strings: tangled — Yang dekat tapi tidak pernah sejajar


kaisar, maure


Terhitung sudah hari kelima sejak Maure terakhir bicara dengan Kaisar. Diluar dugaannya sendiri, ia bertahan selama ini. Setelah mendapatkan kabar bahwa kelas siangnya dibatalkan, ia memilih untuk menghabiskan waktu sebentar di salah satu taman di kampusnya. Karena itu sekarang ia duduk seorang diri di salah satu gazebo di taman yang sering disebut sebagai taman amazon ini. Bukan tanpa alasan, tapi karena memang taman ini merupakan yang paling luas dan paling hijau diantara taman-taman lainnya. Selain itu, taman ini dikelilingi pohon-pohon beringin yang dijamin bisa menghalau sinar matahari. Namun karena taman ini merupakan area bebas rokok, biasanya yang berkunjung hanyalah mereka yang ingin mengerjakan tugas ditemani kesejukan alam saja.

Maure pun memilih untuk menghabiskan waktu sambil mengerjakan sebagian tugasnya. Jemarinya menari-nari lincah di atas keyboard, kedua pupilnya gesit memperhatikan setiap kata yang ia ketik. Sedangkan telinganya disuguhi alunan lagu yang ia dengarkan lewat earphones. Karena itulah ia tidak menyadari kedatangan seseorang yang kini sudah berdiri di samping mejanya.

“Hai?” Sapa sebuah suara rendah yang begitu familiar ditelinganya—bahkan saat ia sedang ditulikan oleh lantunan lagu sekalipun. Ia pun spontan menoleh untuk memastikan seseorang itu. She can’t help but frowns at the sight. It’s him.

Kaisar.

Maure sempat berpikir mungkin dirinya sedang berhalusinasi; dan memang wajar jika ia berpikir demikian. Tanpa angin tanpa hujan, Kaisar muncul ke hadapannya atas kehendaknya sendiri. Perempuan itu sempat mengambil waktu untuk memperhatikan sosok yang sudah lama tidak berinteraksi dengannya itu. Hari ini Kaisar muncul dalam balutan jaket denim hitamnya yang ikonik; sling bag hitam tersampir di bahunya. Rambutnya hari ini tersisir rapih ke belakang dan menyisakan hanya beberapa helai saja yang jatuh ke wajahnya; menampilkan sebagian besar keningnya.

Laki-laki yang ditatap tidak mengambil banyak waktu untuk duduk. Ia terlihat santai dan tidak menampilkan gurat wajah yang mencurigakan. Melihat atmostfer yang terasa ringan itu, Maure pun akhirnya bicara.

“Wah dunia mau kiamat, Kaisar nyapa duluan.” Sarkasnya. Namun lawan bicaranya tidak terlihat terusik sama sekali.

“Udah beres kelas? Udah makan siang?”

Pertanyaan itu sempat membuat Maure terdiam sejenak, memastikan telinganya—yang sudah tidak disumpal earphones—mendengar dengan jelas. Bukannya tidak senang, tapi rasanya aneh saja Kaisar menghampirinya duluan lalu menanyakan hal yang biasanya justru Maure tanyakan padanya. Mungkin taktik tarik ulur itu memang mujarab. Tetapi mungkin juga, Kaisar hanya merasa bersalah atas percakapan terakhir mereka. Apapun itu, setidaknya artinya bagus, bukan? Lalu fakta bahwa Kaisar sampai mendatanginya—dan entah dari mana laki-laki itu tahu keberadaannya—membuat Maure tersadar bahwa mereka sudah terlalu lama tidak bicara pada satu sama lain.

“Dih nanya-nanya, suka ya?” Canda perempuan itu, kembali menjadi Maure yang biasanya.

“Ole.” Ucap Kaisar dengan nada sedikit tegas; tanda bahwa 1) ia sedang ingin serius atau 2) ia kehabisan kesabaran untuk menghadapi Maure.

“Iya udah beres.” Anak yang disebut namanya pun masuk kembali ke dalam mode normal. Kemudian tanpa aba-aba, ia bertanya lagi. “Kamu mau ngebaikin aku soalnya ngerasa bersalah ya?”

Membalas perasaan Maure memang masih menjadi sesuatu yang tidak pernah muncul dalam pikiran seorang Kaisar—khususnya untuk saat ini. Namun bukan berarti ia dengan sesuka hati mengabaikan kebaikan dan ketulusan hati perempuan itu juga. Faktanya, ia memang merasa bersalah atas hari itu. Ia bersikap tidak menghargai usaha Maure untuk merawatnya. Ia tidak masalah kalau perempuan itu berhenti mengejarnya bahkan berhenti menaruh perasaannya. Tetapi lain hal kalau Maure menghindarinya karena Kaisar yang berbuat salah. Laki-laki itu tidak bisa membiarkan hal yang seperti itu. Karena itulah ia sampai mampir ke fakultas Ilmu Komunikasi dan berujung mendapat informasi dari salah satu teman perempuan itu kalau anak yang dicari berada di taman ini.

“Keliatan jelas ya?” Jawabnya atas pertanyaan sebelumnya. Ia pun tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman apapun dengan menyembunyikan niat kedatangannya. Maure hanya memutar bola matanya sebagai jawaban. “I am really sorry, Maure. It was direspectful for me to ignore your kindness and care that day.

Aktif dalam organisasi sampai menjabat sebagai pemimpin membuat kata egois berada sangat jauh dari jangkauan Kaisar. Kapanpun dan dimanapun, ia harus selalu mendengarkan pendapat orang lain, mengevaluasi dirinya sendiri, dan berintropeksi diri saat melakukan kesalahan. Hal ini menjadi salah satu daya tarik yang dimiliknya; juga hal yang membuat Maure mengaguminya. He never deny anything when it comes to absolute mistakes.

Siapapun boleh setuju kalau sikap Kaisar yang mengabaikan berbagai macam usaha Maure untuk mendekatinya bukanlah tindakan yang salah. Semua orang punya hak atas perasaannya sendiri dan kemudian bersikap berdasarkan perasaan itu. Tetapi hal yang satu ini berbeda. Kali ini bukan tentang bagaimana Kaisar mengabaikan modus perempuan itu tetapi tentang bagaimana laki-laki itu mengabaikan kebaikan dan ketulusan orang lain. Hari itu, tidak terbesit sekalipun dalam kepala Maure bahwa tindakannya dimaksudkan untuk sekedar menarik hati. Hari itu, ia benar-benar bergerak atas rasa peduli setidaknya sebagai teman. Dan kesalahan Kaisar adalah—untuk pertama kalinya—gagal membedakan dua hal itu.

“Aku sakit hati beneran loh, for your information.” Mulai Maure yang semakin memperjelas wajah bersalah laki-laki di hadapannya. “Aku beneran niatnya baik.”

And I am sorry for that too,” Ucap Kaisar, serius dan tulus.

Maure menatap laki-laki di depannya. Tiba-tiba saja, ia merasa sangsi akan kedatangan laki-laki itu. Bukan bermaksud mencurigai niat baiknya, hanya saja setelah apa yang terjadi…ia tidak bisa untuk tidak merasa ragu. Kaisar melakukan sesuatu untuknya? Bukannya terdengar seperti omong kosong? Bahkan jika sesuatu yang dimaksud itu hanyalah sesederhana sebuah percakapan. Namun, wajah itu tidak berbohong sama sekali. Siapapun yang melihat akan langsung tahu bahwa Kaisar memang sedang berbicara dengan serius dan penuh ketulusan. Akhirnya, Maure menghembuskan napas dan membuka mulutnya.

“Biasanya omongan aku gak kamu tanggepin serius dan aku gak peduli soalnya kebanyakan emang bercanda, tapi buat yang ini, aku harap kamu denger baik-baik ya?” Lanjut perempuan itu lagi. “Aku gak peduli modus aku mau dicuekin segimana cuek pun juga, tapi kebaikan aku sebagai manusia jangan ikut dicuekin juga. Soal Rumi juga…aku tau banget dia prioritas kamu and you have something with her—a relationship I can’t understand. Tapi aku jangan dianggap penghalang di antara kalian atau orang yang maksa masuk di tengah hubungan kalian. Nanti aku benci kamu kalau kamu kayak gitu.”

Ada rasa lega setelah ia mengucapkan semua kalimat itu. Rasanya seperti ia baru saja meluruskan sesuatu yang kusut di antara mereka. Memang perdebatan yang tidak diselesaikan secara kepala dingin sering berakhir sebagai sesuatu yang mengganjal. Sepertinya, perasaan itu pun tidak hanya dirasakan oleh sepihak saja. Kaisar yang duduk di seberangnya pun terlihat merasa lega bahwa percakapan ini terjadi. Meskipun tidak ada yang berubah tentang perasaannya terhadap Maure, bermusuhan tetap bukanlah sesuatu yang ia inginkan.

Kaisar yang mengabaikan segala tingkah modus Maure adalah satu hal. Tapi, sampai disitu saja. Karena pada kenyatannya—yang tidak banyak orang tahu—Kaisar tidak pernah mengabaikan Maure sendiri. Laki-laki itu tidak bersikap kekanakan—dan bodoh, dengan mengabaikan Maure sepenuhnya. Meskipun tidak menuruti permintaan-permintaan perempuan itu, ia tetap ada jika perempuan itu memerlukan bantuan. Satu hal yang sangat jelas, Kaisar tidak pernah membenci Maure.

Setelah tenggelam dalam pikiran masing-masing, salah satu kembali membuka suara.

So, we’re good? Ga musuhan?” Kaisar-lah yang pertama bicara lagi. Ia menaikkan kedua alisnya sambil menunggu Maure yang terlihat sedang berpikir untuk menjawab.

“Tapi janji dulu gak akan kayak gitu lagi.” Pintanya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Entah apa yang lucu, kekehan pelan keluar dari mulut Kaisar, bersamaan dengan senyum sabitnya. Kemudian, ia mengacungkan jari kelingnya pada perempuan itu.

Ok, pinky promise.

Maure sempat terkejut untuk beberapa saat. Ia hanya berkedip sambil memandang jari kelingking yang terangkat di udara itu. Namun dengan cepat, ia menyambutnya dengan kelingkingnya sendiri.

“Dunia mana tahu Kaisar kalau bikin janji selalu pake pinky promise.” Komentarnya, juga menandakan bahwa atmosfer tegang di antara mereka sudah benar-benar mencair. “Kamu kalau sama Jegar atau Heksa gini juga gak?”

“Ga, geli.” Jawab laki-laki itu cepat, memunculkan senyum simpul pada wajah perempuan itu.

Sayangnya, senyum itu tidak berlangsung lama karena dering telepon yang datang menginterupsi.

“Aku duluan ya, Ole” Pamitnya segera setelah telepon ditutup.

Lagi-lagi, Kaisar harus pergi untuk Rumi. Pada titik ini Maure berpikir keduanya memiliki jadwal kencan setiap hari. Sebenarnya, ia pun tahu ponsel itu sudah berbunyi sedari tadi. Pendengarannya cukup tajam untuk bisa mendengar suara notifikasi dari ponsel berwarna hitam itu. Karena itu hari ini ia tidak berkomentar apapun dan membiarkan Kaisar pergi dengan mudah. Setidaknya, laki-laki itu tetap meluangkan waktu untuk berbaikan dengannya.

Meskipun sedekat apapun mereka, Maure tidak akan pernah bisa menyentuh level Rumi.