“Ole, gue boleh nanya satu hal?” Tanya Cemima memecah keheningan. Kedua tangannya memeluk gelas berisikan matcha latte kesukaannya dengan sedikit gugup.
“Apa?” Balas gadis yang ditanya dengan santai dan tenang. Akhirnya, Cemima pun membuka mulutnya.
“Kenapa harus Kaisar?”
Siapapun yang melihat bagaimana Maure berusaha keras mendapatkan hati Kaisar pasti lama-lama akan berpikir demikian. Kadang, ada garis yang tipis sekali di antara tekad dan kebodohan. Maure menyukai Kaisar lalu berusaha mendekatinya, itu sebuah tekad. Tapi Maure yang masih berusaha walapun tahu Kaisar memiliki hubungan yang rumit dengan Rumi, itu namanya murni kebodohan. Setidaknya dalam pandangan Cemima seperti itu.
Kenapa ia harus melihat temannya mati-matian mengejar satu laki-laki yang jelas-jelas memiliki perasaan untuk orang lain? Kenapa ia harus menyaksikan Maure menyakiti dirinya sendiri?
“You could’ve find someone better. Someone who deserve your love, but why Kaisar?”
Saat cerita Kaisar dan Rumi muncul semakin jelas ke permukaan, Maure selalu menduga pertanyaan semacam ini akan keluar.
Begitu Kaisar dan Rumi bersikap terang-terangan soal kedekatan mereka, ada perubahan genre yang terjadi pada cerita Maure. Yang mulanya dilihat sebagai komedi romansa masa muda, tiba-tiba berubah menjadi cerita cinta bertepuk sebelah tangan yang menyedihkan. The once seen as an optimistic girl suddenly turned into patheic one. Some even called the whole situation as Maure’s villain origin story.
Little did they know, her villain origin story started way long before.
Pertanyaan Cemima membawa Maure pada percakapannya dengan Kaisar sebelumnya. Percakapan dimana Kaisar, setelah beberapa waktu, kembali menyinggung soal masa lalu. Ia terlihat berpikir untuk waktu yang lama. Seolah ia pun menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri. Kenapa ia berusaha keras untuk membangun hubungan baru diantara dirinya dan Kaisar?—dan diantara semua yang melibatkan mereka. Beberapa saat kemudian, ia mengangkat gelasnya dan menyesap lattenya.
“Because we have history, I guess?” Jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Huh?” Jawaban itu membuat Cemima mengerutkan keningnya bingung.
“Kamu pernah penasaran nggak, Cemi? Tentang aku, Kaisar, sama Heksa?”
The Past: Kaisar & Heksa, the fifth string.
Hari itu hanyalah hari biasa pada awal tahun ajaran baru. Bukan hal aneh jika hampir semua murid masih diantar-jemput orang tuanya, mengingat mereka masih memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan. Hal yang sama juga berlaku pada dua anak laki-laki yang sedang duduk berdampingan—masing-masing dengan sebungkus cilok di tangan—di bangku yang disediakan oleh abang penjual jajanan di sebrang sekolah mereka.
“Kaisar?” Panggil salah satu anak. “Lo Kaisar Romawi atau Kaisar Cina?”
Anak yang dipanggil seketika menoleh dengan pandangan bingung; satu tangannya memegang setusuk cilok yang berhenti ditengah perjalanan menuju mulutnya.
“Nanya aja.” Tambah si anak laki-laki yang bertanya.
Ada jeda yang membuat rasa penasaran bertambah saat anak yang ditanya mengangkat tusukan ciloknya ke mulut lalu mengunyahnya. Anak yang duduk di sebelahnya menunggu jawaban sambil memeluk ransel biru tuanya. Akhirnya, laki-laki itadi berhenti mengunyah dan membuka mulutnya.
“Kaisar belantara.”
“Gak lucu.”
“Emang.” Tidak lama kemudian, ia membuka mulutnya lagi. “Kalau lo apa?”
“Heksa.” Anak laki-laki itu sengaja mengambil jeda, lalu melanjutkan saat merasa waktunya tepat. “Heksagon.”
“Gak lucu juga.”
Namun percakapan absurd itulah yang justru membentuk pertemanan antara Kaisar dan Heksa. Mulanya karena sering menunggu jemputan bersama sambil makan bermacam-macam jajanan pinggiran di sebrang sekolah. Lama-lama mereka jadi menghabiskan waktu bersama di dalam sekolah juga. Meski bukan berasal dari kelas yang sama, keduanya sering menghabiskan waktu istirahat bersama atau bermain bola bersama di lapangan. Lalu tanpa sadar, keduanya menjadi teman dekat.
“Hari ini PS lagi ga?”
“Beresin PR matematika dulu!”
Berada di usia menginjak remaja, keduanya pun sering belajar banyak hal bersama-sama. Entah kebetulan atau takdir, keduanya pun memiliki rasa penasaran yang sama tentang bagaimana hidup bekerja.
“Ami, keluarga yang utuh itu kayak gimana?” Tanya Heksa pada ibunya suatu hari.
“Kenapa Abang nanya gitu?”
“Kemarin waktu main bola, ada yang ngejekin Kaisar katanya keluarganya gak utuh.”
Kiana tersenyum penuh arti mendengar hal itu. Wanita itu menatap anaknya lama, menyadari bahwa anak lak-laki yang dulu hanya bisa merangkak itu, kini mulai ingin belajar tentang hal-hal yang serius.
“Kamu mau dengerin kata orang atau kata Ami?”
“Emangnya beda?”
“Ya iya!” Angguk wanita itu. “Kalau kata orang, keluarga yang utuh itu ada ayah, ada ibu, ada anak. Tapi kalau kata Ami, keluarga yang utuh itu yang saling menyayangi, saling menjaga, saling mengerti, dan selalu ada untuk satu sama lain.”
Suara lembut nan teduh itulah yang ikut menumbuhkan sikap dewasa dalam diri Heksa. Kalimat-kalimat Kiana juga yang akhirnya membuat Heksa selalu berkata pada Kaisar:
“Yang penting lo sama Bunda lo saling sayang, udah gitu aja cukup.”
Meskipun pada akhirnya, Kiana akan menimbrungi dan berkata:
“Masalah keluarga itu masih belum waktunya buat kalian pikirin. Kalian ‘kan masih SMP, belajar temenan aja dulu ya. Nanti kalau udah lebih gede dikit, kita belajar soal keluarga lagi.”
Kalau kata Kaisar, rumah Heksa yang ada Ami Kiana di dalamnya adalah rumah paling hangat yang pernah ia kunjungi; selain rumahnya sendiri. Rumah yang membuat Bundanya tidak perlu merasa khawatir meskipun ia bermain disana sampai matahari tenggelam—bahkan sampai hari berganti.
“Sa, hari ini Bunda yang bawain makan siang.”
“Wah ini pasti daging asam manis!”
They always shared joy; talking about gaming hours and each other’s mom’s cooking. They made sure none of them feel friendless; the reason behind knocking on the door almost every Sunday morning. They learn together too, a lot. They shared what they have learned. Eventually, they shared pain too.
“Gue turut berduka cita, Sa.” Ucap Kaisar pelan dan sendu, sambil mengusap pelan bahu laki-laki yang terduduk lesu di halaman belakang rumah.
Suasana rumah Heksa hari itu sangat berbeda dari biasanya. Tidak ada suara dentingan alat masak di dapur ataupun televisi yang menayangkan acara olahraga. Yang ada hanyalah isakan dari para pelayat yang datang untuk mengucapkan duka.
Hari pemakaman Ragalih Khagi. Hari pemakaman ayah dari Heksa.
“Heksa?” Suara manis dan lembut perempuan yang muncul dari ambang pintu membuat kedua anak laki-laki yang duduk di atas rumput itu sama-sama menoleh. Mata mereka tertuju pada anak perempuan sebaya mereka berdiri dalam balutan dress hitam polos.
The Past: Kaisar & Maure, the sixth string.
Hari itu adalah hari dimana pelangi resmi punah dari kehidupan Heksa Khagi. Hari dimana untuk pertama kalinya, ia berharap dirinya tidak membuka mata di pagi hari. Tidak ada secuilpun senyum yang muncul di wajahnya. Tidak ada pula suara lembut yang selalu berbicara dengan nada ceria. Siapapun yang melihat, pasti setuju bahwa hari itu, suasana hatinya sama gelapnya seperti pakaian orang-orang yang menghadiri pemakaman.
Atau setidaknya, itulah yang Maure lihat begitu ia menginjakkan kakinya ke dalam rumah.
Begitu jenazah selesai dimakamkan, keluarga, kerabat, dan orang-orang terdekat lainnya kembali ke rumah Heksa. Maure yang seharian itu selalu berada di dekat ibunya dan Ami Kiana, memutuskan untuk menemui Heksa.
“Heksa?”
Saat itulah ia melihat seorang anak laki-laki yang baru pertama kali ia temui.
“Ole?” Jawab laki-laki itu lirih. Sementara anak di sampingnya hanya menatap. “Ke sini aja.”
Selama ini, ia tahu hampir semua teman-teman dekat Heksa dan laki-laki itu jarang membawa teman yang tidak akrab dengannya ke dalam rumah. Tapi, ini baru bertama kalinya ia melihat laki-laki dengan mata yang berkilauan itu.
“Ini Kaisar, temen aku.” Jelas Heksa singkat begitu Maure tiba di depan mereka. Sedangkan anak yang disebut namanya terlihat mengeluarkan ekspresi sedikit bingung saat mendengar kata ‘aku’ keluar dari mulut temannya.
Sama seperti Kaisar yang penasaran kenapa Heksa tiba-tiba memiliki teman bernama Maure, perempuan itu pun penasaran tentang anak laki-laki yang baru dikenalnya itu.
Mulanya, mereka bertemu tanpa direncanakan; masing-masing hanya berniat untuk menemani dan menghibur Heksa dan berakhir jadi sering bertemu. Kemudian, Maure jadi menghabiskan hampir setiap hari di rumah Heksa karena ibunya harus bekerja. Entah atas alasan apa, Kaisar pun jadi lebih sering berkunjung. Kadang mereka hanya duduk bertiga di ruang keluarga sambil mengerjakan PR masing-masing. Kadang mereka bermain bersama anak-anak lainnya.
It was curiosity at first.
“Kaisar, sekolah kamu seru gak? Aku mau masuk SMP sana aja deh.”
“Jangan, banyak anak nakal.”
Tentu, anak-anak pun mengalami yang namanya merasa canggung terhadap satu sama lain. Maure pun mulanya tidak banyak berinteraksi dengan Kaisar. Ia hanya akan duduk di dekat Heksa dan tidak banyak bicara, atau mengekor di belakang keduanya ketika mereka pergi kemanapun. Tapi, takdir memiliki jalan kerja yang unik. Sama seperti Maure yang bagi Kaisar adalah anak yang muncul tiba-tiba, bagi Maure pun Kaisar adalah anak laki-laki yang muncul tiba-tiba. Anak laki-laki yang muncul tiba-tiba itu, kemudian perlahan menjadi anak laki-laki yang menjadi bagian dari kesehariannya. Anak laki-laki yang tiba di rumah Heksa lebih cepat dari dirinya, anak laki-laki yang lebih dulu menyicipi roti lapis istimewa buatan Ami Kiana, dan anak laki-laki yang ikut menjadi ‘Heksa’ untuk Maure.
“Heksa kamu mau jemput aku gak?”
“Halo Heksa ngomong dong? Kata Mama kalau orang ngomong harus dijawab?”
“Heksa aku pulangnya lewat jembatan tapi di jembatan suka ada anak nakal tapi kalau gak lewat jembatan berarti aku harus lewat jalan raya aku gak hafal angkotnya yang mana.”
“Heksaaaaaaa aku beneran pulang sendiri nih?”
Kaisar sempat memandang ponsel di tangannya setelah telepon diputus sepihak. Laki-laki itu kembali masuk ke dalam ruang klinik tempat Heksa terbaring di atas ranjang dengan kaki yang diperban. Ia kemudian mendekati seroang wanita, guru yang mendampingi mereka, lalu bertanya.
“Kata dokternya apa, Bu?”
“Kemungkinan tulangnya patah, jadi harus ke rumah sakit.” Jawab wanita itu. “Ibu mau telfon Ami-nya Heksa dulu ya.” Ia kemudian pergi keluar ruangan untuk menghubungi Kiana.
“Gue pergi sebentar ya, nanti balik lagi.” Ucap Kaisar, yang membuat Heksa mengerutkan keningnya. “Mau jemput Ole.”
Dengan itu, Kaisar pun pamit kepada guru mereka dan berjalan cepat menuju sekolah tempat Maure berada, yang untungnya masih satu wilayah dengan klinik tempatnya berada ataupun sekolahnya sendiri. Tidak lupa, ia mengeluarkan ponselnya sendiri untuk menelepon anak itu.
“Ole jangan kemana-mana, diem di depan sekolah, aku yang jemput.” Ucapnya singkat tanpa menunggu Maure untuk menjawab. Begitu tiba, seperti yang diinstruksikan, Maure duduk di sebuah bangku di halaman depan sekolahnya. Ia duduk sendirian sambil memeluk tasnya.
“Heksa mana?” Tanya anak berseragam merah putih itu begitu melihat sosok yang tidak biasa datang menjemputnya.
“Ada.” Jawab laki-laki itu, Kaisar, singkat. “Tapi ga bisa jemput. Pulangnya sama aku aja.”
Semua kebingungan yang muncul di benak anak perempuan itu terjawab saat memasuki ruang klinik dan melihat Heksa terbaring di atas ranjang, kini ditemani Kiana di sampingnya. Kini Heksa dan Kiana bersiap untuk pergi ke rumah sakit, sedangkan Kaisar dan Maure diminta untuk pulang saja karena hari mulai gelap.
“Ami titip Ole ke Kaisar ya? Kalian tunggu di rumah Heksa dulu, Ami udah bilang ke Bunda sama Mama Anne.”
Begitulah bagaimana akhirnya Kaisar dan Maure berjalan sambil menuntun sepeda menuju rumah Heksa. Ternyata siang tadi laki-laki itu terserempet oleh motor yang oleng. Sayangnya, pengendara motor tersebut melarikan diri. Kalau kata Bu Hikmah, guru Heksa dan Kaisar yang kebetulan menjadi saksi, pengendara motor yang juga masih anak sekolah itu kabur karena kaget dan takut.
“Ole kalau Heksa ga bisa jemput jangan kemana-mana.” Ucap Kaisar memecah hening.
“Terus?”
“Tungguin di sekolah kayak tadi, aku yang jemput.” Jawab laki-laki itu serius, kemudian melanjutkan. “Kalau Heksa lagi ga bisa, biar aku dulu yang jadi Heksa.”
“Kalau gitu temenin belajar juga.”
“Iya.”
“Temenin jajan ke minimarket juga.”
“Iya.”
“Temenin main juga.”
“Kan emang kita suka main bareng?”
“Enggak itu kamu main sama Heksa doang, aku cuma ngikutin di belakang.”
“Iya nanti main bareng.” Ucapnya dengan nada meyakinkan. “Kamu tiap hari dititipin ke rumah Heksa?”
“Iya soalnya Mama kerja, jadi aku main ke sini biar ada temen.”
Lalu, perlahan Kaisar pun menjadi bagian dari kehidupan seorang Maure Zianne.
“Kita bertiga udah saling kenal dari lama.” Ucap Maure, menutup cerita ringkasnya tentang cerita masa lalu di antara dirinya, Heksa, dan Kaisar. “Jadi jawaban lain buat pertanyaan lo itu adalah, we were friends before anything else. Terlepas dari rasa suka gue ke Kaisar, dia dari awal udah jadi orang yang cukup penting di hidup gue. Dan Kaisar yang nolak perasaan gue gak akan jadi alesan buat gue ngejauhin dia.”