strings: tangled — Yang layu, yang kelabu


kaisar, arumi


“Makasih ya, Ji, masih mau nemuin aku.”

Kalimat itu keluar dari mulut perempuan yang mengenakan dress hijau sage, ditujukan kepada laki-laki tinggi di sebelahnya. Keduanya sedang berjalan pelan di lorong sebuah bangunan, menuju sebuah taman kecil di area belakang.

“Nggak mungkin juga aku ngehindarin kamu? I would never leave you, Rum.” Jawab Kaisar, si laki-laki. Ia menoleh sebentar, memberikan senyum simpul sebelum melanjutkan jalannya. Jawaban itu—serta senyumannya—membuat Arumi ikut tersenyum. Namun, senyumnya pudar dengan cepat.

“Itu dulu, mungkin? Sekarang ‘kan ada Ole.” Ucapnya pelan. Tatapannya sedikit sendu, menatap semak-semak berbunga dari taman yang mulai nampak dalam pandangannya.

Those are two separate matter.” Balas Kaisar cepat begitu mendengar nama Maure disebut; tidak ingin membawa orang lain ke dalam percakapan. “Besides, you know how dear—how important your are to me.

“Aku tahu.”

“Harusnya aku yang bilang makasih. Kamu masih mau ngeprioritasin Bunda aku.” Kaisar menambahkan.

She did a lot for me.

Keduanya kini sudah tiba di taman. Mereka memperhatikan tempat yang penuh dengan kehidupan itu. Ada yang sedang duduk menikmati semilir angin, ada yang sedang menenangkan pikiran sambil mengabsen bunga, ada pula yang seperti Kaisar dan Arumi; memperhatikan semua kehidupan itu. Waktu berlalu dalam keheningan, dalam ketenangan. Arumi masih memperhatikan para penghuni taman saat ia menyadari Kaisar sedang memperhatikannya; menatapnya dalam, seperti penasaran akan suatu hal.

“Kenapa, Ji?” Tanya Arumi pada akhirnya, saat laki-laki itu tak kunjung membuka suara.

“Aku pengen nanya sesuatu, tapi takut bikin canggung.” Jawab Kaisar. Hal itu membuat Arumi mengerutkan keningnya bingung.

“Kita udah kenal berapa lama sih? Kok masih takut canggung.”

Untuk beberapa saat, Kaisar masih terdiam. Ia terlihat sedang menimbang-nimbang apakah ia harus melontarkan pertanyaannya, atau memilih diam dan melupakan semuanya. Dan kalau ia diminta jujur, pertanyaan yang ada di kepalanya sekarang sudah terpikiran olehnya sejak lama. Pertanyaan yang sudah ada dalam benaknya untuk waktu yang lama, namun ia tidak pernah mempunyai keberanian untuk bertanya; he never has the heart to ask.

“Sebelumnya aku minta maaf if I hurt you by any way gara-gara pertanyaan ini.” Mulai Kaisar, yang membuat Arumi menjadi semakin bingung. Kali ini raut wajah perempuan itu juga diwarnai dengan antisipasi—cemas-cemas takut tentang pertanyaan yang akan dilontarkan itu. Setelah menarik napas panjang, akhirnya Kaisar melanjutkan. “Aku cuma penasaran. Kamu…tau hubungan kita ini kayak apa—hubungan kita ini apa. But, why did you treat our relationship romantically?”

Arumi mematung di tempatnya selepas mendengar semua itu. Ternyata, pertanyaan itu memang pertanyaan yang layak untuk diantisipasi—meskipun bukan dengan rasa antusias. Pertanyaan itu sendiri sangat di luar ekspektasinya, meskipun ia sendiri tahu itu bukanlah pertanyaan yang tidak mungkin. Faktanya, Arumi tahu bahwa pertanyaan itu adalah sesuatu yang layak untuk ditanyakan. Ia hanya tidak menyangka Kaisar akan melontarkannya sekarang.

“Kaisar? Rumi? Dicariin Bunda.”

Sayangnya—atau untungnya, pertanyaan itu berakhir tidak terjawab karena seorang staff perawat menghampiri keduanya.


maure, heksa


“Kenapa? Bete banget aku yang jemput?” Tanya Heksa saat menyadari Maure belum bicara sepatah kata pun. Begitu masuk ke dalam mobil, Maure langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela dan diam tidak bersuara. Pun raut wajahnya tidak terlihat senang ataupun bersemangat; sebaliknya, wajahnya terlihat sedikit suram. “Ole?”

Maure masih diam selama beberapa menit. Perempuan itu sibuk memperhatikan gedung, rumah, toko, papan reklame; apapun yang mereka lewati. Menyibukkan diri dengan berusaha membaca setiap tulisan yang terpampang. Mengabaikan Heksa yang sesekali menatapnya penuh tanda tanya. Sampai mereka berhenti di sebuah persimpangan karena lampu merah, barulah perempuan itu membuka mulutnya.

“Kamu mau tau yang aku liat tadi gak?” Tanya Maure sebagai pembukaan. Pertanyaan itu sukses membuat Heksa mengerutkan keningnya, tidak bisa menebak arah pembicaraan ini.

“Apa?”

“Kaisar.” Jawab Maure singkat. Heksa terlihat semakin bingung. Ia mulai mencoba menebak apakah maksudnya perempuan itu kesal karena ia datang menjemput padahal ada Kaisar; atau apakah perempuan itu kesal karena Kaisar sebenarnya bisa menjemputnya tapi memilih tidak. Sebelum ia sempat bertanya, Maure sudah lebih dulu melanjutkan. “Sama Rumi. Kaisar sama Rumi.”

“Hah?”

Heksa menunggu Maure bicara lagi, namun perempuan itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelahnya. Mengerti bahwa suasana hatinya sedang tidak bagus, Heksa memilih untuk kembali menfokuskan perhatiannya pada jalanan. Sesekali, ia masih melirik ke samping untuk sekedar memastikan. Sampai saat mereka tiba di lampu merah berikutnya, Maure masih terdiam. Heksa pun memutuskan untuk bertanya lagi.

“Kamu bilang ke Kaisar nggak kalau kamu liat mereka?” Tanya Heksa membuka obrolan. “Atau kamu udah nanya Rumi?”

“Nanti aja. Gak mau mikirin itu dulu.” Jawab Maure malas, masih menatap keluar jendela. Reaksi itu sedikit di luar ekspektasi Heksa. Ia sangat tahu kalau Maure lebih cenderung pada tipe yang frontal dan impulsif. Maure yang tenang dan minim reaksi seperti sekarang terbilang cukup jarang terlihat.

“Biasanya kamu langsung labrak Rumi.” Komentar Heksa, berusaha memancing jawaban.

“Ada yang lebih penting buat dipikirin.” Balas Maure, kali ini menoleh dan menatap Heksa. “Sebentar lagi tahunannya Mama.”