strings: tangled — Yang dibangun ulang tapi tidak serupa
Maure, Heksa
Dua insan muda itu kini sudah berada di dalam sedan hitam yang dikemudikan oleh Heksa. Di kursi penumpang, ada Maure dengan sikut dan lutut yang di perban berkat kecelakaan kecil tadi. Tidak peduli berapa kali Heksa mengajaknya, ia tetap menolak untuk dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih jauh. Akhirnya laki-laki itu pasrah dan langsung membawanya pulang setelah mendapat pertolongan pertama di klinik terdekat.
Sudah sepuluh menit mereka menempuh perjalanan, namun masih belum ada yang membuka mulut. Pun atmosfer di antara keduanya terasa berat dan canggung. Heksa sibuk memberikan perhatiannya pada jalanan kota, sedangkan Maure di sebelahnya memandang keluar jendela untuk menghindari percakapan. Dan mungkin juga, karena rasa bersalah mengingat percakapan mereka hari itu.
Keheningan itu masih bertahan sampai lima menit selanjutnya. Sampai tiba-tiba terdengar suara perut yang kelaparan. Suara itu berasal dari Maure, yang kini refleks memegang perutnya. Berkat hal itu, akhirnya Heksa pun bersuara.
“Laper ya?” Kekehnya pelan sambil melihat sekilas ke arah Maure yang kini semakin memalingkan wajahnya. “Mau makan dulu nggak?”
“Gak laper, cuma bunyi.” Elak perempuan itu. Tentu saja, jawabannya diabaikan oleh Heksa yang kini mengemudikan mobilnya menuju restoran cepat saji yang hanya berjarak beberapa gedung dari mereka.
“Drive thru dulu ya.” Ucapnya tanpa meminta persetujuan Maure. Tidak memerlukan waktu lama untuk sedan hitam itu tiba di loket pemesanan. “Kamu mau pesen apa?”
“Apa aja.” Jawab Maure yang masih merasa malu. Ia pun masih menghindari tatapan laki-laki itu. Bukannya kesal, Heksa justru terkekeh pelan.
“Kayak biasa ya?” Ucapnya sebelum beralih untuk memesan. “Double cheese burger dua, chicken nugget yang six pieces, regular french fries, minumnya…cola dua.”
Kini Heksa dan Maure duduk di dalam mobil yang sudah terparkir, lengkap dengan paper bag berisi pesanan mereka. Heksa tidak membuang waktu dan segera mengeluarkan makanannya. Berbanding terbalik dengan Maure yang masih terdiam sambil memainkan jemarinya di atas pangkuan. Menyadari hal itu, Heksa menghela napasnya. Tangannya kemudian bergerak untuk mengambil cheese burger pesanan tadi. Ia membuka bungkusnya untuk kemudian ia sodorkan pada perempuan itu.
“Nanti cacing di perut kamu tambah berisik.” Ejeknya. Akhirnya mau tak mau, Maure pun meraih burger tersebut dan mulai memakannya pelan-pelan.
Sorot mata Maure melebar begitu ia mengambil gigitan pertama. Katanya, makanan memang jadi jauh lebih enak saat kita lapar. Tetapi bukan itu saja. Bagi Maure, sederetan menu cepat saji yang ada di tengah mereka sekarang membawa memori-memori lama. Duduk di atas karpet krem lembut di ruang tengah, kentang goreng di atas meja, dan televisi yang menayangkan berbagai film kartun akhir pekan. Atau berjalan kaki dalam balutan seragam sekolah dengan cone es krim di tangan yang dibeli dengan uang jajan yang ditabung. Pikiran itu sempat membuat Maure menyunggingkan senyum. Sayangnya, senyuman itu menghilang secepat kilat; karena ia juga jadi teringat pada memori yang kurang menyenangkan. Duduk sendirian di meja paling pojok dengan satu cup oreo mcflurry di tangan. Memperhatikan orang yang berlalu lalang, namun mengabaikan ponsel yang berdering.
“Kamu gak pernah mau aku ajakin ke McD lagi.” Mulai Heksa di sela-sela makannya. “Bukan ke McD aja sih, kayaknya diajak kemana-mana juga nggak mau ya?”
“Maaf.” Ujar Maure pelan. Ia terlihat pasrah dan tidak menunjukkan keinginan untuk menyanggah. Pada titik ini, menyanggah pun tidak ada gunanya. Heksa tahu semuanya.
“Kamu tuh kurang pinter akting, Ole.” Lanjut Heksa lagi. “Kamu bisa bilangnya sibuk, nggak baca chat dari aku, atau apa. Tapi aku bisa bedain mana yang beneran sibuk sama mana yang disibuk-sibuk-in.”
“Iya.” Lirih Maure. Perempuan itu menundukkan kepalanya, memandangi cheese burger yang tinggal setengahnya itu.
Suasana kembali hening. Keduanya kembali sibuk pada makanan masing-masing. Atmosfer di antara keduanya sudah tidak setegang sebelumnya, saat perjalanan dimulai. Namun tetap masih ada sedikit ketegangan di sana.
Setelah sama-sama menghabiskan chesee burger-nya, Heksa kembali membuka mulutnya.
“Bukannya lebih gampang kalau bilang aja ya?” Heksa berhenti sejenak untuk meneguk minumannya. “Bilang aja nggak mau ketemu aku, gitu.”
“I didn’t want to hurt your feeling.” Jawab Maure, masih menundukkan kepalanya.
“Tapi ujungnya you did anyway.” Balas Heksa. Meskipun nada bicaranya tenang, Maure bisa merasakan dengan jelas kekesalan dan kekecewaan di sana. “Kamu nggak pernah minta aku anter-jemput lagi, kamu nggak pernah makan siang bareng aku lagi, kamu nggak pernah minta aku temenin lagi, kamu nggak pernah cerita apa-apa lagi, Ole. Kamu kecelakaan aja aku harus tahu kabarnya lewat Kaisar, bukan dari kamu sendiri.”
“Iya, aku tau.” Hanya itu respon yang bisa diberikan oleh Maure, sebagai tanda ia mengakui penuh sikapnya. Perempuan itu masih menundukkan kepalanya. Jemarinya sibuk memainkan kertas pembukus makanan di tangannya. Memperhatikan kertas yang tidak bisa kembali rapi, kembali mulus, setelah dilipat dan diremas. Seperti sebuah hubungan.
“Ole,” Mulainya, menarik perhatian si pemilik nama. “Kita bikin deal yuk?”
Maure yang kebingungan dengan maksud ucapan Heksa hanya bisa menatapnya menunggu penjelasan.
“Aku nggak akan maksa kamu buat cerita, aku juga nggak akan minta kamu buat pulang ke rumah ataupun ketemu Ami,” Jelas Heksa yang membuat Maure semakin bingung. “Tapi…”
“Tapi apa?” Tanya Maure yang tidak bisa menahan rasa penasarannya.
“Tapi kamu jangan ngehindarin aku lagi.”
Kalimat itu terasa seperti sebuah batu yang menghantamnya. Bukan karena Maure merasa sedang dihakimi atau apa. Tetapi karena Heksa melemparkan kenyataan yang berusaha Maure sanggah. Bahwa benar, ia menghindari laki-laki itu. Rasa bersalah pun kembali menyerbunya. Faktanya, Maure memang sepenuhnya salah dalam kasus ini. Mungkin karena itu, ia pun tidak bisa menolak.
“Iya.”
“Kita baikan kayak dulu ya?”
“Iya.”
“Kita ngobrol lagi ya?”
“Iya.”
“Bener ya?” Tanya Heksa lagi dengan nada yang lebih menuntut.
“Iya beneran.”
Heksa akhirnya tersenyum mendengar jawaban itu. Dipandangnya Maure yang masih belum mau mengangkat kepalanya itu. Berbagai pikiran berenang di dalam kepalanya. Namun saat ini yang paling menonjol adalah tentang betapa leganya dirinya karena dinding es di antara dirinya dan Maure mulai mencair. Saat Heksa mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Maure, barulah perempuan itu mengangkat pandangan dan menatapnya.
“Maaf, Abang.” Ucapnya, masih dengan raut wajah yang menampakkan rasa bersalah. Heksa hanya menganggukan kepalanya dan tersenyum simpul. Namun, senyuman itu tidak terlihat seperti senyuman terukir karena rasa senang ataupun lega. Senyum itu, untuk suatu alasan, terlihat sedih. Beberapa saat kemudian, ia kembali mengarahkan pandangannya ke depan, siap untuk menyalakan mobil dan melanjutkan perjalanan.
“Kita lanjut lagi ya.” Beriringan dengan kalimat itu, mesin mobil kembali menyala. Maure pun mengangguk dan kembali memasang sabuk pengamannya. Atmosfer yang berat dan menegangkan itu kini sudah berangsur hilang. Memang belum hilang sepenuhnya dan mungkin masih perlu waktu agar bisa benar-benar hilang. Namun setidaknya, ketenangan mulai muncul di antara keduanya.
Setidaknya sampai pandangan Maure jatuh pada sesuatu.
“IH ABANG kenapa aku gak disisain nugget-nya?!” Seru Maure sambil mengangkat kotak kosong yang mulanya berisi chicken nugget itu. Teriakannya itu membuat Heksa sedikit terkejut. Ia menatap Maure dengan tatapan bingung.
“Lah, kirain kamu nggak mau? Dari tadi diem aja…”
Mungkin, hubungan yang retak itu mulai memperbaiki dirinya sendiri; meskipun hasilnya belum tentu sama seperti kali pertama.