semestastellar

semesta untuk dunia yang fiksi – alternative universe(s)


“Ole, kamu mau diem terus gini?”

Suara lembut namun penuh rasa frustasi itu datang dari Heksa yang baru lima menit lalu memasuki kediaman Maure. Perempuan yang ia cari itu duduk pada salah satu kursi di dapur, dengan sebuah buku yang terbuka di atas meja di hadapannya. Buku yang sepertinya sengaja dibaca untuk menghindari percakapan. Namun sepertinya kali ini Heksa bertekad untuk membuat perempuan itu membuka mulutnya. Ia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya dan terus menatap Maure. Akhirnya, perempuan itu menutup bukunya, menyerah.

“Ya terus aku harus apa?” Balasnya, sama frustasinya seperti laki-laki itu.

Sepertinya ungkapan tenang sebelum badai itu selalu tepat. Beberapa waktu lalu, keduanya masih mengobrol santai dan bercanda—nyaris seperti dulu kala. Keduanya terlalu tenang dan damai sampai Heksa terkecoh, berpikir bahwa hubungan keduanya benar-benar pulih. Tapi ternyata, ketenangan itu lagi-lagi hanya ada pada permukaannya saja. Setidaknya itulah yang selalu diyakini oleh Heksa, bahwa tidak mungkin semuanya baik-baik saja ditengah semua ini—ditengah apapun yang melibatkan mereka.

“Cerita, Ole. Cerita.” Jawab Heksa dengan nada sedikit memohon. Sayangnya, Maure tetap bersikap tak acuh. “Baru sebentar ini aku mikir semuanya emang baik-baik aja dan nggak ada apa-apa. Tapi ternyata ada banyak yang harus diceritain, Ole.”

“Nanti dulu, aku lagi gak pengen mikirin itu.”

Lagi-lagi, itu jawaban yang diberikan. Nanti. Sebuah jawaban yang digunakan bukan untuk menjawab pertanyaan—atau permintaan Heksa, melainkan menghindarinya.

“Kamu mau nunggu berantakan?”

Pertanyaan itu meluncur seperti sebuah panah yang membuat Maure diam tak berkutik. Pertanyaan yang tajam, dan ia sendiri tahu betapa benarnya itu. Betapa pertanyaan itu juga adalah pertanyaan yang sering ia tanyakan pada dirinya sendiri. Pada saat yang bersamaan juga merupakan pertanyaan yang sangat ia hindari. Pertanyaan yang tidak bisa ia jawab, bukan karena ia tidak memiliki jawaban tetapi justru karena ia tahu jawabannya. Bahwa Maure memang sedang menghindar, melarikan diri; entah menunggu masalah selesai sendiri, entah menunggu kehancuran seperti kata Heksa.

I warned you.” Ucap Heksa final sebelum berjalan menuju pintu, meninggalkan Maure yang masih diam di tempatnya.


Ole, tell me honestly. Why did you fall for me?

Saat memulai semuanya, Maure pernah berpikir bahwa yang dilakukannya sama saja dengan membuat sebuah bom waktu yang sangat besar. Saat itu ia menyepelekan pikirannya sendiri. Ia tetap mengambil langkah meski tahu bahwa kemungkinan semuanya akan meledak suatu saat akan terus mengiringi. Maure tetap yakin dengan pilihannya, meskipun jauh di dalam hatinya, ia pun sadar pilihannya itu egois.

Mengabaikan—melupakan sesuatu dan menganggapnya tidak ada sama sekali tidak berarti bahwa sesuatu itu tidak pernah terjadi.

Why did you fall for me, Ole?” Tanya Kaisar untuk yang kedua kalinya saat Maure tidak kunjung menjawab. Rautnya menunjukkan bahwa dirinya menanti jawaban, namun sorot matanya menunjukkan ketakutannya akan jawaban yang mungkin ia dengar. Setelah beberapa saat, ia kembali melontarkan pertanyaan. Kali ini, pertanyaan yang berbeda dari sebelumnya. “Was it all because of Rumi?

Lagi. Nama itu disebut lagi di antara dirinya dengan Kaisar, seolah sejak awal memang menjadi bagian dari hubungan ini. Kaisar berharap kenyataannya tidak seperti itu. Tetapi saat ia menangkap sorot mata Maure yang diisi oleh rasa bersalah, ia tahu kenyataannya.

It was.”


“Berantakan. Semuanya berantakan.”


kaisar, arumi


“Makasih ya, Ji, masih mau nemuin aku.”

Kalimat itu keluar dari mulut perempuan yang mengenakan dress hijau sage, ditujukan kepada laki-laki tinggi di sebelahnya. Keduanya sedang berjalan pelan di lorong sebuah bangunan, menuju sebuah taman kecil di area belakang.

“Nggak mungkin juga aku ngehindarin kamu? I would never leave you, Rum.” Jawab Kaisar, si laki-laki. Ia menoleh sebentar, memberikan senyum simpul sebelum melanjutkan jalannya. Jawaban itu—serta senyumannya—membuat Arumi ikut tersenyum. Namun, senyumnya pudar dengan cepat.

“Itu dulu, mungkin? Sekarang ‘kan ada Ole.” Ucapnya pelan. Tatapannya sedikit sendu, menatap semak-semak berbunga dari taman yang mulai nampak dalam pandangannya.

Those are two separate matter.” Balas Kaisar cepat begitu mendengar nama Maure disebut; tidak ingin membawa orang lain ke dalam percakapan. “Besides, you know how dear—how important your are to me.

“Aku tahu.”

“Harusnya aku yang bilang makasih. Kamu masih mau ngeprioritasin Bunda aku.” Kaisar menambahkan.

She did a lot for me.

Keduanya kini sudah tiba di taman. Mereka memperhatikan tempat yang penuh dengan kehidupan itu. Ada yang sedang duduk menikmati semilir angin, ada yang sedang menenangkan pikiran sambil mengabsen bunga, ada pula yang seperti Kaisar dan Arumi; memperhatikan semua kehidupan itu. Waktu berlalu dalam keheningan, dalam ketenangan. Arumi masih memperhatikan para penghuni taman saat ia menyadari Kaisar sedang memperhatikannya; menatapnya dalam, seperti penasaran akan suatu hal.

“Kenapa, Ji?” Tanya Arumi pada akhirnya, saat laki-laki itu tak kunjung membuka suara.

“Aku pengen nanya sesuatu, tapi takut bikin canggung.” Jawab Kaisar. Hal itu membuat Arumi mengerutkan keningnya bingung.

“Kita udah kenal berapa lama sih? Kok masih takut canggung.”

Untuk beberapa saat, Kaisar masih terdiam. Ia terlihat sedang menimbang-nimbang apakah ia harus melontarkan pertanyaannya, atau memilih diam dan melupakan semuanya. Dan kalau ia diminta jujur, pertanyaan yang ada di kepalanya sekarang sudah terpikiran olehnya sejak lama. Pertanyaan yang sudah ada dalam benaknya untuk waktu yang lama, namun ia tidak pernah mempunyai keberanian untuk bertanya; he never has the heart to ask.

“Sebelumnya aku minta maaf if I hurt you by any way gara-gara pertanyaan ini.” Mulai Kaisar, yang membuat Arumi menjadi semakin bingung. Kali ini raut wajah perempuan itu juga diwarnai dengan antisipasi—cemas-cemas takut tentang pertanyaan yang akan dilontarkan itu. Setelah menarik napas panjang, akhirnya Kaisar melanjutkan. “Aku cuma penasaran. Kamu…tau hubungan kita ini kayak apa—hubungan kita ini apa. But, why did you treat our relationship romantically?”

Arumi mematung di tempatnya selepas mendengar semua itu. Ternyata, pertanyaan itu memang pertanyaan yang layak untuk diantisipasi—meskipun bukan dengan rasa antusias. Pertanyaan itu sendiri sangat di luar ekspektasinya, meskipun ia sendiri tahu itu bukanlah pertanyaan yang tidak mungkin. Faktanya, Arumi tahu bahwa pertanyaan itu adalah sesuatu yang layak untuk ditanyakan. Ia hanya tidak menyangka Kaisar akan melontarkannya sekarang.

“Kaisar? Rumi? Dicariin Bunda.”

Sayangnya—atau untungnya, pertanyaan itu berakhir tidak terjawab karena seorang staff perawat menghampiri keduanya.


maure, heksa


“Kenapa? Bete banget aku yang jemput?” Tanya Heksa saat menyadari Maure belum bicara sepatah kata pun. Begitu masuk ke dalam mobil, Maure langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela dan diam tidak bersuara. Pun raut wajahnya tidak terlihat senang ataupun bersemangat; sebaliknya, wajahnya terlihat sedikit suram. “Ole?”

Maure masih diam selama beberapa menit. Perempuan itu sibuk memperhatikan gedung, rumah, toko, papan reklame; apapun yang mereka lewati. Menyibukkan diri dengan berusaha membaca setiap tulisan yang terpampang. Mengabaikan Heksa yang sesekali menatapnya penuh tanda tanya. Sampai mereka berhenti di sebuah persimpangan karena lampu merah, barulah perempuan itu membuka mulutnya.

“Kamu mau tau yang aku liat tadi gak?” Tanya Maure sebagai pembukaan. Pertanyaan itu sukses membuat Heksa mengerutkan keningnya, tidak bisa menebak arah pembicaraan ini.

“Apa?”

“Kaisar.” Jawab Maure singkat. Heksa terlihat semakin bingung. Ia mulai mencoba menebak apakah maksudnya perempuan itu kesal karena ia datang menjemput padahal ada Kaisar; atau apakah perempuan itu kesal karena Kaisar sebenarnya bisa menjemputnya tapi memilih tidak. Sebelum ia sempat bertanya, Maure sudah lebih dulu melanjutkan. “Sama Rumi. Kaisar sama Rumi.”

“Hah?”

Heksa menunggu Maure bicara lagi, namun perempuan itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelahnya. Mengerti bahwa suasana hatinya sedang tidak bagus, Heksa memilih untuk kembali menfokuskan perhatiannya pada jalanan. Sesekali, ia masih melirik ke samping untuk sekedar memastikan. Sampai saat mereka tiba di lampu merah berikutnya, Maure masih terdiam. Heksa pun memutuskan untuk bertanya lagi.

“Kamu bilang ke Kaisar nggak kalau kamu liat mereka?” Tanya Heksa membuka obrolan. “Atau kamu udah nanya Rumi?”

“Nanti aja. Gak mau mikirin itu dulu.” Jawab Maure malas, masih menatap keluar jendela. Reaksi itu sedikit di luar ekspektasi Heksa. Ia sangat tahu kalau Maure lebih cenderung pada tipe yang frontal dan impulsif. Maure yang tenang dan minim reaksi seperti sekarang terbilang cukup jarang terlihat.

“Biasanya kamu langsung labrak Rumi.” Komentar Heksa, berusaha memancing jawaban.

“Ada yang lebih penting buat dipikirin.” Balas Maure, kali ini menoleh dan menatap Heksa. “Sebentar lagi tahunannya Mama.”



maure, heksa


“Lebih nyaman ‘kan dibanding kosan?”

Heksa berdiri di tengah ruangan dalam sebuah rumah sambil melihat ke sekelilingnya. Rumah yang tidak berpenghuni selama berminggu-minggu itu berukuran kecil dengan hanya memiliki satu kamar. Cocok untuk ditinggali oleh Maure. Sederhana, nyaman, dan terasa aman. Meskipun mungkin perlu dipoles sedikit agar terlihat lebih segar. Sebagian besar barang yang ada disana adalah barang bawaan—atau peninggalan yang sudah berada disana untuk waktu yang lama.

“Kamu disini mau karokean sampai subuh juga bisa.” Tambah Heksa lagi saat Maure tidak merespon.

“Emangnya kamu.” Cibir perempuan itu sambil meletakkan kopernya ke samping sofa. Ia memperhatikan isi ruangan sebentar sebelum menjatuhkan dirinya ke atas sofa. “Daripada diem mending kamu lanjutin turunin barang-barang aku dari mobil.”

“Terus aku ngangkutin semua sendirian gitu?” Tanya Heksa tidak percaya.

“Aku kan adik, aku diem.”

“Giliran gini aja ngaku adik.” Geleng laki-laki itu sambil berjalan pasrah menuju mobil yang terparkir di depan rumah.

Saat Maure memutuskan untuk pergi ke universitas yang sama dengan Heksa, pilihannya adalah tinggal di rumah Kiana atau tinggal di rumah ini. Tetapi seperti yang diketahui, pada akhirnya Maure tidak memilih keduanya dan malah pindah ke sebuah kos di dekat kampusnya. Alasan utamanya tentu saja untuk menghindar; menjaga jarak dari Heksa dan Kiana. Kini saat hubungannya dengan Heksa sudah membaik, topik tentang rumah ini pun diangkat kembali. Setelah banyak diskusi—dan sedikit perdebatan, Maure akhirnya setuju untuk menempati rumah ini seperti yang memang direncanakan sejak awal.

“Kamu beneran mau liatin doang?” Tanya Heksa yang sudah kembali lagi dengan koper lain dan sebuah kardus berukuran sedang.

“Barang-barang aku gak banyak.”

Meskipun sedikit melelahkan karena jarak dari mobil ke dalam rumah, Heksa tidak mengeluh sama sekali. Sebaliknya, ia senang saat direpotkan oleh Maure seperti ini. Apalagi mengingat hari-hari kebelakang, perempuan itu bersikap terlalu mandiri. Maure sebenarnya masih tidak begitu mengerti kenapa Heksa begitu bersikeras untuk melakukan banyak hal untuknya, disaat dirinya bisa melakukan semuanya sendiri; disaat dirinya sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri. Ia masih tidak mengerti kenapa Heksa terkesan bersikap protektif dan terlalu perhatian padanya. Namun, dirinya rasa hanya adil untuk Heksa menceritakan alasannya jika Maure bercerita tentang alasannya juga.

Maka, Maure memilih untuk tidak memikirkan hal itu.

Keduanya menyusun dan merapikan barang-barang milik Maure dalam ketenangan. Perempuan itu baru saja selesai melipat pakaiannya ke dalam lemari dan kini berjalan menghampiri Heksa yang berada di area dapur. Laki-laki itu terlihat baru selesai memasang microwave. Maure mulanya berniat untuk mengejutkannya, namun ia mengurungkan niatnya saat melihat Heksa yang berdiri mematung di depan lemari yang berisi piring dan cangkir hiasan, serta beberapa pajangan lainnya.

“Kamu suka kangen Ayah gak, Abang?” Tanya Maure spontan. Pertanyaan itu membuat Heksa menatapnya heran sekaligus terkejut, tidak siap sama sekali atas pertanyaan tidak terduga itu. Bahkan Maure sendiri pun tidak menduga kalau dirinya akan bertanya tentang hal itu.

“Kamu kangen?” Bukannya langsung menjawab, Heksa malah bertanya balik—kini berjalan menjauh dari lemari itu dan berdiri bersandar pada counter.

“Aku nanya kamu.”

Heksa tersenyum simpul sebelum menjawab.

“Kadang kangen, tapi sekarang lagi enggak.” Jawabnya tenang. Maure kini ikut bersandar pada counter, di sebelahnya. Setelah beberapa saat, perempuan itu membuka mulutnya.

“Aku juga kadang kangen, tapi sekarang lagi gak kangen.” Ucapnya, mengulang jawaban Heksa. Laki-laki itu menoleh padanya dengan kening yang sedikit berkerut. Namun belum sempat ia berucap kata, Maure sudah lebih dulu bicara lagi. “Jadi kamu gak usah banyak mikir. Gak usah banyak khawatir.”

“Gimana nggak khawatir, kamu ngangetin makanan di microwave aja sendoknya ikut dimasukin.” Balas Heksa dengan setengah bercanda.

Responnya itu merupakan langkah yang bagus, karena kini atmosfer yang sempat terasa memberat itu sudah berubah ringan dan jenaka kembali. Mungkin, kini Heksa sudah benar-benar mempercayakan semuanya kepada Maure. Sekaligus percaya bahwa pandangannya hanya perlu tertuju ke depan, pada apa yang ada di masa sekarang dan yang akan datang. Bukan bergelut dengan masa lalu seperti Kaisar. Juga mungkin, laki-laki itu sudah percaya sepenuhnya bahwa Maure, faktanya, memang tumbuh dengan baik—tumbuh dengan kuat.

“Kamu juga kalau pake kompor induksi suka salah panci.” Balas Maure tidak mau kalah. “Udah gitu marah-marah lagi ke kompornya padahal kamu yang salah.”

“Aku sekarang mau masak mie kamu nggak aku kasih.”

“Biarin orang aku mau pergi.”

“Sama siapa?”

“Kaisar lah.”

“Bocah puber.”

“Kamu iri kan ngaku aja.”

Dan hari-hari yang diwarnai keributan itu, bagi Maure, adalah hari yang tenang. Hari dimana dirinya bisa bernafas dengan lega, bersikap tanpa perlu banyak mengkalkulasi, dan merasa cemas tentang pertanyaan yang tidak ingin ia jawab. Hari-hari tenang yang datang lagi setelah sekian lama.


maure, kaisar


Kalau melihat hari-hari kebelakang yang cukup diwarnai dengan banyak drama, sebuah hari yang tenang dan normal jadi terasa seperti mimpi. Menariknya, hari-hari tenang yang dibicarakan disini justru bisa terwujud berkat hari-hari yang penuh drama itu. Siapa sangka rangkaian kejadian yang membuat sakit kepala itu nyatanya menjadi turning point dalam cerita ini? Sebuah turning point yang sebenarnya masuk akal, namun karena suasana baru yang dihasilkan itu sangat kontras, rasanya jadi seperti tidak nyata.

Dampak lain dari turning point itu juga adalah terciptanya suasana baru dalam hubungan Kaisar dan Maure.

Memang sudah aneh lagi melihat keakraban keduanya, mengingat cerita yang mereka miliki. Tapi untuk keduanya berada dibawah romantic atmosphere, itu cukup langka atau bahkan tidak pernah terjadi. Benar, sepertinya tidak ada adegan dimana keduanya menghabiskan waktu bersama tanpa faktor pendukung seperti Rumi sibuk, Heksa sibuk, Maure butuh bantuan, dan semacamnya. Baru kali ini, keduanya menghabiskan waktu bersama seperti sepasang anak muda pada umumnya.

“Oh iya kamu harus denger cerita ini!” Maure melipat kedua tangannya di atas meja dengan antusias, siap untuk bercerita. “Kemarin abis beli alat tulis di Miniso aku muter-muter dulu di mall nya kan.”

“Hm-mm.” Di sebelahnya, Kaisar duduk sambil menopang dagunya dengan satu tangan. Tatapannya fokus pada perempuan di sebelahnya.

“Terus tiba-tiba ada yang nyamperin aku, perempuan dua orang. Awalnya aku kira sales gitu, tapi mereka gak pake seragam atau lanyard apapun.” Lanjut Maure lagi sementara Kaisar masih menyimaknya. “Mereka ngenalin diri, katanya dari komunitas peduli kanker gitu. Walaupun random banget ada aktivis di mall aku gak curiga soalnya mereka tampilannya kayak anak kuliahan lagi volunteer gitu mana bahas peduli kanker. Yaudah deh mereka ngomong aku dengerin. Mereka cerita tentang komunitasnya blablabla.”

“Komunitasnya beneran?”

“Nah itu! Katanya beneran, ada foto kegiatannya juga. Terus aku pikir oh beneran volunteer terus aku kira mereka tuh mau ngadain acara amal atau kampanye kesadaran gitu terus ngajakin orang buat dateng.” Ia mengambil jeda sebentar untuk efek dramatis. “TAUNYA MEREKA JUALAN BUKU VOUCHER!”

“Hahahahaha,” Tawa Kaisar sementara Maure mengepalkan tangannya di atas meja karena kesal.

“Dua hari lalu juga aku ditawarin buku voucher! Tapi waktu itu katanya dari komunitas pendukung literasi apalah. Waktu SMP juga aku pernah ditawarin gituan!” Lanjut Maure masih dengan nada kesal. “Emangnya muka aku muka muka gampang ketipu?”

“Iya.” Jawab Kaisar tanpa berpkir. “Coba deh kamu ngaca.”

“Kaisar jelek.”

“Hahahaha.” Laki-laki itu kembali tertawa sampai kedua matanya menghilang. Setelah menghentikan tawanya, satu tangannya terulur untuk mengusap pelan kepala Maure. “Kasian.”

Adegan itu kini jadi sesuatu yang biasa. Maksudnya, adegan Kaisar dan Maure yang menghabiskan waktu bersama, lalu Maure akan bercerita panjang lebar mengenai kejadian unik yang dialaminya dan Kaisar akan menyimak ceritanya dengan seksama dengan tatapan yang teduh; dan di akhir, laki-laki itu selalu mengusap puncak kepala Maure pelan sambil tersenyum padanya. Kemudian, makanan pesanan keduanya tiba dan mereka akan sibuk makan sambil berkomentar tentang rasanya—terkadang, Kaisar menghabiskan lima menit untuk sekedar melihat Maure makan dengan lahap, baru dirinya sendiri mulai makan. Setelah selesai makan, keduanya akan mencari dessert cafe atau bakery terdekat untuk mencari hidangan penutup.

“Habis ini mau kemana lagi?” Tanya Kaisar setelah keduanya sama-sama selesai menyantap ramen pesanan masing-masing.

“Kita cari dessert.”

“Emangnya masih sanggup makan?”

There’s always room for dessert tauuuu!” Protes Maure yang membuat Kaisar tersenyum. A smile full of adoration and admiration she has been desiring all this time.

Tidak ada lagi seribu penolakan, tidak ada lagi usaha yang percuma. Juga, tidak ada lagi rasa penasaran dan keraguan tentang pertanyaan yang tidak terjawab yang berujung pada percakapan yang tidak diselesaikan. Sekarang ini, hanya ada Maure dan Kaisar yang akhirnya, menjalani hari seperti sepasang manusia pada umumnya. Dewasa muda yang sedang menavigasi hidupnya, meliputi pendidikan, karir, hubungan sosial, dan cinta. Benar juga, seperti dua manusia yang sedang saling jatuh hati—atau setidaknya sedang dalam perjalanan kesana.

Hari-hari dimana dirinya tidak perlu lagi bersusah payah menjangkau Kaisar, karena kini laki-laki itu mengulurkan tangannya sendiri. Figuratively, and literally.

“Ole!” Panggil laki-laki itu, membuat Maure yang berada beberapa meter di depannya berhenti dan berputar. Keduanya baru saja keluar dari restoran ramen dan sedang dalam perjalanan mencari toko gelato di sekitar mall. “Sini.”

Kaisar ingat betapa dirinya dulu dihantui rasa penasaran sampai membuatnya frustrasi, tentang kenapa Maure menyatakan perasaan padanya. Ia menghabiskan banyak waktu sekedar untuk memikirkan semuanya. Apa yang terjadi, kenapa bisa sampai terjadi, dan sebagainya. Klausa sederhana “Maure menyukai Kaisar” itu pun, entah kenapa terasa begitu rumit untuk bisa diterima oleh logikanya. Perlu waktu—ratusan pesan yang diabaikan, puluhan ajakan kencan, dan beberapa perdebatan kemudian—barulah klausa itu bisa ia mengerti.

Ternyata, seperti kata Maure, klausa itu sesederhana sebuah perasaan yang tumbuh seiring waktu. Perasaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, tanpa memerlukan sebuah alasan atau motif, seperti yang selama ini laki-laki itu pikir.

“Apa?” Tanya Maure begitu ia berdiri di depan laki-laki itu.

Seperti kata Maure beberapa waktu lalu, mungkin Kaisar memang terlalu fokus pada bagian masa lalu mereka sampai tidak cukup memperhatikan apa yang ada di hadapannya sekarang. Bukan Maure kecil yang meminta bantuannya untuk mengerjakan tugas Bahasa Inggris atau duduk dipinggir lapangan kompleks melihatnya bermain basket bersama Heksa. Kaisar memang sudah menyukai Maure, sampai batas tertentu. Ia menyukai Maure yang kemudian membuatnya peduli pada gadis itu. Tetapi itu adalah perasaan yang tumbuh di masa lalu. Perasaan yang ia miliki untuk perempuan itu sekarang tidak bisa diukur dengan logika yang ia miliki di masa lalu. Rupanya, itulah yang dipikirkan oleh Maure selama ini. Bahwa diantara berbagai perasaan yang dimilikinya, sebagian—atau mungkin kebanyakan, adalah perasaan yang tumbuh pada dan dari masa lalu. Adapun perasaan yang dimilikinya untuk Kaisar sekarang, adalah murni perasaan yang tumbuh di masa sekarang.

“Sini jangan jauh-jauh.” Ucap Kaisar sambil meraih sebelah tangan Maure dan membawanya ke dalam genggaman. Perempuan itu refleks melihat ke arah tangannya, kaget akan tindakan tiba-tiba itu. Ia memperhatikan satu tangannya yang berada dalam genggaman tangan laki-laki itu selama beberapa saat sebelum kembali menatap laki-laki itu. Tatapannya itu disambut oleh senyum sabit yang khas. “Ayo, jalan lagi.”

“Kenapa kita pegangan tangan?” Tanya Maure sedikit kaget dan bingung.

“Soalnya aku pengen pegangan tangan.” Jawab Kaisar dengan santai. Jawaban itu sukses membuat sebuah senyum merekah di wajah perempuan itu.

“Kamu mau liat aku salting gak?” Mulainya iseng.

“Jangan aneh-aneh, Ole. Jalan aja.”

Dan diantara berbagai perasaan yang Kaisar miliki untuk Maure sejak lama itu juga, terselip perasaan yang baru mekar.



Maure duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Pandangannya tertuju ke jalanan, memperhatikan kafe dan restoran yang mereka lewati—memasukkan beberapa di antaranya ke daftar tempat yang ingin ia kunjungi. Seperti biasanya, perempuan itu terlihat tenang tanpa pikiran. Berbeda dengan Kaisar yang sedari tadi terus mencuri pandang terhadapnya. Bibirnya beberapa kali terbuka-terkatup-terbuka-terkatup; ingin mengatakan sesuatu, namun ragu.

Sampai akhirnya Maure menyadari gerak-geriknya.

“Kenapa?” Ia menoleh pada laki-laki yang sedang mengemudi itu. Seperti tertangkap basah melakukan tindak kriminal, ekspresi kaget segera mewarnai wajah laki-laki itu.

“Ah—enggak, nanti aja.” Ucapnya yang sempat terbata di awal. Jawaban itu membuat Maure menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Kamu mau ngomong sesuatu, Kaisar. Kamu itu kalau nervous gampang keliatan tau.”

Mengetahui bahwa dirinya sudah terbaca jelas dan tidak bisa mengelak, Kaisar menghela napasnya. Saat mobil berhenti di lampu merah, ia kembali menoleh pada Maure.

I’ve been thinking.” Mulainya. Ia berhenti sebentar untuk memastikan lampu lalu-lintas belum berubah hijau. “Maybe we can try things out.

“Huh?” Maure berkedip beberapa kali karena bingung. Kaisar baru saja kembali membuka mulutnya saat lampu berubah hijau. Laki-laki itu akhirnya hanya tersenyum simpul.

Sayangnya, itu adalah lampu lalu-lintas terakhir yang mereka lewati dalam perjalanan menuju tempat tinggal Maure, sehingga mereka harus menunggu sampai mobil berhenti di tempat tujuan. Sepanjang perjalanan yang tersisa, Maure hanya bisa menunggu sambil berharap harap cemas tentang apa yang akan dibicarakan oleh laki-laki itu. Setelah SUV putih itu berhenti di depan rumah kecil bercat putih, barulah Kaisar membuka kembali obrolan.

I think you’re right.” Mulainya, menarik perhatian Maure secara penuh. “I’m overthinking and worrying for nothing. I’m dwelling too much on the past and forgetting that the most important right now is the present. Aku, kamu, Heksa, mungkin emang cuma masa lalu dan gak ada pengaruhnya ke hubungan kita. Sebaliknya, mikirin masa lalu itu kayaknya malah bikin aku terus ngeliat kamu sebagai saudaranya Heksa instead of Maure. I want to change that.”

Pembicaraan itu perlahan membuat jantung Maure berdebar. Ia tidak bereaksi apapun selain diam dan menyimak laki-laki di depannya karena ia merasa gugup.

“Ole,” lanjut Kaisar lagi. “Let’s try a new start.”


kaisar, maure


Ole, can we talk?” Suara bariton itu menghentikan pergerakan Maure yang sedang merapikan barang-barang di dalam tas nya. Ia menoleh dan melihat Kaisar yang baru saja meletakkan segelas air di atas meja. Kini laki-laki itu berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Matanya memancarkan sorot tatapan yang serius.

“Kenapa?” Melihat atmosfer yang serius, Maure pun menonaktifkan mode bercandannya. Ia mengedikkan kedua bahunya sambil menatap Kaisar, tanda mempersilahkannya untuk bicara.

Laki-laki itu menatapnya—tepat ke dalam matanya—dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan sebelum ia membuka mulutnya.

“Aku…penasaran.” Mulainya. Kedua matanya menatap Maure lekat-lekat seperti sedang mengobservasi perempuan itu—menerka-nerka reaksi yang akan diberikan nanti. Ia membuka mulutnya, namun tidak langsung bersuara. Ia mengalihkan pandangannya, menatap lantai. Laki-laki itu terlihat ragu untuk melanjutkan.

“Kenapa?” Tanya Maure saat melihat Kaisar yang malah kembali diam. Ia menatap laki-laki itu penuh antisipasi. Kata penasaran itu belakangan ini seolah menjadi kata favorit di antara mereka. Dan kata penasaran itu bisa berujung, bisa mengarah pada apa saja. Setelah beberapa saat, akhirnya Kaisar kembali menatapnya. Kali ini, keraguan yang sempat tergambar itu hilang sepenuhnya. Ia pun membuka mulutnya dan bersuara.

What happened to us, Ole?

Pertanyaan itu sukses membuat atmosfer di antara keduanya terasa berkali lipat lebih berat. Meskipun ini bukan kali pertama pertanyaan itu dilontarkan, Maure merasa lebih tegang dan gugup karena keduanya berhadapan secara langsung. Tidak ada yang bersuara untuk beberapa saat, seolah sedang sama-sama menyiapkan hati untuk melanjutkan percakapan. Terlebih Maure yang cukup terkejut dengan topik yang dipilih oleh laki-laki itu. Ia selalu tahu bahwa percakapan ini bisa terjadi—kapan saja. Tetapi ia tidak menduga percakapan ini akan terjadi sekarang; saat ketiganya baru saja melewati masa yang tenang sebentar. Ia tidak menduga percakapan ini akan terjadi setelah hanya beberapa waktu lalu ketiganya berkumpul bersama dengan tawa—nyaman dan tenang,

Which us?” Akhirnya, perempuan itu membuka mulutnya.

“Kaisar, Maure, Heksa.”

Keheningan memenuhi ruangan begitu ketiga nama itu disebut, Seperti sebuah mantra, tiga nama itu membuat dua manusia yang berada dalam ruangan diam tanpa kata. Seperti sebuah mantra, tiga nama itu membuat keduanya terbang, menjelajah masa lalu yang nyaris terlupakan itu. Masa lalu yang seperti sejarah gelap, yang dikubur dalam dalam. Padahal nyatanya, masa lalu itu hanyalah sebuah masa lalu biasa; kepingan memori tentang ketiganya.

What happened to us, Ole?”

Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya. Seperti sebuah gema yang ditinggalkan oleh lonceng besar di menara. Di saat yang bersamaan, juga seperti es yang menjalari setiap inci tubuhnya sampai ia tidak bisa bergerak. Pada kenyataannya, Maure memang sedang mematung di tempat sekarang.

Pertanyaan yang baru didengarnya itu, adalah pertanyaan yang selama ini ia hindari. Pertanyaan yang menjadi alasan atas sikapnya selama ini; bersikap seperti tidak peduli pada masa lalu. Bukan karena ia sungguh-sungguh menyepelekan masa lalu mereka, tetapi karena ia ingin membiarkan masa lalu itu tetap berada di masa lalu. Kalau ditanya soal mengakui keberadaan masa lalu itu sendiri, jawabannya Maure sangat mengakuinya. Ia sangat menyadari tentang keberadaan masa lalu yang pernah mengikat mereka. Ia juga menyadari raut bingung, penasaran, dan putus asa itu sedari lama.

Ia tahu dan sadar setiap Kaisar menatapnya dengan tatapan itu. Namun ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu.

We grew up.” Jawab Maure singkat, berharap jawaban itu cukup memenuhi rasa penasaran laki-laki itu. Meskipun, ia sendiri tahu bahwa jawaban itu tidak menjawab apapun sama sekali.

There’s more than growing up, Ole.” Dan seperti dugaan, Kaisar meminta jawaban lebih. “Aku harap kali ini kamu bisa kasih aku jawaban yang jelas.”

“Iya dan gak semuanya harus kamu pikirin.” Balas Maure, masih terlihat berusaha menjaga percakapan seminimal mungkin. Mendengarnya, Kaisar menghela napas.

“Aku ga bisa terus pura-pura kalau aku ga kepikiran sama sekali tentang kita.” Mulai Kaisar lagi. “Ada banyak yang nggak aku ngerti—dan nggak aku tahu. You left the country without a notice and came back like you never left?”

“Soal itu kamu juga tahu aku kemana, dan kenapa.”

“Terus soal kamu tiba-tiba suka sama aku—ngejar aku tapi malah ngehindar dari Heksa? Heksa yang tiba-tiba jadi anak ambis, jadi sering nanya keadaan kita, tapi disaat yang bersamaan jadi lebih pendiem? Aku tahu kita sekarang sedikit kayak dulu lagi tapi tetep aja, Ole. Aku…bingung.”

Kalau tentang bingung atau tidak, semuanya sama. Heksa juga bingung, Maure juga bingung, bahkan Kiana pun bingung melihat hubungan ketiga anak itu sekarang. Wanita itu bahkan tidak bisa menyalahkan pubertas karena ia pun tahu alasannya tidak sesederhana itu. Seperti kata Kaisar, there’s more than just growing up. Tetapi ia juga tidak bisa berbuat apapun selain menyerahkan semuanya pada mereka. Ada kalanya ketiganya memilih untuk menjalani seperti biasa dan hanya melihat kedepan. Pun, ada juga hari dimana mereka memilih untuk menggubris rasa penasaran yang selalu menemani itu. Keputusan untuk mencari tahu selalu ada di tangan masing-masing. Meskipun begitu, keputusan untuk memberi jawaban pun berada di tangan masing-masing. Hari ini, Maure harus memutuskan jawaban apa yang akan ia berikan.

People change, Kaisar.” Mulainya. “Kita tumbuh besar. Pandangan kita tentang banyak hal berubah. Sifat kita juga bisa berubah. Aku suka kamu. Aku pengen bikin hubungan baru sama kamu. Buat itu aku rasa aku gak perlu bawa-bawa masa lalu? Aku gak mau ngeliat kamu sebagai temennya Heksa dan aku juga gak mau kamu cuma ngeliat aku sebagai anak bawang yang ngikut-ngikut kalian berdua. Can’t you see it that way?

Masa lalu tidaklah selalu sesederhana berkumpul di ruang keluarga sambil bermain game atau makan cemilan di gazebo belakang rumah. Masa lalu itu juga mencakup benang-benang yang menghubungkan setiap kepingan masa lalu itu sendiri—benang-benang yang menghubungkan setiap orang. Benang-benang itu pun, mungkin tersusun rapi seperti papan kasus detektif; setiap benang jelas arahnya kemana, menunjuk pada siapa dan mengaitkan siapa pada siapa. Tetapi benang-benang itu juga mungkin kusut, tidak bisa diketahui benang yang mana mengarah kemana, dan siapa saja yang terhubung lewat benang itu. Masa lalu itu, bisa berisi hal-hal yang tidak terpecahkan. Kaisar tahu itu, dan kalimat terakhir Maure pun mengindikasikan hal itu.

Masa lalu juga menyimpan luka yang tidak ingin diingat. Meskipun kadang, jawabannya sesederhana karena tidak ada yang penting untuk diingat.

“Sekarang aku yang nanya. Kalau menurut kamu kenapa, Kaisar?” Kepala yang sempat tertunduk itu mendongak saat pertanyaan terlontar dari mulut Maure. “Why we can’t ignore each other’s existence yet we ignore most part of our past? Kenapa kita gak bisa pura-pura gak kenal, tapi juga gak bisa jadi saling kenal kayak dulu lagi? Ah, atau, kenapa kita bisa bersikap kayak dulu lagi, tapi kita gak bisa bahas masa lalu itu?”

Satu hal yang sangat pasti, Maure, Heksa, dan Kaisar tidak bermusuhan sama sekali. Mereka juga tidak bersikap denial tentang pertemuan mereka di masa lalu. Memang bagian ini rancu. Mereka tidak bersikap seperti teman lama namun tidak juga bersikap seperti orang asing. Seperti ada satu masa yang sengaja dilewatkan dan dilupakan. Seperti ada cerita yang sengaja tidak diceritakan—atau tidak boleh diceritakan.

“Ada yang harus dibahas dan dijelasin, tapi kamu juga ngerasa gak pengen buat ngebahas ‘kan? Kita semua punya hal yang gak pengen kita bahas, karena lebih baik gak dibahas.” Ujar Maure lagi. “Tapi mungkin juga gak seserius itu. Mungkin jawabanya karena, ya gak ada yang perlu untuk dibahas aja. Aku santai dan cuek ya karena aku ngerasa tanpa perlu bahas-bahas masa lalu pun, kita baik-baik aja? Aku, kamu, Heksa, kita baik-baik aja. Kita bisa bikin hubungan yang baru.”

Ada pandangan yang sulit dijelaskan yang dilayangkan oleh Kaisar pada perempuan di depannya. Seperti ingin tahu lebih jauh, namun merasa ragu sendiri. Yang dikatakan Maure memang ada benarnya. Mereka tidak perlu mengenang apalagi sampai mengglorifikasi masa lalu yang dimiliki oleh ketiganya, for it was just an ordinary memories of childhood friendships. Lalu juga seperti yang dikatakan oleh Maure, Kaisar sendiri pun mungkin punya hal yang tidak ingin ia bicarakan.

“Kenapa kita gak fokus sama masa sekarang aja? Fokus sama masa sekarang dan cuma ngeliat kedepan.” Ucap Maure final.

Mungkin memang ada banyak bagian yang hilang. Ada benang-benang yang dibiarkan kusut. Ada benang-benang yang mengikat hal-hal yang belum terungkap. Tapi sepertinya, mereka sama-sama berpikir bahwa semua itu lebih baik dibiarkan tidak tersentuh seperti sekarang—dibiarkan menjadi cerita lama yang tidak diceritakan.


Maure itu mungkin orang paling care free yang pernah gue temuin. Dia cuek banget. Dia keliatan kayak orang yang gak terlalu banyak mikir, go with the flow, dan gampang pasrah. Tipe orang yang keliatannya, hidupnya itu apa adanya. Orang-orang yang gak kenal dia secara personal pasti emang mikirnya hidup Maure ya gitu-gitu aja. Siapa coba yang bakal nebak kalau Maure punya cerita yang mengejutkan? Siapa yang bakal nebak kalau dibalik sikap carefree-nya itu, Maure ternyata tipikal orang yang ceria dan simpel di luar, tapi penuh kejutan—penuh cerita di dalam.

Sebagai tipe yang lumayan observant, gue gak perlu waktu yang lama buat notice kalau ada lebih banyak cerita tentang Maure dibanding apa yang orang lihat. Ralat, ada lebih banyak cerita tentang Maure, Kaisar, dan Heksa dibanding apa yang orang lihat. Yes, I have been smelling something about them for a while. Di antara temen- temen Maure yang cuma sedikit itu, gue termasuk—atau mungkin satu-satunya—yang paling sering ngabisin waktu bareng dia. Gue juga yang paling sering—dan mungkin satu-satunya yang ngeliat interaksi langsung antara Maure dan Kaisar. Dan, selanjutnya gue juga mungkin yang pertama dan satu-satunya yang ngeliat interaksi langsung antara Maure dan Heksa.

Kecurigaan—atau gue lebih prefer buat pakai kata discovery—gue dimulai dari saat gue ngedenger Kaisar manggil Maure dengan nama Ole. Dalam sekali denger pun gue tahu kalau itu nama panggilan akrab yang nggak dipakai sama orang yang baru kenal; Maure nggak pernah memperkenalkan diri pakai nama itu. Jelas, artinya ada sesuatu disini. Semua orang yang kenal mereka tahu betul kalau Kaisar menolak keras perasaan Maure buat dia. Tapi dalam pandangan gue yang sering ngeliat interaksi keduanya, sikap Kaisar terlalu ramah buat orang yang gak suka sama Maure, dan terlalu tulus untuk bisa disebut brengsek.

Orang cuma ngeliat Kaisar yang nolak Maure; Kaisar yang cuma peduli sama Rumi. Tapi gue ngeliat versi yang berbeda dari Kaisar dan Maure. Gue ngeliat Kaisar yang selalu nanggepin chat dari Ole walaupun responnya gak selalu bagus. Gue ngeliat Kaisar yang walaupun sering nolak ajakan makan bareng dari Maure, gak pernah ngusir kalau Maure nyamperin dia. Gue juga ngeliat Kaisar yang walaupun gak pernah nanggepin berbagai usahanya Maure, bakalan selalu siap kalau Maure butuh bantuan. Gue ngeliat Kaisar yang rela ngejemput Ole dan gue, jam sebelas malem, karena kita somehow kesasar. Cukup satu kata urgent dari Maure, Kaisar bakal langsung siaga. Gue pernah liat Kaisar yang lagi ngobrol sama Jegar, langsung berhenti dan ngalihin perhatian ke ponselnya karena Maure butuh bantuan. Gue ngeliat Kaisar yang jadi 911 nya Ole.

Sebagai outsider di hubungan keduanya, gue awalnya simply berasumsi kalau mungkin Kaisar does have feeling for Maure, after all. Mungkin emang ada detail perasaan di antara keduanya yang gak orang luar tahu. Mungkin, like other cliche stories, Kaisar lama-lama luluh sama Maure. Tapi disaat yang bersamaan, gue juga ngerasa kalau asumsi itu terlalu sederhana.

Terlebih disaat gue juga jadi orang yang paling ngeliat sikap Ole ke Kaisar. Bukan gimana capernya Ole, bukan. Tapi tentang berapa banyak yang Ole tahu tentang Kaisar—dan sebaliknya. Ole tahu kue kesukaan Kaisar, Ole tahu olahraga apa aja yang Kaisar suka, Ole tahu apa yang bikin Kaisar bete dan apa yang bisa bikin Kaisar ketawa. Ole ngejar-ngejar Kaisar tapi mereka saling follow di semua media sosial—termasuk twitter Ole yang followers-nya cuma tujuh itu? Ole ngejar-ngejar Kaisar seolah dia laki-laki yang gak bisa digapai tapi mereka udah saling kenal sebanyak itu?

*That’s not what strangers would do. They are more than a freshmen student and her crush. They are more than a naive girl and her one-sided love.*

Gue gak akan terlalu kaget kalau Ole bilang dia dan Kaisar udah saling kenal sebelumnya. Tapi fakta bahwa Ole dan Heksa juga saling kenal dari lama? Itu bukan sesuatu yang gue ekspektasikan. Sama hal nya dengan hubungan Maure-Kaisar, hubungan Maure-Heksa juga bukan sesuatu yang jadi informasi umum. Tapi kali ini, apa yang gue lihat sama kayak apa yang orang lain lihat—at least untill recently. Beda dari hubungannya sama Kaisar, Ole gak banyak mengekspos hubungannya sama Heksa. Gue awalnya bahkan gak akan tahu mereka saling kenal kalau bukan karena gak sengaja lihat. Yang gue tahu, Heksa itu temen deketnya Kaisar, dan akhirnya jadi akrab sama Ole karena sering ketemu. Itu juga apa yang Ole ceritain ke gue, waktu untuk pertama kalinya gue terlibat dalam interaksi keduanya.

But once again, they are too close to be considered strangers.

Ole emang gak keliatan sedeket itu sama Heksa. Kalau dibandingin sama Kaisar, dia lebih deket sama Kaisar. Tapi mereka juga gak keliatan canggung kayak orang asing. Sebaliknya, Ole juga bersikap lumayan santai di depan Heksa. Ole gak pernah keliatan segan sama sekali padahal kalau dipikir pakai logika, there is no connection between them at all selain lewat Kaisar. Ole (dan gue) anak IlKom, angkatan baru. Heksa anak manajemen bisnis, tahun ketiga. Yet, mereka ngobrol satu sama lain kayak sewajarnya temen aja—or acquitances at least. Tapi lagi, karena Kaisar sama Heksa sahabatan, rasa masih masuk akal kalau Ole sama Heksa pun akhirnya jadi temenan. Sampai di salah satu kesempatan, Heksa nawarin Ole buat pulang bareng. Tapi gue baru mulai berasumsi setelah beberapa kali terlibat langsung dalam interaksi mereka. There’s definitely something between them. Gue berasumsi kalau ada hubungan, yang lebih dari sekedar acquitances di antara mereka bertiga. Gue ngerasa kalau ada lebih banyak cerita yang tidak terlihat di antara mereka.

Asumsi gue itu, semuanya terkonfirmasi waktu Ole cerita dengan mulutnya sendiri dan dengan kemauannya sendiri. Cerita Ole tentang pertemanan dia sama Kaisar dan Heksa juga mengkonfirmasi sikapnya sendiri selama ini. Ole yang bersikap leluasa dan gak pernah segan, Ole yang gak pernah ragu buat minta bantuan, dan Ole yang gak pernah keliatan takut ataupun canggung. Cerita itu mengkonfirmasi dan memvalidasi semua interaksi mereka. They were friends before anything.

Kalau kalian tanya, apakah gue gak pernah penasaran sama sekali, jawabannya adalah: pernah—hence, I asked her the question. Gue pernah bingung dan bertanya-tanya kenapa Kaisar bersikap sebaik itu ke Ole. Atau kenapa Ole bisa seleluasa itu di depan Kaisar. Atau kenapa Heksa sama perhatiannya ke Ole kayak Kaisar. Atau apakah sikap baiknya Kaisar ada kaitannya sama kenapa Ole gak pernah berhenti ngejar dia walaupun ditolak berkali-kali. Ada pertanyaan di kepala gue, tentang hubungan di antara tiga orang asing yang keliatannya familiar sama satu sama lain itu. Tapi seberapa penasaran pun, gue rasa gue gak berhak buat nanya apalagi sengaja menggali informasi. Oke, mungkin gak aneh dan gak salah kalau gue nanya soal hubungan Ole dan Kaisar. Orang lain pun pasti ada yang punya pertanyaan yang sama kayak gue. Tapi hubungan Ole sama Heksa? Itu diluar hak gue untuk tahu.

Apa yang gue tahu sekarang pun, mungkin baru sebagian kecil dari cerita lengkapnya. Kalau kita ngomongin cerita yang gak terlihat itu, gue rasa ceritanya bakalan jadi berlapis-lapis; karena melibatkan tiga orang dan berbagai sudut pandang. Apa yang gue tahu—yang gue bahas sekarang—itu cuma cerita dari sudut pandang gue lewat kaca mata Ole.

If Ole decided to hide their relationship, then I am pretty sure she has a reason for it. Ada alasan kenapa garis hubungan di antara mereka, kabur dan gak terlihat. Itu sesuatu yang gak gue lihat juga—dan gak akan bisa gue lihat kecuali Ole sendiri yang memperlihatkan semuanya. She is the key.


maure, kaisar, heksa


“Kamu pasti kesini gara-gara disuruh Heksa.” Sapa Maure begitu dirinya membuka pintu kamar kos nya dan melihat Kaisar berdiri disana sambil menjinjing sebuah paper bag yang sepertinya berisi makanan—masih lengkap dengan sling bag-nya, tanda laki-laki itu baru pulang kuliah. Ia tersenyum simpul sambil mengedikkan kedua bahunya sebagai jawaban. Maure pun mempersilahkannya untuk masuk.

“Dari kapan sakitnya?” Tanya Kaisar sambil berjalan menuju meja tempat microwave berada untuk menghangatkan sup yang tadi ia beli untuk Maure.

“Tadi pagi, pas bangun.” Jawab perempuan yang sudah kembali duduk di atas kasurnya itu, diam-diam memperhatikan gerak-gerik Kaisar yang sibuk menyiapkan makanan untuknya itu.

Maure terbilang cukup jarang memikirkan ini sebelumnya, tetapi Kaisar ternyata memang tumbuh dengan baik. Laki-laki itu masih terlihat sama seperti Kaisar yang dikenalnya sejak dulu, for the most part. Ia masih memiliki bambi eyes yang sama—mata selalu terlihat ramah. Begitu pun dengan bibir yang kedua ujungnya secara natural melengkung ke atas itu, membuatnya terlihat nyaris selalu tersenyum. Bedanya, struktur wajahnya menjadi lebih tegas, membuatnya kadang memiliki aura yang dingin. Terlebih dengan perawakannya yang tinggi dan berisi. And he looked more mature, for sure. Kaisar benar-benar memberikan kesan teman masa kecil yang jadi mempesona setelah tumbuh dewasa.

Benar. Kebenarannya adalah, mereka bertiga sudah saling mengenal sejak lama. Bukan hanya mengenal, namun berteman sejak lama. Maure, Kaisar, dan Heksa, dulunya hanya tiga bocah SMP yang sering menghabiskan waktu untuk belajar bersama. Lalu di sore hari mereka akan makan cemilan sambil menunggu makan malam yang dimasak oleh Ami Kiana atau duduk di teras rumah sambil menunggu Kaisar dan Maure dijemput oleh ibunya masing-masing. Dan di akhir pekan, mereka kadang bertemu untuk bermain bersama; entah sesederhana bersepeda keliling kompleks atau mengunjungi arkade terdekat.

“Makan dulu.”

Wisata masa lalu itu berhenti saat Kaisar meletakkan semanguk sup yang sudah dipanaskan di atas meja lipat yang diletakkan di sebelah kasur—di hadapannya. Ia yang mulanya duduk memeluk lutut sambil bersandar pada tembok itu pun berangsur maju ke tepian kasur—kini duduk bersila siap untuk makan. Kaisar pun ikut duduk bersila di atas lantai, menghadap Maure. Ia meletakkan tas nya ke samping dan mengeluarkan plastik bening yang berisi obat.

“Habis itu makan obat.” Ucapnya, meletakkan obat itu di atas meja.

“Kamu disuruh apa lagi sama Heksa?” Tanya Maure disela-sela makan.

“Nih baca aja sendiri.” Laki-laki itu menyodorkan ponselnya yang menampilkan ruang obrolannya bersama Heksa.

Nih ya list nya: 1. Jagain Ole sampai gue dateng 2. Kasih makan yang banyak 3. Suruh minum obat 4. Omelin soalnya bohong bilangnya gak sakit 5. Coba hasut Ole biar mau pindah dari kosan terus nempatin rumah yang disediain Ayah

Yang nomor 5 pake usaha ya

“Bawel banget.” Komentar Maure kesal sambil mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. Ia melanjutkan makan ditemani dengan keheningan. Hanya ada suara dari sendok yang berbenturan dengan mangkok. Kaisar di depannya tidak bicara apa-apa dan hanya menonton dirinya yang sedang makan. Hal itu membuat suasana terasa jadi sedikit serius. Maure pun kembali bersuara. “Apa? Kenapa liat-liat?”

“Kenapa ga mau nempatin rumahnya?”

“Kebesaran.” Jawab Maure singkat. “Udah gitu lebih jauh dibanding kosan.”

“Cuma gara-gara itu?” Tanya Kaisar lagi. Maure mengangguk sebagai jawaban.

Setelahnya, keheningan kembali menyelimuti. Maure tidak tahu alasannya tetapi Kaisar tidak banyak bicara. Setelah ia selesai makan, Kaisar membantu membereskan peralatan makannya tanpa bersuara. Ia kembali setelah meletakkan mangkuk ke wastafel dan kembali lagi dengan segelas air minum di tangannya. Ia kemudian duduk di sebelah Maure yang sedang mengambil obat untuk ia minum. Merasakan tatapan dari laki-laki di sebelahnya, Maure tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

“Apa kenapa liat-liat terus? Aku cantik?” Tanyanya dengan nada sedikit kesal.

“Aneh aja.” Jawab Kaisar yang masih menatapnya.

“Maksud kamu aku aneh—” Perempuan itu nyaris bangkit dari duduknya karena emosinya terpancing. Namun, emosinya kembali mereda saat Kaisar memotong kalimatnya.

“Aku ingetnya kamu masih SMP.” Ucapnya sambil tersenyum simpul.

Saat itu, barulah Maure menyadari tatapan dari laki-laki itu. Ia pikir sebelumnya, Kaisar menatapnya terus karena dirinya terlihat pucat atau apa. Tapi setelah mendengar kalimat itu, Maure menyadari kalau sedari tadi Kaisar menatapnya dengan teduh, hangat— a look of fondness. Tatapan itu membuat Maure bertanya-tanya: apakah mungkin Kaisar juga sedang memperhatikan bagian mana dari dirinya yang berubah? Mungkin Kaisar sedang memperhatikan rambutnya yang kini dibiarkan panjang melebihi dada. Atau mungkin ia sedang memperhatikan pipinya yang menjadi lebih tirus. Mungkin laki-laki itu juga sedang berpikir tentang betapa Maure tumbuh dengan baik.

“Kamu juga tiba-tiba tinggi besar.”

Selama beberapa waktu belakangan ini, keduanya sama sekali tidak pernah menyinggung soal masa lalu itu. Sebelumnya memang Kaisar beberapa kali membahasnya—berusaha mencari tahu tentang masa lalu yang terlewatkan. Tetapi setidaknya dalam satu bulan terakhir ini, Maure merasa seperti keduanya memang hanyalah dua manusia yang baru bertemu, saling mengenal, dan sedang membangun sebuah hubungan. Mungkin karena terbiasa, mungkin karena terbawa suasana, mungkin juga karena ada hal lain yang lebih dipikirkan.

Kaisar baru saja membuka mulutnya saat pintu kamar dibuka beriringan dengan sembulan sebuah kepala. Suara dari pintu yang terbuka itu membuat dua orang yang sedang duduk itu refleks menoleh.

“Kata Pak Uztad kalau laki-laki sama perempuan berduaan yang ketiganya setan.” Ucap si pemilik kepala dengan tengil.

“Ya berarti kamu setannya, Heksa.” Balas Maure malas.

“Lah iya ya?” Cengir Heksa sambil melebarkan pintu dan melangkah masuk.

Sama seperti Kaisar, Heksa baru saja menyelesaikan harinya di kampus, terlihat dari ransel yang masih menggantung di pundaknya. Laki-laki itu duduk bersila di atas lantai, tepatnya di depan meja lipat yang tadi digunakan Maure. Kini poisisnya Maure duduk di atas kasur, Kaisar duduk di sebelahnya, dan Heksa duduk di sebrang keduanya. Laki-laki itu meletakkan kantung plastik putih ke atas meja. Seketika wangi ayam tepung menyeruak.

“Nih, Kai.” Heksa mengeluarkan dua kotak ayam geprek dari kantung plastik itu dan menyerahkan satu pada Kaisar. Kini Kaisar pun ikut duduk bersila di lantai, di sebelah Heksa. Melihat tampilan ayam yang menggoda itu, Maure melayangkan protes.

“Buat aku mana? Masa kamu beli buat Kaisar doang???”

“Kamu kan lagi sakit.” Jawab Heksa tanpa meliriknya sedikit pun. “Kamu liatin kita aja, anggap lagi nonton mukbang. Kayak waktu dulu kamu lagi batuk terus aku sama Kaisar jajan cimol.”

“Atau waktu Ole lagi demam terus kita main layangan di halaman. Kasian cuma nonton dari jendela.” Tambah Kaisar, seperti bensin pada api.

“Nyebelin.” Ucap Maure kesal sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, membuat dua laki-laki di depannya terkekeh senang. Tetapi, rasa kesalnya itu langsung hilang lagi saat ia menyadari sesuatu.

Adegan ini seperti adegan dari masa lalu. Seperti hari-hari dimana Kaisar dan Heksa bermain bersama, lalu ada Maure yang mengekor di belakang. Seperti hari-hari dimana dua laki-laki itu akan membeli jajanan pedas di pinggir jalan, dan Maure akan protes karena dirinya tidak diperbolehkan untuk makan. Seperti hari-hari saat ketiganya hanyalah anak-anak menuju remaja, yang sibuk bermain, belajar, dan mengusili satu sama lain. Ini memang bukan pertama kalinya ketiganya berkumpul bersama. Tapi Maure rasa, ini pertama kalinya mereka berkumpul bersama sambil membawa sentimen dari masa lalu.


Meskipun begitu, percakapan tentang masa lalu masih bukan favorit Maure.

“Kamu kangen kita main bertiga nggak, Ole?” Tanya Heksa yang sedang mencuci piring di wastafel .

Maure yang mulanya sedang bermain ponsel, kini mendadak terdiam mendengar pertanyaan itu. Kaisar sudah pulang sepuluh menit lalu, kini hanya ada mereka berdua. Atmosfer ceria berbau nostalgia yang sempat memenuhi ruangan ini sudah hilang sepenuhnya, berganti dengan atmosfer serius—dan penuh misteri—dari masa sekarang. Laki-laki itu menatapnya menunggu jawaban. Jawaban yang Maure tahu bukan sesederhana iya atau tidak.

“Sekarang juga kita suka kumpul bertiga.” Elak Maure.

“Iya ya.” Angguk Heksa setuju. “Tapi aneh. Kita udah saling kenal dari kecil tapi pas ketemu kok kayak orang yang baru kenal pas kuliah ya?”

“Itu—”

“Kita emang kumpul bertiga, pergi bertiga.” Lanjut Heksa lagi tanpa membiarkan Maure untuk menyela. “Tapi kita nggak pernah tuh, kayak tadi, bahas-bahas masa lalu, nginget cerita-cerita lucu waktu kita kecil. Kita ngobrolinnya yang sekarang-sekarang doang.”

Ucapan Heksa itu membuat Maure termenung, bukan karena bingung tetapi justru karena ia sangat mengerti apa yang diucapkan oleh laki-laki itu. Seperti yang Maure sadari sebelumnya, hari ini adalah pertama kalinya mereka duduk bertiga bukan sekedar sebagai Maure, Kaisar, dan Heksa; mereka duduk bertiga sebagai Maure, Kaisar, dan Heksa dari masa lalu—bersama masa lalu. Dan seperti apa yang diucapkan oleh Heksa, sebelumnya mereka tidak pernah sama sekali menyentuh masa lalu itu. Mereka tidak pernah sama sekali membuka cerita yang sudah ada sejak lama itu. *They shared the past together, yet, it seemed like they only exist in the present.*

“Aku nggak bisa nebak deh, kamu itu nggak pernah mau cerita soal masa lalu karena nyembunyiin sesuatu, atau emang gak pernah kepikiran aja sih?” Kali ini, Heksa bertanya dengan nada yang lebih serius dan menuntut.

Kalau Maure-Arumi memiliki Kaisar sebagai topik keramat dalam perdebatan mereka, maka Maure-Heksa memiliki cerita lama sebagai topik keramat. Topik yang tidak pernah terselesaikan, karena pembicaraannya hanya akan berputar-putar pada pertanyaan yang tidak terjawab. Seperti sekarang, dimana Maure memilih untuk diam dibanding bersuara—berusaha memikirkan cara untuk menghentikan pembicaraan ini.

“Meong!”

Seperti menangkap sinyal dari sang majikan, tepat di saat itu juga, Kale—kucing Maure—yang sedari tadi tidur nyenyak tiba-tiba saja bangun dan bersuara. Kucing berwarna krem dan putih itu mengalihkan perhatian ketiganya; mengalihkan mereka dari topik tentang masa lalu itu.

“Wah ada si Asa baru bangun…”

“NAMANYA KALE!!!”

Dan sekali lagi, Maure menghindar dari pertanyaan tentang masa lalu.


“Ole, gue boleh nanya satu hal?” Tanya Cemima memecah keheningan. Kedua tangannya memeluk gelas berisikan matcha latte kesukaannya dengan sedikit gugup.

“Apa?” Balas gadis yang ditanya dengan santai dan tenang. Akhirnya, Cemima pun membuka mulutnya.

“Kenapa harus Kaisar?”

Siapapun yang melihat bagaimana Maure berusaha keras mendapatkan hati Kaisar pasti lama-lama akan berpikir demikian. Kadang, ada garis yang tipis sekali di antara tekad dan kebodohan. Maure menyukai Kaisar lalu berusaha mendekatinya, itu sebuah tekad. Tapi Maure yang masih berusaha walapun tahu Kaisar memiliki hubungan yang rumit dengan Rumi, itu namanya murni kebodohan. Setidaknya dalam pandangan Cemima seperti itu.

Kenapa ia harus melihat temannya mati-matian mengejar satu laki-laki yang jelas-jelas memiliki perasaan untuk orang lain? Kenapa ia harus menyaksikan Maure menyakiti dirinya sendiri?

You could’ve find someone better. Someone who deserve your love, but why Kaisar?

Saat cerita Kaisar dan Rumi muncul semakin jelas ke permukaan, Maure selalu menduga pertanyaan semacam ini akan keluar.

Begitu Kaisar dan Rumi bersikap terang-terangan soal kedekatan mereka, ada perubahan genre yang terjadi pada cerita Maure. Yang mulanya dilihat sebagai komedi romansa masa muda, tiba-tiba berubah menjadi cerita cinta bertepuk sebelah tangan yang menyedihkan. The once seen as an optimistic girl suddenly turned into patheic one. Some even called the whole situation as Maure’s villain origin story.

Little did they know, her villain origin story started way long before.

Pertanyaan Cemima membawa Maure pada percakapannya dengan Kaisar sebelumnya. Percakapan dimana Kaisar, setelah beberapa waktu, kembali menyinggung soal masa lalu. Ia terlihat berpikir untuk waktu yang lama. Seolah ia pun menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri. Kenapa ia berusaha keras untuk membangun hubungan baru diantara dirinya dan Kaisar?—dan diantara semua yang melibatkan mereka. Beberapa saat kemudian, ia mengangkat gelasnya dan menyesap lattenya.

Because we have history, I guess?” Jawabnya sambil tersenyum simpul.

“Huh?” Jawaban itu membuat Cemima mengerutkan keningnya bingung.

“Kamu pernah penasaran nggak, Cemi? Tentang aku, Kaisar, sama Heksa?”


The Past: Kaisar & Heksa, the fifth string.

Hari itu hanyalah hari biasa pada awal tahun ajaran baru. Bukan hal aneh jika hampir semua murid masih diantar-jemput orang tuanya, mengingat mereka masih memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan. Hal yang sama juga berlaku pada dua anak laki-laki yang sedang duduk berdampingan—masing-masing dengan sebungkus cilok di tangan—di bangku yang disediakan oleh abang penjual jajanan di sebrang sekolah mereka.

“Kaisar?” Panggil salah satu anak. “Lo Kaisar Romawi atau Kaisar Cina?”

Anak yang dipanggil seketika menoleh dengan pandangan bingung; satu tangannya memegang setusuk cilok yang berhenti ditengah perjalanan menuju mulutnya.

“Nanya aja.” Tambah si anak laki-laki yang bertanya.

Ada jeda yang membuat rasa penasaran bertambah saat anak yang ditanya mengangkat tusukan ciloknya ke mulut lalu mengunyahnya. Anak yang duduk di sebelahnya menunggu jawaban sambil memeluk ransel biru tuanya. Akhirnya, laki-laki itadi berhenti mengunyah dan membuka mulutnya.

“Kaisar belantara.”

“Gak lucu.”

“Emang.” Tidak lama kemudian, ia membuka mulutnya lagi. “Kalau lo apa?”

“Heksa.” Anak laki-laki itu sengaja mengambil jeda, lalu melanjutkan saat merasa waktunya tepat. “Heksagon.”

“Gak lucu juga.”

Namun percakapan absurd itulah yang justru membentuk pertemanan antara Kaisar dan Heksa. Mulanya karena sering menunggu jemputan bersama sambil makan bermacam-macam jajanan pinggiran di sebrang sekolah. Lama-lama mereka jadi menghabiskan waktu bersama di dalam sekolah juga. Meski bukan berasal dari kelas yang sama, keduanya sering menghabiskan waktu istirahat bersama atau bermain bola bersama di lapangan. Lalu tanpa sadar, keduanya menjadi teman dekat.

“Hari ini PS lagi ga?”

“Beresin PR matematika dulu!”

Berada di usia menginjak remaja, keduanya pun sering belajar banyak hal bersama-sama. Entah kebetulan atau takdir, keduanya pun memiliki rasa penasaran yang sama tentang bagaimana hidup bekerja.

“Ami, keluarga yang utuh itu kayak gimana?” Tanya Heksa pada ibunya suatu hari.

“Kenapa Abang nanya gitu?”

“Kemarin waktu main bola, ada yang ngejekin Kaisar katanya keluarganya gak utuh.”

Kiana tersenyum penuh arti mendengar hal itu. Wanita itu menatap anaknya lama, menyadari bahwa anak lak-laki yang dulu hanya bisa merangkak itu, kini mulai ingin belajar tentang hal-hal yang serius.

“Kamu mau dengerin kata orang atau kata Ami?”

“Emangnya beda?”

“Ya iya!” Angguk wanita itu. “Kalau kata orang, keluarga yang utuh itu ada ayah, ada ibu, ada anak. Tapi kalau kata Ami, keluarga yang utuh itu yang saling menyayangi, saling menjaga, saling mengerti, dan selalu ada untuk satu sama lain.”

Suara lembut nan teduh itulah yang ikut menumbuhkan sikap dewasa dalam diri Heksa. Kalimat-kalimat Kiana juga yang akhirnya membuat Heksa selalu berkata pada Kaisar:

“Yang penting lo sama Bunda lo saling sayang, udah gitu aja cukup.”

Meskipun pada akhirnya, Kiana akan menimbrungi dan berkata:

“Masalah keluarga itu masih belum waktunya buat kalian pikirin. Kalian ‘kan masih SMP, belajar temenan aja dulu ya. Nanti kalau udah lebih gede dikit, kita belajar soal keluarga lagi.”

Kalau kata Kaisar, rumah Heksa yang ada Ami Kiana di dalamnya adalah rumah paling hangat yang pernah ia kunjungi; selain rumahnya sendiri. Rumah yang membuat Bundanya tidak perlu merasa khawatir meskipun ia bermain disana sampai matahari tenggelam—bahkan sampai hari berganti.

“Sa, hari ini Bunda yang bawain makan siang.”

“Wah ini pasti daging asam manis!”

They always shared joy; talking about gaming hours and each other’s mom’s cooking. They made sure none of them feel friendless; the reason behind knocking on the door almost every Sunday morning. They learn together too, a lot. They shared what they have learned. Eventually, they shared pain too.

“Gue turut berduka cita, Sa.” Ucap Kaisar pelan dan sendu, sambil mengusap pelan bahu laki-laki yang terduduk lesu di halaman belakang rumah.

Suasana rumah Heksa hari itu sangat berbeda dari biasanya. Tidak ada suara dentingan alat masak di dapur ataupun televisi yang menayangkan acara olahraga. Yang ada hanyalah isakan dari para pelayat yang datang untuk mengucapkan duka.

Hari pemakaman Ragalih Khagi. Hari pemakaman ayah dari Heksa.

“Heksa?” Suara manis dan lembut perempuan yang muncul dari ambang pintu membuat kedua anak laki-laki yang duduk di atas rumput itu sama-sama menoleh. Mata mereka tertuju pada anak perempuan sebaya mereka berdiri dalam balutan dress hitam polos.


The Past: Kaisar & Maure, the sixth string.

Hari itu adalah hari dimana pelangi resmi punah dari kehidupan Heksa Khagi. Hari dimana untuk pertama kalinya, ia berharap dirinya tidak membuka mata di pagi hari. Tidak ada secuilpun senyum yang muncul di wajahnya. Tidak ada pula suara lembut yang selalu berbicara dengan nada ceria. Siapapun yang melihat, pasti setuju bahwa hari itu, suasana hatinya sama gelapnya seperti pakaian orang-orang yang menghadiri pemakaman.

Atau setidaknya, itulah yang Maure lihat begitu ia menginjakkan kakinya ke dalam rumah.

Begitu jenazah selesai dimakamkan, keluarga, kerabat, dan orang-orang terdekat lainnya kembali ke rumah Heksa. Maure yang seharian itu selalu berada di dekat ibunya dan Ami Kiana, memutuskan untuk menemui Heksa.

“Heksa?”

Saat itulah ia melihat seorang anak laki-laki yang baru pertama kali ia temui.

“Ole?” Jawab laki-laki itu lirih. Sementara anak di sampingnya hanya menatap. “Ke sini aja.”

Selama ini, ia tahu hampir semua teman-teman dekat Heksa dan laki-laki itu jarang membawa teman yang tidak akrab dengannya ke dalam rumah. Tapi, ini baru bertama kalinya ia melihat laki-laki dengan mata yang berkilauan itu.

“Ini Kaisar, temen aku.” Jelas Heksa singkat begitu Maure tiba di depan mereka. Sedangkan anak yang disebut namanya terlihat mengeluarkan ekspresi sedikit bingung saat mendengar kata ‘aku’ keluar dari mulut temannya.

Sama seperti Kaisar yang penasaran kenapa Heksa tiba-tiba memiliki teman bernama Maure, perempuan itu pun penasaran tentang anak laki-laki yang baru dikenalnya itu.

Mulanya, mereka bertemu tanpa direncanakan; masing-masing hanya berniat untuk menemani dan menghibur Heksa dan berakhir jadi sering bertemu. Kemudian, Maure jadi menghabiskan hampir setiap hari di rumah Heksa karena ibunya harus bekerja. Entah atas alasan apa, Kaisar pun jadi lebih sering berkunjung. Kadang mereka hanya duduk bertiga di ruang keluarga sambil mengerjakan PR masing-masing. Kadang mereka bermain bersama anak-anak lainnya.

It was curiosity at first.

“Kaisar, sekolah kamu seru gak? Aku mau masuk SMP sana aja deh.”

“Jangan, banyak anak nakal.”

Tentu, anak-anak pun mengalami yang namanya merasa canggung terhadap satu sama lain. Maure pun mulanya tidak banyak berinteraksi dengan Kaisar. Ia hanya akan duduk di dekat Heksa dan tidak banyak bicara, atau mengekor di belakang keduanya ketika mereka pergi kemanapun. Tapi, takdir memiliki jalan kerja yang unik. Sama seperti Maure yang bagi Kaisar adalah anak yang muncul tiba-tiba, bagi Maure pun Kaisar adalah anak laki-laki yang muncul tiba-tiba. Anak laki-laki yang muncul tiba-tiba itu, kemudian perlahan menjadi anak laki-laki yang menjadi bagian dari kesehariannya. Anak laki-laki yang tiba di rumah Heksa lebih cepat dari dirinya, anak laki-laki yang lebih dulu menyicipi roti lapis istimewa buatan Ami Kiana, dan anak laki-laki yang ikut menjadi ‘Heksa’ untuk Maure.

“Heksa kamu mau jemput aku gak?”

Halo Heksa ngomong dong? Kata Mama kalau orang ngomong harus dijawab?”

Heksa aku pulangnya lewat jembatan tapi di jembatan suka ada anak nakal tapi kalau gak lewat jembatan berarti aku harus lewat jalan raya aku gak hafal angkotnya yang mana.”

Heksaaaaaaa aku beneran pulang sendiri nih?”

Kaisar sempat memandang ponsel di tangannya setelah telepon diputus sepihak. Laki-laki itu kembali masuk ke dalam ruang klinik tempat Heksa terbaring di atas ranjang dengan kaki yang diperban. Ia kemudian mendekati seroang wanita, guru yang mendampingi mereka, lalu bertanya.

“Kata dokternya apa, Bu?”

“Kemungkinan tulangnya patah, jadi harus ke rumah sakit.” Jawab wanita itu. “Ibu mau telfon Ami-nya Heksa dulu ya.” Ia kemudian pergi keluar ruangan untuk menghubungi Kiana.

“Gue pergi sebentar ya, nanti balik lagi.” Ucap Kaisar, yang membuat Heksa mengerutkan keningnya. “Mau jemput Ole.”

Dengan itu, Kaisar pun pamit kepada guru mereka dan berjalan cepat menuju sekolah tempat Maure berada, yang untungnya masih satu wilayah dengan klinik tempatnya berada ataupun sekolahnya sendiri. Tidak lupa, ia mengeluarkan ponselnya sendiri untuk menelepon anak itu.

“Ole jangan kemana-mana, diem di depan sekolah, aku yang jemput.” Ucapnya singkat tanpa menunggu Maure untuk menjawab. Begitu tiba, seperti yang diinstruksikan, Maure duduk di sebuah bangku di halaman depan sekolahnya. Ia duduk sendirian sambil memeluk tasnya.

“Heksa mana?” Tanya anak berseragam merah putih itu begitu melihat sosok yang tidak biasa datang menjemputnya.

“Ada.” Jawab laki-laki itu, Kaisar, singkat. “Tapi ga bisa jemput. Pulangnya sama aku aja.”

Semua kebingungan yang muncul di benak anak perempuan itu terjawab saat memasuki ruang klinik dan melihat Heksa terbaring di atas ranjang, kini ditemani Kiana di sampingnya. Kini Heksa dan Kiana bersiap untuk pergi ke rumah sakit, sedangkan Kaisar dan Maure diminta untuk pulang saja karena hari mulai gelap.

“Ami titip Ole ke Kaisar ya? Kalian tunggu di rumah Heksa dulu, Ami udah bilang ke Bunda sama Mama Anne.”

Begitulah bagaimana akhirnya Kaisar dan Maure berjalan sambil menuntun sepeda menuju rumah Heksa. Ternyata siang tadi laki-laki itu terserempet oleh motor yang oleng. Sayangnya, pengendara motor tersebut melarikan diri. Kalau kata Bu Hikmah, guru Heksa dan Kaisar yang kebetulan menjadi saksi, pengendara motor yang juga masih anak sekolah itu kabur karena kaget dan takut.

“Ole kalau Heksa ga bisa jemput jangan kemana-mana.” Ucap Kaisar memecah hening.

“Terus?”

“Tungguin di sekolah kayak tadi, aku yang jemput.” Jawab laki-laki itu serius, kemudian melanjutkan. “Kalau Heksa lagi ga bisa, biar aku dulu yang jadi Heksa.”

“Kalau gitu temenin belajar juga.”

“Iya.”

“Temenin jajan ke minimarket juga.”

“Iya.”

“Temenin main juga.”

“Kan emang kita suka main bareng?”

“Enggak itu kamu main sama Heksa doang, aku cuma ngikutin di belakang.”

“Iya nanti main bareng.” Ucapnya dengan nada meyakinkan. “Kamu tiap hari dititipin ke rumah Heksa?”

“Iya soalnya Mama kerja, jadi aku main ke sini biar ada temen.”

Lalu, perlahan Kaisar pun menjadi bagian dari kehidupan seorang Maure Zianne.


“Kita bertiga udah saling kenal dari lama.” Ucap Maure, menutup cerita ringkasnya tentang cerita masa lalu di antara dirinya, Heksa, dan Kaisar. “Jadi jawaban lain buat pertanyaan lo itu adalah, we were friends before anything else. Terlepas dari rasa suka gue ke Kaisar, dia dari awal udah jadi orang yang cukup penting di hidup gue. Dan Kaisar yang nolak perasaan gue gak akan jadi alesan buat gue ngejauhin dia.”


maure, kaisar, heksa


“Kenapa lo nggak bilang ngambil statistik semester ini? Gue banyak di rumah catetan statistik.”

“Lo yang ga bilang udah ngambil matkul itu.”

“Bisa gak sih kalian ngobrolin topik yang menarik?”

Percakapan di atas adalah tipikal percakapan yang bisa ditemukan saat Maure, Kaisar, dan Heksa sedang berkumpul bersama; topik-topik umum yang sering menjadi bahan obrolan mahasiswa. Membicarakan tentang keseharian kuliah, membahas acara-acara yang ada di kampus, berbagi tempat makan yang enak, bertanya soal relasi, dan sebagainya. Percakapan yang memang terkesan basic dan membosankan.

For people who seem close to each other—who have relation with each other, they interestingly talk about nothing in particular.

Tapi kalau dilihat-lihat lagi, momen ketiganya berkumpul bersama sendiri bukan sesuatu yang cukup sering terjadi. Seperti yang pernah Heksa singgung beberapa waktu lalu, Maure pernah sangat menghindarinya. Waktu dimana ketiganya bisa ditemukan bersama hanyalah sesekali saat jam makan siang di kampus. Kunjungan ke adoption fair yang di adakan oleh animal shelter tempat Arumi menjadi sukarelawan mungkin adalah kali perdana ketiganya pergi bersama. Namun tetap tidak banyak yang dibicarakan—tidak banyak yang terjadi.

“Kamu belum ngambil statistik?” Kali ini, Heksa bicara pada Maure.

“Belum lah orang aku masih maba.” Jawab perempuan itu sambil menyeruput boba milk tea yang dibelikan oleh Heksa bersama dengan martabak yang dibawanya. “Kamu lupa kah aku ini semester satu kalian semester 5.”

“Temen-temen kamu pernah nanya nggak sih kenapa kamu relasinya jauh nyampe ke kating?” Tanya Heksa lagi, penasaran sungguhan.

“Temenku cuma dua.” Jawab Maure lagi. “Dita paling nanya itu namanya siapa itu siapa. Kalau Cemi…dia pernah bilang takut aku ngumpulnya bareng kating mana jauh banget dari fakultas lain. Tapi gak pernah nanya-nanya. Yang ada dia pacaran sama kating sekarang.”

“Jegar emang jagonya sat set sat set kalau urusan cewek.” Komentar Heksa.

“Iya, gak kayak temenmu itu tuh.” Angguk Maure sambil memberi lirikan pada laki-laki yang duduk di sebelah Heksa.

“Waduh, nggak ikutan.” Ucap Heksa. Tetapi, ia dengan cepat menambahkan. “Tapi bener sih ya.”

Mereka bertiga saat ini sedang duduk bersama di communal rooftop di kosan tempat Maure tinggal saat ini. Sekitar setengah jam yang lalu, Heksa datang bersama Kaisar sambil membawa makanan yang dijanjikan. Keduanya baru saja kembali dari running track setelah menyelesaikan aktifitas jogging sore—atau tepatnya setelah Kaisar menyelesaikan jogging-nya. Tidak banyak yang terjadi, ketiganya hanya duduk dan mengobrol; membicarakan hal-hal yang biasa. Percakapan yang sekilas terlihat canggung kalau dibandingkan dengan interaksi mereka melalui chat. Tetapi, alasan atmosfer yang tidak terlalu akrab hari ini bukanlah tanpa sebab. Mereka bertiga sama-sama tahu dan peka kalau belakangan ini udaranya memang sedang tidak terlalu bagus. Kalau kata Heksa, ada banyak drama beberapa waktu kebelakang ini.

Kaisar yang kini menjadi pusat perhatian hanya merespon dengan memutar bola matanya, kesal juga pasrah atas sikap sahabatnya itu.

“Loyo amat kayak orang galau.” Heksa berkomentar lagi, seolah sengaja ingin membuat Kaisar emosi. “Ayo lawan dong!”

Dan sepertinya ia berhasil menyulut api, karena kini satu tangan Kaisar sudah siap melemparkan bola-bola kertas—yang terbuat dari struk minuman—padanya. Bukannya takut, Heksa justru malah terlihat senang dan semakin ingin mengompori; tipikal best friends behavior. Kaisar pun mulai mengambil ancang-ancang untuk berdiri. Melihat itu, Heksa mencuri start dengan lebih dulu bergerak, menciptakan jarak antara dirinya dan Kaisar—dan Maure yang memperhatikan keduanya sambil menghela napas. Hanya dalam hitungan detik, Heksa sudah berlari kecil—menjelajah rooftop yang luasnya tidak lebih dari 10x5 meter itu— dengan tawa menjengkelkan sementara Kaisar berusaha menarik bajunya dari belakang untuk menghentikannya.

“Nah kan udah bisa marah-marah.” Ucap Heksa disela-sela.

“Dari dulu juga gue bisa marah.” Balas Kaisar yang kini berhenti di tempatnya, mulai malas menanggapi. Melihat Kaisar yang berhenti, Heksa pun ikut berhenti. Ia berjalan mendekati temannya itu dan merangkulnya kembali ke tempat duduk mereka.

“Iya bagus.” Ucapnya, membuat Kaisar sedikit bingung. “Gue lebih seneng ngeliat lo marah dari pada galau.”

Kaisar menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan itu; merasa tidak habis pikir dengan kelakuan temannya. Sedari tadi Heksa memang terlihat berusaha mencairkan suasana—membuat atmosfer menjadi seringan mungkin. Laki-laki itu sudah melakukannya sejak mereka masih berada di running track sore tadi. Sebagai teman—sebagai sahabat, ia tentunya bisa menyadari dengan mudah perubahan suasana hati yang signifikan pada Kaisar selama beberapa hari ini. Karena itu, dirinya berusaha sedikit menghibur dan berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja. Ia berusaha membuat suasana kembali sama seperti sebelumnya.

“Jangan lari-lari ini kos-kosan bukan running track!” Dan di tengah keributan kecil itu, ada Maure yang sibuk meneriaki keduanya dengan suara sepelan mungkin, agar tidak mengganggu penghuni kos yang lain.

“Nah bagus, Ole, kamu juga marah-marah aja, jangan ikut galau.” Heksa mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

“Aku gak galau???”


Setelah menghabiskan semua makanan yang dibawa dan waktu menunjukkan pukul sembilan , ketiganya memutuskan untuk bubar.

“Kalau gabut nanti kita ramein lagi.” Pamit Heksa yang sudah lebih dulu tiba di gerbang, sementara Kaisar terlihat masih beberapa langkah di belakang—sedang membetulkan tali sepatunya.

“Gak perlu.” Jawab Maure cepat.

“Iya iya aku tau kamu seneng kalau aku sering-sering main.” Balas Heksa, mengabaikan jawaban Maure sebelumnya.

“Gak mau, kalian berisik. Nanti aku dimarahin ibu kos.” Ucap Maure sambil memasang wajah malas yang membuatnya mendapat sentilan pelan di dahi. “Emang bener kalian bikin rusuh.”

Keduanya masih berdebat kecil selama beberapa saat—perdebatan kekanakan yang tidak ada tujuannya. Hal itu merupakan pemandangan yang cukup langka, setidaknya dalam beberapa waktu belakangan ini. Api yang sempat tersulut di antara keduanya memang sudah diredam sejak beberapa waktu lalu. Apa yang sempat kusut sudah sedikit diluruskan. Walaupun demikian, bukan berarti abu nya langsung hilang dan bukan berarti semuanya langsung kembali mulus. Di antara keakraban yang mulai kembali itu, masih terselip rasa canggung, segan, dan asing. Setidaknya sampai sekarang.

Mungkin, awalnya memang terasa asing, terasa canggung. Mungkin awalnya memang berbeda. Tapi mungkin juga, perlahan semuanya bisa kembali sama.

“Pulang dulu ya,” Kali ini, giliran Kaisar yang pamit. Maure tidak segera membalas ucapan itu. Perempuan itu masih bersandar pada gerbang sambil menatap laki-laki di depannya serius. Sikapnya itu membuat Kaisar menaikkan kedua alisnya, bertanya secara tidak langsung.

“Kamu beneran ya kalau ditanya what are we langsung ceklis abu—ah kayaknya ceklis satu deh.” Ucap Maure setengah bercanda sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia juga memalingkan wajahnya dari Kaisar, menunjukkan bahwa dirinya bahkan tidak mengharapkan respon dari laki-laki itu—yang bisa ia tebak, akan tetap sama. Namun di luar dugaan, respons Kaisar kali ini agak berbeda. Bukan mengabaikan Maure seperti biasanya, laki-laki itu memberi senyum simpul.

“Tapi bukan ga deliv kan?”

Respons itu membuat Maure yang mulainya bersikap acuh tak acuh, jadi menaruh perhatian. Terlihat jelas dari bagaimana ia langsung menegakan tubuhnya dan menatap laki-laki itu bingung. Belum sempat ia membalas, suara Heksa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil menginterupsi.

“Kai cepetan!” Teriak Heksa lewat jendela. Mendengarnya, Kaisar pun melambaikan tangannya pada Maure—mengabaikan kebingungan perempuan itu—dan segera berjalan menuju mobil.

Dan mungkin, perasaan yang pernah saling berlawanan itu, perlahan mulai berdiri di halaman yang sama.


maure, rumi


“Apa kabar, Ole?” Sapa Rumi normal. Rumi bukan karakter novel ceria yang membawa pelangi ke dalam kehidupan semua orang. She’s not the bubbly noisy girl that everyone loves. Tapi dirinya memang sering kali menunjukkan keramahan—atau setikanya berusaha bersikap ramah pada semua orang. Bukan karena pencitraan, tetapi sesederhana agar tidak menimbulkan musuh yang tidak perlu. Berbanding terbalik dengan Maure yang lebih frontal dan jarang menyembunyikan ekspresinya. Terlihat dari bagaimana perempuan itu menatapnya sinis.

“Menurut lo?” Sinis Maure. “Gak usah so nanya kabar gitu, kemarin kemarin juga ketemu.”

“Kita bisa ngobrol baik-baik ngga sih, Ole?”

“Gue gak punya alesan buat ngobrol baik-baik sama lo.” Balas Maure sambil membalikkan badan, hendak pergi. Namun ia terlihat mengurungkan niatnya. Sebaliknya, ia kembali menoleh dan membuka mulutnya lagi. “Kecuali lo sadar sama kesalahan lo selama ini.”

Pertengkaran antara Maure dan Arumi bukanlah sebuah skenario yang berada di luar prediksi. If anything, it is just about time we see them fight. Keduanya memiliki cukup alasan untuk membenci satu sama lain. Sebagai permulaan, keduanya menyukai laki-laki yang sama.

“Mungkin lo juga harus sadar kalau Kaisar yang suka sama gue itu bukan kesalahan gue.” Balas Rumi.

Tidak ada yang tahu cerita lengkap dari cinta segitiga itu. Siapa yang lebih dulu suka pada siapa. Siapa yang lebih dulu mengenal siapa. Tidak ada yang tahu. Ada yang berasumsi Rumi adalah yang pertama, berdasarkan fakta bahwa perempuan itu satu tingkat lebih tua dibanding Maure; otomatis membuatnya mengenal Kaisar lebih dulu. Ada juga yang berasumsi Maure-lah yang pertama, berdasarkan fakta bahwa perempuan itu sudah bersikap terang-terangan tentang perasaannya sejak hari-hari pertamanya sebagai mahasiswi. Sedangkan Rumi dan Kaisar baru belakangan ini mulai menunjukkan kedekatan mereka secara publik; baru setelah Maure datang. Pada titik ini, semua asumsi terdengar masuk akal karena bersamaan dengan banyaknya yang diketahui oleh orang-orang, ada banyak juga yang tidak diketahui.

“Cih,” Jawaban itu membuat Maure tersenyum sungging sambil mendecih. “Gue juga tau lo gak maksa Kaisar buat suka sama lo. Tapi lo jangan pura-pura gak pernah ngehalangin Kaisar buat deket sama gue.”

“Gue gak—”

“Lo tau Kaisar sebucin apa sama lo dan lo ngemanfaatin itu buat ngehalangin Kaisar dari gue.” Maure melanjutkan tanpa membiarkan Rumi menyelesaikan kalimatnya. “Lo udah keseringan muncul ditengah waktu gue sama Kaisar buat bisa disebut kebetulan.”

Kalau benar dan salah disimbolkan dengan warna hitam dan putih, maka perdebatan ini warnanya abu-abu. Dua orang yang terlibat dalam perdebatan ini pun abu-abu. Bisa dianggap keduanya sama-sama punya poin benar dan poin salah yang seimbang. Bisa dianggap juga, bahwa tidak bisa dilihat hitam dan putih kalau titik awal permasalahannya saja sudah abu-abu.

Seriously? Lo pake argumen kekanakan kayak gitu?” Tanya Rumi tidak percaya.

“Emang tingkah lo sendiri udah sedewasa apa?”

Alasan yang kedua, keduanya memiliki sisi kekanakan yang sama besarnya, yang cukup untuk membuat keduanya memperdebatkan hal sepele. Maure bisa bersikap santai, dan menerima keadaan seperti orang dewasa saat Kaisar harus pergi untuk Rumi. Ia bisa bersikap dewasa dan diam menerima saat Kaisar menolak ajakannya karena Rumi. Tetapi, Rumi juga bisa bersikap dewasa dengan tidak muncul saat Kaisar dan Maure sedang menghabiskan waktu berdua. Rumi bisa bersikap dewasa dan diam saat Kaisar memberikan sedikit perhatiannya pada Maure.

Meskipun pada akhirnya, Arumi bertindak sebagai upper hand, karena Kaisar ada di pihaknya.

Maybe if you were important enough for him, he wouldn’t ignore your feelings.” Ucap perempuan itu tenang.

Namun, Maure tidak menunjukkan banyak reaksi. Kalimat itu jelas terdengar menyakitkan, tetapi sepertinya Maure sudah menyiapkan diri atau bahkan sudah terbiasa dengan fakta menyakitkan itu. Ia hanya menatap Arumi di depannya dan membalas.

Maybe if you were important enough for him, he would have dated you already.”

Selalu begitu. Argumen yang sama keluar setiap kali keduanya berdebat—hence, they tend to avoid each other. Memang, keduanya tidak selalu berdebat—atau bertengkar seperti kucing dan tikus. Bahkan kucing dan tikus pun tidak selalu bermusuhan. Tapi begitu keduanya bertengar, rasanya masing-masing seperti sudah menumpuk dendam kesumat untuk diledakkan. Menimbulkan pertengkaran yang takkan pernah berakhir damai, kecuali ada satu pihak yang berubah dan mengalah.

“Kenapa sih, Ole?” Ucap Arumi putus asa. “Kenapa kita ribut terus?”

Pertanyaan itu juga mungkin muncul dalam benak orang lain. Pertanyaan tentang kenapa Maure begitu membenci Arumi, dan kenapa kebencian itu seolah terlepas dari hubungan Arumi dengan Kaisar? Pada permukaannya, memang terlihat seperti hubungan saling membenci antara dua perempuan yang mengejar laki-laki yang sama. Tetapi jika melihat sorot mata tajam penuh rasa tidak suka yang dilayangkan oleh Maure, apakah masih bisa disimpulkan demikian?

“Lo juga tau jawabannya.” Jawab Maure, masih dengan tatapan tajamnya. “Lo tau jawabannya tapi lo milih buat pura-pura gak tau.”

Kali ini, giliran raut wajah Arumi yang berubah mengeras. Tidak lagi menampakkan rasa frustasi ataupun bingung. Matanya menatap Maure lekat-lekat, meski tidak setajam tatapan milik perempuan itu. Rautnya menggambarkan emosi yang campur aduk, seolah semua jenis emosi ada disana. Setelah beberapa saat, Arumi menjadi yang pertama untuk memutus kontak mata. Ia mengalihkan pandangannya. Hal itu dianggap oleh Maure sebagai akhir percakapan.

“Gue harap seenggaknya lo malu, ngejalanin kehidupan lo yang sempurna itu ditengah semua ini.” Ucap Maure dingin.

“Kenapa gue harus malu—”

Arumi mengambil satu langkah maju sebagai tanda emosinya yang mulai tersulut. Jangan tanya tentang Maure karena perempuan itu sudah berdiri sambil bersilang tangan, seolah siap kalau-kalau Arumi menyerbunya. Tetapi, sebuah suara lebih dulu menginterupsi keduanya.

“Ole?”

Suara itu berasal dari Heksa yang secara kebetulan melewati coffee shop kecil tempat keduanya berdebat itu. Tanpa perlu bertanya, laki-laki itu bisa menebak dengan akurat apa yang sedang terjadi di antara dua perempuan itu. Ia pun menghela napasnya.

“Pulang yuk, Ole.”