strings: tangled — The Intervention: Khagi, the third string


Meskipun rambut warna-warni sudah menjadi hal yang umum di kalangan mahasiswa, kadang hal itu tetap saja menarik perhatian. Entah karena warnanya yang terang, gaya rambutnya yang menarik, atau orangnya dari sananya sudah mempesona. Dalam kasus Heksa, mungkin alasannya adalah ketiganya. Laki-laki yang menjadi volunteer dalam acara UKM Expo itu sukses menarik perhatian para mahasiswa baru berkat rambut pirang terangnya.

Kumpulan mahasiswa yang berdiri di barisan paling belakang pun tidak mungkin tidak meliriknya. Salah satunya adalah Dita, teman OSPEK sekaligus teman satu fakultas Maure.

“Kating yang itu eye catching banget ya?” Komentarnya pelan, menarik perhatian Maure yang sedang melihat-lihat brosur Unit Kegiatan Mahasiswa.

“Hm?” Perempuan itu menoleh.

“Itu, yang rambutnya pirang nyala, agak gondrong.” Dita mengarahkan pandangannya pada sosok yang dimaksud. “Kalau diliat-liat, cantik juga ya…”

“Itu efek rambut gondrongnya.” Ucap Maure acuh tak acuh.

“Namanya tuh siapa tadi?” Kali ini Dita mengalihkan pandangannya dari Heksa dan menatap temannya itu. “Heksa ‘kan? Heksa Kadi? Kugi?”

Maure berhenti membolak-balik brosur di tangannya. Ia mengangkat pandangannya, melihat sosok yang sedang dibicarakan. Laki-laki berambut pirang itu berdiri di depan salah satu booth disana; sports club. Maure terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Khagi.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari si pemilik nama. “Heksa Samudera Khagi.”

“Ooh…” Gumam Dita mengangguk-anggukan kepalanya.

Keduanya tidak mengobrol lagi sampai waktunya mereka memasuki ruang teater untuk menonton pertunjukan dari salah satu UKM. Mereka berdiri di depan pintu masuk untuk mengisi absensi terlebih dahulu.

“Gue tulisin sekalian ya,” Ucap Dita pada Maure. Orang yang diajak bicara hanya mengangguk. “Maure Zianne K ‘kan? K nya apa?”

“Tulis Maure Zianne aja.” Jawab gadis itu cuek. Terlampau cuek sampai tidak sadar akan sepasang mata yang memperhatikannya sejak lama. Tatapan itu datang dari si rambut pirang, Heksa, yang terus memperhatikannya.


Kombinasi lapangan yang gersang dan auditorium yang sesak cukup membuat Maure merasa kelelahan setelah seharian menjelajah setiap stand Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada di universitasnya itu. Perempuan itu kini duduk di sebuah bangku di lorong di dekat toilet. Ia baru saja pergi mencuci mukanya. Sayangnya, ia tidak bisa bersantai terlalu lama karena dua menit kemudian, seorang senior muncul.

“Ini area panitia, maba nggak boleh disini.” Ucapnya tanpa sapa, langsung membuat Maure menoleh.

Tatapannya langsung bertemu dengan sepasang mata milik sosok laki-laki tinggi yang ia kenali sebagai kakak tingkatnya. Laki-laki berambut pirang itu, Heksa, memegang sebotol air mineral yang masih baru di tangannya. Ia berjalan menghampiri Maure yang masih duduk.

“Iya, cuma numpang sebentar habis dari toilet.” Jelas Maure. Kini laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya.

“Mau minum nggak?” Tawarnya sambil menyodorkan air mineral di tangannya. Perempuan itu tentu menggeleng. Heksa pun menarik kembali botol minuman itu. Ia kemudian berucap lagi. “Kamu diem di auditorium aja, di luar lagi panas banget, nanti sakit kepala.”

“Iya, aku udah selesai liat-liatnya.” Jawab Maure yang sedari tadi menghindari pandangan Heksa.

“Makasih bunganya.” Ucap laki-laki itu beberapa saat kemudian, menimbulkan raut bingung pada wajah lawan bicaranya.

“Bunga apa?” Tanya Maure acuh tak acuh.

“Aku tau kali bunganya dari kamu.”

Tidak lama kemudian, Maure bangkit dari duduknya dan bersiap untuk kembali ke auditorium. “Aku mau ke auditorium lagi.”

Belum sempat melangkah, Heksa sudah menahan lengannya pelan.

“Pulangnya mau bareng nggak, Ole?” Tanyanya dengan nada yang lebih lembut dibanding saat ia pertama bicara tadi.

“Enggak usah, aku udah dapet temen yang rumahnya searah.” Geleng perempuan itu.

“Rumah kita juga searah?”

“Tapi jadwal pulangnya beda. Udah ya aku ke auditorium lagi.” Balas Maure sebagai jawaban final.

Maure berjalan meninggalkan lorong untuk kembali ke auditorium. Smeentara Heksa masih berdiri di tempatnya. Ia menatap sosok yang perlahan menjauh itu dengan tatapan berat dan sendu, diiringi helaan napas panjang.