strings: tangled — Yang mulai (kembali) sama
maure, kaisar, heksa
“Kenapa lo nggak bilang ngambil statistik semester ini? Gue banyak di rumah catetan statistik.”
“Lo yang ga bilang udah ngambil matkul itu.”
“Bisa gak sih kalian ngobrolin topik yang menarik?”
Percakapan di atas adalah tipikal percakapan yang bisa ditemukan saat Maure, Kaisar, dan Heksa sedang berkumpul bersama; topik-topik umum yang sering menjadi bahan obrolan mahasiswa. Membicarakan tentang keseharian kuliah, membahas acara-acara yang ada di kampus, berbagi tempat makan yang enak, bertanya soal relasi, dan sebagainya. Percakapan yang memang terkesan basic dan membosankan.
For people who seem close to each other—who have relation with each other, they interestingly talk about nothing in particular.
Tapi kalau dilihat-lihat lagi, momen ketiganya berkumpul bersama sendiri bukan sesuatu yang cukup sering terjadi. Seperti yang pernah Heksa singgung beberapa waktu lalu, Maure pernah sangat menghindarinya. Waktu dimana ketiganya bisa ditemukan bersama hanyalah sesekali saat jam makan siang di kampus. Kunjungan ke adoption fair yang di adakan oleh animal shelter tempat Arumi menjadi sukarelawan mungkin adalah kali perdana ketiganya pergi bersama. Namun tetap tidak banyak yang dibicarakan—tidak banyak yang terjadi.
“Kamu belum ngambil statistik?” Kali ini, Heksa bicara pada Maure.
“Belum lah orang aku masih maba.” Jawab perempuan itu sambil menyeruput boba milk tea yang dibelikan oleh Heksa bersama dengan martabak yang dibawanya. “Kamu lupa kah aku ini semester satu kalian semester 5.”
“Temen-temen kamu pernah nanya nggak sih kenapa kamu relasinya jauh nyampe ke kating?” Tanya Heksa lagi, penasaran sungguhan.
“Temenku cuma dua.” Jawab Maure lagi. “Dita paling nanya itu namanya siapa itu siapa. Kalau Cemi…dia pernah bilang takut aku ngumpulnya bareng kating mana jauh banget dari fakultas lain. Tapi gak pernah nanya-nanya. Yang ada dia pacaran sama kating sekarang.”
“Jegar emang jagonya sat set sat set kalau urusan cewek.” Komentar Heksa.
“Iya, gak kayak temenmu itu tuh.” Angguk Maure sambil memberi lirikan pada laki-laki yang duduk di sebelah Heksa.
“Waduh, nggak ikutan.” Ucap Heksa. Tetapi, ia dengan cepat menambahkan. “Tapi bener sih ya.”
Mereka bertiga saat ini sedang duduk bersama di communal rooftop di kosan tempat Maure tinggal saat ini. Sekitar setengah jam yang lalu, Heksa datang bersama Kaisar sambil membawa makanan yang dijanjikan. Keduanya baru saja kembali dari running track setelah menyelesaikan aktifitas jogging sore—atau tepatnya setelah Kaisar menyelesaikan jogging-nya. Tidak banyak yang terjadi, ketiganya hanya duduk dan mengobrol; membicarakan hal-hal yang biasa. Percakapan yang sekilas terlihat canggung kalau dibandingkan dengan interaksi mereka melalui chat. Tetapi, alasan atmosfer yang tidak terlalu akrab hari ini bukanlah tanpa sebab. Mereka bertiga sama-sama tahu dan peka kalau belakangan ini udaranya memang sedang tidak terlalu bagus. Kalau kata Heksa, ada banyak drama beberapa waktu kebelakang ini.
Kaisar yang kini menjadi pusat perhatian hanya merespon dengan memutar bola matanya, kesal juga pasrah atas sikap sahabatnya itu.
“Loyo amat kayak orang galau.” Heksa berkomentar lagi, seolah sengaja ingin membuat Kaisar emosi. “Ayo lawan dong!”
Dan sepertinya ia berhasil menyulut api, karena kini satu tangan Kaisar sudah siap melemparkan bola-bola kertas—yang terbuat dari struk minuman—padanya. Bukannya takut, Heksa justru malah terlihat senang dan semakin ingin mengompori; tipikal best friends behavior. Kaisar pun mulai mengambil ancang-ancang untuk berdiri. Melihat itu, Heksa mencuri start dengan lebih dulu bergerak, menciptakan jarak antara dirinya dan Kaisar—dan Maure yang memperhatikan keduanya sambil menghela napas. Hanya dalam hitungan detik, Heksa sudah berlari kecil—menjelajah rooftop yang luasnya tidak lebih dari 10x5 meter itu— dengan tawa menjengkelkan sementara Kaisar berusaha menarik bajunya dari belakang untuk menghentikannya.
“Nah kan udah bisa marah-marah.” Ucap Heksa disela-sela.
“Dari dulu juga gue bisa marah.” Balas Kaisar yang kini berhenti di tempatnya, mulai malas menanggapi. Melihat Kaisar yang berhenti, Heksa pun ikut berhenti. Ia berjalan mendekati temannya itu dan merangkulnya kembali ke tempat duduk mereka.
“Iya bagus.” Ucapnya, membuat Kaisar sedikit bingung. “Gue lebih seneng ngeliat lo marah dari pada galau.”
Kaisar menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan itu; merasa tidak habis pikir dengan kelakuan temannya. Sedari tadi Heksa memang terlihat berusaha mencairkan suasana—membuat atmosfer menjadi seringan mungkin. Laki-laki itu sudah melakukannya sejak mereka masih berada di running track sore tadi. Sebagai teman—sebagai sahabat, ia tentunya bisa menyadari dengan mudah perubahan suasana hati yang signifikan pada Kaisar selama beberapa hari ini. Karena itu, dirinya berusaha sedikit menghibur dan berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja. Ia berusaha membuat suasana kembali sama seperti sebelumnya.
“Jangan lari-lari ini kos-kosan bukan running track!” Dan di tengah keributan kecil itu, ada Maure yang sibuk meneriaki keduanya dengan suara sepelan mungkin, agar tidak mengganggu penghuni kos yang lain.
“Nah bagus, Ole, kamu juga marah-marah aja, jangan ikut galau.” Heksa mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
“Aku gak galau???”
Setelah menghabiskan semua makanan yang dibawa dan waktu menunjukkan pukul sembilan , ketiganya memutuskan untuk bubar.
“Kalau gabut nanti kita ramein lagi.” Pamit Heksa yang sudah lebih dulu tiba di gerbang, sementara Kaisar terlihat masih beberapa langkah di belakang—sedang membetulkan tali sepatunya.
“Gak perlu.” Jawab Maure cepat.
“Iya iya aku tau kamu seneng kalau aku sering-sering main.” Balas Heksa, mengabaikan jawaban Maure sebelumnya.
“Gak mau, kalian berisik. Nanti aku dimarahin ibu kos.” Ucap Maure sambil memasang wajah malas yang membuatnya mendapat sentilan pelan di dahi. “Emang bener kalian bikin rusuh.”
Keduanya masih berdebat kecil selama beberapa saat—perdebatan kekanakan yang tidak ada tujuannya. Hal itu merupakan pemandangan yang cukup langka, setidaknya dalam beberapa waktu belakangan ini. Api yang sempat tersulut di antara keduanya memang sudah diredam sejak beberapa waktu lalu. Apa yang sempat kusut sudah sedikit diluruskan. Walaupun demikian, bukan berarti abu nya langsung hilang dan bukan berarti semuanya langsung kembali mulus. Di antara keakraban yang mulai kembali itu, masih terselip rasa canggung, segan, dan asing. Setidaknya sampai sekarang.
Mungkin, awalnya memang terasa asing, terasa canggung. Mungkin awalnya memang berbeda. Tapi mungkin juga, perlahan semuanya bisa kembali sama.
“Pulang dulu ya,” Kali ini, giliran Kaisar yang pamit. Maure tidak segera membalas ucapan itu. Perempuan itu masih bersandar pada gerbang sambil menatap laki-laki di depannya serius. Sikapnya itu membuat Kaisar menaikkan kedua alisnya, bertanya secara tidak langsung.
“Kamu beneran ya kalau ditanya what are we langsung ceklis abu—ah kayaknya ceklis satu deh.” Ucap Maure setengah bercanda sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia juga memalingkan wajahnya dari Kaisar, menunjukkan bahwa dirinya bahkan tidak mengharapkan respon dari laki-laki itu—yang bisa ia tebak, akan tetap sama. Namun di luar dugaan, respons Kaisar kali ini agak berbeda. Bukan mengabaikan Maure seperti biasanya, laki-laki itu memberi senyum simpul.
“Tapi bukan ga deliv kan?”
Respons itu membuat Maure yang mulainya bersikap acuh tak acuh, jadi menaruh perhatian. Terlihat jelas dari bagaimana ia langsung menegakan tubuhnya dan menatap laki-laki itu bingung. Belum sempat ia membalas, suara Heksa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil menginterupsi.
“Kai cepetan!” Teriak Heksa lewat jendela. Mendengarnya, Kaisar pun melambaikan tangannya pada Maure—mengabaikan kebingungan perempuan itu—dan segera berjalan menuju mobil.
Dan mungkin, perasaan yang pernah saling berlawanan itu, perlahan mulai berdiri di halaman yang sama.