strings: tangled — Yang tenang, yang mekar
maure, heksa
“Lebih nyaman ‘kan dibanding kosan?”
Heksa berdiri di tengah ruangan dalam sebuah rumah sambil melihat ke sekelilingnya. Rumah yang tidak berpenghuni selama berminggu-minggu itu berukuran kecil dengan hanya memiliki satu kamar. Cocok untuk ditinggali oleh Maure. Sederhana, nyaman, dan terasa aman. Meskipun mungkin perlu dipoles sedikit agar terlihat lebih segar. Sebagian besar barang yang ada disana adalah barang bawaan—atau peninggalan yang sudah berada disana untuk waktu yang lama.
“Kamu disini mau karokean sampai subuh juga bisa.” Tambah Heksa lagi saat Maure tidak merespon.
“Emangnya kamu.” Cibir perempuan itu sambil meletakkan kopernya ke samping sofa. Ia memperhatikan isi ruangan sebentar sebelum menjatuhkan dirinya ke atas sofa. “Daripada diem mending kamu lanjutin turunin barang-barang aku dari mobil.”
“Terus aku ngangkutin semua sendirian gitu?” Tanya Heksa tidak percaya.
“Aku kan adik, aku diem.”
“Giliran gini aja ngaku adik.” Geleng laki-laki itu sambil berjalan pasrah menuju mobil yang terparkir di depan rumah.
Saat Maure memutuskan untuk pergi ke universitas yang sama dengan Heksa, pilihannya adalah tinggal di rumah Kiana atau tinggal di rumah ini. Tetapi seperti yang diketahui, pada akhirnya Maure tidak memilih keduanya dan malah pindah ke sebuah kos di dekat kampusnya. Alasan utamanya tentu saja untuk menghindar; menjaga jarak dari Heksa dan Kiana. Kini saat hubungannya dengan Heksa sudah membaik, topik tentang rumah ini pun diangkat kembali. Setelah banyak diskusi—dan sedikit perdebatan, Maure akhirnya setuju untuk menempati rumah ini seperti yang memang direncanakan sejak awal.
“Kamu beneran mau liatin doang?” Tanya Heksa yang sudah kembali lagi dengan koper lain dan sebuah kardus berukuran sedang.
“Barang-barang aku gak banyak.”
Meskipun sedikit melelahkan karena jarak dari mobil ke dalam rumah, Heksa tidak mengeluh sama sekali. Sebaliknya, ia senang saat direpotkan oleh Maure seperti ini. Apalagi mengingat hari-hari kebelakang, perempuan itu bersikap terlalu mandiri. Maure sebenarnya masih tidak begitu mengerti kenapa Heksa begitu bersikeras untuk melakukan banyak hal untuknya, disaat dirinya bisa melakukan semuanya sendiri; disaat dirinya sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri. Ia masih tidak mengerti kenapa Heksa terkesan bersikap protektif dan terlalu perhatian padanya. Namun, dirinya rasa hanya adil untuk Heksa menceritakan alasannya jika Maure bercerita tentang alasannya juga.
Maka, Maure memilih untuk tidak memikirkan hal itu.
Keduanya menyusun dan merapikan barang-barang milik Maure dalam ketenangan. Perempuan itu baru saja selesai melipat pakaiannya ke dalam lemari dan kini berjalan menghampiri Heksa yang berada di area dapur. Laki-laki itu terlihat baru selesai memasang microwave. Maure mulanya berniat untuk mengejutkannya, namun ia mengurungkan niatnya saat melihat Heksa yang berdiri mematung di depan lemari yang berisi piring dan cangkir hiasan, serta beberapa pajangan lainnya.
“Kamu suka kangen Ayah gak, Abang?” Tanya Maure spontan. Pertanyaan itu membuat Heksa menatapnya heran sekaligus terkejut, tidak siap sama sekali atas pertanyaan tidak terduga itu. Bahkan Maure sendiri pun tidak menduga kalau dirinya akan bertanya tentang hal itu.
“Kamu kangen?” Bukannya langsung menjawab, Heksa malah bertanya balik—kini berjalan menjauh dari lemari itu dan berdiri bersandar pada counter.
“Aku nanya kamu.”
Heksa tersenyum simpul sebelum menjawab.
“Kadang kangen, tapi sekarang lagi enggak.” Jawabnya tenang. Maure kini ikut bersandar pada counter, di sebelahnya. Setelah beberapa saat, perempuan itu membuka mulutnya.
“Aku juga kadang kangen, tapi sekarang lagi gak kangen.” Ucapnya, mengulang jawaban Heksa. Laki-laki itu menoleh padanya dengan kening yang sedikit berkerut. Namun belum sempat ia berucap kata, Maure sudah lebih dulu bicara lagi. “Jadi kamu gak usah banyak mikir. Gak usah banyak khawatir.”
“Gimana nggak khawatir, kamu ngangetin makanan di microwave aja sendoknya ikut dimasukin.” Balas Heksa dengan setengah bercanda.
Responnya itu merupakan langkah yang bagus, karena kini atmosfer yang sempat terasa memberat itu sudah berubah ringan dan jenaka kembali. Mungkin, kini Heksa sudah benar-benar mempercayakan semuanya kepada Maure. Sekaligus percaya bahwa pandangannya hanya perlu tertuju ke depan, pada apa yang ada di masa sekarang dan yang akan datang. Bukan bergelut dengan masa lalu seperti Kaisar. Juga mungkin, laki-laki itu sudah percaya sepenuhnya bahwa Maure, faktanya, memang tumbuh dengan baik—tumbuh dengan kuat.
“Kamu juga kalau pake kompor induksi suka salah panci.” Balas Maure tidak mau kalah. “Udah gitu marah-marah lagi ke kompornya padahal kamu yang salah.”
“Aku sekarang mau masak mie kamu nggak aku kasih.”
“Biarin orang aku mau pergi.”
“Sama siapa?”
“Kaisar lah.”
“Bocah puber.”
“Kamu iri kan ngaku aja.”
Dan hari-hari yang diwarnai keributan itu, bagi Maure, adalah hari yang tenang. Hari dimana dirinya bisa bernafas dengan lega, bersikap tanpa perlu banyak mengkalkulasi, dan merasa cemas tentang pertanyaan yang tidak ingin ia jawab. Hari-hari tenang yang datang lagi setelah sekian lama.
maure, kaisar
Kalau melihat hari-hari kebelakang yang cukup diwarnai dengan banyak drama, sebuah hari yang tenang dan normal jadi terasa seperti mimpi. Menariknya, hari-hari tenang yang dibicarakan disini justru bisa terwujud berkat hari-hari yang penuh drama itu. Siapa sangka rangkaian kejadian yang membuat sakit kepala itu nyatanya menjadi turning point dalam cerita ini? Sebuah turning point yang sebenarnya masuk akal, namun karena suasana baru yang dihasilkan itu sangat kontras, rasanya jadi seperti tidak nyata.
Dampak lain dari turning point itu juga adalah terciptanya suasana baru dalam hubungan Kaisar dan Maure.
Memang sudah aneh lagi melihat keakraban keduanya, mengingat cerita yang mereka miliki. Tapi untuk keduanya berada dibawah romantic atmosphere, itu cukup langka atau bahkan tidak pernah terjadi. Benar, sepertinya tidak ada adegan dimana keduanya menghabiskan waktu bersama tanpa faktor pendukung seperti Rumi sibuk, Heksa sibuk, Maure butuh bantuan, dan semacamnya. Baru kali ini, keduanya menghabiskan waktu bersama seperti sepasang anak muda pada umumnya.
“Oh iya kamu harus denger cerita ini!” Maure melipat kedua tangannya di atas meja dengan antusias, siap untuk bercerita. “Kemarin abis beli alat tulis di Miniso aku muter-muter dulu di mall nya kan.”
“Hm-mm.” Di sebelahnya, Kaisar duduk sambil menopang dagunya dengan satu tangan. Tatapannya fokus pada perempuan di sebelahnya.
“Terus tiba-tiba ada yang nyamperin aku, perempuan dua orang. Awalnya aku kira sales gitu, tapi mereka gak pake seragam atau lanyard apapun.” Lanjut Maure lagi sementara Kaisar masih menyimaknya. “Mereka ngenalin diri, katanya dari komunitas peduli kanker gitu. Walaupun random banget ada aktivis di mall aku gak curiga soalnya mereka tampilannya kayak anak kuliahan lagi volunteer gitu mana bahas peduli kanker. Yaudah deh mereka ngomong aku dengerin. Mereka cerita tentang komunitasnya blablabla.”
“Komunitasnya beneran?”
“Nah itu! Katanya beneran, ada foto kegiatannya juga. Terus aku pikir oh beneran volunteer terus aku kira mereka tuh mau ngadain acara amal atau kampanye kesadaran gitu terus ngajakin orang buat dateng.” Ia mengambil jeda sebentar untuk efek dramatis. “TAUNYA MEREKA JUALAN BUKU VOUCHER!”
“Hahahahaha,” Tawa Kaisar sementara Maure mengepalkan tangannya di atas meja karena kesal.
“Dua hari lalu juga aku ditawarin buku voucher! Tapi waktu itu katanya dari komunitas pendukung literasi apalah. Waktu SMP juga aku pernah ditawarin gituan!” Lanjut Maure masih dengan nada kesal. “Emangnya muka aku muka muka gampang ketipu?”
“Iya.” Jawab Kaisar tanpa berpkir. “Coba deh kamu ngaca.”
“Kaisar jelek.”
“Hahahaha.” Laki-laki itu kembali tertawa sampai kedua matanya menghilang. Setelah menghentikan tawanya, satu tangannya terulur untuk mengusap pelan kepala Maure. “Kasian.”
Adegan itu kini jadi sesuatu yang biasa. Maksudnya, adegan Kaisar dan Maure yang menghabiskan waktu bersama, lalu Maure akan bercerita panjang lebar mengenai kejadian unik yang dialaminya dan Kaisar akan menyimak ceritanya dengan seksama dengan tatapan yang teduh; dan di akhir, laki-laki itu selalu mengusap puncak kepala Maure pelan sambil tersenyum padanya. Kemudian, makanan pesanan keduanya tiba dan mereka akan sibuk makan sambil berkomentar tentang rasanya—terkadang, Kaisar menghabiskan lima menit untuk sekedar melihat Maure makan dengan lahap, baru dirinya sendiri mulai makan. Setelah selesai makan, keduanya akan mencari dessert cafe atau bakery terdekat untuk mencari hidangan penutup.
“Habis ini mau kemana lagi?” Tanya Kaisar setelah keduanya sama-sama selesai menyantap ramen pesanan masing-masing.
“Kita cari dessert.”
“Emangnya masih sanggup makan?”
“There’s always room for dessert tauuuu!” Protes Maure yang membuat Kaisar tersenyum. A smile full of adoration and admiration she has been desiring all this time.
Tidak ada lagi seribu penolakan, tidak ada lagi usaha yang percuma. Juga, tidak ada lagi rasa penasaran dan keraguan tentang pertanyaan yang tidak terjawab yang berujung pada percakapan yang tidak diselesaikan. Sekarang ini, hanya ada Maure dan Kaisar yang akhirnya, menjalani hari seperti sepasang manusia pada umumnya. Dewasa muda yang sedang menavigasi hidupnya, meliputi pendidikan, karir, hubungan sosial, dan cinta. Benar juga, seperti dua manusia yang sedang saling jatuh hati—atau setidaknya sedang dalam perjalanan kesana.
Hari-hari dimana dirinya tidak perlu lagi bersusah payah menjangkau Kaisar, karena kini laki-laki itu mengulurkan tangannya sendiri. Figuratively, and literally.
“Ole!” Panggil laki-laki itu, membuat Maure yang berada beberapa meter di depannya berhenti dan berputar. Keduanya baru saja keluar dari restoran ramen dan sedang dalam perjalanan mencari toko gelato di sekitar mall. “Sini.”
Kaisar ingat betapa dirinya dulu dihantui rasa penasaran sampai membuatnya frustrasi, tentang kenapa Maure menyatakan perasaan padanya. Ia menghabiskan banyak waktu sekedar untuk memikirkan semuanya. Apa yang terjadi, kenapa bisa sampai terjadi, dan sebagainya. Klausa sederhana “Maure menyukai Kaisar” itu pun, entah kenapa terasa begitu rumit untuk bisa diterima oleh logikanya. Perlu waktu—ratusan pesan yang diabaikan, puluhan ajakan kencan, dan beberapa perdebatan kemudian—barulah klausa itu bisa ia mengerti.
Ternyata, seperti kata Maure, klausa itu sesederhana sebuah perasaan yang tumbuh seiring waktu. Perasaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, tanpa memerlukan sebuah alasan atau motif, seperti yang selama ini laki-laki itu pikir.
“Apa?” Tanya Maure begitu ia berdiri di depan laki-laki itu.
Seperti kata Maure beberapa waktu lalu, mungkin Kaisar memang terlalu fokus pada bagian masa lalu mereka sampai tidak cukup memperhatikan apa yang ada di hadapannya sekarang. Bukan Maure kecil yang meminta bantuannya untuk mengerjakan tugas Bahasa Inggris atau duduk dipinggir lapangan kompleks melihatnya bermain basket bersama Heksa. Kaisar memang sudah menyukai Maure, sampai batas tertentu. Ia menyukai Maure yang kemudian membuatnya peduli pada gadis itu. Tetapi itu adalah perasaan yang tumbuh di masa lalu. Perasaan yang ia miliki untuk perempuan itu sekarang tidak bisa diukur dengan logika yang ia miliki di masa lalu. Rupanya, itulah yang dipikirkan oleh Maure selama ini. Bahwa diantara berbagai perasaan yang dimilikinya, sebagian—atau mungkin kebanyakan, adalah perasaan yang tumbuh pada dan dari masa lalu. Adapun perasaan yang dimilikinya untuk Kaisar sekarang, adalah murni perasaan yang tumbuh di masa sekarang.
“Sini jangan jauh-jauh.” Ucap Kaisar sambil meraih sebelah tangan Maure dan membawanya ke dalam genggaman. Perempuan itu refleks melihat ke arah tangannya, kaget akan tindakan tiba-tiba itu. Ia memperhatikan satu tangannya yang berada dalam genggaman tangan laki-laki itu selama beberapa saat sebelum kembali menatap laki-laki itu. Tatapannya itu disambut oleh senyum sabit yang khas. “Ayo, jalan lagi.”
“Kenapa kita pegangan tangan?” Tanya Maure sedikit kaget dan bingung.
“Soalnya aku pengen pegangan tangan.” Jawab Kaisar dengan santai. Jawaban itu sukses membuat sebuah senyum merekah di wajah perempuan itu.
“Kamu mau liat aku salting gak?” Mulainya iseng.
“Jangan aneh-aneh, Ole. Jalan aja.”
Dan diantara berbagai perasaan yang Kaisar miliki untuk Maure sejak lama itu juga, terselip perasaan yang baru mekar.