strings: tangled — Yang tetap sama sampai ada yang berubah


maure, rumi


“Apa kabar, Ole?” Sapa Rumi normal. Rumi bukan karakter novel ceria yang membawa pelangi ke dalam kehidupan semua orang. She’s not the bubbly noisy girl that everyone loves. Tapi dirinya memang sering kali menunjukkan keramahan—atau setikanya berusaha bersikap ramah pada semua orang. Bukan karena pencitraan, tetapi sesederhana agar tidak menimbulkan musuh yang tidak perlu. Berbanding terbalik dengan Maure yang lebih frontal dan jarang menyembunyikan ekspresinya. Terlihat dari bagaimana perempuan itu menatapnya sinis.

“Menurut lo?” Sinis Maure. “Gak usah so nanya kabar gitu, kemarin kemarin juga ketemu.”

“Kita bisa ngobrol baik-baik ngga sih, Ole?”

“Gue gak punya alesan buat ngobrol baik-baik sama lo.” Balas Maure sambil membalikkan badan, hendak pergi. Namun ia terlihat mengurungkan niatnya. Sebaliknya, ia kembali menoleh dan membuka mulutnya lagi. “Kecuali lo sadar sama kesalahan lo selama ini.”

Pertengkaran antara Maure dan Arumi bukanlah sebuah skenario yang berada di luar prediksi. If anything, it is just about time we see them fight. Keduanya memiliki cukup alasan untuk membenci satu sama lain. Sebagai permulaan, keduanya menyukai laki-laki yang sama.

“Mungkin lo juga harus sadar kalau Kaisar yang suka sama gue itu bukan kesalahan gue.” Balas Rumi.

Tidak ada yang tahu cerita lengkap dari cinta segitiga itu. Siapa yang lebih dulu suka pada siapa. Siapa yang lebih dulu mengenal siapa. Tidak ada yang tahu. Ada yang berasumsi Rumi adalah yang pertama, berdasarkan fakta bahwa perempuan itu satu tingkat lebih tua dibanding Maure; otomatis membuatnya mengenal Kaisar lebih dulu. Ada juga yang berasumsi Maure-lah yang pertama, berdasarkan fakta bahwa perempuan itu sudah bersikap terang-terangan tentang perasaannya sejak hari-hari pertamanya sebagai mahasiswi. Sedangkan Rumi dan Kaisar baru belakangan ini mulai menunjukkan kedekatan mereka secara publik; baru setelah Maure datang. Pada titik ini, semua asumsi terdengar masuk akal karena bersamaan dengan banyaknya yang diketahui oleh orang-orang, ada banyak juga yang tidak diketahui.

“Cih,” Jawaban itu membuat Maure tersenyum sungging sambil mendecih. “Gue juga tau lo gak maksa Kaisar buat suka sama lo. Tapi lo jangan pura-pura gak pernah ngehalangin Kaisar buat deket sama gue.”

“Gue gak—”

“Lo tau Kaisar sebucin apa sama lo dan lo ngemanfaatin itu buat ngehalangin Kaisar dari gue.” Maure melanjutkan tanpa membiarkan Rumi menyelesaikan kalimatnya. “Lo udah keseringan muncul ditengah waktu gue sama Kaisar buat bisa disebut kebetulan.”

Kalau benar dan salah disimbolkan dengan warna hitam dan putih, maka perdebatan ini warnanya abu-abu. Dua orang yang terlibat dalam perdebatan ini pun abu-abu. Bisa dianggap keduanya sama-sama punya poin benar dan poin salah yang seimbang. Bisa dianggap juga, bahwa tidak bisa dilihat hitam dan putih kalau titik awal permasalahannya saja sudah abu-abu.

Seriously? Lo pake argumen kekanakan kayak gitu?” Tanya Rumi tidak percaya.

“Emang tingkah lo sendiri udah sedewasa apa?”

Alasan yang kedua, keduanya memiliki sisi kekanakan yang sama besarnya, yang cukup untuk membuat keduanya memperdebatkan hal sepele. Maure bisa bersikap santai, dan menerima keadaan seperti orang dewasa saat Kaisar harus pergi untuk Rumi. Ia bisa bersikap dewasa dan diam menerima saat Kaisar menolak ajakannya karena Rumi. Tetapi, Rumi juga bisa bersikap dewasa dengan tidak muncul saat Kaisar dan Maure sedang menghabiskan waktu berdua. Rumi bisa bersikap dewasa dan diam saat Kaisar memberikan sedikit perhatiannya pada Maure.

Meskipun pada akhirnya, Arumi bertindak sebagai upper hand, karena Kaisar ada di pihaknya.

Maybe if you were important enough for him, he wouldn’t ignore your feelings.” Ucap perempuan itu tenang.

Namun, Maure tidak menunjukkan banyak reaksi. Kalimat itu jelas terdengar menyakitkan, tetapi sepertinya Maure sudah menyiapkan diri atau bahkan sudah terbiasa dengan fakta menyakitkan itu. Ia hanya menatap Arumi di depannya dan membalas.

Maybe if you were important enough for him, he would have dated you already.”

Selalu begitu. Argumen yang sama keluar setiap kali keduanya berdebat—hence, they tend to avoid each other. Memang, keduanya tidak selalu berdebat—atau bertengkar seperti kucing dan tikus. Bahkan kucing dan tikus pun tidak selalu bermusuhan. Tapi begitu keduanya bertengar, rasanya masing-masing seperti sudah menumpuk dendam kesumat untuk diledakkan. Menimbulkan pertengkaran yang takkan pernah berakhir damai, kecuali ada satu pihak yang berubah dan mengalah.

“Kenapa sih, Ole?” Ucap Arumi putus asa. “Kenapa kita ribut terus?”

Pertanyaan itu juga mungkin muncul dalam benak orang lain. Pertanyaan tentang kenapa Maure begitu membenci Arumi, dan kenapa kebencian itu seolah terlepas dari hubungan Arumi dengan Kaisar? Pada permukaannya, memang terlihat seperti hubungan saling membenci antara dua perempuan yang mengejar laki-laki yang sama. Tetapi jika melihat sorot mata tajam penuh rasa tidak suka yang dilayangkan oleh Maure, apakah masih bisa disimpulkan demikian?

“Lo juga tau jawabannya.” Jawab Maure, masih dengan tatapan tajamnya. “Lo tau jawabannya tapi lo milih buat pura-pura gak tau.”

Kali ini, giliran raut wajah Arumi yang berubah mengeras. Tidak lagi menampakkan rasa frustasi ataupun bingung. Matanya menatap Maure lekat-lekat, meski tidak setajam tatapan milik perempuan itu. Rautnya menggambarkan emosi yang campur aduk, seolah semua jenis emosi ada disana. Setelah beberapa saat, Arumi menjadi yang pertama untuk memutus kontak mata. Ia mengalihkan pandangannya. Hal itu dianggap oleh Maure sebagai akhir percakapan.

“Gue harap seenggaknya lo malu, ngejalanin kehidupan lo yang sempurna itu ditengah semua ini.” Ucap Maure dingin.

“Kenapa gue harus malu—”

Arumi mengambil satu langkah maju sebagai tanda emosinya yang mulai tersulut. Jangan tanya tentang Maure karena perempuan itu sudah berdiri sambil bersilang tangan, seolah siap kalau-kalau Arumi menyerbunya. Tetapi, sebuah suara lebih dulu menginterupsi keduanya.

“Ole?”

Suara itu berasal dari Heksa yang secara kebetulan melewati coffee shop kecil tempat keduanya berdebat itu. Tanpa perlu bertanya, laki-laki itu bisa menebak dengan akurat apa yang sedang terjadi di antara dua perempuan itu. Ia pun menghela napasnya.

“Pulang yuk, Ole.”