strings: tangled — The Reality: Arumi Niana, the second string
Begitu sesi pertama seminar selesai, Maure bersama rekan panitia sekaligus teman sekelasnya, Dita memutuskan untuk mencari jajanan sebelum sesi selanjutnya dimulai. Sebenarnya selain lapar, itu hanya akal-akalan Maure saja agar bisa bertemu dengan Kaisar. Harusnya, laki-laki itu masih berada di area student hall. Tebakkannya ternyata benar. Ia menemukan sosok dengan kaos putih dan jeans abu muda itu berdiri beberapa meter darinya. Tanpa pikir panjang, Maure mengambil langkah untuk mendekatinya.
“Kaisar—” Sapaannya itu tidak sempat ia selesaikan. Langkahnya terhenti seketika saat melihat sosok lain yang menghampiri laki-laki itu. Perempuan berambut panjang bergelombang itu memasang wajah yang berseri-seri. Berbanding terbalik dengan ekspresi Maure saat ini yang sudah kehilangan senyum semangatnya. Terlebih saat Kaisar memasang ekspresi yang sama dengan perempuan itu. Sudut bibirnya terangkat ke atas, memamerkan senyum paling manis yang bisa ia berikan, sesekali ia tertawa renyah sampai matanya nyaris menghilang. Sebuah eskpresi yang tidak pernah muncul saat laki-laki itu bersamanya.
The admiration and adoration in his eyes and smile, that Maure could only wish for, was given for free for that girl.
“Maure ayo balik—lah, itu siapa?” Dita yang menghampiri Maure dengan sekantung plastik berisi serba-serbi jajanan kini ikut mematung di tempatnya. Dengan arah pandangan yang sama, yaitu Kaisar dan si perempuan berambut cokelat. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maure. Seolah pemandangan itu menyerap kemampuannya untuk bicara.
This was not the first time she saw them. In fact, she keeps on chasing him knowing the fact that he HAS someone that holds a special place in his heart. Yeah, that kind of person exists in his life, hence the countless rejection. She knew damn well his ‘busy’ wasn’t always mean assignments, projects, and papers. Sometimes he was just busy paying attention to her; busy showering the girl with love, probably. Nevertheless, Maure keeps on liking him, knowing the possibility for him to like her back is almost zero. But as they locked hands—Kaisar and the girl—she started to wonder again if liking him was ever worth it. If the pain was ever worth it.
“Kak Kaisar punya pacar?” Tanya Dita lagi setelah Maure tidak kunjung menjawab. “Itu anak kampus sini juga? Siapa?”
Perempuan berambut cokelat itu juga hanya mahasiswi biasa, sama seperti Maure, Dita, ataupun Cemima. Bukan mahasiswi yang menonjol sampai satu universitas mengenalnya ataupun mahasiswi berprestasi yang namanya selalu ada di koran kampus. Tapi mahasiswi biasa, perempuan biasa seusianya itu punya begitu banyak hal yang tidak Maure miliki. Kaisar adalah salah satunya.
“Rumi.” Maure membuka mulutnya untuk pertama kali setelah beberapa saat.
“Pacarnya?”
“Bukan.” Gelengnya. “Tapi kayaknya lebih bagus kalau mereka pacaran.”
So it’ll be easier for her to stop, because then she’ll has an absolute reason to.