu sudah melewati fase brutal—fase terberat saat semua kekacauan terjadi. Terimakasih berkat kekuatan dan kesabaran keduanya, mereka bisa melewati hari-hari yang berat, dan bisa menikmati hari-hari yang ringan seperti sekarang—walau belum sepenuhnya bahagia. Mungkin, tidak semua anak bisa jadi seperti Kaisar. Tapi untungnya, Hanggia diberkati dengan kehadiran seorang anak seperti Kaisar.

Hp kamu bunyi terus tuh, Ji.” Rumi yang sedari tadi ikut merajut sambil mendengarkan percakapan ibu dan anak itu bersuara saat layar ponsel milik Kaisar terus menyala.

“Iya, palingan Maure.” Jawab laki-laki itu santai. Namun nama yang baru terucap itu menarik perhatian ibunya.

“Maure Ole?”

“Iya, Ole, Bun.”

“Ole masih suka kamu temenin?”

“Iya, Bun, suka aku temenin.” Angguk Kaisar yang mengundang senyum simpul dari ibunya.

“Semoga kalian temenan terus ya.” Kalimat itu lebih terdengar seperti permintaan. Wanita itu menatap lama anaknya, lalu beralih pada Rumi, sebelum kembali memberikan perhatiannya pada Kaisar. “Kamu, Heksa, Ole, semoga kalian bertiga temenan terus sampai bertahun-tahun, kayak kamu sama Rumi.”

Pemandangan Hanggia yang tersenyum teduh ditemani sepasang insan muda itu bukanlah pemandangan yang asing atau baru. Mungkin bagi orang lain, iya. Tetapi setidaknya untuk ketiganya, suasana itu adalah pemandangan yang sama seperti yang mereka lihat minggu lalu, bulan lalu, bahkan sampai beberapa tahun lalu. Rumi pun masih menjadi orang yang berkesempatan menjadi bagian dari pemandangan itu. Arumi Niana masih memiliki posisi khusus di kehidupan laki-laki itu.


“Ji?”

Suara pelan nan lembut Rumi membuat laki-laki yang sedang berdiri sendirian itu menoleh. Ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamannya itu ia masukkan kembali ke dalam saku celananya. Laki-laki itu baru saja selesai membaca puluan pesan yang Maure kirim, yang isinya adalah cerita—atau laporan—kegiatannya seharian ini. Kini perhatiannya ia alihkan pada Rumi yang berdiri di sebelahnya.

“Bunda mana?” Tanya laki-laki itu saat melihat ibunya sudah tidak ada di gazeebo.

“Lagi ke kamar mandi.” Jawab perempuan itu. Ia terlihat berpikir sejenak sebelum bersuara lagi. “Besok mau ikut aku ke shelter?” Tanyanya. Intonasinya terdengar biasa, namun ada sepercik rasa berharap disana. Rasa berharap yang kemudian dipatahkan oleh gelengan kepala Kaisar.

“Besok kayaknya aku mau ketemu Ole dulu.” Jawab Kaisar pelan.

“Oh.” Meskipun tidak bermaksud untuk terlihat buruk, Rumi tetap tidak bisa menyembunyikan sedikit kekecewaan yang muncul. Kaisar pun tidak melewatkan perubahan raut wajah dari perempuan di sebelahnya itu. Namun, tidak banyak juga yang bisa ia lakukan. Setelah beberapa menit keheningan, Rumi membuka mulutnya lagi. “Mulai suka sama Ole, ceritanya?”

“Gak juga,” Jawab Kaisar, masih dengan nada tenang dan lembutnya. Jawaban itu membuat Rumi sedikit mengeryit bingung. “Aku emang ga pernah benci sama Ole, Rum.”

Keduanya diselimuti keheningan selama beberapa saat. Kaisar sudah mengalihkan pandangannya dari Rumi dan kini menatap ke arah taman. Melihat orang-orang yang terbagi menjadi dua kategori: mereka yang sedang berjuang melawan luka, dan mereka yang membantu para pejuang itu untuk sembuh dari luka. Ia menyadari gelagat Rumi yang makin terlihat. Perempuan itu tidak terlalu puas dengan jawabannya. Tidak lama, Rumi membuka mulutnya lagi.

“Ole gimana kabarnya? Aku udah lama nggak liat.” Rumi kembali membuka topik. Kaisar refleks menoleh padanya, tidak menduga pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulut Rumi. Meskipun begitu, ia tetap menjawab.

“Ole masih gitu-gitu aja. Kuliah pulang kuliah pulang, kalau lagi gabut dia pergi main atau ganggu aku.” Tanpa disadari, seulas senyum terukir di wajahnya selagi ia bercerita tentang Maure. Senyuman khas seorang Kaisar yang biasanya muncul saat ia sedang bersama orang-orang yang berarti baginya. Rumi yang melihatnya pun tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

“Kadang aku juga penasaran, kenapa kamu baik dan peduli sama Ole.” Mulainya. Ia memasang senyum simpul sebelum melnajutkan. “You’ve grown fond of her, ya Ji?”

Fondness. Apakah itu kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan Kaisar dan Maure? Mungkin, iya. Mungkin itu alasan dari sikapnya yang tidak pernah sepenuhnya menolak Maure. Kata itu menjelaskan kepeduliannya terhadap Maure selama ini. Terlepas dari apapun jenis perasaan yang ia miliki terhadap Maure saat ini, perempuan itu tetaplah Maure yang sama yang ia kenal. Maure, yang bagaimanapun, memiliki posisi di hidupnya meski tidak sampai menempati posisi yang sama dengan Rumi. Mungkin juga, fondness itu hanya satu dari banyaknya kata yang bisa digunakan.

I think I have always been fond of her.


“Arumi Niana?”

“Hadir.”

Salah satu hal yang Arumi sukai tentang budaya di Indonesia adalah tidak krusialnnya keberadaan nama belakang. Orang-orang ternama, dari keluarga besar yang memiliki sejarah, memang sering dinilai atau dikenali lewat nama belakangnya. Tetapi orang biasa—khususnya mahasiswa biasa? Tidak. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Arumi Niana dan itu sudah cukup. Apakah ini sebuah cerita klise dimana Arumi adalah keturunan tersembunyi dari keluarga konglomerat? Bukan.

Meskipun terkadang, ia berharap kasusnya demikian.

Kadang Arumi berharap, alasannya jarang menggunakan nama belakangnya—alasannya menyembunyikan nama belakangnya—adalah untuk alasan privasi keluarga. Karena keluarganya sehebat itu sampai tidak bisa sembarangan muncul ditengah masyarakat. Bukan alasan menyedihkan seperti…karena ia tidak tahu nama belakang apa yang boleh ia gunakan. Atau karena ia tidak tahu nama belakang yang mana yang harus ia gunakan. Lebih buruk lagi, bahkan diantara sekian nama belakang yang dimilikinya, tidak ada satupun yang berhak ia miliki.

“Rumi,” Panggil teman di sebelahnya setelah absen berakhir.

“Iya, kenapa?”

“Tadi sebelum kesini, gue liat Kaisar sama Maure di taman yang deket University Center itu. Lo emang ngebiarin mereka deket-deket?”

Selain tentang nama, mungkin topik itu juga menjadi salah satu topik yang sering ingin ia hindari. Pertanyaan tentang hubungannya dengan Kaisar, hubungan Kaisar dengan Maure, memang sering berdatangan. Terlebih saat Maure mengejar Kaisar secara terang-terangan begitu. Ia sudah tidak kaget lagi dengan pertanyaan itu. Maka, Rumi pun hanya akan tersenyum simpul dan mejawab dengan jawaban yang sama.

“Mereka ‘kan nggak ada hubungan apa-apa.”

Orang-orang yang mengenal ketiganya sepertinya cukup peduli untuk bertanya, daripada berasumsi yang tidak-tidak. Rumi kadang menghargai hal itu. Meskipun ada satu pertanyaan yang selalu terlewatkan oleh orang-orang itu. Yaitu perihal hubungan dirinya dengan Maure.

Mungkin, orang-orang akan mulai bertanya setelah melihat Rumi dan Maure yang berinteraksi secara langsung.

“Apa kabar, Ole?” Sapa Rumi normal. Rumi bukan karakter novel ceria yang membawa pelangi ke dalam kehidupan semua orang. She’s not the bubbly noisy girl that everyone loves. Tapi dirinya memang sering kali menunjukkan keramahan—atau setikanya berusaha bersikap ramah pada semua orang. Bukan karena pencitraan, tetapi sesederhana agar tidak menimbulkan musuh yang tidak perlu. Berbanding terbalik dengan Maure yang lebih frontal dan jarang menyembunyikan ekspresinya. Terlihat dari bagaimana perempuan itu menatapnya sinis.

“Menurut lo?”

“Kita bisa ngobrol baik-baik ngga sih, Ole?”

“Gue gak punya alesan buat ngobrol baik-baik sama lo.” Balas Maure sambil membalikkan badan, hendak pergi. Namun ia terlihat mengurungkan niatnya. Sebaliknya, ia kembali menoleh dan membuka mulutnya lagi. “Kecuali lo sadar sama kesalahan lo selama ini.”


Maure, Heksa


Dua insan muda itu kini sudah berada di dalam sedan hitam yang dikemudikan oleh Heksa. Di kursi penumpang, ada Maure dengan sikut dan lutut yang di perban berkat kecelakaan kecil tadi. Tidak peduli berapa kali Heksa mengajaknya, ia tetap menolak untuk dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih jauh. Akhirnya laki-laki itu pasrah dan langsung membawanya pulang setelah mendapat pertolongan pertama di klinik terdekat.

Sudah sepuluh menit mereka menempuh perjalanan, namun masih belum ada yang membuka mulut. Pun atmosfer di antara keduanya terasa berat dan canggung. Heksa sibuk memberikan perhatiannya pada jalanan kota, sedangkan Maure di sebelahnya memandang keluar jendela untuk menghindari percakapan. Dan mungkin juga, karena rasa bersalah mengingat percakapan mereka hari itu.

Keheningan itu masih bertahan sampai lima menit selanjutnya. Sampai tiba-tiba terdengar suara perut yang kelaparan. Suara itu berasal dari Maure, yang kini refleks memegang perutnya. Berkat hal itu, akhirnya Heksa pun bersuara.

“Laper ya?” Kekehnya pelan sambil melihat sekilas ke arah Maure yang kini semakin memalingkan wajahnya. “Mau makan dulu nggak?”

“Gak laper, cuma bunyi.” Elak perempuan itu. Tentu saja, jawabannya diabaikan oleh Heksa yang kini mengemudikan mobilnya menuju restoran cepat saji yang hanya berjarak beberapa gedung dari mereka.

Drive thru dulu ya.” Ucapnya tanpa meminta persetujuan Maure. Tidak memerlukan waktu lama untuk sedan hitam itu tiba di loket pemesanan. “Kamu mau pesen apa?”

“Apa aja.” Jawab Maure yang masih merasa malu. Ia pun masih menghindari tatapan laki-laki itu. Bukannya kesal, Heksa justru terkekeh pelan.

“Kayak biasa ya?” Ucapnya sebelum beralih untuk memesan. “Double cheese burger dua, chicken nugget yang six pieces, regular french fries, minumnya…cola dua.”

Kini Heksa dan Maure duduk di dalam mobil yang sudah terparkir, lengkap dengan paper bag berisi pesanan mereka. Heksa tidak membuang waktu dan segera mengeluarkan makanannya. Berbanding terbalik dengan Maure yang masih terdiam sambil memainkan jemarinya di atas pangkuan. Menyadari hal itu, Heksa menghela napasnya. Tangannya kemudian bergerak untuk mengambil cheese burger pesanan tadi. Ia membuka bungkusnya untuk kemudian ia sodorkan pada perempuan itu.

“Nanti cacing di perut kamu tambah berisik.” Ejeknya. Akhirnya mau tak mau, Maure pun meraih burger tersebut dan mulai memakannya pelan-pelan.

Sorot mata Maure melebar begitu ia mengambil gigitan pertama. Katanya, makanan memang jadi jauh lebih enak saat kita lapar. Tetapi bukan itu saja. Bagi Maure, sederetan menu cepat saji yang ada di tengah mereka sekarang membawa memori-memori lama. Duduk di atas karpet krem lembut di ruang tengah, kentang goreng di atas meja, dan televisi yang menayangkan berbagai film kartun akhir pekan. Atau berjalan kaki dalam balutan seragam sekolah dengan cone es krim di tangan yang dibeli dengan uang jajan yang ditabung. Pikiran itu sempat membuat Maure menyunggingkan senyum. Sayangnya, senyuman itu menghilang secepat kilat; karena ia juga jadi teringat pada memori yang kurang menyenangkan. Duduk sendirian di meja paling pojok dengan satu cup oreo mcflurry di tangan. Memperhatikan orang yang berlalu lalang, namun mengabaikan ponsel yang berdering.

“Kamu gak pernah mau aku ajakin ke McD lagi.” Mulai Heksa di sela-sela makannya. “Bukan ke McD aja sih, kayaknya diajak kemana-mana juga nggak mau ya?”

“Maaf.” Ujar Maure pelan. Ia terlihat pasrah dan tidak menunjukkan keinginan untuk menyanggah. Pada titik ini, menyanggah pun tidak ada gunanya. Heksa tahu semuanya.

“Kamu tuh kurang pinter akting, Ole.” Lanjut Heksa lagi. “Kamu bisa bilangnya sibuk, nggak baca chat dari aku, atau apa. Tapi aku bisa bedain mana yang beneran sibuk sama mana yang disibuk-sibuk-in.”

“Iya.” Lirih Maure. Perempuan itu menundukkan kepalanya, memandangi cheese burger yang tinggal setengahnya itu.

Suasana kembali hening. Keduanya kembali sibuk pada makanan masing-masing. Atmosfer di antara keduanya sudah tidak setegang sebelumnya, saat perjalanan dimulai. Namun tetap masih ada sedikit ketegangan di sana.

Setelah sama-sama menghabiskan chesee burger-nya, Heksa kembali membuka mulutnya.

“Bukannya lebih gampang kalau bilang aja ya?” Heksa berhenti sejenak untuk meneguk minumannya. “Bilang aja nggak mau ketemu aku, gitu.”

I didn’t want to hurt your feeling.” Jawab Maure, masih menundukkan kepalanya.

“Tapi ujungnya you did anyway.” Balas Heksa. Meskipun nada bicaranya tenang, Maure bisa merasakan dengan jelas kekesalan dan kekecewaan di sana. “Kamu nggak pernah minta aku anter-jemput lagi, kamu nggak pernah makan siang bareng aku lagi, kamu nggak pernah minta aku temenin lagi, kamu nggak pernah cerita apa-apa lagi, Ole. Kamu kecelakaan aja aku harus tahu kabarnya lewat Kaisar, bukan dari kamu sendiri.”

“Iya, aku tau.” Hanya itu respon yang bisa diberikan oleh Maure, sebagai tanda ia mengakui penuh sikapnya. Perempuan itu masih menundukkan kepalanya. Jemarinya sibuk memainkan kertas pembukus makanan di tangannya. Memperhatikan kertas yang tidak bisa kembali rapi, kembali mulus, setelah dilipat dan diremas. Seperti sebuah hubungan.

“Ole,” Mulainya, menarik perhatian si pemilik nama. “Kita bikin deal yuk?”

Maure yang kebingungan dengan maksud ucapan Heksa hanya bisa menatapnya menunggu penjelasan.

“Aku nggak akan maksa kamu buat cerita, aku juga nggak akan minta kamu buat pulang ke rumah ataupun ketemu Ami,” Jelas Heksa yang membuat Maure semakin bingung. “Tapi…”

“Tapi apa?” Tanya Maure yang tidak bisa menahan rasa penasarannya.

“Tapi kamu jangan ngehindarin aku lagi.”

Kalimat itu terasa seperti sebuah batu yang menghantamnya. Bukan karena Maure merasa sedang dihakimi atau apa. Tetapi karena Heksa melemparkan kenyataan yang berusaha Maure sanggah. Bahwa benar, ia menghindari laki-laki itu. Rasa bersalah pun kembali menyerbunya. Faktanya, Maure memang sepenuhnya salah dalam kasus ini. Mungkin karena itu, ia pun tidak bisa menolak.

“Iya.”

“Kita baikan kayak dulu ya?”

“Iya.”

“Kita ngobrol lagi ya?”

“Iya.”

“Bener ya?” Tanya Heksa lagi dengan nada yang lebih menuntut.

“Iya beneran.”

Heksa akhirnya tersenyum mendengar jawaban itu. Dipandangnya Maure yang masih belum mau mengangkat kepalanya itu. Berbagai pikiran berenang di dalam kepalanya. Namun saat ini yang paling menonjol adalah tentang betapa leganya dirinya karena dinding es di antara dirinya dan Maure mulai mencair. Saat Heksa mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Maure, barulah perempuan itu mengangkat pandangan dan menatapnya.

“Maaf, Abang.” Ucapnya, masih dengan raut wajah yang menampakkan rasa bersalah. Heksa hanya menganggukan kepalanya dan tersenyum simpul. Namun, senyuman itu tidak terlihat seperti senyuman terukir karena rasa senang ataupun lega. Senyum itu, untuk suatu alasan, terlihat sedih. Beberapa saat kemudian, ia kembali mengarahkan pandangannya ke depan, siap untuk menyalakan mobil dan melanjutkan perjalanan.

“Kita lanjut lagi ya.” Beriringan dengan kalimat itu, mesin mobil kembali menyala. Maure pun mengangguk dan kembali memasang sabuk pengamannya. Atmosfer yang berat dan menegangkan itu kini sudah berangsur hilang. Memang belum hilang sepenuhnya dan mungkin masih perlu waktu agar bisa benar-benar hilang. Namun setidaknya, ketenangan mulai muncul di antara keduanya.

Setidaknya sampai pandangan Maure jatuh pada sesuatu.

“IH ABANG kenapa aku gak disisain nugget-nya?!” Seru Maure sambil mengangkat kotak kosong yang mulanya berisi chicken nugget itu. Teriakannya itu membuat Heksa sedikit terkejut. Ia menatap Maure dengan tatapan bingung.

“Lah, kirain kamu nggak mau? Dari tadi diem aja…”

Mungkin, hubungan yang retak itu mulai memperbaiki dirinya sendiri; meskipun hasilnya belum tentu sama seperti kali pertama.


Maure, Heksa


“Kaisar kok lama banget—” Kalimat itu terhenti di udara saat ia menoleh dan mendapati bukan sosok Kaisar yang berdiri disana, melainkan orang lain. Bukan seseorang yang Maure harapkan, tentunya. Tubuhnya mematung sejenak, lidahnya kehilangan kemampuan untuk mengucap kata. Ia perlu beberapa detik untuk menyiapkan dirinya sebelum bicara. “Heksa.”

“Kaisar udah pulang sama Rumi.” Ujar laki-laki itu, menjawab pertanyaan yang belum sempat Maure lontarkan. Jawaban itu memunculkan senyum kecut di wajahnya.

Walaupun ia sendiri sudah bisa menebak hal itu, Maure selalu berharap bahwa alasan dari setiap Kaisar-pergi-duluan atau Kaisar-gak-bisa adalah hal lain. Kendaraan mogok di jalan, kelas yang harus diikuti, rapat himpunan, ponsel yang mati, atau apapun itu. Apapun asalkan bukan Rumi. Atau mungkin laki-laki itu bisa langsung berkata dirinya tidak ingin menemui Maure. Setidaknya jawaban seperti itu akan terasa lebih baik dibanding terus menerus mendengar nama Rumi. Terlebih lagi mendengar bahwa nama yang tidak ia sukai itu, memiliki apa yang ia sukai.

“Hm.” Decih perempuan itu pada dirinya sendiri. “Aku ngarep apa sih.” Sebuah tawa yang pahit keluar dari mulutnya—Maure mentertawakan dirinya sendiri.

Sementara itu, Heksa kini berdiri di sebelahnya, ikut bersandar pada pagar. Ada keheningan di antara keduanya. Namun bukan suasana yang muncul karena rasa canggung pada satu sama lain. Keduanya hanya terlihat sedang tenggelam dalam kontemplasi masing-masing, atau hubungan keduanya mungkin memang selalu seperti itu. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir memang seperti itu. Setelah beberapa menit kontemplasi, laki-laki itu bersuara.

“Ole,” mulainya tenang. Jeda yang diambilnya menimbulkan rasa antisipasi akan apa yang akan terucap selanjutnya. “Aku kangen.”

Kalimat super pendek itu cukup untuk menarik perhatian Maure secara penuh. Pikirannya teralih sepenuhnya dari Kaisar, kini berganti pada laki-laki berambut pirang di sebelahnya. Heksa berdiri menatap tanah, kedua tangannya berada di saku jaket jeans biru-keabuan yang dikenakannya. Perawakannya cukup berbeda dari Kaisar. Tingginya mungkin mirip namun Heksa terlihat lebih kurus dibanding Kaisar. Namun hal itu tidak cukup untuk menghentikan opini bahwa Heksa dan Kaisar nyaris terlihat seperti kakak beradik. Meskipun begitu, orang-orang tetap setuju bahwa Heksa memiliki aura yang jauh berbeda dari Kaisar. Cara bicaranya jauh lebih tenang dan lembut, namun ada keseriusan yang pasti di sana. Sesuatu yang tidak bisa dilawan oleh Maure.

Karena itu sekuat apapun keinginannya untuk pergi dari tempat ini sekarang, Maure tidak melakukannya. Ia tetap diam dan merespon.

“Aku gak kemana-mana.” Balasnya pelan. “Kita satu kampus, kalau kamu lupa.”

“Iya ya?” Kali ini, laki-laki itu perlahan menoleh, dan menatap Maure tepat di matanya. Kemudian, ia tersenyum simpul. “Tapi kenapa sekarang susah banget buat ketemu ya?”

Kalimat serangan pertama itu meluncur dengan sukses dan tepat mengenai nurani perempuan itu. Ia pun mengalihkan pandangannya. Heksa baru saja menyenggol fakta yang berusaha Maure sembunyikan. Tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara, laki-laki itu bersuara lagi.

“Aku harus bawa Kaisar dulu biar kamu nggak kabur.” Ada kepahitan yang terpancar dari nada bicara yang tenang itu. The thing about calm person is, they’re still calm when they’re mad, and that’s even more scary. “Kamu segitu pengen ngehindar ya sampai harus pura-pura nggak kenal juga?”

Untuk sesaat, Maure kehilangan kemampuannya untuk bicara. Mulutnya terbuka, namun tidak ada satupun kata yang bisa keluar. Otaknya tidak bisa memikirkan kalimat apapun. Sorot matanya memandang kesana kemari, berusaha mencari pembelaan yang tidak ia miliki. Karena Heksa memang benar. Maure memang mengabaikan fakta bahwa Heksa ada di dunia ini—di sekitarnya. Benar juga bahwa selain sesuatu yang berkaitan dengan Kaisar atau situasi yang Kaisar ciptakan, mereka tidak pernah benar-benar berinteraksi—tidak lagi.

Langit semakin sore dan angin berhembus semakin kencang, namun atmosfer diantara keduanya malah semakin panas.

“Gak gitu—” Mulai Maure terbata. “It’s not like that.”

Heksa menaikkan sebelah alisnya, menanti penjelasan. Keduanya kini terlihat seperti adik tingkat yang sedang diospek oleh seniornya. Secara teknis, memang hampir benar. Heksa berada di angkatan yang sama dengan Kaisar, maka artinya mereka adalah adik tingkat dan kakak tingkat. Namun bukan itu yang membuat Maure merasa gugup sekarang.

“Aku cuma mikir mungkin emang paling baik kayak gini.” Ia berhenti sejenak untuk memeriksa reaksi laki-laki di depannya. Saat ia tidak merasakan penolakkan, ia melanjutkan. “Aku gak tahu mau ngomong apa kalau ketemu dan gak tahu kita harus ngapain juga—”

“Kamu bukan nggak tahu mau ngomong apa.” Potong Heksa. “Kamu cuma sengaja bikin diri kamu sendiri jadi nggak tahu mau ngomong apa. Kamu sengaja bikin diri kamu sendiri ngerasa canggung sama aku.”

“Aku bukan ngehindar karena pengen jauh dari kamu—”

“Ami minta kamu ke rumah.” Potong laki-laki itu seolah sudah tahu kelanjutan kalimat Maure dan tidak tertarik lagi pada apapun yang akan keluar selanjutnya. Sorot matanya begitu serius. Kedua tangannya kini tersilang di depan dada, membuatnya menjadi pihak yang memiliki kuasa dalam pembicaraan ini. Jika melihat Maure yang terus berusaha menghindari pandangan sambil memainkan jarinya, sepertinya perempuan itu memang pihak yang terpojokkan. “Pulang ke rumah, Ole.”

Hatinya terguncang saat mendengar kata Ami. Kilasan seorang wanita berparas cantik dengan pembawaan yang anggun segera memenuhi kepalanya. Bagaimana wanita itu selalu menyambutnya kapanpun ia datang ke rumahnya, masakan rumah yang disiapkannya dengan penuh cinta, dan suara lembut setiap wanita itu memanggil namanya. Rasa bersalah kini memenuhi hatinya.

“Bilang ke Ami Kiana maaf, belum bisa.” Ucap perempuan itu setelah beberapa saat.

“Kenapa?” Pertanyaan itu terdengar menuntut, memaksa jawaban. Begitu pula tatapan yang begitu dalam itu—yang sepertinya bisa menembus kepala Maure. Seolah pertanyaannya barusan bukanlah untuk pernyataan Maure sebelumnya. Namun untuk hal lain, yang jauh lebih besar. Perempuan itu menghela napasnya; setengah lelah, setengah untuk menenangkan dan meyakinkan dirinya sendiri.

You know how it is between us.” Jawab perempuan itu pelan. “All of us.

Hal itu membuat Heksa sedikit mengacak rambutnya frustasi. Namun sekesal apapun—semarah apapun dirinya, ia tidak bisa mengeluarkan amarah itu. Ia menghela napas berat sebelum bicara lagi—kali ini terdengar seperti memohon.

“Sekali aja, Ole.” Pintanya. “Ngobrol sama aku? Cerita sama aku?”

“Heksa—”

“Oke, kamu nggak mau ketemu Ami. Oke kamu nggak mau pulang.” Potong laki-laki itu kesal—dan setengah marah. “Tapi ngobrol sama aku ya? Talk to me? Please?

“Nggak ada yang mau diomongin, Heksa!” Maure melemparkan kedua tangannya di udara, frustrasi—dan tanpa sadar meninggikan suaranya. Itu bukanlah sesuatu yang sering dilakukannya kepada Heksa.

Kini, di bawah langit oranye tanda senja sedang berlangsung, sepasang manusia itu berdiri menghadap satu sama lain dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Masing-masing menatap satu sama lain dengan serius dan tajam. Tatapan itu seperti mengatakan lebih banyak kata dibanding yang keluar dari mulut mereka. Angin sore yang terus berhembus sama sekali tidak berhasil untuk menurunkan atmosfer di antara keduanya.

Sampai salah satu menyerah.

“Yaudah.” Ucap Heksa pasrah sambil menghela napasnya pelan. “Take care, Ole.”

Baru berjalan tiga langkah, tubuh besar itu kembali berhenti dan menoleh sekilas. Lalu, ia membuka mulutnya lagi.

“Aku sama Ami selalu peduli sama kamu.” Lirihnya sebelum berjalan menjauh.

Kalimat itu sukses membuat Maure mematung di tempatnya untuk beberapa menit. Tidak ada yang ia lakukan selain meremas kedua sisi dressnya. Ia melihat sosok Heksa yang berjalan menjauh, menuju mobilnya. Kedua matanya terus menatap sosok itu dengan tatapan yang menggambarkan beberapa perasaan yang tercampur aduk. Salah satunya adalah penyesalan. Ia menunggu sampai sedan putih yang dikendarai laki-laki itu menghilang dari pandangannya. Saat itulah ia beranjak pergi dan melangkah menuju arah yang berlawanan.


Meskipun rambut warna-warni sudah menjadi hal yang umum di kalangan mahasiswa, kadang hal itu tetap saja menarik perhatian. Entah karena warnanya yang terang, gaya rambutnya yang menarik, atau orangnya dari sananya sudah mempesona. Dalam kasus Heksa, mungkin alasannya adalah ketiganya. Laki-laki yang menjadi volunteer dalam acara UKM Expo itu sukses menarik perhatian para mahasiswa baru berkat rambut pirang terangnya.

Kumpulan mahasiswa yang berdiri di barisan paling belakang pun tidak mungkin tidak meliriknya. Salah satunya adalah Dita, teman OSPEK sekaligus teman satu fakultas Maure.

“Kating yang itu eye catching banget ya?” Komentarnya pelan, menarik perhatian Maure yang sedang melihat-lihat brosur Unit Kegiatan Mahasiswa.

“Hm?” Perempuan itu menoleh.

“Itu, yang rambutnya pirang nyala, agak gondrong.” Dita mengarahkan pandangannya pada sosok yang dimaksud. “Kalau diliat-liat, cantik juga ya…”

“Itu efek rambut gondrongnya.” Ucap Maure acuh tak acuh.

“Namanya tuh siapa tadi?” Kali ini Dita mengalihkan pandangannya dari Heksa dan menatap temannya itu. “Heksa ‘kan? Heksa Kadi? Kugi?”

Maure berhenti membolak-balik brosur di tangannya. Ia mengangkat pandangannya, melihat sosok yang sedang dibicarakan. Laki-laki berambut pirang itu berdiri di depan salah satu booth disana; sports club. Maure terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Khagi.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari si pemilik nama. “Heksa Samudera Khagi.”

“Ooh…” Gumam Dita mengangguk-anggukan kepalanya.

Keduanya tidak mengobrol lagi sampai waktunya mereka memasuki ruang teater untuk menonton pertunjukan dari salah satu UKM. Mereka berdiri di depan pintu masuk untuk mengisi absensi terlebih dahulu.

“Gue tulisin sekalian ya,” Ucap Dita pada Maure. Orang yang diajak bicara hanya mengangguk. “Maure Zianne K ‘kan? K nya apa?”

“Tulis Maure Zianne aja.” Jawab gadis itu cuek. Terlampau cuek sampai tidak sadar akan sepasang mata yang memperhatikannya sejak lama. Tatapan itu datang dari si rambut pirang, Heksa, yang terus memperhatikannya.


Kombinasi lapangan yang gersang dan auditorium yang sesak cukup membuat Maure merasa kelelahan setelah seharian menjelajah setiap stand Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada di universitasnya itu. Perempuan itu kini duduk di sebuah bangku di lorong di dekat toilet. Ia baru saja pergi mencuci mukanya. Sayangnya, ia tidak bisa bersantai terlalu lama karena dua menit kemudian, seorang senior muncul.

“Ini area panitia, maba nggak boleh disini.” Ucapnya tanpa sapa, langsung membuat Maure menoleh.

Tatapannya langsung bertemu dengan sepasang mata milik sosok laki-laki tinggi yang ia kenali sebagai kakak tingkatnya. Laki-laki berambut pirang itu, Heksa, memegang sebotol air mineral yang masih baru di tangannya. Ia berjalan menghampiri Maure yang masih duduk.

“Iya, cuma numpang sebentar habis dari toilet.” Jelas Maure. Kini laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya.

“Mau minum nggak?” Tawarnya sambil menyodorkan air mineral di tangannya. Perempuan itu tentu menggeleng. Heksa pun menarik kembali botol minuman itu. Ia kemudian berucap lagi. “Kamu diem di auditorium aja, di luar lagi panas banget, nanti sakit kepala.”

“Iya, aku udah selesai liat-liatnya.” Jawab Maure yang sedari tadi menghindari pandangan Heksa.

“Makasih bunganya.” Ucap laki-laki itu beberapa saat kemudian, menimbulkan raut bingung pada wajah lawan bicaranya.

“Bunga apa?” Tanya Maure acuh tak acuh.

“Aku tau kali bunganya dari kamu.”

Tidak lama kemudian, Maure bangkit dari duduknya dan bersiap untuk kembali ke auditorium. “Aku mau ke auditorium lagi.”

Belum sempat melangkah, Heksa sudah menahan lengannya pelan.

“Pulangnya mau bareng nggak, Ole?” Tanyanya dengan nada yang lebih lembut dibanding saat ia pertama bicara tadi.

“Enggak usah, aku udah dapet temen yang rumahnya searah.” Geleng perempuan itu.

“Rumah kita juga searah?”

“Tapi jadwal pulangnya beda. Udah ya aku ke auditorium lagi.” Balas Maure sebagai jawaban final.

Maure berjalan meninggalkan lorong untuk kembali ke auditorium. Smeentara Heksa masih berdiri di tempatnya. Ia menatap sosok yang perlahan menjauh itu dengan tatapan berat dan sendu, diiringi helaan napas panjang.


kaisar, maure


Terhitung sudah hari kelima sejak Maure terakhir bicara dengan Kaisar. Diluar dugaannya sendiri, ia bertahan selama ini. Setelah mendapatkan kabar bahwa kelas siangnya dibatalkan, ia memilih untuk menghabiskan waktu sebentar di salah satu taman di kampusnya. Karena itu sekarang ia duduk seorang diri di salah satu gazebo di taman yang sering disebut sebagai taman amazon ini. Bukan tanpa alasan, tapi karena memang taman ini merupakan yang paling luas dan paling hijau diantara taman-taman lainnya. Selain itu, taman ini dikelilingi pohon-pohon beringin yang dijamin bisa menghalau sinar matahari. Namun karena taman ini merupakan area bebas rokok, biasanya yang berkunjung hanyalah mereka yang ingin mengerjakan tugas ditemani kesejukan alam saja.

Maure pun memilih untuk menghabiskan waktu sambil mengerjakan sebagian tugasnya. Jemarinya menari-nari lincah di atas keyboard, kedua pupilnya gesit memperhatikan setiap kata yang ia ketik. Sedangkan telinganya disuguhi alunan lagu yang ia dengarkan lewat earphones. Karena itulah ia tidak menyadari kedatangan seseorang yang kini sudah berdiri di samping mejanya.

“Hai?” Sapa sebuah suara rendah yang begitu familiar ditelinganya—bahkan saat ia sedang ditulikan oleh lantunan lagu sekalipun. Ia pun spontan menoleh untuk memastikan seseorang itu. She can’t help but frowns at the sight. It’s him.

Kaisar.

Maure sempat berpikir mungkin dirinya sedang berhalusinasi; dan memang wajar jika ia berpikir demikian. Tanpa angin tanpa hujan, Kaisar muncul ke hadapannya atas kehendaknya sendiri. Perempuan itu sempat mengambil waktu untuk memperhatikan sosok yang sudah lama tidak berinteraksi dengannya itu. Hari ini Kaisar muncul dalam balutan jaket denim hitamnya yang ikonik; sling bag hitam tersampir di bahunya. Rambutnya hari ini tersisir rapih ke belakang dan menyisakan hanya beberapa helai saja yang jatuh ke wajahnya; menampilkan sebagian besar keningnya.

Laki-laki yang ditatap tidak mengambil banyak waktu untuk duduk. Ia terlihat santai dan tidak menampilkan gurat wajah yang mencurigakan. Melihat atmostfer yang terasa ringan itu, Maure pun akhirnya bicara.

“Wah dunia mau kiamat, Kaisar nyapa duluan.” Sarkasnya. Namun lawan bicaranya tidak terlihat terusik sama sekali.

“Udah beres kelas? Udah makan siang?”

Pertanyaan itu sempat membuat Maure terdiam sejenak, memastikan telinganya—yang sudah tidak disumpal earphones—mendengar dengan jelas. Bukannya tidak senang, tapi rasanya aneh saja Kaisar menghampirinya duluan lalu menanyakan hal yang biasanya justru Maure tanyakan padanya. Mungkin taktik tarik ulur itu memang mujarab. Tetapi mungkin juga, Kaisar hanya merasa bersalah atas percakapan terakhir mereka. Apapun itu, setidaknya artinya bagus, bukan? Lalu fakta bahwa Kaisar sampai mendatanginya—dan entah dari mana laki-laki itu tahu keberadaannya—membuat Maure tersadar bahwa mereka sudah terlalu lama tidak bicara pada satu sama lain.

“Dih nanya-nanya, suka ya?” Canda perempuan itu, kembali menjadi Maure yang biasanya.

“Ole.” Ucap Kaisar dengan nada sedikit tegas; tanda bahwa 1) ia sedang ingin serius atau 2) ia kehabisan kesabaran untuk menghadapi Maure.

“Iya udah beres.” Anak yang disebut namanya pun masuk kembali ke dalam mode normal. Kemudian tanpa aba-aba, ia bertanya lagi. “Kamu mau ngebaikin aku soalnya ngerasa bersalah ya?”

Membalas perasaan Maure memang masih menjadi sesuatu yang tidak pernah muncul dalam pikiran seorang Kaisar—khususnya untuk saat ini. Namun bukan berarti ia dengan sesuka hati mengabaikan kebaikan dan ketulusan hati perempuan itu juga. Faktanya, ia memang merasa bersalah atas hari itu. Ia bersikap tidak menghargai usaha Maure untuk merawatnya. Ia tidak masalah kalau perempuan itu berhenti mengejarnya bahkan berhenti menaruh perasaannya. Tetapi lain hal kalau Maure menghindarinya karena Kaisar yang berbuat salah. Laki-laki itu tidak bisa membiarkan hal yang seperti itu. Karena itulah ia sampai mampir ke fakultas Ilmu Komunikasi dan berujung mendapat informasi dari salah satu teman perempuan itu kalau anak yang dicari berada di taman ini.

“Keliatan jelas ya?” Jawabnya atas pertanyaan sebelumnya. Ia pun tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman apapun dengan menyembunyikan niat kedatangannya. Maure hanya memutar bola matanya sebagai jawaban. “I am really sorry, Maure. It was direspectful for me to ignore your kindness and care that day.

Aktif dalam organisasi sampai menjabat sebagai pemimpin membuat kata egois berada sangat jauh dari jangkauan Kaisar. Kapanpun dan dimanapun, ia harus selalu mendengarkan pendapat orang lain, mengevaluasi dirinya sendiri, dan berintropeksi diri saat melakukan kesalahan. Hal ini menjadi salah satu daya tarik yang dimiliknya; juga hal yang membuat Maure mengaguminya. He never deny anything when it comes to absolute mistakes.

Siapapun boleh setuju kalau sikap Kaisar yang mengabaikan berbagai macam usaha Maure untuk mendekatinya bukanlah tindakan yang salah. Semua orang punya hak atas perasaannya sendiri dan kemudian bersikap berdasarkan perasaan itu. Tetapi hal yang satu ini berbeda. Kali ini bukan tentang bagaimana Kaisar mengabaikan modus perempuan itu tetapi tentang bagaimana laki-laki itu mengabaikan kebaikan dan ketulusan orang lain. Hari itu, tidak terbesit sekalipun dalam kepala Maure bahwa tindakannya dimaksudkan untuk sekedar menarik hati. Hari itu, ia benar-benar bergerak atas rasa peduli setidaknya sebagai teman. Dan kesalahan Kaisar adalah—untuk pertama kalinya—gagal membedakan dua hal itu.

“Aku sakit hati beneran loh, for your information.” Mulai Maure yang semakin memperjelas wajah bersalah laki-laki di hadapannya. “Aku beneran niatnya baik.”

And I am sorry for that too,” Ucap Kaisar, serius dan tulus.

Maure menatap laki-laki di depannya. Tiba-tiba saja, ia merasa sangsi akan kedatangan laki-laki itu. Bukan bermaksud mencurigai niat baiknya, hanya saja setelah apa yang terjadi…ia tidak bisa untuk tidak merasa ragu. Kaisar melakukan sesuatu untuknya? Bukannya terdengar seperti omong kosong? Bahkan jika sesuatu yang dimaksud itu hanyalah sesederhana sebuah percakapan. Namun, wajah itu tidak berbohong sama sekali. Siapapun yang melihat akan langsung tahu bahwa Kaisar memang sedang berbicara dengan serius dan penuh ketulusan. Akhirnya, Maure menghembuskan napas dan membuka mulutnya.

“Biasanya omongan aku gak kamu tanggepin serius dan aku gak peduli soalnya kebanyakan emang bercanda, tapi buat yang ini, aku harap kamu denger baik-baik ya?” Lanjut perempuan itu lagi. “Aku gak peduli modus aku mau dicuekin segimana cuek pun juga, tapi kebaikan aku sebagai manusia jangan ikut dicuekin juga. Soal Rumi juga…aku tau banget dia prioritas kamu and you have something with her—a relationship I can’t understand. Tapi aku jangan dianggap penghalang di antara kalian atau orang yang maksa masuk di tengah hubungan kalian. Nanti aku benci kamu kalau kamu kayak gitu.”

Ada rasa lega setelah ia mengucapkan semua kalimat itu. Rasanya seperti ia baru saja meluruskan sesuatu yang kusut di antara mereka. Memang perdebatan yang tidak diselesaikan secara kepala dingin sering berakhir sebagai sesuatu yang mengganjal. Sepertinya, perasaan itu pun tidak hanya dirasakan oleh sepihak saja. Kaisar yang duduk di seberangnya pun terlihat merasa lega bahwa percakapan ini terjadi. Meskipun tidak ada yang berubah tentang perasaannya terhadap Maure, bermusuhan tetap bukanlah sesuatu yang ia inginkan.

Kaisar yang mengabaikan segala tingkah modus Maure adalah satu hal. Tapi, sampai disitu saja. Karena pada kenyatannya—yang tidak banyak orang tahu—Kaisar tidak pernah mengabaikan Maure sendiri. Laki-laki itu tidak bersikap kekanakan—dan bodoh, dengan mengabaikan Maure sepenuhnya. Meskipun tidak menuruti permintaan-permintaan perempuan itu, ia tetap ada jika perempuan itu memerlukan bantuan. Satu hal yang sangat jelas, Kaisar tidak pernah membenci Maure.

Setelah tenggelam dalam pikiran masing-masing, salah satu kembali membuka suara.

So, we’re good? Ga musuhan?” Kaisar-lah yang pertama bicara lagi. Ia menaikkan kedua alisnya sambil menunggu Maure yang terlihat sedang berpikir untuk menjawab.

“Tapi janji dulu gak akan kayak gitu lagi.” Pintanya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Entah apa yang lucu, kekehan pelan keluar dari mulut Kaisar, bersamaan dengan senyum sabitnya. Kemudian, ia mengacungkan jari kelingnya pada perempuan itu.

Ok, pinky promise.

Maure sempat terkejut untuk beberapa saat. Ia hanya berkedip sambil memandang jari kelingking yang terangkat di udara itu. Namun dengan cepat, ia menyambutnya dengan kelingkingnya sendiri.

“Dunia mana tahu Kaisar kalau bikin janji selalu pake pinky promise.” Komentarnya, juga menandakan bahwa atmosfer tegang di antara mereka sudah benar-benar mencair. “Kamu kalau sama Jegar atau Heksa gini juga gak?”

“Ga, geli.” Jawab laki-laki itu cepat, memunculkan senyum simpul pada wajah perempuan itu.

Sayangnya, senyum itu tidak berlangsung lama karena dering telepon yang datang menginterupsi.

“Aku duluan ya, Ole” Pamitnya segera setelah telepon ditutup.

Lagi-lagi, Kaisar harus pergi untuk Rumi. Pada titik ini Maure berpikir keduanya memiliki jadwal kencan setiap hari. Sebenarnya, ia pun tahu ponsel itu sudah berbunyi sedari tadi. Pendengarannya cukup tajam untuk bisa mendengar suara notifikasi dari ponsel berwarna hitam itu. Karena itu hari ini ia tidak berkomentar apapun dan membiarkan Kaisar pergi dengan mudah. Setidaknya, laki-laki itu tetap meluangkan waktu untuk berbaikan dengannya.

Meskipun sedekat apapun mereka, Maure tidak akan pernah bisa menyentuh level Rumi.


kaisar, maure


Setelah mendapat info dari Jegar bahwa Kaisar sedang sakit, Maure langsung bergegas memasuki gedung Fakultas Hukum dan mencari ruangan yang disebutkan oleh Jegar. Menurut info yang ia dapatkan, Kaisar terlihat pucat dan lesu sejak pagi. Yah, untuk detailnya tidak ada yang tahu karena mereka berdua memiliki jadwal yang berbeda dari ini. Tetapi informasi yang minim itu malah membuat Maure semakin khawatir. Dengan paper bag berisi makanan dan obat di tangannya, ia membuka pintu ruang kelas yang kosong itu.

Napasnya berhembus lega saat mendapati sosok yang ia cari duduk sendirian di barisan belakang. Persis seperti kata Jegar, laki-laki itu terlihat pucat dan lesu. Hanya dengan melihat saja Maure bisa menebak separah apa sakit kepala yang dideritanya saat ini.

“Kenapa diem sendirian di sini?” Tanyanya itu begitu melangkah masuk. Tanpa membuang waktu, ia duduk di kursi di sebelah laki-laki itu. Orang yang ditanya tampak sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

“Ole—ngapain?” Tanyanya lemas.

“Ya mau menolong lah??? Kata Jegar lo sakit.” Sewot perempuan itu sambil meletakkan barang bawaannya ke atas meja. “Tenang aja gue punya bakat ngerawat orang sakit kok.”

“Ole, gue lagi gak pengen bercanda.” Ucapnya dengan nada sedikit memohon. “Gue lagi gak pengen nanggepin tingkah lo.”

“Ya emang kapan juga lo nanggepin gue?” gumam perempuan itu pada dirinya sendiri. Khawatir laki-laki disebelahnya mendengar, ia segera bicara. “Nethink banget? Gue bukan mau ganggu, Kaisar. Gue kesini bawa makanan sama obat soalnya lo pasti udah tau sakit malah diem doang. Iya ‘kan?” Jelasnya panjang lebar.

“Ga perlu, Ole.” Geleng laki-laki itu.

Respons itu sedikit membuatnya kesal. Ia lantas menempelkan tangannya pada kening laki-laki itu untuk memeriksa suhunya; memastikan apakah ia benar tidak memerlukan bantuan seperti katanya.

“Gak perlu apanya ini kamu panas gini?!” Sewotnya lagi. “Gara-gara kehujanan kemarin nih.”

“Aku cuma perlu istirahat aja.”

“Kalau gitu kenapa belum pulang? Ngapain malah diem sendirian disini? Kata Jegar lo udah gak ada jadwal tuh.” Omel Maure sambil membuka paper bag yang ia bawa, mengabaikan penolakan laki-laki itu. Kemudian, sesaat sebuah senyum kecut muncul di wajahnya—hanya sesaat. “Mau jemput Rumi ya? Segitunya banget.”

Ekspresi Kaisar seketika berubah begitu nama Rumi terucap dari mulut Maure. Kini tidak ada apapun pada wajah itu selain ekspresi bersalah; seperti maling yang tertangkap basah. Padahal saat mengatakannya, perempuan itu hanya asal sebut saja. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ucapannya benar dan seratus persen akurat. Untuk sesaat, ia mematung di tempatnya. Tangannya yang sedang mengeluarkan bubur dari paper bag pun terhenti pergerakannya. Suhu panas Kaisar tiba-tiba terasa sepele jika dibandingkan dengan suhu panas hatinya sendiri. Bukan Rumi yang membuatnya kesal, sebenarnya. Tetapi fakta bahwa saat Kaisar jelas-jelas sedang sakit begini, laki-laki itu masih sempatnya memprioritaskan Rumi.

“Padahal aku bercanda, taunya bener.” Cibirnya setelah berhasil mengontrol emosinya. Perempuan itu memilih untuk mengabaikan topik tentang Rumi. Ia melanjutkan pergerakannya yang terhenti. “Kamu belum makan ‘kan? Aku tadi beli bubur. Ada obat sama isotonic drink juga.”

“Aku sebentar lagi juga mau pergi, Ole.” Tolak Kaisar lagi.

“Kamu makan ini juga gak akan sampai satu jam.”

“Ole…”

“Kamu kayak orang sekarat, Kaisar.” Keukeuh Maure. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa laki-laki itu keras kepala sekali tentang hal sepele seperti ini. Tidak ada salahnya duduk sebentar dan makan untuk mengisi energi, bukan?

“Aku harus—” Disaat itu juga ponsel laki-laki itu berdering, memotong kalimatnya sendiri. Kaisar kini berbicara di telepon sementara Maure memperhatikannya. Secara fisik memang tidak terlihat seperti akan pingsan, namun ia yakin sekali bahwa Kaisar jauh lebih sakit dibanding yang terlihat. Hujan kemarin derasnya bukan main. Mengendarai sepeda motor di bawah guyuran hujan yang nyaris seperti badai itu adalah hal gila. Hal gila yang dilakukan Kaisar untuk Rumi. Beberapa menit kemudian, panggilan selesai. Laki-laki itu kembali menaruh perhatiannya pada Maure, sedangkan perempuan itu menatapnya tajam. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Kaisar karena percakapan di telepon tadi.

“Aku harus pergi sekarang.”

“Jemput Rumi ya?” Decih Maure. “Emangnya di dunia ini gak ada taksi apa?”

“Ole—”

“Kamu lagi sakit, Kaisar.” Potong perempuan itu. “Seenggaknya makan dulu biar ada tenaga. Emang kamu mau lagi nyetir terus pingsan terus Rumi kenapa-kenapa?” Lanjut Maure dengan nada kesal di beberapa kata terakhir.

“Aku ga sesakit itu.”

“Yaudah hargain usaha aku kek?”

”Aku ga minta kamu kesini?”

Perempuan itu menghembuskan napasnya kasar, frustrasi. Terbesit keinginan untuk marah, namun ia mengurungkannya. Masalah tidak akan selesai dengan emosi, benar ‘kan? Meskipun pada kasus ini sepertinya marah memanglah cara terbaik untuk melawan Kaisar yang keras kepala. Saat ini, bukan tentang Kaisar yang akan mengantar Rumi pulang atau apapun itu, tapi tentang Kaisar yang memaksakan kondisinya yang sedang kurang sehat. Itulah yang membuat Maure pantang menyerah dan menyamai tingkat keras kepala laki-laki itu.

Meskipun akhirnya perempuan itu hanya kembali menghela napas sambil bicara pelan.

“Sedikittttt aja, ya Kaisar ya?” Pintanya dengan nada bicara yang jauh lebih lembut dan tenang dibanding sebelumnya. Namun Kaisar masih menolak dan malah terlihat bersiap membereskan barang-barangnya.

“Ga sempet kalau makan—”

“Rumi juga gak akan diculik monyet kalau lo telat lima menit!” Ujar Maure kesal, dan setengah marah; pada akhirnya tidak sanggup menahan emosi lebih jauh. Kalimatnya itu sukses memancing emosi Kaisar. Kini, laki-laki itu yang menghembuskan napas kasar.

“Ole.” Panggilnya dengan nada memperingatkan. Untuk sesaat, Maure merasa terkejut atas reaksi Kaisar yang sampai seperti ini. Namun dengan cepat ia kembali mengesampingkan perasaannya dan fokus pada titik masalah terlebih dahulu.

“Kaisar, aku gak masalah omongan aku gak pernah kamu turutin.” Mulai perempuan itu, kembali tenang. “Tapi sekali ini aja, dengerin. Kamu duduk terus makan, abis itu baru pergi. Ini buat kamu sendiri? Please?”

Maure memberikan tatapan memohon terbaik yang ia miliki. Tetapi tidak ada hasilnya. Tidak digubris. Permintaannya tidak digubris. Laki-laki itu tetap bersiap-siap untuk pergi.

“Sorry, Ole. Aku duluan.” Pamitnya tanpa melirik ke belakang lagi. Kaisar benar-benar pergi. Sosoknya menghilang dengan terburu-buru dibalik pintu, meninggalkan Maure yang masih tenggelam dalam emosi dan kekecewaan.

Ternyata bagi Kaisar, Arumi sepenting itu. Jauh lebih penting dari Maure, bahkan lebih penting dari dirinya sendiri. Maka perdebatan hari ini pun, tidak ada intinya sama sekali. Tidak ada intinya berdebat tentang sesuatu yang jawabannya sudah diputuskan sejak awal.


Begitu sesi pertama seminar selesai, Maure bersama rekan panitia sekaligus teman sekelasnya, Dita memutuskan untuk mencari jajanan sebelum sesi selanjutnya dimulai. Sebenarnya selain lapar, itu hanya akal-akalan Maure saja agar bisa bertemu dengan Kaisar. Harusnya, laki-laki itu masih berada di area student hall. Tebakkannya ternyata benar. Ia menemukan sosok dengan kaos putih dan jeans abu muda itu berdiri beberapa meter darinya. Tanpa pikir panjang, Maure mengambil langkah untuk mendekatinya.

“Kaisar—” Sapaannya itu tidak sempat ia selesaikan. Langkahnya terhenti seketika saat melihat sosok lain yang menghampiri laki-laki itu. Perempuan berambut panjang bergelombang itu memasang wajah yang berseri-seri. Berbanding terbalik dengan ekspresi Maure saat ini yang sudah kehilangan senyum semangatnya. Terlebih saat Kaisar memasang ekspresi yang sama dengan perempuan itu. Sudut bibirnya terangkat ke atas, memamerkan senyum paling manis yang bisa ia berikan, sesekali ia tertawa renyah sampai matanya nyaris menghilang. Sebuah eskpresi yang tidak pernah muncul saat laki-laki itu bersamanya.

The admiration and adoration in his eyes and smile, that Maure could only wish for, was given for free for that girl.

“Maure ayo balik—lah, itu siapa?” Dita yang menghampiri Maure dengan sekantung plastik berisi serba-serbi jajanan kini ikut mematung di tempatnya. Dengan arah pandangan yang sama, yaitu Kaisar dan si perempuan berambut cokelat. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maure. Seolah pemandangan itu menyerap kemampuannya untuk bicara.

This was not the first time she saw them. In fact, she keeps on chasing him knowing the fact that he HAS someone that holds a special place in his heart. Yeah, that kind of person exists in his life, hence the countless rejection. She knew damn well his ‘busy’ wasn’t always mean assignments, projects, and papers. Sometimes he was just busy paying attention to her; busy showering the girl with love, probably. Nevertheless, Maure keeps on liking him, knowing the possibility for him to like her back is almost zero. But as they locked hands—Kaisar and the girl—she started to wonder again if liking him was ever worth it. If the pain was ever worth it.

“Kak Kaisar punya pacar?” Tanya Dita lagi setelah Maure tidak kunjung menjawab. “Itu anak kampus sini juga? Siapa?”

Perempuan berambut cokelat itu juga hanya mahasiswi biasa, sama seperti Maure, Dita, ataupun Cemima. Bukan mahasiswi yang menonjol sampai satu universitas mengenalnya ataupun mahasiswi berprestasi yang namanya selalu ada di koran kampus. Tapi mahasiswi biasa, perempuan biasa seusianya itu punya begitu banyak hal yang tidak Maure miliki. Kaisar adalah salah satunya.

“Rumi.” Maure membuka mulutnya untuk pertama kali setelah beberapa saat.

“Pacarnya?”

“Bukan.” Gelengnya. “Tapi kayaknya lebih bagus kalau mereka pacaran.”

So it’ll be easier for her to stop, because then she’ll has an absolute reason to.


kaisar, maure


Kelas sudah dibubarkan lima menit yang lalu, namun dua orang mahasiswi masih belum bergerak di kursi mereka masing-masing. Salah satunya adalah Maure yang sedang membereskan barang-barangnya dengan pandangan yang lebih fokus pada ponselnya. Di sebelahnya adalah temannya, Cemima, yang masih malas untuk bangkit dari duduknya.

“Pesen apa, Ole?” Tanya Cemima saat dirinya melihat sekilas layar ponsel milik Maure yang sedang membuka aplikasi pesan antar.

“Mau beli cake.”

“Ada yang ulang tahun?” Tanya Cemima lagi asal.

“Buat Kaisar, tapi bukan ulang taun. Carrot cake.”

Mendengar nama itu, Cemima kini memberikan perhatian penuh pada temannya.

“Masih ngejar Kak Kaisar?”

“Iya lah, Ole pantang menyerah.” Perempuan itu kini sudah selesai dengan ponselnya dan bergerak untuk membereskan barang-barangnya dengan semangat.

“Semangat deh, gue gak tau mau bilang apa selain semangat.” Ucap Cemima sebelum keduanya bangkit dari kursi dan mulai meninggalkan kelas. Keduanya berpisah di halaman fakultas. Cemima berjalan menuju gedung parkiran sedangkan Maure pergi ke gerbang terdekat untuk mengambil kue pesanannya sebelum pergi ke arah Fakultas Hukum. Sebenarnya ia juga tidak tahu apakah Kaisar ada di sana atau tidak, karena laki-laki itu belum membalas pesannya.

Lalu, seolah takdir sedang berpihak, Maure berpapasan dengan Jegar, salah satu teman Kaisar yang cukup dikenalnya.

“Maure ya? Mau ketemu Kaisar?” Tanya laki-laki itu begitu ia melihat perempuan yang berjalan menenteng paper bag berwarna cokelat.

“Iya. Udah pada beres kelas ‘kan?”

“Iya, tapi lo gak usah ke fakultas. Anaknya lagi di taman gymnasium.”

Mendapat informasi yang berharga membuat sorot mana Maure terlihat senang seketika. Begitu pula dengan senyum yang otomatis terukir di bibirnya. Ia tidak bisa, dan mungkin tidak akan pernah bisa menyembunyikan reaksi antusiasmenya itu.

“Oke, MAKASIH ya Jegar!” Ucapnya dengan nada semangat sambil mempercepat langkahnya. Namun baru berjalan tiga langkah, ia berhenti lagi, membuat Jegar menatapnya bingung. “Kak Jegar maksudnya hehe.”

Kini Maure sudah tiba di taman gymnasium. Sebenarnya dibanding taman, tempat ini lebih cocok disebut halaman karena tidak terlalu luas. Letaknya di samping gedung gymnasium. Taman tersebut biasanya diisi oleh mahasiswa dari komunitas pecinta olah raga. Di taman ini terdapat beberapa peralatan olahraga sederhana yang sering dimainkan oleh anak-anak saat akhir pekan—atau di sore hari seperti sekarang. Di sisi lain taman, terdapat beberapa area duduk seperti bangku besi panjang dan beberapa bangku taman lengkap dengan mejanya. Di situlah Kaisar berada. Laki-laki itu duduk—kini tanpa mengenakan jaketnya—sambil memperhatikan beberapa anak yang sedang bermain di taman. Maure pun berjalan mendekatinya.

“Sendirian aja, jomblo ya?” Candanya yang langsung duduk di sebrang laki-laki itu tanpa menunggu dipersilahkan.

“Tau dari mana aku di sini?” Balas laki-laki itu santai, seolah tidak terkejut lagi dengan kedatangan Maure.

“Dari Jegar.” Jawab Maure sambil meletakkan paper bag-nya di atas meja. “Kak Jegar maksudnya.”

“Aku lagi gak pengen direcokin—”

“Tada!” Seru sekaligus potong Maure sambil menunjukkan paper bag dengan logo toko kue yang sangat familier bagi keduanya. Sebelum laki-laki itu sempat berkomentar, Maure sudah bicara lagi. “Jangan komen, makan aja.”

Kaisar hanya menghela napasnya pasrah. Bisa ditebak sendiri sudah seberapa sering perempuan itu mendatanginya seperti ini sampai teman-temannya pun terbiasa dengan keberadaannya. Ia kini hanya duduk bertopang dagu dengan sebelah tangan sambil memandang ke samping, masih memperhatikan anak-anak yang sekarang sedang bersiap untuk pulang itu. Sedangkan Maure di depannya sibuk mengeluarkan cake dari dalam paper bag.

Laki-laki itu memang baru saja hendak mengeluarkan komentar. Sesuatu tentang Maure yang selalu menyia-nyiakan waktu dan uang untuk membawakannya makanan seperti ini. Tidak hanya sekali juga makanan yang diberikan oleh Maure padanya berakhir di tangan dan perut teman-temannya. Tapi sepertinya kata menyerah tidak ada dalam kamus hidup perempuan itu. Akhirnya, Kaisar hanya menghela napas dan mengambil garpu plastik yang disodorkan kepadanya. Maure mengambil suapan lebih dulu dan seketika tersenyum senang.

“ENAK banget padahal aku kira yang versi resep baru gak akan seenak ini rasanya—” Serunya dengan mulut yang sibuk mengunyah dan pipi yang menggembung.

“Telen dulu, Ole.”

Keduanya makan dengan tenang—tidak terlalu tenang karena Maure masih mengomentari rasa carrot cake yang dibelinya itu. Tidak lama kemudian, keduanya diselimuti oleh keheningan. Entah karena sedang menikmati kue atau menikmati semilir angin sore yang bertiup. Dalam keheningan itu Maure diam-diam memperhatikan laki-laki di depannya.

Rambut hitam lurus yang bervolume itu sedikit berantakan tertiup angin, sesekali jatuh menutupi mata cokelat gelapnya. Earcuffs berwarna perak bertengger di bagian helix telinganya; kilaunya berpedar dibawah sinar matahari. Lalu matanya tertuju pada jemari laki-laki itu. Pada sebuah cincin yang tidak pernah meninggalkan jari kelingkingnya. Kadang, ia penasaran tentang satu hal. Apa makna dari cincin itu sampai melekat sebegitunya disana. Kenapa cincin perak sederhana itu jauh lebih istimewa dibanding cincin-cincin lainnya yang mengisi jari-jarinya yang lain secara bergiliran. Kemudian tanpa sadar, ia memperhatikan bibirnya. Sudut bibirnya yang secara natural sedikit melengkung ke atas membuat Kaisar nyaris selalu terlihat seperti tersenyum. Mungkin itulah alasan kenapa Maure tidak pernah menyerah. Karena apapun yang ia lakukan, sudut bibir laki-laki itu selalu melengkung ke atas, mengukir senyum yang sangaaaattttt kecil. Seperti saat ini.

“Jangan liat-liat, Le, nanti suka.” Celetuk Kaisar yang seketika menyadarkan Maure bahwa dirinya menatap secara terang-terangan.

“Telat, udah suka.”