strings: tangled — Yang lebih penting
kaisar, maure
Setelah mendapat info dari Jegar bahwa Kaisar sedang sakit, Maure langsung bergegas memasuki gedung Fakultas Hukum dan mencari ruangan yang disebutkan oleh Jegar. Menurut info yang ia dapatkan, Kaisar terlihat pucat dan lesu sejak pagi. Yah, untuk detailnya tidak ada yang tahu karena mereka berdua memiliki jadwal yang berbeda dari ini. Tetapi informasi yang minim itu malah membuat Maure semakin khawatir. Dengan paper bag berisi makanan dan obat di tangannya, ia membuka pintu ruang kelas yang kosong itu.
Napasnya berhembus lega saat mendapati sosok yang ia cari duduk sendirian di barisan belakang. Persis seperti kata Jegar, laki-laki itu terlihat pucat dan lesu. Hanya dengan melihat saja Maure bisa menebak separah apa sakit kepala yang dideritanya saat ini.
“Kenapa diem sendirian di sini?” Tanyanya itu begitu melangkah masuk. Tanpa membuang waktu, ia duduk di kursi di sebelah laki-laki itu. Orang yang ditanya tampak sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Ole—ngapain?” Tanyanya lemas.
“Ya mau menolong lah??? Kata Jegar lo sakit.” Sewot perempuan itu sambil meletakkan barang bawaannya ke atas meja. “Tenang aja gue punya bakat ngerawat orang sakit kok.”
“Ole, gue lagi gak pengen bercanda.” Ucapnya dengan nada sedikit memohon. “Gue lagi gak pengen nanggepin tingkah lo.”
“Ya emang kapan juga lo nanggepin gue?” gumam perempuan itu pada dirinya sendiri. Khawatir laki-laki disebelahnya mendengar, ia segera bicara. “Nethink banget? Gue bukan mau ganggu, Kaisar. Gue kesini bawa makanan sama obat soalnya lo pasti udah tau sakit malah diem doang. Iya ‘kan?” Jelasnya panjang lebar.
“Ga perlu, Ole.” Geleng laki-laki itu.
Respons itu sedikit membuatnya kesal. Ia lantas menempelkan tangannya pada kening laki-laki itu untuk memeriksa suhunya; memastikan apakah ia benar tidak memerlukan bantuan seperti katanya.
“Gak perlu apanya ini kamu panas gini?!” Sewotnya lagi. “Gara-gara kehujanan kemarin nih.”
“Aku cuma perlu istirahat aja.”
“Kalau gitu kenapa belum pulang? Ngapain malah diem sendirian disini? Kata Jegar lo udah gak ada jadwal tuh.” Omel Maure sambil membuka paper bag yang ia bawa, mengabaikan penolakan laki-laki itu. Kemudian, sesaat sebuah senyum kecut muncul di wajahnya—hanya sesaat. “Mau jemput Rumi ya? Segitunya banget.”
Ekspresi Kaisar seketika berubah begitu nama Rumi terucap dari mulut Maure. Kini tidak ada apapun pada wajah itu selain ekspresi bersalah; seperti maling yang tertangkap basah. Padahal saat mengatakannya, perempuan itu hanya asal sebut saja. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ucapannya benar dan seratus persen akurat. Untuk sesaat, ia mematung di tempatnya. Tangannya yang sedang mengeluarkan bubur dari paper bag pun terhenti pergerakannya. Suhu panas Kaisar tiba-tiba terasa sepele jika dibandingkan dengan suhu panas hatinya sendiri. Bukan Rumi yang membuatnya kesal, sebenarnya. Tetapi fakta bahwa saat Kaisar jelas-jelas sedang sakit begini, laki-laki itu masih sempatnya memprioritaskan Rumi.
“Padahal aku bercanda, taunya bener.” Cibirnya setelah berhasil mengontrol emosinya. Perempuan itu memilih untuk mengabaikan topik tentang Rumi. Ia melanjutkan pergerakannya yang terhenti. “Kamu belum makan ‘kan? Aku tadi beli bubur. Ada obat sama isotonic drink juga.”
“Aku sebentar lagi juga mau pergi, Ole.” Tolak Kaisar lagi.
“Kamu makan ini juga gak akan sampai satu jam.”
“Ole…”
“Kamu kayak orang sekarat, Kaisar.” Keukeuh Maure. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa laki-laki itu keras kepala sekali tentang hal sepele seperti ini. Tidak ada salahnya duduk sebentar dan makan untuk mengisi energi, bukan?
“Aku harus—” Disaat itu juga ponsel laki-laki itu berdering, memotong kalimatnya sendiri. Kaisar kini berbicara di telepon sementara Maure memperhatikannya. Secara fisik memang tidak terlihat seperti akan pingsan, namun ia yakin sekali bahwa Kaisar jauh lebih sakit dibanding yang terlihat. Hujan kemarin derasnya bukan main. Mengendarai sepeda motor di bawah guyuran hujan yang nyaris seperti badai itu adalah hal gila. Hal gila yang dilakukan Kaisar untuk Rumi. Beberapa menit kemudian, panggilan selesai. Laki-laki itu kembali menaruh perhatiannya pada Maure, sedangkan perempuan itu menatapnya tajam. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Kaisar karena percakapan di telepon tadi.
“Aku harus pergi sekarang.”
“Jemput Rumi ya?” Decih Maure. “Emangnya di dunia ini gak ada taksi apa?”
“Ole—”
“Kamu lagi sakit, Kaisar.” Potong perempuan itu. “Seenggaknya makan dulu biar ada tenaga. Emang kamu mau lagi nyetir terus pingsan terus Rumi kenapa-kenapa?” Lanjut Maure dengan nada kesal di beberapa kata terakhir.
“Aku ga sesakit itu.”
“Yaudah hargain usaha aku kek?”
”Aku ga minta kamu kesini?”
Perempuan itu menghembuskan napasnya kasar, frustrasi. Terbesit keinginan untuk marah, namun ia mengurungkannya. Masalah tidak akan selesai dengan emosi, benar ‘kan? Meskipun pada kasus ini sepertinya marah memanglah cara terbaik untuk melawan Kaisar yang keras kepala. Saat ini, bukan tentang Kaisar yang akan mengantar Rumi pulang atau apapun itu, tapi tentang Kaisar yang memaksakan kondisinya yang sedang kurang sehat. Itulah yang membuat Maure pantang menyerah dan menyamai tingkat keras kepala laki-laki itu.
Meskipun akhirnya perempuan itu hanya kembali menghela napas sambil bicara pelan.
“Sedikittttt aja, ya Kaisar ya?” Pintanya dengan nada bicara yang jauh lebih lembut dan tenang dibanding sebelumnya. Namun Kaisar masih menolak dan malah terlihat bersiap membereskan barang-barangnya.
“Ga sempet kalau makan—”
“Rumi juga gak akan diculik monyet kalau lo telat lima menit!” Ujar Maure kesal, dan setengah marah; pada akhirnya tidak sanggup menahan emosi lebih jauh. Kalimatnya itu sukses memancing emosi Kaisar. Kini, laki-laki itu yang menghembuskan napas kasar.
“Ole.” Panggilnya dengan nada memperingatkan. Untuk sesaat, Maure merasa terkejut atas reaksi Kaisar yang sampai seperti ini. Namun dengan cepat ia kembali mengesampingkan perasaannya dan fokus pada titik masalah terlebih dahulu.
“Kaisar, aku gak masalah omongan aku gak pernah kamu turutin.” Mulai perempuan itu, kembali tenang. “Tapi sekali ini aja, dengerin. Kamu duduk terus makan, abis itu baru pergi. Ini buat kamu sendiri? Please?”
Maure memberikan tatapan memohon terbaik yang ia miliki. Tetapi tidak ada hasilnya. Tidak digubris. Permintaannya tidak digubris. Laki-laki itu tetap bersiap-siap untuk pergi.
“Sorry, Ole. Aku duluan.” Pamitnya tanpa melirik ke belakang lagi. Kaisar benar-benar pergi. Sosoknya menghilang dengan terburu-buru dibalik pintu, meninggalkan Maure yang masih tenggelam dalam emosi dan kekecewaan.
Ternyata bagi Kaisar, Arumi sepenting itu. Jauh lebih penting dari Maure, bahkan lebih penting dari dirinya sendiri. Maka perdebatan hari ini pun, tidak ada intinya sama sekali. Tidak ada intinya berdebat tentang sesuatu yang jawabannya sudah diputuskan sejak awal.