strings: tangled — The Collision: Tangled strings
“Ole, kamu mau diem terus gini?”
Suara lembut namun penuh rasa frustasi itu datang dari Heksa yang baru lima menit lalu memasuki kediaman Maure. Perempuan yang ia cari itu duduk pada salah satu kursi di dapur, dengan sebuah buku yang terbuka di atas meja di hadapannya. Buku yang sepertinya sengaja dibaca untuk menghindari percakapan. Namun sepertinya kali ini Heksa bertekad untuk membuat perempuan itu membuka mulutnya. Ia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya dan terus menatap Maure. Akhirnya, perempuan itu menutup bukunya, menyerah.
“Ya terus aku harus apa?” Balasnya, sama frustasinya seperti laki-laki itu.
Sepertinya ungkapan tenang sebelum badai itu selalu tepat. Beberapa waktu lalu, keduanya masih mengobrol santai dan bercanda—nyaris seperti dulu kala. Keduanya terlalu tenang dan damai sampai Heksa terkecoh, berpikir bahwa hubungan keduanya benar-benar pulih. Tapi ternyata, ketenangan itu lagi-lagi hanya ada pada permukaannya saja. Setidaknya itulah yang selalu diyakini oleh Heksa, bahwa tidak mungkin semuanya baik-baik saja ditengah semua ini—ditengah apapun yang melibatkan mereka.
“Cerita, Ole. Cerita.” Jawab Heksa dengan nada sedikit memohon. Sayangnya, Maure tetap bersikap tak acuh. “Baru sebentar ini aku mikir semuanya emang baik-baik aja dan nggak ada apa-apa. Tapi ternyata ada banyak yang harus diceritain, Ole.”
“Nanti dulu, aku lagi gak pengen mikirin itu.”
Lagi-lagi, itu jawaban yang diberikan. Nanti. Sebuah jawaban yang digunakan bukan untuk menjawab pertanyaan—atau permintaan Heksa, melainkan menghindarinya.
“Kamu mau nunggu berantakan?”
Pertanyaan itu meluncur seperti sebuah panah yang membuat Maure diam tak berkutik. Pertanyaan yang tajam, dan ia sendiri tahu betapa benarnya itu. Betapa pertanyaan itu juga adalah pertanyaan yang sering ia tanyakan pada dirinya sendiri. Pada saat yang bersamaan juga merupakan pertanyaan yang sangat ia hindari. Pertanyaan yang tidak bisa ia jawab, bukan karena ia tidak memiliki jawaban tetapi justru karena ia tahu jawabannya. Bahwa Maure memang sedang menghindar, melarikan diri; entah menunggu masalah selesai sendiri, entah menunggu kehancuran seperti kata Heksa.
“I warned you.” Ucap Heksa final sebelum berjalan menuju pintu, meninggalkan Maure yang masih diam di tempatnya.
“Ole, tell me honestly. Why did you fall for me?”
Saat memulai semuanya, Maure pernah berpikir bahwa yang dilakukannya sama saja dengan membuat sebuah bom waktu yang sangat besar. Saat itu ia menyepelekan pikirannya sendiri. Ia tetap mengambil langkah meski tahu bahwa kemungkinan semuanya akan meledak suatu saat akan terus mengiringi. Maure tetap yakin dengan pilihannya, meskipun jauh di dalam hatinya, ia pun sadar pilihannya itu egois.
Mengabaikan—melupakan sesuatu dan menganggapnya tidak ada sama sekali tidak berarti bahwa sesuatu itu tidak pernah terjadi.
“Why did you fall for me, Ole?” Tanya Kaisar untuk yang kedua kalinya saat Maure tidak kunjung menjawab. Rautnya menunjukkan bahwa dirinya menanti jawaban, namun sorot matanya menunjukkan ketakutannya akan jawaban yang mungkin ia dengar. Setelah beberapa saat, ia kembali melontarkan pertanyaan. Kali ini, pertanyaan yang berbeda dari sebelumnya. “Was it all because of Rumi?”
Lagi. Nama itu disebut lagi di antara dirinya dengan Kaisar, seolah sejak awal memang menjadi bagian dari hubungan ini. Kaisar berharap kenyataannya tidak seperti itu. Tetapi saat ia menangkap sorot mata Maure yang diisi oleh rasa bersalah, ia tahu kenyataannya.
“It was.”
“Berantakan. Semuanya berantakan.”