strings: tangled — Yang masih sama, dan selalu sama
kaisar, rumi
SUV putih berhenti di halaman parkir sebuah banguan dengan perpaduan cat putih dan krem. Dari dalam mobil, keluar dua orang—satu laki-laki dan satu perempuan; yang satu menenteng paper bagcokelat, yang satu memeluk sebuah bucket bunga daisy. Keduanya sama-sama menatap bangunan itu lama, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam. Kedatangan keduanya langsung disambut oleh resepsionis yang sudah sangat familiar bagi mereka.
“Hai, Kaisar, Rumi!” Sapa wanita di pertengahan 20an itu, tersenyum ramah menyambut sepasang wajah yang familiar. Pemandangan yang masih sama seperti yang dilihatnya saat pertama kali bekerja di tempat itu. Sapaan ramah itu dibalas senyum sopan keduanya.
“Bunda lagi di mana, Kak?” Tanya Kaisar.
“Bunda lagi ngerajut di taman.”
Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju taman yang dimaksud. Melewati lorong dengan berbagai foto yang terpasang di dinding. Di bagian paling atas dinding, tertulis “Perempuan Bicara”. Sebuah yayasan yang didirikan untuk membantu—dan menjadi teman—untuk perempuan-perempuan di luar sana yang menjadi korban dari kekerasan. Utamanya kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Yayasan ini memberikan bantuan yang lengkap mulai dari layanan advokasi, perlindungan hukum, fasilitas kesehatan fisik dan mental, sampai sarana pelatihan dan pemberdayaan perempuan.
“Bunda?”
Kaisar dan Rumi kini sudah tiba di taman. Keduanya langsung menghampiri wanita yang sedang duduk di salah satu gazeebo dengan gulungan benang rajut di sebelahnya. Wanita berambut hitam pendek itu adalah ibunda dari Kaisar. Wanita yang kehadirannya sangat jarang ditemukan di rumah laki-laki itu, karena ia menghabiskan hampir semua waktunya di yayasan ini. Juga wanita yang menjadi alasan dibalik “kencan” wajib Kaisar dan Rumi di hari Jum’at.
“Eh, halo anak-anak Bunda!” Senyum wanita itu langsung merekah begitu melihat sepasang manusia yang menghampirinya itu.
Banyak yang tahu kalau Hanggia, ibunya Kaisar, adalah seorang single mother yang bekerja di industri fashion. Tetapi, tidak banyak yang tahu kalau wanita itu menjadi bagian dari yayasan ini—sebagai relawan dan pasien. Dan hampir tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan wanita itu menjadi pasien di tempat ini.
“Aku mampir ke toko kue tadi.” Laki-laki itu mengeluarkan isi dari paper bag di tangannya. “Rumi juga bawa bunga buat Bunda.”
“Ini pas banget bunganya baru dateng di florist-nya.” Kali ini giliran Rumi yang meletakkan bucket bunga di tangannya ke samping Hanggia.
“Makasih ya sayang,” Wanita itu membalas pemberian tersebut dengan senyum lebar yang begitu teduh. “Bunda harus nginep dulu sampai hari Senin.”
Diluar menjenguk ibunya, berkunjung ke yayasan ini di hari Jum’at merupakan agenda wajib Kaisar dan Rumi. Keduanya cukup sering ikut menjadi relawan pada acara tertentu bersama dengan Hanggia. Meskipun begitu, kebanyakan kunjungan mereka adalah untuk mengantar, menjenguk, atau menjemput wanita itu.
Mendengar kabar yang diberikan, Kaisar menghela napasnya pelan sambil memotong carrot cake yang ia bawa.
“Makannya Bunda, kesehatan fisiknya ikut dijaga. Aku dikasih tau kalau Bunda suka lupa makan.” Ucap laki-laki itu sambil memperhatikan wajah ibunya yang terlihat lebih tirus.
Orang mungkin berpikir wajah tirus itu disebabkan oleh banyaknya pekerjaan di butik miliknya. Tapi Kaisar, juga Rumi, tahu betul bukan itu masalahnya. Hidup memang penuh perubahan. Tetapi tidak banyak juga hal-hal yang menetap dalam kondisi yang sama. Hanggia contohnya. Meskipun waktu berlalu dan hidup berlanjut, ada beberapa bagian dari wanita itu yang tetap sama. Salah satunya adalah luka yang menggerogotinya dari dalam.
“Kalau lagi ke kantor juga Bunda jarang makan siang ‘kan? Bunda makan kalau lagi di rumah bareng aku doang.”
“Iyaaaa sayang iyaaa, nanti Bunda makan yang banyak.”
Ibu dan anak itu sudah melewati fase brutal—fase terberat saat semua kekacauan terjadi. Terimakasih berkat kekuatan dan kesabaran keduanya, mereka bisa melewati hari-hari yang berat, dan bisa menikmati hari-hari yang ringan seperti sekarang—walau belum sepenuhnya bahagia. Mungkin, tidak semua anak bisa jadi seperti Kaisar. Tapi untungnya, Hanggia diberkati dengan kehadiran seorang anak seperti Kaisar.
“Hp kamu bunyi terus tuh, Ji.” Rumi yang sedari tadi ikut merajut sambil mendengarkan percakapan ibu dan anak itu bersuara saat layar ponsel milik Kaisar terus menyala.
“Iya, palingan Maure.” Jawab laki-laki itu santai. Namun nama yang baru terucap itu menarik perhatian ibunya.
“Maure Ole?”
“Iya, Ole, Bun.”
“Ole masih suka kamu temenin?”
“Iya, Bun, suka aku temenin.” Angguk Kaisar yang mengundang senyum simpul dari ibunya.
“Semoga kalian temenan terus ya.” Kalimat itu lebih terdengar seperti permintaan. Wanita itu menatap lama anaknya, lalu beralih pada Rumi, sebelum kembali memberikan perhatiannya pada Kaisar. “Kamu, Heksa, Ole, semoga kalian bertiga temenan terus sampai bertahun-tahun, kayak kamu sama Rumi.”
Pemandangan Hanggia yang tersenyum teduh ditemani sepasang insan muda itu bukanlah pemandangan yang asing atau baru. Mungkin bagi orang lain, iya. Tetapi setidaknya untuk ketiganya, suasana itu adalah pemandangan yang sama seperti yang mereka lihat minggu lalu, bulan lalu, bahkan sampai beberapa tahun lalu. Rumi pun masih menjadi orang yang berkesempatan menjadi bagian dari pemandangan itu. Arumi Niana masih memiliki posisi khusus di kehidupan laki-laki itu.
“Ji?”
Suara pelan nan lembut Rumi membuat laki-laki yang sedang berdiri sendirian itu menoleh. Ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamannya itu ia masukkan kembali ke dalam saku celananya. Laki-laki itu baru saja selesai membaca puluan pesan yang Maure kirim, yang isinya adalah cerita—atau laporan—kegiatannya seharian ini. Kini perhatiannya ia alihkan pada Rumi yang berdiri di sebelahnya.
“Bunda mana?” Tanya laki-laki itu saat melihat ibunya sudah tidak ada di gazeebo.
“Lagi ke kamar mandi.” Jawab perempuan itu. Ia terlihat berpikir sejenak sebelum bersuara lagi. “Besok mau ikut aku ke shelter?” Tanyanya. Intonasinya terdengar biasa, namun ada sepercik rasa berharap disana. Rasa berharap yang kemudian dipatahkan oleh gelengan kepala Kaisar.
“Besok kayaknya aku mau ketemu Ole dulu.” Jawab Kaisar pelan.
“Oh.” Meskipun tidak bermaksud untuk terlihat buruk, Rumi tetap tidak bisa menyembunyikan sedikit kekecewaan yang muncul. Kaisar pun tidak melewatkan perubahan raut wajah dari perempuan di sebelahnya itu. Namun, tidak banyak juga yang bisa ia lakukan. Setelah beberapa menit keheningan, Rumi membuka mulutnya lagi. “Mulai suka sama Ole, ceritanya?”
“Gak juga,” Jawab Kaisar, masih dengan nada tenang dan lembutnya. Jawaban itu membuat Rumi sedikit mengeryit bingung. “Aku emang ga pernah benci sama Ole, Rum.”
Keduanya diselimuti keheningan selama beberapa saat. Kaisar sudah mengalihkan pandangannya dari Rumi dan kini menatap ke arah taman. Melihat orang-orang yang terbagi menjadi dua kategori: mereka yang sedang berjuang melawan luka, dan mereka yang membantu para pejuang itu untuk sembuh dari luka. Ia menyadari gelagat Rumi yang makin terlihat. Perempuan itu tidak terlalu puas dengan jawabannya. Tidak lama, Rumi membuka mulutnya lagi.
“Ole gimana kabarnya? Aku udah lama nggak liat.” Rumi kembali membuka topik. Kaisar refleks menoleh padanya, tidak menduga pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulut Rumi. Meskipun begitu, ia tetap menjawab.
“Ole masih gitu-gitu aja. Kuliah pulang kuliah pulang, kalau lagi gabut dia pergi main atau ganggu aku.” Tanpa disadari, seulas senyum terukir di wajahnya selagi ia bercerita tentang Maure. Senyuman khas seorang Kaisar yang biasanya muncul saat ia sedang bersama orang-orang yang berarti baginya. Rumi yang melihatnya pun tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Kadang aku juga penasaran, kenapa kamu baik dan peduli sama Ole.” Mulainya. Ia memasang senyum simpul sebelum melnajutkan. “You’ve grown fond of her, ya Ji?”
Fondness. Apakah itu kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan Kaisar dan Maure? Mungkin, iya. Mungkin itu alasan dari sikapnya yang tidak pernah sepenuhnya menolak Maure. Kata itu menjelaskan kepeduliannya terhadap Maure selama ini. Terlepas dari apapun jenis perasaan yang ia miliki terhadap Maure saat ini, perempuan itu tetaplah Maure yang sama yang ia kenal. Maure, yang bagaimanapun, memiliki posisi di hidupnya meski tidak sampai menempati posisi yang sama dengan Rumi. Mungkin juga, fondness itu hanya satu dari banyaknya kata yang bisa digunakan.
“I think I have always been fond of her.”