semestastellar

semesta untuk dunia yang fiksi – alternative universe(s)


maure, arumi, kaisar


Disaat kita memiliki sesuatu yang berharga, dibanding pamer, kita lebih sering memilih untuk menyembunyikan hal itu bukan? Karena takut ada yang iri. Karena takut ada yang ingin. Karena takut diambil orang lain.

Bagi sebagian orang, seseorang—sebuah hubungan, bisa jauh lebih berharga dibanding harta apapun.

“Yang di foto ini siapa, Ole?”

“Itu Kaisar.”

Bagi Maure, seseorang yang ingin ia sembunyikan itu, adalah Kaisar. Satu orang tersisa yang bisa ia sembunyikan itu, adalah Kaisar.

“Kaisar ngga main kesini bareng Kak Heksa?”

“Kenapa nanya-nanya? Lo suka?”

Dari sudut pandang Maure, Kaisar adalah hal terakhir yang ia miliki, yang tidak ada kaitannya dengan Arumi. Seseorang yang tidak perlu ia bagi pada gadis itu. Her little secret she wanted to gatekeep forever. Mulanya, alasannya sesederhana karena ia menyukai Kaisar. Sebagai teman, sebagai laki-laki. Perasaan yang sederhana itu cukup untuk membuatnya tidak ingin kehilangan laki-laki itu, terlebih pada Arumi. Now that Arumi came into the picture, her reasoning shifted. Ia tidak mau berbagi Kaisar pada Arumi karena ia tidak suka dan tidak mau melihat gadis itu terus menerus, ikut memiliki apa yang ia miliki.

“Lo suka?”

“Kepo. Gak usah nanya-nanya lagi, kenal juga enggak.”

She gatekept him. She created a line, a boundary between Kaisar and Arumi. Though, she kind of foresaw the possibility, the connected strings between them.

Maure sempat merasa janggal akan sikap Arumi yang sering bertanya tentang Kaisar, seolah sengaja memancing informasi—atau mungkin reaksi. Saat itu, mungkin untuk pertama kalinya, Maure tidak ingin berburuk sangka pada Arumi. Ia berharap prasangka nya hanyalah prasangka. Namun di atas semua itu, ia paling berharap bahwa semesta tidak terlalu jahat padanya.

Tapi apakah sekedar berharap pada semesta saja sudah cukup? Nyatanya tidak. Semesta justru menunjukkan ketidak ramahan yang berturut-turut pada Maure. Tidak lama setelah ia kehilangan ibunya, ia menemukan fakta bahwa ia juga, mungkin, akan segera kehilangan Kaisar.

Saat memasuki masa SMA, Maure melihat Kaisar dan Arumi berjalan bersama sepulang sekolah. Pemandangan itu mengungkap fakta bahwa keduanya saling mengenal. Fakta yang saat itu, ingin Maure anggap sebagai kebetulan semata. Pada hari ulang tahun laki-laki itu, Maure menemukan fakta tambahan bahwa Kaisar dan Arumi lebih dari saling mengenal. Satu-satunya orang yang ia pikir tidak terlibat dalam benang kusut ini, ternyata sudah lebih dulu menjalin benang.

She lost her hope.

“Lo seneng ya, Rum, diem-diem ngetawain gue setiap gue ngomongin Kaisar? Lo pasti puas banget ngebego-begoin gue.”

“Gue salah apa lagi sekarang?”

“Gue liat lo sama Kaisar kemarin.”

Sama seperti Maure, Arumi pun melihat Kaisar sebagai seseorang yang berharga. Sebagai satu satunya yang ia miliki, yang tidak bisa Maure miliki. Untuk pertama kalinya, ia memiliki sesuatu—seseorang yang tidak bisa Maure jangkau. Someone she had closer, deeper relationship with. Someone whom she knew better than her. Someone, that would likely to chose her. Someone who would be on her side forever.

“Terus masalahnya apa?”

Tidak ada yang salah, kalau hanya dilihat dari permukaan. Tidak ada yang aneh pula dari fenomena mutual friends. Tapi bagi Maure, takdir ini, benang yang terjulur di antara mereka ini, terlalu lucu untuk disebut sebuah kebetulan. Terlalu lucu bagaimana benang-benang yang ada disekitarnya, entah bagaimana, selalu terhubung pada Arumi juga.

“Kenapa sih, anehnya—lucunya, orang-orang yang gue punya semuanya harus terlibat sama lo juga?”

“Gue lebih dulu kenal Kaisar dibanding lo. Bukannya fair ya? Lo punya Ayah, Tante Anne, Ami Kiana, Kak Heksa…Rugi banget kalau Kaisar ada di sisi gue?”

“Punya? Apa yang gue punya sekarang?”

He was her last string of hope—someone she could use as an escape from the strings around her.

“Tapi Rum, jangan terlalu seneng. Kaisar ada di pihak lo karena dia gak tau apa-apa kan?”


maure, arumi, zianne


Seperti yang sudah dibilang, kita sering kali bersikap protektif dan memilih untuk menyembunyikan sesuatu yang berharga, bukan?

Maure memang terbiasa dengan yang namanya berbagi. Selain karena Zianne adalah wanita yang murah hati dan sering mengajarkan tentang berbagi kebaikan, juga karena Maure ditakdirkan untuk selalu berbagi. Contohnya, berbagi Ayah. Sedari kecil ia belajar bahwa keluarganya sedikit berbeda dari keluarga pada buku cerita. Ayahnya bukanlah miliknya sendiri. Iya harus berbagi Ayahnya dengan anak lain yang merupakan kakak laki-laki nya. Dan lama-lama ia belajar juga, bahwa justru Heksa lah yang harus berbagi Ayah dengannya.

Zianne menjadi seseorang yang bisa Maure miliki sepenuhnya. Tidak seperti Ragalih, wanita itu hanya milik Maure seorang. Wanita itu hanya memiliki Maure seorang sebagai anaknya. Maka, Maure pun jadi bersikap protektif, posesif. Karena di antara semua orang, Zianne adalah yang paling berharga buatnya.

Ia pun, kalau bisa, ingin menyembunyikan Zianne dari semua orang.

“Gue jarang liat tante Anne deh sekarang.”

“Terus?”

“Kangen aja, udah lama ngga ketemu.”

“Mama gak kangen sama lo.”

Kalau bisa, Maure paling ingin menyembunyikan Zianne dari Arumi.

Sayangnya, hal itu tidak mungkin sama sekali karena sudah sejak lama, Arumi terhubung lewat benangnya. Karena biar bagaimanapun, nama Zianne Amora juga lah nama yang tertulis di atas akta kelahiran Arumi. Harus Maure akui, ia terkadang kesal karena Zianne terlalu baik. Dan terkadang, ia kesal karena fakta itu membuatnya semakin mustahil untuk bisa menyukai Arumi.

“Ole besok pulang sekolah ngga ada agenda?”

“Kenapa nanya-nanya?”

“Ikut gue ke pameran yuk?”

“Males ah, pameran gitu nanti lama. Lo gak punya temen emangnya sampe ngajak gue?”

“Gue ngga ada temen yang suka pameran.”

“Terus emangnya kita temenan?”

“Di pamerannya nanti ada handcrafts bazaar juga, lo bisa beli hadiah buat tante Anne.”

“Yaudah.”

“Besok gue yang nyamperin ke sekolah lo deh.”

“Iya iya.”

Meskipun untuk menyukai Arumi sepertinya sulit, seiring tumbuh dewasa, sikap kekanakan Maure yang sering memusuhi Arumi tanpa sebab semakin berkurang. Keduanya memang tidak dekat dan tidak akrab, tetapi tidak lagi seperti angin ribut. Maure bahkan membiarkan fakta bahwa dirinya pernah melihat Arumi dan Kaisar bersama, berlalu begitu saja. Benar, ada masa dimana Maure memilih damai dan tenang.

Sampai Maure kehilangan satu-satunya orang yang berharga baginya itu.


“Ma?”

Panggilan itu disambut oleh keheningan.

Keheningan yang tidak biasa menyelimuti rumahnya yang selalu hangat itu. Semua lampu menyala, namun entah kenapa rasanya suram. Tidak ada suara televisi, tidak ada lantunan musik yang biasa diputar lewat turntable, tidak ada wewangian lilin aromaterapi kesukaan ibunya, tidak ada tanda kehadiran Zianne. Hal yang pertama Maure tuju adalah stop kontak terdekat di ruang tengah. Ia segera menyalakan ponsel barangkali ada pesan masuk dari ibunya.

Hanya ada dua pesan masuk.

Ole, hari ini mau makan apa? dan Ole, pulang jam berapa hari ini?

Pesan yang terlihat seperti pesan biasa itu, entah kenapa memunculkan rasa tidak nyaman. Seolah ada yang terlewatkan. Rasa tidak nyaman itu membuat Maure segera menjelajahi rumah, mencari sosok Zianne. Setelah gagal menemukan wnaita itu di lantai satu, ia beranjak ke lantai dua, menuju kamar Zianne.

Begitu pintu kamar terbuka, Maure disambut oleh pemandangan yang tidak pernah ia pikir akan ia saksikan dalam hidupnya. Pemandangan yang bahkan tidak pernah muncul bahkan dalam mimpinya sekalipun. Pemandangan yang kini membuatnya merasa seperti bermimpi—berharap sedang bermimpi.

Di tengah ruangan, tubuh kaku dari Zianne Amora menggantung di langit-langit. Sebuah tali besar menjadi penghubung antara dirinya dengan tiang penyangga di langit-langit; dan menjadi pemutus nyawanya.

Zianne Amora commited suicide.

Zianne Amora yang penuh cinta. Zianne yang penuh kasih sayang. Zianne yang selalu tersenyum. Mama Anne-nya.

Apa yang ada di depan matanya membuat Maure merasa seperti nyawanya ikut terbang meninggalkan raganya. Terkejut saja tidak cukup untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Matanya terbuka lebar dengan air mata yang mulai berkumpul. Tubuhnya bergetar hebat seiring ia mengambil langkah mundur hingga punggungnya membentur tembok dan membuatnya ambruk ke lantai. Napasnya mulai terengah seiring tangis yang mulai keluar.

“Iya, Ole, kenapa?”

“Abang…sini…”

“Hah? Kamu kenapa nangis? Ada apa, Ole?”

“Abang kesini…tolongin aku…Mama—”

“Kenapa? Kamu tarik napas dulu sebentar…Ngomong pelan-pelan Mama Anne kenapa?”

“Mama…gantung diri…”

To say she was sad was not enough—never enough. Grief was more than sadness and tears. It was filled with pain, sorrow, longing, regret, and even anger. She was tormented, wounded with agony, drowned in deep regret, and confused. Emotions came in all at once she got confused of which she should absorb first. The anger? The sadness? Or maybe the confusion itself. She did not know. She did not know what or how she should feel about everything. She got thunderstruck by a train of emotions she could not even cry anymore. She did not have the energy to cry.

Her world collapsed and she was in chaos. Alone.

Lalu, seolah semesta masih belum cukup jahat kepadanya, cerita berlanjut dengan sebuah adegan yang menjadi titik puncak kebenciannya pada Arumi, juga pada dirinya sendiri. The climax of her villain origin story—and the beginning of her grief.

“Ole…” Mulai Arumi pada gadis yang sibuk memetik bunga di halaman belakang rumahnya itu. “Hari itu gue ketemu Mama Anne.”

Bruk

Keranjang krem yang setengah penuh dengan bunga krisan itu jatuh ke atas rumput, isinya berserakan kemana-mana. Hanya tersisa satu bunga yang selamat, bunga yang berada di tangan Maure. Namun sepertinya umur bunga itu juga tidak akan lama kalau melihat tangan Maure yang memegang tangkai bunga itu dengan sangat kuat. Gadis itu berbalik perlahan, menghadap lawan bicaranya dengan raut wajah bingung. Skenario mulai terancang di kepalanya. Skenario yang ia harap tidak benar.

“Mama Anne nitip ini ke gue, buat lo.” Arumi mengulurkan tangannya, menyerahkan paper bag kecil berisi assorted chocolates pemberian Zianne beberapa hari lalu. “Mama Anne minta gue buat nyuruh lo pulang cepet. Lo gak bisa dihubungin soalnya hp lo lowbat. Waktu itu gue kira Mama Anne nyuruh lo pulang doang dan ngga ada yang penting…”

Berantakan. Itu adalah apa yang dirasakan oleh Maure tepat setelah otaknya mencerna semua ucapan Arumi. Ia merasa berantakan; hati yang belum sembuh sama sekali itu kembali hancur mendengar fakta yang baru diterimanya. Penyesalan, rasa bersalah, namun di atas semua itu adalah kekecewaan dan amarah.

“Kenapa baru bilang sekarang?” Mulutnya hanya mampu mengucapkan kalimat itu, untuk sekarang. Seberapa besar amarahnya, gadis itu tidak punya energi untuk marah. “Kenapa—”

Harusnya, ia marah meledak-ledak. Inginnya, ia marah meledak-ledak. Tapi sungguh, Maure tidak punya energi sama sekali bahkan sekedar untuk membentak.

“Gue mau bilang tapi gue pengen banget ke pameran itu, jadi gue…ngga langsung bilang ke lo biar lo tetep nemenin gue.”

Ah, benar. Pameran yang sangat ingin Arumi datangi, yang diadakan di hari itu. Dan karena Arumi meminta, Maure setuju untuk ikut menemaninya. Maure pergi karena Arumi. Ia terlambat pulang karena Arumi. Skenario yang ia harapkan tidak benar itu, ternyata benar.

“Gara-gara lo.” Ucap Maure dingin.

“Hah?”

“Mama meninggal gara-gara lo.” Barulah sekarang, amarah itu mulai menguasai dirinya.

“G—gue?”

“Kalau lo gak minta gue nemenin lo ke pameran itu, kalau lo gak nunda-nunda titipan Mama, kalau lo ngasih tau gue detik itu juga…” Serang Maure sambil mengambil langkah maju. Rasa marah terdengar jelas lewat suara dan sorot matanya. Namun, tatapan nyalang itu tetap mengandung perasaan terluka juga. Terlihat dari air mata yang mulai berkumpul. “Kalau gue pulang lebih cepet gue bisa—gue bisa—”

Sekali lagi, Maure merasa berantakan dan hancur. Berbagai perasaan berenang di dalam dirinya secara bersamaan.

“Kalau lo gak egois dan mentingin pameran yang gak seberapa itu, gue bisa pulang lebih cepet dan bisa nyelamatin Mama.”

“Ole, gue—”

“Gue gak mau liat muka lo lagi.”

She needed someone to blame for her unfortunate and cruel fate. Coincidentally, she was always at the crime scene. So, she had no choice but to resent her; for her involvement, and for what she did. And as time passed by, she resents her simply for existing.


maure, arumi, and the present


Apa yang dimulai dengan pertengkaran sepele antara dua anak itu, ternyata jauh lebih serius dari yang dikira. Apa yang dianggap akan dilupakan dalam hitungan hari, nyatanya seperti akan dibawa sampai mati.

“Sampai kapan lo mau benci sama gue soal hal ini?”

Ini bukan pertama kalinya Maure mendapat pertanyaan itu dan Arumi pun bukan satu-satunya orang yang bertanya demikian. Faktanya, orang-orang disekitarnya sedikit-kurang menanyakan hal yang sama padanya. Tentang sampai kapan kebencian itu akan dibawa. Maure pun, pernah menanyakan hal yang sama. Kepalanya pernah cukup tenang dan pikirannya cukup jernih untuknya menyanyakan hal itu kepada dirinya sendiri.

Sampai kapan ia akan membenci Arumi?

Namun setiap kali ia melihat Arumi, ia selalu mendapat jawabannya. Ah, tepatnya, pertanyaan itu hilang dengan sendirinya karena Maure merasa dirinya tidak perlu membuang waktunya untuk mempertanyakan hal seperti itu. Ia tidak perlu membuang waktu untuk memikirkan Arumi kalau orangnya saja tidak memikirkan dirinya, perasaannya, dan apa yang sudah dilakukan padanya. Untuk apa berpikir untuk berhenti membenci kalau orang yang dibenci masih bersikap tidak tahu diri?

“Sampai lo sadar kalau lo salah.”

Atau mungkin, sampai ada yang mengucap maaf.

Maaf karena tidak mengerti situasi. Maaf karena bersikap egois. Maaf karena gagal memahami luka yang sedang berduka. Maaf karena dengan mudah melupakan kejadian yang menghantu Maure seumur hidupnya itu. Maaf karena tidak memilih untuk tinggal di samping Maure. Maaf karena memilih untuk bahagia sendirian. Atau sekedar maaf tanpa klausa yang jelas. Sesederhana kata maaf yang diucapkan sebagai rasa simpati. Maaf yang diucapkan sekedar untuk menyenangkan pihak yang mendengar.

“Gue ngga salah. Gue bukan penyebab kematian Mama Anne.” She was given chances to say it, but she chose not to. “Mama Anne bikin keputusan itu. Mama Anne yang bikin keputusan itu, bukan gue.”

“Minta maaf itu bukan cuma karena bikin salah. Minta maaf juga bentuk dari simpati.” She had the thought of forgiving her in mind, but she chose not to. “Jangan salahin gue kalau gue benci sama lo sampai mati.”

Dan mungkin juga, maaf karena terlalu benci. Maaf karena dibutakan oleh amarah. Maaf belum bisa menerima sepenuh hati. Maaf, sudah menjadi tempat pelampiasan duka.


maure, arumi, ragalih khagi


Sama seperti cerita-cerita sebelumnya, cerita Maure dan Arumi pun, dimulai dari masa lalu. Masa lalu yang berada jauh sebelum semua kekusutan ini dimulai. Ah, atau mungkin, justru masa lalu lah yang menjadi titik kekusutan itu?

Cerita masa lalu kali ini, adalah hari dimana Maure dan Arumi, secara tidak langsung, menjadi saudari. Menjadi keluarga di atas kertas.

“Kenapa dia manggil Ayah, Ayah?”

Pertanyaan itu membuat pria yang menerima pertanyaan terdiam kaget. Ia tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya, namun juga terlihat menunjukkan rasa bersalah. Mungkin karena menyimpan rahasia dari putrinya. Mungkin, karena melibatkan putrinya ke dalam sesuatu yang seharusnya bukan menjadi urusannya.

“Ole, boleh ya, Rumi pinjem nama Ayah buat jadi ayahnya?” Tanya Ragalih Khagi dengan lembut pada Maure.

Pertanyaan yang terdengar sederhana itu, nyatanya mengandung konsep yang tidak dimengerti oleh anak berumur tujuh tahun itu. Konsep yang terdengar seperti tipuan yang mudah dimengerti oleh anak kecil yang polos dan belum mengerti apa-apa itu, tapi disaat yang bersamaan, Maure tidak mengerti apa-apa. Ia tahu tentang meminjam barang, ia tahu tentang berbagi sesuatu. Maka dalam kepalanya, mungkin apa yang ayahnya bilang itu sama seperti konsep meminjam barang. Tapi gadis itu masih belum mengerti, dalam konteks apa ayahnya dipinjam?

“Kenapa aku harus minjemin Ayah ke dia?”

Harus diakui, bahwa pria itu mungkin membuat tindakan yang sedikit gegabah dengan memutuskan untuk membantu Karina, ibu dari Arumi. Ia sedikit gegabah saat menyetujui namanya, bersama dengan nama Zianne Amora, digunakan sebagai nama yang tertulis pada surat dan dokumentasi kelahiran dari Arumi Niana. Ia gegabah berbuat baik sampai lupa kalau tindakan baiknya itu belum tentu baik untuk semua orang. Menjadi orang tua yang bertindak demi kebaikan, namun bukan kebaikan anaknya.

“Rumi nggak punya Ayah.” Jawab Ragalih singkat.

“Aku minjemin Ayah ke Rumi sama kayak Abang minjemin Ayah ke aku?”

Menjadi orang tua yang gagal berpikir jauh tentang apa dampak tindakannya pada jiwa-jiwa muda yang tidak tahu apa-apa; pada anak-anak mereka yang dipaksa mengerti sejak dini.

Seperti orang tua yang baik pada umumnya, baik Ragalih maupun Zianne sering mengajarkan tentang tanggung jawab kepada anaknya; tentang sebab-akibat. Bahwa setiap tindakan, apalagi yang tidak baik, pasti hampir selalu berakibat yang tidak baik juga. Meskipun tidak mengerti tentang perceraian dan semacamnya, Maure bisa menangkap bahwa ia dan Zianne mengambil Ragalih dari Heksa dan Kiana—in some way. Maka secara natural, ia berpikir apapun yang terjadi antara ayahnya dan Arumi adalah hukumannya dari Tuhan.

“Kok ngomongnya gitu?” Pria itu kini berjongkok menyamai tinggi si anak. “Ayah kan ayah kamu, kamu nggak pinjem Ayah dari Abang.”

Tetapi kalau ayahnya bilang dirinya tidak merebut apapun, kenapa sekarang miliknya harus direbut?

“Kalau gitu kenapa sekarang Ayah direbut dari aku? Aku salah apa?”

“Ole, sayang…” Di tengah itu, Zianne datang menengahi. “Ayah sama Mama cuma bantu Rumi sama mamanya. Ayah tetep Ayah kamu kok. Sekarang Rumi jadi kayak sepupu kamu aja.”

“Yaudah.”

Lalu hal lain tentang anak-anak, mereka mudah menyerah, mudah percaya. Mudah tertipu dan mudah terjebak dalam rekayasa fakta. Bagi Ragalih dan Zianne sendiri, memiliki anak yang berani dan tidak segan untuk bertanya namun mudah puas dengan jawaban yang diberikan seperti sebuah berkat. Di tengah situasi rumit yang sepertinya selalu menyelimuti mereka itu, Maure bisa bersikap santai tanpa memikirkan apapun.


Pada akhirnya, Maure being Maure, gadis itu tidak banyak berpikir, tidak banyak curiga, dan hanya melanjutkan hari seperti biasanya. Dalam kepalanya, meminjam tidak sama seperti memiliki. Maka bahkan jika Arumi memanggil ayahnya dengan sebutan Ayah juga, anak itu tetap tidak memiliki hak apapun atas ayahnya.

“Hai, Ole.”

Dan walaupun Arumi bukanlah teman favoritnya, Maure tetap menemani anak itu bermain.

“Iya.” Jawabnya singkat pada anak yang baru ia kenal selama seminggu itu.

“Kata Ayah Khagi kita jangan musuhan.”

Anak-anak memang mudah akrab dan mudah bertengkar. Permusuhan yang terjadi di antara anak-anak juga biasanya bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Demikian yang terjadi di antara Maure dan Arumi. Meski bukan teman dekat, tidak akrab, dan tidak saling menyayangi, hubungan keduanya tidak selalu seperti angin ribut. Ada kalanya keduanya bisa duduk dengan tenang sambil menggambar di buku masing-masing. Saling bertukar kata meski tidak banyak dan bersikap acuh tak acuh terhadap kehadiran satu sama lain.

“Kamu masih tinggal sama Nenek?”

“Iya. Mau dimana lagi?”

“Mama kamu kemana?”

“Ngga tinggal bareng aku. Paling aku ketemu setaun sekali.”

“Oh.”

Saat itu, Maure tidak mengerti banyak tentang simpati dan empati. Ia hanya tahu caranya menjaga sikap di depan orang lain dan tidak berbuat jahat atau menyakiti orang lain dengan sengaja. Tapi seperti apa batasan jahat dan sakit atau bagaimana cara mengobatinya, ia tidak tahu. Ia juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap Arumi. Ia tidak tahu apa yang dilalui gadis itu untuk bisa merasa kasihan kepadanya, apalagi sampai peduli. Tapi sekurang-kurangnya, Maure tetap berusaha bersikap baik sesekali.

“Nanti kamu boleh bantuin aku berkebun bareng Mama.” Ucapnya suatu hari dengan wajah tidak peduli. “Tapi jangan ikutan manggil Mama.”

“Iya, makasih, Ole.”

Arumi pun, hampir sama tidak mengertinya seperti Maure, tentang situasi yang ia hadapi sekarang. Ia hanya tahu kalau Ragalih Khagi dan Zianne menawarkan bantuan untuk ikut menjaganya. Ia hanya tahu bahwa sekarang dirinya memiliki akta kelahiran dan nama yang tertulis di sana adalah kedua nama itu. Tetapi, ia tidak mengerti sikap apa yang harus ia tunjukkan. Ah, lebih tepatnya, ia tidak mengerti kenapa ia harus bersikap rendah diri dan berhati-hati. Kalau Ragalih dan Zianne menawarkan bantuan bukankah ia harus menerima dan menikmatinya? Bukankah ia berhak menerima dan menikmati kepedulian dan sedikit kasih sayang keduanya? Kalau Ragalih mengizinkannya untuk memanggilnya Ayah, bukankah berarti Arumi berhak?

Tetapi, Arumi salah menganggap simpati dan kepedulian itu sebagai hak kepemilikan. Dari situ, benangnya mulai kusut.

“Kamu gak makan pepaya nya, Le?”

“Gak suka. Aku sukanya apel, kelengkeng, mangga.”

“Aku ngga nanya kamu sukanya apa.”

“Kemarin aku sama Mama panen buah jeruk di belakang rumah.”

“Aku ngga nyuruh cerita?”

“Aku mau pamer aja.”

Mulanya, mereka hanya berdebat tentang hal kecil. Mengusili satu sama lain dan sengaja membuat jengkel.

“Ole, Heksa jarang main kesini?”

“Lumayan sering ah. Dia kesini kalau gak ada kamu.”

“Kenapa?”

“Ya soalnya Abang kesini buat main sama aku bukan sama kamu. Kamu cari Abang sendiri aja sana.”

Hampir selalu hari keduanya diwarnai oleh ertengkaran anak-anak yang akan terlupakan dalam hitungan hari seolah tidak pernah terjadi. Pertengkaran yang tidak perlu menjadi kekhawatiran. Pun, seberapa galak sikap Maure pada Arumi, gadis itu tidak sampai membencinya. Sebaliknya, ia masih mau-mau saja menjadi temannya. Memang, keramahan jangan jarang terpancar darinya. Tapi, ia masih cukup mengerti bahwa rasa tidak sukanya pada Arumi tidak boleh menjadi alasannya untuk berbuat jahat.

“Ayah abis dari mana? Kok telat satu jam?”

“Maaf ya, Ole, tadi Ayah nganterin Rumi dulu.”

But everyone has a villain origin story, don’t they?


heksa, arumi, ragalih khagi


Apa yang melibatkan keluarga harus diketahui oleh semua anggota keluarga, bukan? Dengan begitu, masalah yang mungkin timbul karena kesalahpahaman bisa dihindari. Sebagai orang dewasa sekaligus kepala keluarga yang bertanggung jawab, Ragalih paham betul bahwa apapun keputusannya, baik atau buruk, tetap harus dibicarakan dengan anggota keluarga yang lain; bahkan kalau tujuannya hanya untuk bercerita dan mendengar sudut pandang.

“Abang, kita ngobrol sebentar sini.” Panggil Ragalih pada anak sulungnya di suatu sore.

“Kenapa, Yah?”

Ragalih sempat menatap Heksa dengan tatapan bersalah. Merasa sangat bersalah karena harus menghujani anak itu dengan pembicaraan-pembicaraan berat yang seharusnya tidak menjadi kekhawatiran anak-anak.

“Kamu kemarin liat kan anak perempuan yang main bareng Ole?” Mulai pria itu.

“Iya. Itu siapa?”

“Namanya Arumi.”

Lalu cerita pun berlanjut tentang bagaimana Arumi lahir tanpa seorang ayah. Lebih tepatnya, kelahiran tidak sengaja dari hubungan satu malam yang yang hanya berlangsung selama satu malam itu saja—one night stand. Tetapi Ragalih melewatkan bagian itu untuk sekarang. Ia hanya bercerita sampai sejauh Karina, ibu dari Arumi sekaligus sepupu jauhnya sendiri, meminta bantuannya. Bantuan yang terdengar sederhana namun rumit: sedikit membantu menjaga Arumi. Bagaimana pun, wanita itu tidak sampai hati kalau anaknya terjebak dalam nasib yang tidak menyenangkan; tinggal tanpa keluarga dan tanpa identitas. Tinggal bersama seorang wanita paruh baya yang pernah bekerja sebagai pengurus panti milik keluarga Zianne; tanpa kartu keluarga, tanpa surat lahir, tanpa ada sesuatu yang bisa membuktikan bahwa kelahirannya itu diinginkan.

Maka Ragalih, bersama dengan Zianne, membantu sebanyak yang nurani mereka bisa lakukan.

“Ayah bukan ngadopsi Rumi, walaupun keliatannya emang kayak gitu.” Jelas Ragalih. “Anak tanpa surat-surat yang lengkap itu kedepannya bakalan dipersulit soal administrasi masuk sekolah, dan lain-lain. Ayah sama Mama Anne cuma minjemin nama kita buat bantu Rumi, gitu, Abang. Mamanya Rumi sendiri sebenernya masih sepupu jauh Ayah juga.”

Heksa tidak bisa berbuat banyak selain menjadi pendengar. Ia sendiri, juga masih anak-anak yang belum mengerti banyak tentang apa yang dibicarakan oleh Ragalih. Kedewasaannya baru sampai tahap mengerti bahwa apa yang dilakukan Ayahnya, meski terdengar rumit, hanyalah sebuah bentuk kebaikan.

“Ayah tau kamu juga belum bener-bener ngerti. Ayah milih buat cerita lengkap dari sekarang biar kamu nggak kaget dan bingung nantinya.”

Ah, kalau dipikir kembali, bagian cerita ini memang tidak terlalu rumit, atau bahkan tidak rumit sama sekali. Merawat kerabat seperti keluarga sendiri bukanlah hal yang tidak lazim. Sebaliknya, itu merupakan hal yang umum terjadi.

“Ole udah tau garis besarnya. Abang gak harus baik sama Rumi, tapi Rumi jangan dibenci ya.”


Seperti yang diminta, Heksa tidak pernah sekalipun membenci Arumi. Ia tidak punya alasan untuk membenci gadis itu. Tetapi, tidak membenci dan menyayangi adalah dua hal yang berbeda. Ia bisa bersikap baik, bersikap ramah. Ia bisa bersikap peduli saat diperlukan. Tetapi hanya sampai situ saja yang bisa Heksa berikan.

“Aku manggilnya apa? Abang?”

“Heksa. Nama aku Heksa.” Selebihnya adalah batasan yang tidak bisa Arumi lewati. “Yang manggil Abang itu Ole.”

Darah lebih kental dari pada air, dan selembar kertas tidak cukup untuk menandinginya. Seberapa banyak kebaikan dan kasih sayang yang diterimanya, Arumi statusnya hanyalah keluarga di atas kertas. Kemudian keluarga yang pernah menjadi impiannya itu, mulai berbalik menjadi sebuah kebencian. Rasa benci, rasa tidak suka, rasa marah, yang timbul dari rasa ingin memiliki. She once desired for what Maure had, but now she desired for something Maure did not have.

Awal mula dari kebutaannya terhadap Maure. Tetapi disaat yang bersamaan juga, bukti kekalahannya dan awal kehancurannya.


Hampir segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Entah itu sebuah keberuntungan, tragedi, atau bahkan sikap manusia. Seperti yang sudah diketahui, Heksa tidak menumbuhkan perasaan yang sama pada Arumi seperti yang ia miliki terhadap Maure. Hal itu bukan semata karena mereka tidak memiliki hubungan keluarga. Keputusannya untuk selalu berada di pihak Maure pun, bukan sekedar karena mereka adalah kakak beradik.

“Aku gak suka sama Rumi.” Mulai Maure pada suatu hari. “Dia ngambil apa yang aku punya terus.”

“Dia nyuri barang kamu?

“Bukan barang.”

“Terus?”

“Ayah sama Mama.”

“Ole—”

“Kamu tau gak kenapa aku main sama kamu terus sekarang? Biar kamu gak ikutan diambil sama Rumi.”

If Samudera Khagi has a villain origin story, then this will be it.

Ragalih dan Zianne adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, yang mengerti bahwa mereka tidak boleh bersikap biased. Mereka harus bisa membedakan mana yang boleh ditanggapi dengan perasaan, dan mana yang tidak. Tetapi Heksa bukan orang dewasa. Meskipun ia bisa menjadi dewasa dengan tidak mengambil pihak, ia tidak melakukannya. Meskipun ia tahu bahwa sikap Maure kekanakan, ia tidak mau menghakiminya. Ia lebih memilih untuk ikut bersikap kekanakan.

Percakapan itu adalah percakapan yang membuatnya memutuskan untuk terus berada di pihak Maure, apapun masalahnya, siapapun pelakunya. Dan kalau diminta jujur, percakapan itu pula yang membuatnya tidak pernah bisa benar-benar menerima Arumi.

Kemudian, menjadi alasannya untuk turun tangan.


“Rumi nggak tau apa-apa soal mamanya, Ayah belum mau ngasih tau sekarang. Nanti kalau kalian semua udah lebih besar sedikit, baru kita bahas ini lagi ya?”

Itu adalah tugas besar kedua yang Heksa terima; menjaga rahasia.

Seiring dirinya tumbuh dewasa, ia semakin mengerti alasan dari Ragalih dan Zianne yang memutuskan untuk membantu Arumi dan ibunya, termasuk alasan bagian cerita tentang ibunya tidak dimunculkan ke permukaan. Ia semakin mengerti, bahwa realita yang dimiliki oleh Arumi terlalu berat untuk diterima. Dan Arumi, tidak punya siapa-siapa.

Saat Ragalih pergi, keputusan untuk mengungkap cerita itu ke permukaan beralih ke tangannya. Mulanya, Heksa memilih untuk mengubur cerita itu. Namun latar cerita sedikit bergeser, maka alur ceritanya pun tidak bisa tetap sama. Saat Arumi yang sekarang bukan lagi Arumi yang sendirian dan tanpa bantuan, apakah ceritanya tetap harus disembunyikan? Saat ada benang kusut yang tercipta berkat cerita itu, apakah ia harus tetap diam?

Ia harus menjadi penengah, menjadi pelerai.

Namun pada akhirnya, ia tetaplah seorang kakak. Kedua kakinya tidak pernah berdiri di tengah-tengah, melainkan selalu di belakang garis perbatasan itu; ia berada di wilayah Maure, di pihak Maure. Maka saat pilihannya adalah menjaga perasaan salah satu dan menampar yang lain dengan kenyataan, bisa ditebak siapa yang menerima apa.

Hari itu, setelah tidak sengaja menyaksikan perdebatan antara Maure dan Arumi, Heksa memutuskan untuk ikut turun tangan.

“Mau ngobrolin apa Kak?”

“Soal Mama kamu.”

Maka mau tidak mau, ia harus melihat Arumi yang menatapnya bingung, kaget, dengan mata yang berkaca-kaca setelah mendengar cerita itu—ceritanya. Cerita berisi kebenaran yang membuat Arumi bertanya-tanya, apakah ceritanya tidak bisa lebih buruk dari ini? Apakah tidak ada satu pun bagian cerita dimana keberadaannya diinginkan dan dinanti? Heksa harus melihat Arumi yang kemudian kecewa, bukan padanya tetapi pada sosok ibu, yang menurutnya menjadi titik awal kemalangannya itu. Kemudian, Arumi yang berubah marah, pada takdirnya yang selalu cacat.

“Kenapa tiba-tiba bahas ini, Kak?”

“Karena kamu nggak bisa terus terusan bersikap seolah masa lalu kamu itu nggak ada, Rum. Kamu bisa mulai kehidupan baru, tapi masa lalu kamu, masa lalu kita semua, nggak akan pernah berubah. Aku rasa kamu perlu tahu, secara jelas, tentang masa lalu kamu, khususnya tentang keluarga kamu, supaya kamu bisa memposisikan diri. Supaya kamu bisa mempertimbangkan ulang, sikap kamu selama ini bener atau salah.”

“Kenapa baru sekarang?”

“Karena kamu diem aja sampai sekarang.”

“Maksudnya?”

“Selama ini ada banyak kesempatan buat kamu nanya, buat kamu nyari tau tentang apa yang bikin kamu penasaran. Tapi kamu nggak pernah nyamperin aku buat nanya apapun. Selama ini juga ada banyak kesempatan buat kamu jujur, tapi kamu bohong ke Kaisar. Dan, selama ini juga ada banyak kesempatan buat kamu minta maaf sama Ole. Tapi kamu nggak pernah minta maaf.”

He warned her, quite far before the strings got tangled.

“Kamu mau ketemu sama mama kamu dulu nggak?”

He told her to fix things before it got worse.

“Kalau kamu butuh bantuan, aku bisa sedikit bantu kamu sama mama kamu. Gimana pun kamu harus denger cerita mama kamu juga.”

He helped her.

“Gimanapun, kamu masih bawa nama Khagi. Kamu kehitung adik aku juga.”

She thought she had him. She took it as a chance to have him. A brother that was always out of her league before. She wanted to took him from Maure.


kaisar, arumi


“Kamu ngga punya ayah? Sama, aku juga.”

Itulah awal mula percakapan yang terjadi antara dua anak, laki-laki dan perempuan, di sebuah ruang kelas.

“Nama aku Rumi.” Mulai si anak perempuan lagi. “Arumi Niana.”

“Aku Kaisar Jisaka.” Balas si anak laki-laki.

“Oh, kayak raja!” Seru Arumi, merasa tertarik. Kemudian, ia terlihat memikirkan sesuatu, yang membuat Kaisar ikut berpikir juga.

“Kenapa?”

“Kamu dipanggilnya apa?” Tanya gadis itu yang kini terlihat penasaran.

“Kaisar atau Aji.” Jawab Kaisar. “Di rumah dipanggil Aji. Di sini dipanggil Kaisar.”

Sesuai penampilannya yang terlihat; bambi eyes, rambut yang tersisir rapi, dan bibir yang membentuk senyum secara alami, Kaisar juga bicara dengan nada pelan—tenang dan lembut. Begitu pula dengan gerak tangannya membawa pensil warna menari-nari di atas kertas. Atau dengan caranya menatap teman baru di hadapannya; teduh, sopan, meskipun sedikit penasaran.

“Aku manggilnya Aji, boleh?” Tanya Arumi lagi sambil tersenyum ramah. Senyuman yang membuat Kaisar dengan sendirinya menjawab.

“Iya, boleh.”

Dan percakapan itu juga menjadi awal mula dari sebuah hubungan pertemanan antara dua anak yang berbagi sentimen yang sama. Dua anak yang memiliki takdir yang serupa. Memang benar kalau orang bilang kita akan lebih mudah menyukai orang yang mirip dengan kita. Setidaknya, logika sederhana itu berlaku pada kedua anak itu.

Yang satu, baru saja kehilangan ayahnya satu tahun lalu. Yang satu, tidak pernah memiliki ayah sejak lahir.


Sering dibilang bahwa menjadi anak kecil itu mudah dan menyenangkan. Walau kenyataannya tidak seperti itu, secara general memang bisa dibilang kalau masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan. Terbebas dari tuntutan untuk mengerti banyak hal, dan cukup hanya dengan pola pikir yang sederhana. Menjadi anak-anak itu artinya tidak perlu memperlajari permasalahan orang dewasa.

Walaupun terkadang, beberapa anak sudah dihadapkan pada situasi yang tidak sederhana.

“Ayah kamu kemana?” Tanya Arumi di sela-sela makan.

“Kecelakaan pesawat.” Jawab Kaisar, yang juga sedang makan. Keduanya sedang memakan bekal makan siang masing-masing di kantin sekolah. “Ayah aku pilot.”

“Ayah kamu keren.” Komentar gadis itu setelah beberapa saat. “Aku ngga pernah punya Ayah.”

“Gak pernah ketemu sama ayah kamu?” Tanya Kaisar yang kini menaruh alat makannya untuk memberikan perhatian penuh pada Arumi.

“Iya. Aku ngga tau ayah aku siapa.”

Keduanya terdiam. Sedikit ironis bahwa anak-anak sama tereksposnya pada emosi-emosi yang dirasakan oleh orang dewasa. Terhindar dari permasalahan orang dewasa tidak sama seperti terhindar dari pertarungan emosi yang dialami orang dewasa. Rasa berduka saja sudah sulit dicerna, apalagi duka yang bercampur dengan rasa penasaran, kekecewaan, dan kebencian?

“Mungkin kamu keluar dari telur.” Ucap Kaisar dengan ekspresi dan nada bicara yang datar. Pertanyaan konyol itu berhasil membuat keduanya sama-sama tertawa. Atmosfer berat yang sempat menyelimuti pun tergantikan oleh atmosfer yang menyenangkan.

“Kamu lucu deh.” Kekeh Arumi. “Jadi temen aku terus ya?”

“Iya.” Angguk Kaisar.

“Sampai lulus sekolah.”

“Iya.”

“Sampai besar?”

“Iya boleh.”


Kaisar selalu diajarkan oleh ibundanya kalau janji itu sebisa mungkin harus ditepati, dan kalimat apapun yang keluar dari mulut bisa saja menjadi sebuah janji. Karena itu, ia menepati ucapannya satu tahun lalu: untuk menjadi teman Arumi sampai lulus sekolah, bahkan sampai mereka melanjutkan ke sekolah baru. Dua anak sekolah dasar itu kini berubah menjadi beranjak dewasa; seragam putih-merah pun kini berganti putih-biru.

“Kemarin ngapain aja, Rum?”

Berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing adalah sebuah kewajiban. Entah itu hasil laporan penilaian di setiap semester, sekolah menengah pertama mana yang akan dipilih, teman yang menyebalkan di kelas, cerita liburan akhir tahun, dan sebagainya.

“Oh iya, aku belum cerita! Kemarin aku nemuin anak kucing di jalan, terus aku coba cari shelter dan ketemu. Ternyata jadi dokter hewan seru, bisa nolong dan interaksi sama banyak binatang. Kayaknya sekarang cita-cita aku jadi dokter hewan deh.”

“Oh ya? Menurut aku kamu cocok jadi dokter hewan. Kamu anaknya suka binatang, perhatian, lembut…ah, kamu juga berani.”

“Beneran? Kalau gitu kamu harus temenan sama aku sampai jadi dokter hewan.”

“Iya, aku temenin.”

“Kalau kamu ada rencana mau jadi apa, Ji?”

“Aku?” Laki-laki itu terlihat berpikir keras sejenak, lalu menjawab dengan nada datar. “Juragan kos.”

“Hahahahahaha kenapa kamu suka ngelawak sih.”

Janji baru pun, dibuat. Bukan lagi sekedar janji tentang akan menjadi teman bermain atau teman bicara satu sama lain. Tetapi janji tentang menjadi pendukung mimpi masing-masing.

“Kemarin kamu pulangnya malem ya, Ji?”

“Iya.” Angguk Kaisar. “Aku harus nemenin adiknya Heksa dulu.”

“Adiknya Heksa?”

“Ole.”

Kadang, ada nama-nama familiar yang masuk ke dalam cerita keduanya. Nama-nama yang kadang membuat Arumi cemburu karena ia jadi harus membagi temannya. Setidaknya itu yang Kaisar kira saat menyadari bahwa Arumi tidak terlalu senang dengan cerita tentang Heksa dan Maure. Padahal, tidak peduli berapa banyak teman baru yang di dapat, bagi Kaisar, Arumi tetap yang nomor satu dan sebaliknya. Bahkan saat ia harus membagi waktunya dengan teman yang lain, Arumi akan selalu mendapat porsi yang paling besar.

“Bisa kok, nanti aku pulang duluan aja biar sempet nganterin kamu.” Seperti itulah kalimat yang sering di ucapkan oleh Kaisar.

Ada banyak hal yang berubah dari keduanya. Salah satu yang paling mencolok adalah fisik, tentu saja. Dua anak manis itu kini berubah menjadi remaja dengan aura fresh, khas anak muda yang memasuki masa eksplorasi. Kemudian sama seperti jenjang sekolah yang meningkat, kedekatan keduanya pun bertambah.

Lama-lama, keduanya pun berbagi cerita yang lebih serius. Cerita tentang kehidupan personal masing-masing.

“Rum, Bunda aku mau nikah lagi.”

“Kamu seneng ngga?” Tanya Arumi serius.

“Ga tau.” Jawab Kaisar lesu. “Kalau Bunda seneng ya aku harus seneng. Keliatannya calon ayah baru aku juga baik.”

Dimulai dengan sentimen yang sama sebagai anak tanpa ayah, berusaha menjalani kehidupan senormal dan sebaik mungkin di sekolah, keduanya lama-lama menjadi penopang untuk satu sama lain. Menjadi orang pertama yang dicari saat memiliki cerita, saat ingin bercerita.

Termasuk cerita yang hanya dibagikan kepada satu sama lain.


“Kamu jago nyimpen rahasia ngga, Ji?” Tanya Arumi suatu hari saat keduanya sedang belajar bersama di kediaman Kaisar. Gadis itu mengalihkan perhatiannya dari buku Bahasa Inggris yang sedang dipelajarinya. Laki-laki yang diajak bicara pun menatapnya.

“Rahasia apa?” Tanya Kaisar dengan rasa penasaran yang mulai naik.

“Aku sebenernya ngga punya ibu juga.” Mulai Arumi. “Nenek aku juga bukan nenek kandung aku, tapi nenek yang ngerawat aku aja. Tapi sekarang aku lagi seneng soalnya ada orang baik yang mau jadi keluarga aku.”

Senyum tulus segera terukir pada wajah laki-laki itu. Kabar yang membahagiakan bagi temannya itu juga menjadi kabar bahagia untuknya. Fakta kurang menyenangkan di awal cerita pun hanya sebentar terasa menyedihkan. Selebihnya, Arumi terus tersenyum senang.

Bagi beberapa orang, bahagia itu sesederhana sebuah kehidupan yang normal. Bagi Arumi, itu kehidupan dimana dirinya tidak perlu lagi merasa takut dengan pertanyaan orang tua kamu dimana, bisa datang bersama saat pembagian rapor, dan memiliki foto keluarga yang bisa dipajang dan dipamerkan. Itu adalah hal yang sering ia ceritakan pada Kaisar.

“Kamu juga kalau punya sesuatu yang berat buat ditanggung sendiri, bisa cerita ke aku, ya. Aku jago nyimpen rahasia kok.”

Hubungan pertemanan masa kecil itu, kemudian berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius. Lebih dari sekedar teman bercerita. Lebih dari sekedar teman yang selalu ada.

“Rum, sebenernya aku kemarin ga sekolah bukan karena sakit.” Mulai Kaisar sebagai kalimat awal dari cerita panjangnya. “Bunda berantem sama Ayah. Ayah…kasar. Ayah ga pernah kasar ke aku, tapi dia kasar ke Bunda. Aku bahkan kadang ga tau masalahnya apa, Ayah tiba-tiba marah dan ngelampiasin amarahnya ke Bunda. Kadang Bunda sampai harus masuk rumah sakit….”

“Kamu ngga sendirian. Ada aku, Aji.”


“Bunda lagi di rumah, Ji?”

Sosok Bunda Kaisar, tidak lama kemudian, ikut memiliki porsi besar dalam cerita keduanya.

“Bunda lagi pergi check up, kambuh lagi kemarin.” Jawab Kaisar lesu.

Kontras dengan keluarga kecil Arumi yang meski tidak sempurna tetapi bahagia, Kaisar harus melewati yang sebaliknya. Kekerasan dalam rumah tangga dalam kurun waktu yang tidak sebentar, membawa banyak perubahan dalam hidupnya. Kekerasan itu membawa banyak perubahan pada Bundanya.

Wanita yang dulunya kuat dan tegar sendirian itu, kini dihantui mimpi buruk tentang masa lalu kelam yang disebabkan oleh laki-laki yang pernah mengaku mencintainya. Bayangkan betapa hancurnya Hanggia saat orang yang ia kira dapat menjadi obat dari rasa kehilangannya, justru malah menyadi luka dan penyakit baru untuknya. Tidak sedikit luka lebam dan memar yang muncul pada tubuh wanita itu. Tidak sedikit pula luka yang kemudian membekas, tinggal untuk waktu yang sangat lama. Tidak sedikit hari yang ia habiskan dengan sesi terapi. Tidak sedikit pula hari yang dilalui bersama obat-obatan, mengkonfirmasi bahwa dirinya, nyatanya memang terluka. Apalagi hari yang berlalu dengan tangis, rasa takut, dan rasa sakit.

“Kaisar, apapun yang Bunda kamu laluin, apapun yang kamu laluin, aku bakal selalu ada disini bareng kamu.” Ucap Arumi suatu hari saat keduanya sedang menjenguk Hanggia yang harus dirawat di rumah sakit. “Kamu nemenin aku waktu aku sendirian dan kesulitan. Sekarang gantian ya giliran aku yang nemenin kamu.”

Hubungan pertemanan sederhana itu, nyatanya lebih berharga dibanding yang dikira—lebih dalam dibanding yang dikira. Keduanya hanya berawal dari dua anak yang kebetulan memiliki nasib yang mirip. Saling berempati dan berbagi sentimen yang sama; merasa mirip dengan satu sama lain. Kemudian tanpa disadari, keduanya menggenggam tangan masing-masing erat, menahan satu sama lain—menguatkan, dari apapun yang menyakiti. Saat dunia bersikap tidak ramah pada keduanya, setidaknya kehadiran satu sama lain terasa seperti matahari yang menghangatkan, menguatkan, dan memberi harapan.

“Biasanya juga, aku yang nangis depan kamu. Sekarang kamu ngga apa-apa kalau mau nangis depan aku.”

Dan seperti cerita klise, keduanya ibarat dua jiwa yang terluka, yang saling menyembuhkan.

Namun, tidak pernah lebih dari itu. Tidak pernah lebih dari dua teman yang saling peduli dan saling menyayangi.


kaisar, heksa


Lebih cenderung memiliki sifat pendengar, Kaisar bukanlah tipe orang yang mudah terbuka tentang masalahnya. Laki-laki itu merasa cukup hanya dengan bercerita satu-dua kali saja dalam jangka waktu yang panjang antar cerita. Masalah demi masalah mungkin menghantamnya dengan kuat, tapi urat kesabarannya jauh lebih kuat. Namun seperti bau bangkai yang lama-lama akan tercium, kisah hidupnya pun kadang sedikit terkuak.

Misalnya, saat sebuah lebam muncul di wajahnya setelah dirinya berusaha melindungi ibunya dari tamparan ayah tirinya.

“Lah, muka lo kenapa, Kai?”

Lebam yang jelas penyebabnya bukanlah jatuh dari sepeda.

“Jatoh dari sepeda kemarin.”

Tetapi, itulah jawaban yang ia berikan pada temannya, Heksa. Jawaban yang pada saat itu, ia pikir, cukup untuk menutupi kebenaran. Jawaban yang ia pikir cukup untuk mengelabui temannya. Mungkin masalahnya membuatnya lupa kalau Heksa itu si cerdik yang tidak mungkin tertipu. If anything, he would be the one who deceive other. Laki-laki sebayanya yang terlalu dewasa untuk umur sebayanya.

Juga, seorang teman yang peduli padanya.

“Oh…” Angguk Heksa seolah percaya. “*Btw, Kai, gue emang nggak jago berantem sih, nggak bisa adu fisik. Tapi gue jago nipu orang. Kalau butuh jasa nipu orang ke gue aja ya.”

“Sesat.”

Meskipun Kaisar tahu kalau Heksa kemungkinan besar tahu tentang apa yang dialaminya, ia ingin mempercayai bahwa laki-laki itu tidak tahu. Ia berharap Heksa memang tidak peka sama sekali; berharap laki-laki itu menutup mata pada masalahnya. Ada banyak alasan kenapa sebuah cerita disembunyikan. Kadang alasannya sesederhana tidak penting untuk diceritakan. Kadang, disembunyikan agar tidak memberatkan, tidak menyeret orang lain. Kadang, karena terlalu sakit untuk diceritakan.

“Eh gue juga jarang liat Bunda lo deh.” Satu lagi pertanyaan yang membuat Kaisar terdiam. “Kangen masakannya.”

“Iya, lagi sibuk banget.” Dan jawaban yang sama yang selalu dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan semacam itu.

“Oh pantesan.”

Ada pula orang-orang yang meski merasakan keberadaan cerita itu, pada akhirnya memilih untuk berpura-pura buta dan tuli. Bukan karena tidak peduli, tapi karena tahu si pemilik cerita ingin ceritanya tersembunyi.

“Sekarang Bunda lo lagi nggak di rumah berarti?”

“Iya. Di kantor.”

“Eh Kai, nginep di gue aja lah yuk.”

“Kita udah depan kompleks gue, Sa.”

“Ya tinggar puter balik. Kalau Bunda lo mau ikutan nginep juga ayo.”

“Udah gila.”

Meskipun terkadang, tidak bisa menahan diri untuk tidak peduli—dan diam-diam melindungi. Seperti yang sering dilakukan oleh Heksa. Ia berpura-pura buta dan tuli; bersikap seolah apa yang ia lihat dan ia dengar hanya halusinasinya. Ia akan berkata ia baru saja tiba, disaat faktanya ia sudah tiba sepuluh menit yang lalu, dan melihat bagaimana ayah tiri Kaisar menampar ibunya sebelum kemudian meninggalkan rumah dengan penuh emosi. Ia akan melakukan panggilan video dan meminta Kaisar bermain gitar di ruang keluarganya, karena dengan itu ia bisa sedikit mencegah adegan kekerasan di dalam rumah itu. Ia akan mengajak Kaisar menginap di rumahnya, bahkan saat keduanya sudah tiba di depan rumah Kaisar, karena ia melihat sosok ayah tiri laki-laki itu berada di dalam rumah sendirian. Heksa melakukan hal-hal seperti itu.

That was the least he could do as a best friend.


Khagi


“Ami, aku mau punya adik?”

Begitu tanya seorang anak laki-laki yang baru masuk ke dalam kamar itu. Wanita yang sedang duduk di depan meja rias itu tersenyum seraya menoleh pada anak semata wayangnya.

“Ayah udah bilang?” Tanyanya lembut. Anak itu mengangguk. “Kamu mau jadi abang?”

Saat mendengar kata adik, tidak ada hal lain yang dipikirkan oleh anak itu selain adik pada umumnya. Adik yang datang dalam bentuk bayi mungil yang keluar dari perut ibunya. Adik yang saat besar nanti jadi teman bermainnya dan harus ia jaga. Adik yang saat lebih besar nanti, juga membawa nama keluarganya.

Tapi Heksa tidak pernah mengira kalau adik yang dimaksud kedua orang tuanya ternyata datang dalam wujud seorang anak perempuan dengan usia yang tidak jauh beda darinya. Melangkah dengan kedua kakinya sendiri melewati pintu, bersama Ayah berdiri di sampingnya. Mengandalkan kemampuan berpikirnya dan pengetahuannya, ia pun berasumsi.

“Adiknya bukan anak Ayah sama Ami?” Tanyanya begitu mereka berempat duduk bersama di ruang keluarga. Anak yang sedang dipertanyakan terlihat mendongak pada pria di sebelahnya, pada Ayah. Sedangkan pria yang sedang ditatap terlihat berpikir; mencari kata-kata yang paling tepat—yang paling tidak menyakiti, yang paling mudah dimengerti oleh anak kecil berusia tujuh tahun. Ia sempat melirik ke arah Kiana dengan raut bertanya. Setelah mendapatkan senyum dari Kiana, Ragalih—namanya—pun bicara.

“Anak Ayah.”

Topik tentang perseturuan, perceraian, perselingkuhan, poligami, adopsi adalah hal-hal yang berada diluar jangkauan anak berumur tujuh tahun. Heksa bahkan belum tentu bisa membaca kata-kata barusan dengan lancar. Sayangnya bukan berarti hal-hal tersebut tidak mungkin terjadi di sekitar anak seusianya

Meskipun pengetahuan dan pengertiannya masih terbatas, anak itu cukup pintar dan peka untuk anak seusianya. Saat ayahnya memperkenalkan anak perempuan yang dibawanya sebagai “anak Ayah”, Heksa tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi—yang belum ia mengerti—di keluarganya. Ia tahu bahwa ada alasan yang rumit atas kenapa Ami tidak pernah menyebut anak perempuan itu sebagai “anak Ami” atau “anak Ayah dan Ami”. Satu hal yang sangat anak itu mengerti adalah: ia harus menerima.

“Ami, Ami sedih nggak?” Tanya Heksa malam harinya. “Ayah jahat nggak ke Ami?”

“Enggak sayang. Ami nggak sedih. Ayah nggak jahat dan masih selalu menyayangi Ami dengan baik.”

Kalimat itu adalah pegangannya. Di tengah asumsi dan praduga, Heksa memilih untuk mempercayai kedua orang tuanya. Jika Kiana berkata tidak ada yang jahat—tidak ada cinta yang hilang, maka demikianlah kenyataannya. Dan memang wanita itu tidak berbohong sama sekali. Ragalih Khagi masih mencintainya dengan baik. Hanya saja, sekarang, dalam situasi dan keadaan yang berbeda.

Bagi Kiana pun, tidak ada yang jahat. Meskipun sedikit rancu apakah karena memang tidak ada yang berniat menyakiti, atau karena antara dirinya, Ragalih, dan Zianne, sama-sama melakukan kejahatan yang setimpal.

Untuk bicara tentang ketiganya, ada rangkaian cerita yang rumit. Seperti benang yang kusut di tengah-tengah. Seperti halaman buku yang robek dan sengaja tidak dibaca. Rangkaian cerita yang hanya mereka yang tahu seperti apa kebenarannya. Dan ketiganya sama-sama berpikir bahwa lebih baik hanya mereka yang tahu tentang ceritanya.

“Heksa selalu percaya sama Ami, jadi Ami jangan pernah bohong ya?” Ucap anak laki-laki yang kini menjadi si sulung itu. “Kalau Ami sakit harus bilang sakit, kalau Ayah jahat harus bilang Ayah jahat. Aku belum ngerti soal hubungan orang besar jadi aku percaya sama Ami, sama Ayah. Tugas aku sekarang cuma jagain adik baru ‘kan?”


Sore itu, untuk pertama kalinya Heksa melihat penampakan adik barunya itu. Ayahnya memang tidak berbohong saat bilang anak perempuan itu “anak Ayah”, karena ia bisa melihat kemiripan di wajahnya. Siapapun yang melihat kedua anak itu berdiri berdampingan akan langsung tahu kalau mereka kakak beradik. Namun siapa yang akan menduga kalau masing-masing datang dari ibu yang berbeda?

Keduanya duduk bersama di taman belakang, ditemani berbagai buku anak yang dimiliki Heksa di rumahnya. Beberapa ada yang merupakan hadiah sambutan dari Kiana. Belum ada interaksi antar keduanya selain salam sapa yang diucapkan masing-masing saat sedang diperkenalkan tadi. Keduanya menghabiskan lima menit hanya dengan melihat-lihat buku yang berserakan di sekitar mereka. Sampai si anak perempuan bersuara pelan.

“Abang?” Panggilnya ragu. Nadanya bicaranya tidak seperti sedang memanggil, melainkan bertanya; mengkonfirmasi apakah nama itu benar atau tidak. Saat Heksa menoleh, ia melanjutkan. “Aku manggilnya Abang? Atau Kakak?”

“Abang aja.” Balas Heksa singkat, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana—dan takut salah memulai percakapan. “Kamu dipanggilnya apa?”

“Ole.”


Anak-anak biasanya lebih mudah berbaur dibanding orang dewasa. Mereka bisa bermain bersama tanpa tahu nama satu sama lain ataupun tertawa bersama setelah bertengkar lima menit sebelumnya. Begitu pula dengan Heksa dan Maure. Ketegangan yang hampir selalu menyelimuti kedua keluarga justru tidak pernah tergambarkan sedikitpun dalam hubungan mereka. Orang yang melihat akan berpikir kalau mereka hanyalah adik kakak pada umumnya.

Namun di kebanyakan waktu, tidak ada yang akan menyangka bahwa keduanya adalah kakak-beradik.

Maure adalah anak yang sah secara hukum maupun agama, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk menyembunyikannya. Anak itu tidak perlu merasa cemas untuk berkeliaran bahkan di kompleks perumahan Heksa. Tetapi tetap ada batasan-batasan yang harus dihormati. Tetap ada perasaan yang harus dijaga, dan tetap harus tahu diri. Bagaimanapun, Maure adalah bagian dari keluarga Ragalih bersama Zianne, bukan Kiana. Maka ada waktu dimana Ragalih menghabiskan waktu hanya bersama Kiana dan Heksa. Entah itu pergi ke taman hiburan atau makan malam keluarga seperti pada umumnya. Ada pula waktu dimana Ragalih menghabiskan waktu luangnya dengan mengadakan piknik kecil di pinggir danau bersama Zianne dan Maure.

Di saat-saat itu, baik Maure maupun Heksa hanya akan sibuk menikmati hari masing-masing. Walau ada juga saat dimana salah satu merasa penasaran; kenapa adik-kakak tidak bisa mengadakan makan malam keluarga bersama. Karena pada akhirnya, keduanya tetap dua anak kecil tidak bersalah yang ikut terkena imbas dari apapun itu yang melibatkan orang tua mereka.

“Kamu ngapain aja kemarin?” Tanya Maure seperti biasa saat ia berkunjung ke rumah Heksa untuk belajar bersama.

“Aku pergi sama Ayah sama Ami ke akuarium!” Jawab Heksa dengan antusias. “Aku udah pernah ke sana sih, tapi tetep seru.”

“Aku juga pernah sekali, tapi udah gak inget.”

“Kamu kenapa gak ikut aja?” Tanya Heksa kemudian.

“Kata Mama kalau Ayah lagi main sama kamu sama tante—”

“Ami.”

“Iya, kata Mama kalau Ayah lagi main sama Heksa sama Ami, aku jangan ikutan dulu.”


Hubungan keluarga yang rumit hanyalah satu dari sekian banyaknya hal yang harus mereka pelajari semasa kecil. Satu dari sekian banyaknya hal yang seharusnya belum menjadi kekhawatiran mereka. Tetapi keluarga itu sendiri juga termasuk titik awal dari benang-benang yang kusut itu. Keluarga itu sendiri, bisa jadi kusut dan berantakan; keluarga itu sendiri bisa hancur kalau tiang penopangnya pergi.

“Abang, Ayah kenapa?” Tanya gadis muda itu pada laki-laki yang duduk di atas ranjang dengan perban kecil di dahi nya. Namun yang ditanya tidak menjawab dan hanya menatap pada kekosongan. Akhirnya, gadis itu pun meninggalkan ruangan dan menghampiri ibunya—yang juga menatap pada kekosongan.

“Mama? Abang gak jawab waktu aku tanya.” Ucapnya lesu. “Abang lagi sedih?”

“Kita semua sedih.” Jawab Zianne sendu.

“Mama,” Panggil Maure lagi setelah beberapa saat. “Kalau Ayah pergi terus semua orang sedih, yang mau hibur aku siapa?”

Mungkin bukan hanya Maure saja yang mempertanyakan hal seperti ini. Dalam sebuah keluarga, kalau yang satu hancur dan yang lain ikut hancur, siapa yang harus bangun? Kalau semuanya hancur, siapa yang bisa memastikan mereka semua bangun?

Maure, Heksa, Zianne dan Kiana mempertanyakan hal yang sama. Tetapi, masing-masing memiliki jawaban yang berbeda.


Lalu hubungan keluarga yang rumit itu, pada akhirnya tidak banyak dibicarakan. Bahkan oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Entah karena tidak ada teman bicara, lebih baik tidak dibicarakan, atau sengaja tidak membicarakan.

Kontras dengan Heksa yang sering memiliki rasa penasaran tinggi walau cepat puas—atau cepat menyerah juga, Maure tidak pernah menjadi tipe yang sama. Ada yang bilang bahkan kalau ombak Tsunami datang, anak itu akan tetap bermain di pantai. Ia tidak banyak memikirkan tentang apa yang tidak mengusiknya; apa yang tidak menganggunya bukan masalah buatnya. Misalnya anak yang diam-diam membicarakannya, pasangan yang bertengkar di supermarket, keluarga yang menangis di pemakaman; saat melihat semua itu, Maure hanya akan berpkir bahwa semua itu bisa terjadi. Sama hal nya seperti apa yang terjadi di dalam keluarganya—di antara orang tuanya.

Tidak pernah satu pertanyaan pun terlontar dari mulutnya. Entah itu tentang wanita yang bukan ibunya tetapi ia sebut ibu, kakak laki-laki yang muncul setelah ia besar, atau ayahnya yang menghabiskan waktu dengan wanita yang bukan ibunya. Maure tidak pernah sekalipun bertanya kenapa ia harus memanggil Kiana dengan sebutan Ami, kenapa Heksa tidak lahir dari rahim ibunya, atau kenapa Ragalih menghabiskan waktu bersama Kiana dan Heksa, bukan Zianne dan Maure.

Sebaliknya, justru Zianne lah yang pertanya pada putri semata wayangnya itu.

“Ole,” Panggilnya sambil mengusap rambut panjang Maure yang menidurkan kepala di pangkuannya. “Kamu penasaran gak sama Mama, Ayah, sama Ami Kiana?”

“Iya, kadang penasaran.” Jawab perempuan yang baru memasuki masa remaja itu.

“Terus kenapa kamu gak pernah sekalipun nanyain soal itu ke Mama?”

“Soalnya itu bukan urusan aku.” Jawab Maure tenang, tanpa ragu, tanpa bingung. “Itu urusan Mama, Ayah, sama Ami Kiana. Aku penasaran juga gak ada gunanya kan aku nya gak terlibat? Kalau aku tau sesuatu juga palingan ujungnya aku cuma jadi penonton.”

“Terus kamu gak pengen nyari tau sama sekali?” Tanya Zianne lagi. “Khususnya tentang Ayah.”

“Enggak.” Jawab Maure yakin. “Aku gak tau apa yang Ayah lakuin ke Mama atau ke Ami Kiana, mau itu baik atau jahat. Tapi kalau jahat juga, Ayah jahatnya bukan ke aku? Ayah yang aku kenal baik. Aku cukup kenal Ayah yang baik aja.”

The thing about children being faced with family issues early is, they grow up too fast. They matured too fast.

“Aku gak tau Ayah itu suami yang baik atau bukan. Tapi Ayah itu ayah yang baik buat aku, buat abang juga.”

Jawaban itu terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Jawaban yang terlalu tenang untuk bisa keluar dari mulut seorang anak sekolah berumur tiga belas tahun. Jawaban yang tidak diharapkan oleh Zianne sama sekali. Ia lebih mengharapkan Maure untuk marah, untuk melontarkan seribu pertanyaan dengan penuh frustasi tentang apa yang terjadi dalam keluarga mereka. Ia lebih mengharapkan sikap kekanakan yang melelahkan dari gadis itu. Karena sikap dewasa ini hanya membenarkan asumsinya bahwa Zianne—serta permasalahan antara dirinya, Ragalih, dan Kiana—ikut memberatkan anak-anak mereka.


Keluarga itu hubungan yang menarik. Sering digambarkan sebagai hubungan interpersonal paling kuat karena statusnya bukan sekedar diikat oleh janji oral maupun tertulis saja. Keluarga itu hubungan yang diikat oleh darah dan seperti yang orang bilang, darah lebih kental dari pada air. Tapi ada kalanya aliran darah yang mengikat keluarga itu putus.

Ada kalanya, keluarga itu berdiri sendiri. Masing-masing dalam dunianya sendiri. Ada pula kalanya, kedua keluarga itu harus saling menopang—meskipun yang satu tidak ingin ditopang.

“Ole, tinggal di sini aja ya, sama Ami, sama Heksa?”

“Gak usah, Ami.” Tolak Maure untuk yang kesekian kalinya. “Ini rumah Ayah sama Ami sama Heksa, bukan rumah aku.”

Padahal menyandang nama yang sama, tapi Maure yang beranjak dewasa selalu menjauhkan dirinya dari Khagi. Bersikeras bahwa dirinya, terlepas dari nama yang dibawanya, bukanlah tanggung jawab dari Kiana. Ikatannya adalah dengan Ragalih, sebagian dengan Heksa, tapi bukan dan tidak pernah Kiana.

“Aku gak akan kenapa-kenapa kok, Ami.” Ucap Maure meyakinkan. “Aku masih punya om, tante, sama keluarga yang lain.”

Maure dan Zianne, lalu Heksa dan Kiana; kadang keduanya seperti satu keluarga yang sama dalam semesta yang berbeda. Mengikuti peraturan bahwa hanya boleh ada satu jenis dalam satu semesta. Maure memang masih belum tahu dan tetap tidak ingin tahu secara rinci apa yang terjadi di antara orang tuanya. Tetapi Maure yang kini beranjak dewasa itu cukup mengerti bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk memberatkan Kiana.

“Emangnya kita bukan keluarga?” Timpal Heksa yang bergabung ke dalam percakapan.

Sampai sekarang, Maure masih bingung. Apa batasan, perhitungan, tanda, ciri, apapun, yang bisa digunakan untuk mengukur ikatan keluarga? Katanya, keluarga itu terikat oleh perasaan; cinta dan kasih sayang. Sesuatu yang terlalu mewah, terlalu tidak tahu diri untuk Maure harapkan dari Kiana dan Heksa.

Tapi mungkin juga, alasannya sesederhana karena Maure hanya menginginkan keluarga kecilnya saja. Maure, Mama Anne, dan Ayah Khagi. Siapapun, apapun selain tiga nama itu, tidak bisa—tidak cukup memenuhi kriteria nya sebagai sebuah keluarga.

Sedangkan yang tersisa sekarang hanyalah nama Khagi yang melekat pada namanya.


“Kenapa kamu nggak pernah cerita, Ole?”

“Karena sakit, Abang.”


“Iya aku gak tau dan gak pernah tau. Tapi aku bisa berprasangka baik kalau aja kamu bilang, Kaisar. Tapi kenapa kamu gak pernah bilang?”

“*Because it hurts, Ole.


“Rum…ternyata ada sebanyak ini yang aku gak tau? Kenapa Rum?”

“Karena rasanya sakit, Ji.”


“Abang?” Sebuah panggilan lembut terdengar bersamaan dengan pintu yang diketuk. Laki-laki yang sedang duduk di tepian ranjang itu pun menoleh. “Kenapa melamun?”

Melihat senyuman lesu yang terukir, Kiana menganggapnya sebagai izin untuknya memasuki kamar anaknya itu. Wanita itu duduk

“Hari ini Abang ngeliat Ole nangis sendirian di makam Mama Anne.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa semakin berat seiring dengan hal-hal menyakitkan yang muncul di kepalanya. “Selama ini Ole nyimpen semuanya sendirian, Ami.”

Alasan dibalik raut sangsi Heksa begitu ia duduk di atas sofa terjawab sudah. Dan memang, ia bukan sedang memikirkan masa sekarang atau masa depan, melainkan masa lalu. Sepanjang ingatannya, Maure yang ia lihat selalu anak perempuan biasa—adiknya—yang bertingkah seperti anak sekolah pada umumnya. Maure yang memakan roti sarapannya di dalam mobil dalam perjalanan ke sekolah. Maure yang terlihat membeli jajanan di depan sekolahnya bersama teman sebangkunya. Maure yang mengobrol dengan satpam sekolah sambil menunggu Heksa datang menjemputnya untuk pulang bersama. Dan Maure yang akan bercerita tentang kejadian heboh yang terjadi di sekolahnya hari itu.

“Ada banyak yang Abang nggak tau…”

Tidak pernah terbayangkan oleh Heksa bahwa suatu hari ia akan melihat Maure dalam genre yang berbeda. Melihat bagaimana perempuan itu menangis meraung di depan pusara ibunya adalah gambar paling menyakitkan tentang Maure yang terekam di dalam kepalanya. Dan ia tidak bisa untuk tidak berpikir tentang seperti apa kehidupan yang telah dilalui adiknya itu.

Memikirkan bagaimana Maure Zianne menderita sendirian ikut membuatnya merasa tersiksa.

“Ami, kalau dari awal kita semua jujur dan nggak nutupin apapun, kita bakalan lebih bahagia kali ya?”

“Abang…” Tangan Kiana terlurur untuk menggenggam tangan anaknya itu.

Ada banyak sekali. Ada banyak yang mereka ketahui, dan ada banyak juga yang tidak mereka ketahui; tergantung kita sedang bicara lewat sudut pandang siapa. Kini, bom waktu yang sudah meledak itu membuat semuanya harus mengungkap kebenaran—mengungkap cerita yang disembunyikan.

“Kamu sendiri kenapa nggak pernah cerita apa-apa ke Ami, Abang?”

Heksa yang mulanya menundukkan kepala kini kembali mendongak. Matanya langsung bertemud engan sorot teduh milik Kiana.

“Karena sakit, Ami…”


arumi, kaisar, heksa, maure


arumi

Sepasang kaki jenjang melangkah dengan santai namun berat, menyusuri lorong shelter dan melemparkan senyum pada setiap orang dan hewan yang lewat. Senyumnya pun tidak pernah tidak dibalas. Animal shelter yang sudah seperti rumah keduanya ini adalah tempat dimana ia paling merasa disukai. Tidak pernah ada yang bertanya tentang siapa dirinya, atau dosa apa yang sudah ia lakukan di masa lalu; tidak pernah ada yang bertanya tentang dirinya. Yang mana, menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menyedihkan secara bersamaan. Karena orang lebih memperhatikan tentang apa yang ia lakukan, apa yang dirinya bisa lakukan, dan akan lakukan.

Bagusnya, ia bisa menjalani harinya dengan nyaman sebagai Arumi—hanya Arumi. Tidak bagusnya, kadang dirinya merasa sepi.

“Halo, Kilo!”

Pada hari-hari yang terasa sepi itu, ia biasanya menghabiskan waktu di halaman belakang shelter itu. Halaman luas dimana para hewan, kebanyakan anjing, bebas berlarian selama waktu bermain. Salah satunya adalah german shepherd tua yang selalu duduk di bawah pohon sambil melihat teman-temannya berlarian kesana-kemari. Dan Arumi akan menemani di sebelahnya. Tapi kali ini kebalikannya, karena justru Kilo yang lebih dulu menghampiri Arumi.

Seperti tahu kalau si kakak cantik sedang butuh teman.

“Kamu kangen main sama Aji, ngga, Kilo?”

Begitu nama itu keluar dari mulutnya, barulah semua perasaan yang tertahan sebelumnya, kembali menlajari tubuhnya. Membuatnya refleks menyiutkan tubuhnya, memeluk lututnya; merasa kecil dan sendirian.

Merasa apa yang sudah dibangun, runtuh.

“Arumi?”

Sebuah panggilan datang bersamaan dengan tepukan di pundak. Raut wajah Kinanti yang khawatir segera menyambutnya. Kemudian entah karena perasaan yang sedang ia tahan, entah karena rasa khawatir yang terpancar dari wajah Kinanti, kedua mata Arumi terlihat mulai berkaca-kaca. Bibirnya terbuka untuk berucap pelan.

“Semuanya berantakan, Kak.”

“Hah?

“Aku sendirian lagi.”


kaisar

Hari itu, langit sudah muram sejak pagi; mendukung mereka yang hatinya lebih dulu dilanda angin ribut. Padahal belakangan ini cuaca selalu bagus. Setidaknya sampai kemarin. Namun langit mendung bukanlah rintangan besar bagi kebanyakan orang yang akan beraktivitas hari ini. Mungkin Kaisar Pangestu pun menganggap hari ini adalah hari yang bagus untuk berolahraga. Kalau tidak, mana mungkin laki-laki itu mengitari lapangan sampai sepuluh kali—sendirian.

Laki-laki itu mengenakan windbreaker abu-abu dan celana pendek hitam. Rambutnya berantakan oleh angin dan keringat. Wajahnya terlihat lelah. Dibanding karena putaran yang sudah dilakukan, eskpresi lelah dan lesu itu lebih dikarenakan dirinya yang baru saja bangun tidur. Faktanya, berlari sendirian di sport center kompleks rumahnya adalah hal yang pertama kali muncul di kepalanya begitu ia membuka kedua matanya.

Matahari naik semakin tinggi. Suhu udara pun terasa pengap karena langit yang mendung. Setelah hampir satu jam, akhirnya laki-laki itu berhenti. Kedua kakinya melangkah berat menuju sebuah bangku di taman di seberang running track. Ia duduk dengan kedua tangan yang bertumpu di lutut, kepalanya tertunduk. Helaan napas kasar keluar dari mulutnya. Sesekali, ia mengacak rambutnya frustrasi. Ternyata ratusan meter yang ditempuhnya ditambah suara lagu yang memekakan telinga lewat earphones di telinganya sama sekali tidak membantu.

Kepalanya masih dipenuhi oleh pikiran tentang satu orang; Maure.

Tepat saat nama itu terbesit lagi di kepalanya, ponselnya berdering. Tangannya bergerak malas untuk mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya. Melihat nama yang tertera di layar, mau tidak mau ia menjawab panggilan tersebut.

Kai, lo lagi sama Ole?” Tanya suara di seberang tanpa basa-basi.

Sepertinya, dunia hari ini memang tidak mengizinkannya mengalihkan pikiran dari Maure. Ada jeda panjang sebelum mulutnya terbuka untuk bicara.

“Ole…” Mulainya berat. “Gue belum ketemu sama Ole hari ini.” Dan mungkin tidak akan pernah bertemu lagi.

Kai, are you ok?” Tanya Heksa cepat begitu merasakan suara Kaisar yang terdengar lesu.

Laki-laki itu terdiam lagi. Pada titik ini, sepertinya ia bahkan tidak menyimak penuh pertanyaan Heksa. Ia hanya menghela napas tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

“Kaisar?” Panggil Heksa saat laki-laki itu terlalu lama diam. Kemudian mengabaikan pertanyaan temannya itu, ia akhirnya bersuara.

Sa, what is actually happened to the four of us?” Lirihnya. “Kita ini kenapa sih, Sa? Ada berapa banyak bagian dari cerita kita yang hilang? Yang gue gak tahu?”

Kali ini, Heksa yang terdiam. Di sebrang sana hanya terdengar suara napas yang tenang namun dalam. Percayalah, laki-laki itu juga menanyakan hal yang sama. Namun untuk saat ini, ada hal yang lebih penting yang menjadi alasan utamanya menelepon Kaisar.

Kai, something happened?

“Semuanya berantakan, Sa.” Jawabnya lesu.


maure

Waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh pagi. Seorang perempuan yang meringkuk di atas sofa itu membuka matanya dengan berat. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, memperhatikan sekitarnya. Setelah menyadari posisinya, ia pun mengangkat tubuhnya. Secara mengejutkan ia terbangun cukup pagi—dengan fakta bahwa ia baru terlelap tidak sampai tiga jam yang lalu. Hal yang pertama kali dirasakannya saat membuka mata adalah rasa lelah yang menggunung. Bukan karena tidurnya yang kurang, tapi karena semua yang sudah terjadi.

Helaan napas menjadi satu-satunya suara yang keluar dari mulutnya. Satu tangannya tergerak untuk menyisir rambutnya seraya kedua kakinya melangkah untuk melihat keluar jendela. Mendung. Bukankah ini hari yang bagus untuk pergi ke pemakaman?

Maure kembali melangkahkan kaki di kota yang baru saja dikunjunginya tidak sampai satu minggu lalu. Saat berkunjung sebelumnya, ia tidak menyangka dirinya akan datang lagi secepat ini. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan melarikan diri secepat ini—melarikan diri dari semua yang terjadi.

Perempuan itu berdiri di depan sebuah nisan dengan lesu. Tidak ada rangkaian bunga atau apapun di tangannya. Wajahnya menatap nama yang tertulis pada nisan tersebut dengan sendu.

Zianne Amora

Tengkorak yang terbaring dibawah gundukan tanah itu adalah ibunya. Ibu yang sangat ia sayangi, namun juga ibu yang meninggalkan banyak luka untuknya. Luka yang muncul karena ia terlalu menyayangi ibunya sampai tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ibunya meninggalkannya. Karena ia terlalu menyayangi ibunya sampai dukanya tidak pernah hilang, sampai detik ini. Dan batu nisan yang tidak bisa bicara itu, masih menjadi tempat pulangnya.

Lama berdiri dalam diam, Maure akhirnya membuka mulutnya.

“Ma, Ole egois ya? Aku cuma fokus sama hubungan aku sama Kaisar. Aku cuma peduli sama hubungan aku sama Kaisar.” Lirihnya, tidak mengalihkan pandangannya sama sekali. Ia mengambil jeda sejenak. Semakin ia bicara, dadanya terasa semakin sesak dan air mata semakin menumpuk di pelupuk matanya. “Aku cuma gak mau nginget-nginget apa yang bikin aku sedih. Aku gak mau ngelibatin orang lain. Aku cuma mau ngelewatin semuanya sendirian. Aku cuma pengen hidup tenang dan bahagia kayak anak seumuran aku. Aku egois ya, Ma?”

Detik itu pula, air matanya jatuh; gagal dibendung. Air mata itu mengalir deras seiring tubuhnya yang jatuh ke tanah. Ia kehilangan kekuatan untuk beridiri. Lalu seolah turut merasakan sakit yang dirasakannya, langit pun menurunkan hujan yang sudah tidak bisa lagi dibendung.


heksa

Laki-laki yang mengenakan hoodie hitam itu menghentikan langkahnya. Suara napasnya yang terengah-engah nyaris mengalahkan bunyi deras hujan; entah seberapa kencang ia berlari sebelumnya—juga berapa gilanya dirinya yang mengemudikan mobil dengan sangat cepat sampai menyaingi kereta api. Terdengar gila memang. Ia menempuh jarak puluhan kilometer—ratusan bahkan, secepat yang ia bisa. Kekhawatiran membuatnya hilang akal untuk memikirkan hal lain; ia tidak bisa berpikir jernih. Dan kekhawatiran itu terbukti benar.

Di sinilah Heksa sekarang, pemakaman. Pemakaman yang sama yang didatangi oleh Maure. Di sinilah juga dirinya. Menyaksikan gadis itu yang ambruk di depan pusara ibunya; berlutut di atas tanah dengan tubuh yang bergetar. Melihat bagaimana perempuan itu hancur di bawah derasnya hujan; dengan tangis yang menyaingi hujan itu sendiri.

Dan pemandangan itu sangat menyakitkan.

Terlalu menyakitkan jika ia hanya diam disana dan tidak melakukan apa-apa. Karena itu, ia memutuskan untuk melangkah mendekat. Sampai akhirnya ia hanya berjarak beberapa langkah dari perempuan itu. Saat itulah ia membuka mulutnya dan bersuara pelan.

“Ole?”

Mendengar namanya dipanggil, Maure sontak menoleh perlahan. Kini, Heksa bisa melihat jelas wajahnya. Meskipun huja mengguyur, masih nampak jelas bahwa wajah itu basah bukan karena hujan melainkan oleh air mata. Suara isakannya terdengar semakin jelas sekarang.

Ia pikir, pemandangan tadi sudah cukup menyakitkan. Tapi melihat Maure dari dekat ternyata jauh lebih menyakitkan. Dadanya ikut sesak setiap ia mendengar isakan itu. Sakit menjalari tubuhnya setiap ia melihat bahu yang bergetar itu. Air matanya pun berkumpul di pelupuk saat ia melihat wajah itu. Wajah yang dilanda sendu. Tidak ada seucil pun senyum yang terukir diwajahnya—dan terlihat seperti tidak akan ada lagi senyum yang terukir di wajahnya. Kedua matanya merah dan sembab, tetesan air mata turun seperti air terjun. Kedua mata itu menatapnya dalam. Heksa bisa melihat dengan jelas, lewat kedua mata itu, betapa sakit yang dirasakan Maure sekarang. Dan ia juga melihat, bagaimana sepasang mata itu meminta untuk diselamatkan.

Tidak lama berselang, Maure pun membuka mulutnya dan berucap lirih.

“Abang…”

Dan detik itu pula, Heksa ikut ambruk. Tangisnya pecah seiring dengan tangis Maure yang semakin kencang. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu berlutut disamping Maure dan membawa gadis itu ke pelukannya—erat.

“Mau pulang…” Isaknya dengan tubuh yang bergetar. “Sakit, Abang, mau pulang…”

“Iya, kita pulang ya, Ole.”


Satu hal yang paling aku inget dari Rumi itu senyumnya. Dia yang paling sering senyum di antara semua orang yang kerja di shelter ini. Mungkin, dia juga yang paling seneng ngelakuin pekerjaan ini. Rumi yang aku tahu selalu datang dengan suasana hati yang bagus, ngejalanin pekerjaan tanpa ngeluh, dan nangis terharu setiap kita berhasil menyelamatkan binatang. Hebatnya, attitude-nya terhadap profesi ini nggak pernah berubah dari awal dia datang sebagai volunteer di tempat ini.

Aku kenal Rumi cukup lama. Sekitar tiga tahun? Dari waktu Rumi masih jadi murid SMA yang dengan semangat bilang pengen jadi dokter hewan, sampai dia jadi mahasiswi kedokteran hewan dan jadi relawan tetap di shelter ini. Tapi aku nggak begitu tahu banyak tentang dia secara personal. Kita sering ngobol dan cerita-cerita. Tapi semua cerita yang aku denger itu isinya tentang keseharian Rumi juga. Misalnya tentang kafe yang baru dia datengin, kucing liar yang dia temuin dijalan, kasus kekerasan binatang yang bikin dia kesel, dan kadang, dia cerita tentang orang-orang yang ada di samping dia.

Karena anaknya ramah dan punya positive vibes, aku yakin kalau Rumi pasti banyak temen dan relasinya. Terbukti dari engagement di media sosial shelter yang naik kalau habis dipromosiin sama dia. Tapi temennya Rumi yang aku kenal cuma Kaisar—yang aku nggak tahu apakah mereka cuma temenan atau lebih dari itu. Kaisar cukup sering ikut Rumi ke shelter. Kadang dia cuma nganterin, kadang dia mampir sebentar buat ketemu hewan-hewan disini dan nyapa staff disini. Dari interaksi mereka, aku ngeliatnya mereka itu temen deket. Mungkin mereka udah saling kenal dari lama. Kalau dari cara Rumi cerita tentang Kaisar, dia terkesan punya perasaan lebih buat cowok itu, TAPI disaat yang bersamaan Rumi nggak keliatan mau ngejar perasaannya itu.

Kali pertama aku ketemu temennya Rumi selain Kaisar itu adalah waktu acara adoption fair. Dari pagi Rumi udah ngasih tau ke aku kalau tiga temennya mau dateng. Kaisar, Maure, Heksa. Aku juga masih inget senyum yang muncul di mukanya waktu dia nyampein kabar itu ke aku. Senyumnya itu bukan senyum yang kentara, nggak kayak senyumnya waktu main sama hewan-hewan disini ataupun senyumnya waktu dia berhasil nolong salah satu hewan disini. Senyumnya justru keliatan kayak sesuatu yang dia sendiri pun nggak sadar. Aku nggak begitu merhatiin soal ini karena yang aku tahu, Rumi nggak pernah cerita sesuatu yang khusus tentang Maure ataupun Heksa. Aku baru ngasih perhatian ke mereka berempat waktu ngeliat Rumi masang ekspresi sedikit bete di hari adoption fair itu. Padahal, event ini ditunggu-tunggu banget sama dia, tapi di beberapa waktu selama acara dia sempet keliatan kesel dan nggak seneng sama sekali.

Awalnya aku cuma berasumsi kalau Rumi capek karena dia ngurusin acara ini dari awal persiapan sampai akhir. Asumsi itu mulai berubah waktu aku denger kabar dari Rumi kalau dia belum tentu bisa lanjut jadi relawan di shelter. Aku lebih kaget lagi waktu dia bilang dia ambil cuti juga dan pindah rumah buat sementara waktu—dan bisa juga selamanya. Rumi nggak akan pernah kehilangan passion-nya di dunia kedokteran hewan, aku yakin banget. Jadi satu-satunya alasan yang masuk akal adalah masalah personal. Dari situ aku baru mulai me-review hal-hal yang aku tahu tentang Rumi. Salah satunya hubungan Rumi sama tiga temennya itu. Kebetulan, salah satu dari mereka yaitu Maure, ngadopsi salah satu kucing dari shelter ni dan beberapa kali mampir buat check up kucingnya. Dari situ aku jadi mulai kenal sama Maure juga.

Setelah berinteraksi sama Maure dan Rumi disaat yang bersamaan, aku sedikit-sedikit berusaha nebak sesuatu tentang Rumi. Rumi beberapa kali mampir ke shelter walaupun nggak se-sering dulu. Setiap dia mampir, dia selalu nyempetin nanya apa Maure sama Kale (kucingnya) mampir atau enggak; dan kalau mampir, dia dateng sama siapa. Waktu aku tanya apa mau titip salam atau gimana, dia jawab nggak usah, tapi nggak usah dirahasiain juga kalau dia datang ke shelter. Terus entah kebetulan atau keanehan, Maure juga pernah nanya Rumi suka datang ke shelter atau enggak. Bedanya, Maure nggak keliatan tertarik buat ngomongin Rumi apalagi sampai nunjukin rasa seneng dan excitement disaat bahas Rumi. Dari situ, aku mulai tebak-tebakan lagi tentang mereka.

Mungkin waktu itu Rumi ngerasa kalau adotion fair itu harusnya jadi harinya dia. Tapi, temen-temen yang dia pamerin ke aku itu malah nikmatin acara tanpa dia. Akhirnya dia pun ngerasa kecolongan, ngerasa kalau kebahagiaannya direbut. Aku nggak mau banyak berasumsi tapi hari itu juga mungkin bikin Rumi sadar kalau selama ini cuma dia doang yang seneng.

Rumi sadar kalau selama ini, dia ngerasa seneng sendirian.

Dia maju dan berkomitmen buat jadi relawan di *shelter** ini dan ngebantu kita menyelamatkan banyak binatang. Dia punya cita-cita jadi dokter hewan dan berhasil lolos ke jurusan Kedokteran Hewan. Dia punya Kaisar yang setia ngebantu dia, nemenin dia, dan nge-support semua kegiatannya. Dia punya dua orang lagi, Maure dan Heksa yang datang ke acara yang berarti banget buat dia. Tapi siapa yang ngerasa seneng atas semua itu? Rumi sendiri. Mungkin rasanya sama kayak dapet kabar baik barengan sama kabar buruk orang lain. Nggak ada yang nyalahin kamu, nggak ada yang benci kamu, tapi nggak ada yang ikut bersorak bareng kamu.

Sayangnya aku nggak bisa nebak, sedih dan kecewanya Rumi hari itu apakah karena dia ngerasa kesepian, dia ngerasa bersalah, atau dia marah karena ngerasa orang lain nggak ngebolehin dia bahagia—seolah kesenangannya nggak pernah valid. Dan sayangnya juga, aku cuma tahu sedikit—aku cuma tahu cerita dari sisi Rumi.

Pengetahuan aku bertambah sedikit waktu Rumi akhirnya muncul lagi, dan sedikit ngejawab pertanyaan aku tentang ngilangnya dia.

Jawabannya gak lengkap dan rancu, dan karena Rumi emang bukan tipe yang sering cerita tentang kehidupan personalnya, aku ngerti kalau soal ini pun dia nggak bisa jawab dengan detail. Katanya, ada seseorang yang bilang mungkin Rumi salah mengartikan apa yang dia pikir kebahagiaan. Mungkin Rumi salah mengartikan posisinya. Mungkin Rumi salah mengartikan perspektifnya sendiri. Karena itu, Rumi pergi sebentar. Rumi pergi sebentar buat mikirin semua ucapan itu sekaligus nyari jawabannya. Tapi katanya, satu-satunya jawaban yang dia dapat itu, adalah fakta kalau semua orang baik-baik aja tanpa dia.

Setelah itu aku jadi tahu kenapa, terlepas dari usaha aku buat jadi seakrab mungkin sama Rumi, dia tetep nyembunyiin kehidupan personalnya. Apapun yang dia rasain, entah seneng entah sedih, entah bisa dia manage sendiri atau bikin dia kewalahan, juga dia simpen sendiri. Alasannya karena dia takut. Dia takut denger respon dan pendapat orang. Dia takut ketakutannya terkonfirmasi; tentang dia yang seneng sendirian. Yang artinya juga, dia sendirian di pihaknya sendiri. Yang artinya juga, semua orang emang baik-baik aja tanpa dia.

Ternyata selain senang sendirian, Rumi juga sedih sendirian.


maure, kaisar


“Kamu mau ngomongin apa?” Tanya Maure dengan nada malas begitu ia tiba di sebelah SUV putih yang dikendarai Kaisar. Nada bicara dan attitude perempuan itu sempat membuat Kaisar sedikit kaget, namun ia masih bisa menahan diri untuk tetap berkepala dingin. Ia membuka pintu mobil dengan tenang dan tanpa bicara.

“Masuk dulu, ngobrolnya di rumah.” Ucapnya.

Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Tidak ada satupun dari keduanya yang membuka mulut untuk bicara. Setiap kali Kaisar menengok ke arah Maure, perempuan itu sedang menatap keluar jendela; seolah sengaja menghindari percakapan. Setengah jam kemudian, keduanya tiba di tempat tinggal Maure.

Begitu keluar dari mobil, perempuan itu langsung berjalan masuk tanpa menunggu Kaisar. Sekali lagi membuat laki-laki itu terkejut sekaligus bingung dengan sikapnya itu.

“Ole.” Panggil Kaisar dengan nada serius saat keduanya sudah berada di ruang tengah rumah itu. Kali ini, barulah Maure menatapnya setelah mengabaikannya sepanjang perjalanan tadi. Namun berbeda dengan beberapa menit lalu, kini raut wajahnya sudah melunak.

“Apa?”

Kaisar menghela napasnya sebelum membuka mulutnya lagi.

“Kamu seminggu kemarin kemana, Ole?” Tanya laki-laki itu dengan nada tenang.

Pertanyaan itu sudah menganggu kepalanya selama berhari-hari. Selama berhari-hari itu pula ia hanya bisa menunggu ada yang memberinya jawaban yang jelas. Tapi melihat Maure sekarang, sepertinya ia harus menurunkan ekspektasinya tentang jawaban yang akan didapat.

“Aku ada.” Jawab perempuan itu dengan tenang. “Aku ada, tapi aku ada urusan.” Tambahnya.

Tentu saja, jawaban itu sama sekali tidak memuaskan rasa ingin tahu Kaisar—juga tidak menjawab apapun sama sekali. Sebelumnya ia percaya pada apa yang ia dengar, bahwa ia cukup menunggu Maure saja. Tapi kali ini, ia ingin menuntaskan rasa penasarannya, dan membereskan apa yang dirasa tidak benar selama ini.

“Ga. Jangan kasih aku jawaban itu. Aku yakin gak sesederhana itu. Heksa bilang kamu ga kenapa-kenapa, tapi kamu susah dihubungin. Terus kamu tiba-tiba muncul, baik-baik aja, bahkan bisa pergi main sama Cemima? The very first thing you did instead of replying to my messages.” Mulai Kaisar. “Ini antara aku yang reaksinya berlebihan dan overthinking, atau aku satu-satunya orang yang gak tau.”

“Aku pergi juga kamu gak kenapa-kenapa tuh?” Balas Maure, mengelak dari deretan fakta yang baru saja dilontarkan oleh laki-laki itu. “Gimana aku mau ngasih tau kamu kalau yang kamu tau Rumi doang?”

“Kenapa bawa-bawa Rumi?”

“Ya soalnya dari awal emang ada Rumi. Kan ini cinta segitiga?” Jawab Maure dengan nada setengah sarkas setengah kesal. “Kamu pikir aku gak tau dari kapan Rumi balik dan dari kapan kalian mulai ketemu lagi? Kamu nanya kenapa aku gak langsung ngabarin kamu disaat kamu nya aja lagi sama Rumi?”

“Ole—…”

Serangan bertubi-tubi itu berhasil membuat Kaisar kembali diam. Raut bersalah muncul pada wajahnya. Bagainapun, apa yang ia lakukan juga bukan tidak ada salahnya. Maure yang menyepelekan kekhawatirannya memang salah. Tapi Kaisar yang lebih dulu menyembunyikan interaksinya dengan Arumi.

Kemudian, Maure melontarkan pertanyaan baru.

“Kaisar, coba aku tanya, Ole atau Rumi?”

Pertanyaan itu sukses membuat Kaisar kembali terdiam. Keresahan mulai terpampang pada wajahnya. Mulutnya setengah terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Atau mungkin, ia hanya segan untuk mengucapkannya.

“Gak bisa jawab ‘kan? Atau tau jawabannya tapi gak mau jawab?” Desak Maure saat Kaisar tak kunjung bersuara. “Emangnya sepuluh taun masih kurang buat kamu bisa nentuin perasaan kamu ke Rumi?”

Kalimat terakhir Maure menarik perhatian Kaisar. Laki-laki yang awalnya menghindari tatapannya itu, kini menoleh dan menatapnya bingung sekaligus kaget.

“Aku ga pernah cerita soal berapa lama aku kenal Rumi.”

Satu kalimat itu sukses membalikkan keadaan di antara keduanya. Kini gantian Maure yang menampilkan gurat keresahan di wajahnya. Keresahan itu menunjukkan bahwa ia baru saja melakukan kesalahan. Emosi yang tidak stabil ternyata membuatnya bicara tanpa berpikir. Kini, sesuatu yang tidak seharusnya terucap, terlanjur keluar dari mulutnya. Perempuan itu mulai menghindari tatapan Kaisar.

“Ole,” Panggil Kaisar serius. “Kamu tau dari mana tentang Rumi? Kamu kenal Rumi?”

Sekarang, Kaisar pun bisa menebak dengan pasti jawaban dari pertanyaannya di awal, tentang apakah ia bersikap berlebihan atau dirinya memang satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa. Pada kenyataannya, dirinya memang satu-satunya yang tidak tahu. Seperti ironi dimana seorang raja justru hanya menjadi pion yang dihindarkan dari kebenaran. Dalam cerita ini pun, Kaisar adalah pihak yang menentukan, yang mengambil keputusan besar. Tapi dirinya malah tidak tahu apa-apa tentang konteks dari keputusan itu; tidak tahu apa-apa tentang semuanya.

“Dari kapan?” Tanya Kaisar lagi. Suaranya penuh dengan keterkejutan, dan mungkin kekecewaan.

“Jauh sebelum kamu kenal Rumi.”

Kaisar mengambil satu langkah mundur secara refleks; reaksi dari seseorang yang terkejut dan kecewa disaat yang bersamaan. Ia terlihat menengadah sesaat, mengarahkan pandanganya kemanapun asal bukan pada perempuan di hadapannya. Hurt and betrayed feelings were the only things visible on his face. Ia bahkan tidak tahu bagaimana dirinya bisa memproses informasi yang baru ia dapatkan ini. Bagaimana ia memproses bahwa selama ini, ia dibohongi. Maure pun tahu dengan pasti bahwa fakta yang baru terungkap itu akan sulit diterima olehnya.

“Aku selama ini gak ngerti kenapa kamu se-nggak suka itu sama rumi.” Lirih laki-laki itu. “Ternyata jawabannya ini ya? Ada yang aku nggak tau—ralat, banyak yang aku nggak tau.”

Keheningan mengambil alih selagi keduanya sama-sama memproses percakapan yang baru saja terjadi. Memproses fakta yang baru saja terungkap. Sayangnya, semua itu baru permulaan saja. Kekacauan yang sebenarnya baru terjadi saat Kaisar melontarkan pertanyaan selanjutnya.

Ole, tell me honestly. Why did you fall for me?

Saat memulai semuanya, Maure pernah berpikir bahwa yang dilakukannya sama saja dengan membuat sebuah bom waktu yang sangat besar. Saat itu ia menyepelekan pikirannya sendiri. Ia tetap mengambil langkah meski tahu bahwa kemungkinan semuanya akan meledak suatu saat akan terus mengiringi. Maure tetap yakin dengan pilihannya, meskipun jauh di dalam hatinya, ia pun sadar pilihannya itu egois.

Mengabaikan—melupakan sesuatu dan menganggapnya tidak ada sama sekali tidak berarti bahwa sesuatu itu tidak pernah terjadi.

Why did you fall for me, Ole?” Tanya Kaisar untuk yang kedua kalinya saat Maure tidak kunjung menjawab. Rautnya menunjukkan bahwa dirinya menanti jawaban, namun sorot matanya menunjukkan ketakutannya akan jawaban yang mungkin ia dengar. Setelah beberapa saat, ia kembali melontarkan pertanyaan. Kali ini, pertanyaan yang berbeda dari sebelumnya. “Was it all because of Rumi?

Lagi. Nama itu disebut lagi di antara dirinya dengan Kaisar, seolah sejak awal memang menjadi bagian dari hubungan ini. Kaisar berharap kenyataannya tidak seperti itu. Tetapi saat ia menangkap sorot mata Maure yang diisi oleh rasa bersalah, ia tahu kenyataannya.

It was.” Jawab Maure dengan suara pelan dan tegas, berlawanan dengan rasa bersalah yang ia sampaikan lewat sorot matanya. Jawaban itu, berikut caranya berbicara, membuat Kaisar kehilangan kata-kata. Berbagai emosi terpancar di wajahnya; bingung, kaget, cemas, kecewa. “It was, Kaisar.”

Itu dia. Jawaban yang membuat jantung laki-laki itu mencelos. Kaget, bingung, dan marah; semuanya tercampur aduk sampai membuatnya tidak bisa berkata-kata. Kekecewaannya yang tadi tidak seberapa kalau dibandingkan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Itu adalah jawaban yang tidak ia harapkan dan akan pernah ia harapkan. He never expects—he never wishes for her to hurt him like this.

“Ole…” Lirihnya setelah beberapa saat. Suaranya sangat pelan, dan lembut seperti sebuah bisikan. Lirihan itu nyaris tidak terdengar suaranya, namun rasa sakit dan kekecewaan bisa dirasakan dengan jelas. Maure pun tidak tahu ia harus apa—karena pemandangan Kaisar di depannya sekarang juga menyakitinya.

Saat ia merasa Kaisar sudah bisa mulai mencerna ucapannya, perempuan itu membuka mulutnya lagi.

It was, at some point, Kaisar.” Tegas Maure, membuat makna jawabannya jadi berbeda. “Aku gak suka sama Rumi karena hidupnya baik-baik aja. Aku lebih gak suka lagi sama dia karena dia bersikap seolah dia gak ada kaitannya sama aku. Aku—aku se-nggak suka itu sama Rumi sampai aku mulai suka sama hal-hal yang dia suka, semata buat bikin dia kesel. Tapi—”

Kalimatnya menggantung di udara. Keraguan terdengar lewat suaranya dan terpancar lewat raut wajahnya. Untuk sesaat, Maure benar-benar bingung tentang apa yang harus ia bicarakan; sejauh mana ia harus bicara. Karena sekarang stau hal sudah terkuak, apakah lebih baik keluarkan saja semuanya sekalian? Atau karena hubungannya dengan Kaisar sedang dipertaruhkan, haruskah ia memutar arah dan menutup semuanya dengan ucapan manis?

Di tengah keraguan itu, ia melihat Kaisar yang menaikkan sebelah alisnya; menunggu kelanjutan ceritanya.

“Tapi aku beneran suka kamu, Kaisar.” Lanjut Maure. “Aku udah tertarik sama kamu dari SMP. Tapi waktu SMA, aku baru tau kamu kenal dan deket sama Rumi, dan aku males ikut campur. Tapi kita ketemu lagi di kampus dan aku masih suka kamu. Itu jawaban buat rasa penasaran kamu tentang kenapa aku tiba-tiba ngejar-ngejar kamu. Jawaban yang sama yang selalu aku kasih ke kamu. I simply fall in love with my childhood friend.

Was it really that simple? Cause I don’t think so, Ole.” Geleng laki-laki itu dengan tatapan kurang percaya. Kaisar mempercayai setiap kata yang keluar dari mulut Maure. Namun ia juga percaya bahwa masih ada lebih banyak kata yang tidak dikeluarkan; jika tidak maka mereka tidak akan berada dalam perdebatan ini. Jika memang sedari awal semuanya sesederhana itu, perdebatan ini—perdebatan manapun, tidak akan pernah ada.

Keduanya berada dalam sesi tatap menatap sebelum akhirnya Maure menyerah.

“Oke.” Gumamnya sebelum menarik napas panjang dan mulai bicara. “Iya, tingkah aku caper berlebihan ke kamu—beberapa— itu awalnya karena aku gak suka sama Rumi. Aku sengaja caper ke kamu secara terang-terangan di depan orang lain biar Rumi tau kalau aku suka kamu. Tapi perasaannya sendiri, perasaan aku ke kamu selalu tulus dan selalu sama dari dulu.

Waktu pertama kali kita ketemu, aku pikir akhirnya aku ketemu orang baru, yang gak ada hubungannya sama semua ini. Tapi ternyata dari awal kamu udah terlibat, karena kamu kenal Rumi. Aku sempet mikir buat gak ngejar perasaan aku sama sekali. Buat nyerah sebelum mulai. Aku rasa itu yang bikin rasa suka aku ke kamu kesannya tiba-tiba, padahal dari dulu udah ada. Dan perasaan itu gak bisa ilang makannya sekarang aku merjuangin perasaan itu.

Kaisar, kamu tau kalau aku dari dulu cuma punya Heksa dan kamu. Waktu kita ketemu lagi di kampus, aku sendirian. Makannya aku pikir mungkin aku harus nyatain perasaan aku. Aku gak peduli sama Rumi dan hubungan kalian yang gak jelas itu. I want you for myself. For the sake of myself. Because I believe you could be the light of my life.”

Maure menyelesaikan paragraf panjangnya dengan hembusan napas. Selagi mengumpulkan kembali napasnya, ia memberikan waktu bagi Kaisar untuk mencerna semuanya. Jawaban Maure itu memang cukup banyak, cukup memerlukan waktu untuk dicerna. Sebagian dari jawaban itu adalah sesuatu yang sudah Kaisar ketahui, for the most part. Walapun begitu tetap saja, elaborasi ini masih mengejutkan untuknya. Maure harap, jawabannya kali ini cukup memenuhi rasa penasaran laki-laki itu. Tetapi entah perempuan itu sadar atau tidak, jawabannya hanya akan mengarah pada pertanyaan lain.

How can I be the light of your life when I don’t even know what kind of abyss that you’re trapped in?” Ucap laki-laki itu dengan suara pelan. Pertanyaannya itu tidak terasa seperti sebuah serangan, tidak terasa seperti sebuah tuntutan. Pertanyaan itu justru terdengar seperti sebuah keputusasaan.

Kali ini, Maure terdiam bak membeku. Seolah ia tidak memiliki kata yang tersisa untuk dikeluarkan setelah paragraf panjangnya tadi—the previous answer was the only thing she prepared. Kali ini, giliran Maure yang kebingungan untuk menjawab. Raut bersalah pun kembali muncul pada wajahnya.

“Kamu kemana aja selama ini—selama kita SMA? And no, I can’t believe Melbourne and studying abroad anymore. Pasti ada jawaban lebih buat hal ini juga kan? Aku bingung. Kamu tiba-tiba pergi, Heksa berubah, dan yang masih sama cuma Rumi.” Lanjut Kaisar. “Kamu kemana selama satu minggu kemarin? Dari mulai kamu yang jadi pendiem, slow response, sampai gak bisa dihubungin sama sekali. Kemana dan apa yang kamu lakuin sampai Heksa gak bisa ngasih tau aku? Apa ada kaitannya sama titik semua masalah diantara kita?”

Dan itu dia. Seberapa banyak yang coba Maure tutupi, pada akhirnya tercium juga. Jawaban yang tidak memuaskan hanya akan berujung pada pertanyaan baru, dan pada akhirnya Maure harus menjelaskan semuanya juga. Pada akhirnya, keduanya hanya berputar-putar; pada akhirnya semua kembali pada perkara paling awal: cerita yang belum diceritakan.

If I am part of these so-called tangled strings then I have the very right to know everything, Ole. Something, if you cannot tell everything yet. Or at least tell me one thing to understand you, Ole.”

Lalu, tahu apa hal yang sering terjadi saat mencoba meluruskan benang yang kusut? Entah kamu berputar-putar di kekusutan yang sama, atau kamu menciptakan kekusutan yang baru. Seperti yang sedang dilakukan Maure sekarang. Ia mencoba menyelesaikan satu perkara namun penyelesaiannya disaat yang bersamaan mengarah pada pertanyaan baru yang kemudian menjadi masalah baru.

“Emangnya kalau aku cerita, bisa bikin aku jadi lebih penting dari Rumi? Ditanya Ole atau Rumi aja kamu gak bisa jawab.”

“Ole—bukan gitu, aku kan udah bilang—”

“Kalau logikanya you have history, ya aku sama kamu juga punya history.”

But you decided to erase that history.”

“Ya soalnya apa pentingnya kalau ujungnya yang ada di mata kamu cuma Rumi?”

You haven’t listened to the whole story, Ole.

“Ya apa? Cerita apa? Kamu pengen aku cerita tapi aku juga gak tau cerita kamu.”

Kalau diibaratkan sebagai sebuah game, Maure dan Kaisar saat ini sedang saling menyerang. Mereka menyerang satu sama lain secara bergantian, dengan senjata rahasia yang dimiliki oleh masing-masing. Menunggu siapa yang memiliki serangan paling kuat, atau siapa yang lebih dulu kehabisan tenaga.

Keduanya masih berdiri di ruang tengah di tempat tinggal Maure, dikelilingi oleh keheningan. Maure bahkan merasa bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Kaisar pun tidak banyak bereaksi. Laki-laki itu hanya bisa menatapnya dengan perasaan yang campur aduk.

Maure memanfaatkan diamnya Kaisar untuk kembali bicara. “Kaisar, aku mau nanya yang terakhir—giliran aku yang nanya ini. Were you really fall for me? Or was it only the same old feelings? The one you'd always had for me.

Kaisar diam tanpa suara. Raut wajahnya masih sangat serius menatap Maure. Ia tidak terlihat sedang memikirkan jawaban atau bahkan tidak bisa menjawab. Entah untuk alasan apa, Kaisar justru terlihat seperti sengaja tidak menjawab. Perempuan itu menatap laki-laki di depannya dengan senyum pahit.

You asked why I never tell you anything right? Because I know nothing about you either. That makes us even.

Semuanya hancur. Benang yang baru dirangkai antara Maure dan Kaisar pun, kini ikut tertarik ke dalam gulungan benang kusut itu.


Dulu, aku nggak percaya sama ucapan dunia itu sempit. Aku nggak percaya sama plot cerita dimana semua karakternya berkaitan sama satu sama lain. Aku pikir, rasanya terlalu nggak masuk akal, nggak realistis, dan nggak mungkin terjadi di sekitar aku. Perlu lebih dari satu keajaiban buat plot kayak gitu bisa jadi kenyataan. Tapi nyatanya, aku sendiri justru terlibat dalam plot itu, tanpa aku sadari.

Aku udah cukup lama kenal sama Samudera. Heksa Samudera Khagi. Laki-laki jurusan Managemen Bisnis yang rambutnya sering gondrong dan hobinya olahraga. Aku udah cukup lama kena Samudera untuk tau beberapa hal tentang dia. Kalau ditanya soal Samudera, aku bisa nulis puluhan bahkan ratusan halaman tentang dia. Ada banyakkkkkk banget hal yang bisa aku tulis; mulai dari kelakuan isengnya, suara lembutnya, tawa renyahnya, rambut pirangnya (yang sekarang udah balik hitam), senyum hangatnya, permen yang selalu ada di dalam saku celananya, sampai gantungan kunci kesayangannya yang bentuknya kelinci. Ada banyak hal yang aku tahu tentang Samudera sampai bisa kutulis jadi buku. Aku tahu makanan kesukaannya, aku tahu hoodie yang paling sering dia pakai, aku tahu dia punya pajangan batu di kamarnya, aku bahkan tahu kunci sandi handphone-nya. Tapi dibanding hal-hal yang aku tahu, ada lebih banyak hal yang nggak aku tahu tentang Samudera.

Samudera itu, aneh; dia misterius. Selama aku kenal sama dia, banyak hal yang aku tahu tentang dia tapi disaat yang bersamaan, aku nggak tahu apa-apa sama sekali. Dia punya cara buat menutup diri tanpa harus membatasi diri dari orang lain. Sekilas, dia bener-bener kayak anak kuliahan pada umumnya. Dia kumpul sama temen-temennya, dia pergi main futsal sama temen-temennya, dia sibuk nugas, dia nyari part-time—semuanya keliatan normal. Until I fell in love with him and he couldn’t do the same.

Aku bingung. Kenapa? Apa yang bikin Samudera nggak bisa jawab iya aku juga tapi malah aku belum bisa? Berhari-hari aku pakai buat mikirin tentang apa yang salah, apa yang kurang dari kita. Disitu aku sadar kalau selama ini, selama aku kenal Samudera, aku nggak pernah tahu apa-apa tentang dia; dia nggak pernah ngasih tahu aku apa-apa. Aku kurang mengenal Samudera.

Aku nggak pernah tahu alasan dibalik Samudera yang katanya mau jadi dokter tapi malah masuk bisnis; atau alasan dari kesibukannya yang dari pagi sampai malam itu. Aku nggak pernah tahu kenapa Samudera selalu nolak bunga, kopi, cokelat, dan ajakan makan siang dari perempuan lain; termasuk kenapa aku pun nggak bisa masuk ke dalam hatinya. Aku pun nggak pernah tahu kalau selama ini Samudera itu terluka. Aku nggak tahu alasan dibalik insomnianya; atau penyebab dari sakit kepala dan muka capeknya. Aku nggak pernah tahu apa yang bikin Samudera melamun di pinggir danau dengan tatapan sendu; atau kenapa dia nangis di dalam mobil, tengah malam, sendirian. Aku nggak pernah tahu apa, hal apa, siapa, yang bikin Samudera nggak bisa bahagia; apa sebenernya, yang menahan dia dari bahagia.

I never know what burdens he carries on his shoulders.

Berulang kali aku nanya sama Samudera—aku bahkan memohon sama dia buat cerita, buat berbagi whatever it is on his shoulder sama aku. Hasilnya nihil. Samudera nggak pernah sekalipun cerita. Jawabannya selalu sama: beban dia bukan beban aku. Cerita dia pun, katanya, bukan cerita yang perlu aku pikirin. Satu kata andalannya adalah nanti. Nanti kalau semuanya udah selesai, dia pasti cerita—yang mana ini cuma versi halus dari kalimat aku nggak bisa cerita. Tapi, suatu hari, ada satu hal yang pernah dia ceritain ke aku. Yaitu cerita tentang perempuan manis yang dia sayang banget. Perempuan yang bikin dia nggak mau nerima perasaan dari perempuan-perempuan lain karena takut perhatiannya jadi terbagi-bagi. Perempuan yang jadi salah satu tujuan hidupnya saat ini. Perempuan itu, Maure, adiknya.

Maure yang sama yang selama hampir satu tahun ini jadi pelanggan tetap di toko bunga punya Oma ku. Perempuan yang selalu pesan white carnations setiap dia mampir. Perempuan yang selalu datang sendirian ke toko bunga, dan mungkin pergi sendirian juga ke pemakaman. Perempuan yang selalu menyapa aku dengan ramah, walaupun keramahan itu langsung hilang begitu seikat bunga carnations pesanan dia sampai di tangannya. Seenggaknya, itu yang aku tahu soal Maure. Tapi aku pun nggak pernah naruh perhatian khusus ke Maure sampai aku tahu nama lengkapnya. Maure Zianne K. She’s a Khagi.

And I connected the dots.

Maure adalah perempuan yang pernah Samudera bilang. Asumsi itu terkonfirmasi nggak lama kemudian. Asumsiku itu terkonfirmasi saat Maure untuk pertama kalinya datang ke toko bunga sebagai seorang Khagi; disaat dia menyapa aku sebagai adiknya Heksa Samudera Khagi. Aku masih inget dengan jelas; raut wajah yang sempat keliatan ragu sebelum akhirnya dia nyapa aku, tatapan fokusnya disaat lagi milih bunga buat bouquet ulang tahun Samudera, dan senyum tulusnya waktu dia minta aku jadi kurir bunganya. Juga, ucapan terima kasih karena aku nggak pernah sekalipun bertanya apa-apa tentang dia. Dan juga, ucapan terima kasih karena aku ada di samping kakaknya—oh if only she knew.

Perempuan di dalam ceritanya Samudera itu, adalah Maure, adiknya. Adik yang dia sayang, adik yang dia jaga, dan adik yang selalu jadi prioritasnya.

Sama hal nya kayak soal Samudera, aku pun nggak tahu banyak tentang Maure selain nama dan statusnya buat Samudera. Aku nggak tahu dia kuliah jurusan apa, aku nggak tahu rumahnya dimana, warna kesukaannya apa, nama sahabatnya siapa; aku nggak tahu hal-hal itu. On the other hand, aku tahu dia rutin ke toko bunga setiap bulan dan pesan satu bouquet bunga carnations. Aku tahu dia ada dimana—disaat semua orang lagi nyari dia. Tapi aku baru tahu semua orang nyari dia disaat Samudera akhirnya minta bantuan aku; Samudera akhirnya membiarkan aku sedikit mengintip ke dalam urusan-nya. Aku pun pelan-pelan, sedikit demi sedikit, mulai tahu pertarungan apa yang dihadapi sama Maure. Dimulai dari kunjungan rutin ke toko bunga berikut bunga carnations yang selalu dia beli; Maure lagi berduka. Aku memang nggak tahu banyak dan nggak punya hak untuk tahu juga. Tapi kalau boleh nebak, aku berasumsi kalau Maure memilih diam soal semua ini karena dia nggak mau orang lain tahu soal pertarungannya.

She is haunted by guilt.

Aku jadi tahu kenapa Samudera keliatan frustasi bahkan nyaris gila karena menghadapi semua ini. Karena Samudera juga nggak tahu apa-apa tentang Maure. Dia tahu ada sesuatu yang dia nggak tahu, but there is not much he can do about it. Karena cerita ini nggak dijalani sama Samudera sendiri, maka jalan ceritanya pun nggak bisa dia tentuin sendiri. Sama kayak Maure yang tahu kalau dia nggak bisa melewati semuanya sendirian, but she chose to anyway, karena menurutnya itu yang paling mudah. Mereka berdua terikat oleh satu benang yang sama tanpa pernah tahu apa yang terjadi di sepanjang jalannya.

Adik yang berpikir semua yang terjadi itu kesialannya dan kesalahannya, lalu kakak yang berpikir semua yang terjadi itu tanggung jawabnya. Keduanya saling menjaga perasaan satu sama lain, berusaha untuk nggak jadi beban untuk satu sama lain, tanpa pernah tahu kalau masing-masing sama-sama terluka dan berduka. Kalau masing-masing sama-sama tenggelam dalam masalahnya sendirian.

Dan aku, berdiri di tengah-tengah benang itu—between the one who bears burden and the one who bears guilt.


maure, heksa


“Ole, kamu mau diem terus gini?”

Suara lembut namun penuh rasa frustasi itu datang dari Heksa yang baru lima menit lalu memasuki kediaman Maure. Perempuan yang ia cari itu duduk pada salah satu kursi di dapur, dengan sebuah buku yang terbuka di atas meja di hadapannya. Buku yang sepertinya sengaja dibaca untuk menghindari percakapan. Namun sepertinya kali ini Heksa bertekad untuk membuat perempuan itu membuka mulutnya. Ia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya dan terus menatap Maure. Akhirnya, perempuan itu menutup bukunya, menyerah.

“Ya terus aku harus apa?” Balasnya, sama frustasinya seperti laki-laki itu.

Sepertinya ungkapan tenang sebelum badai itu selalu tepat. Beberapa waktu lalu, keduanya masih mengobrol santai dan bercanda—nyaris seperti dulu kala. Keduanya terlalu tenang dan damai sampai Heksa terkecoh, berpikir bahwa hubungan keduanya benar-benar pulih. Tapi ternyata, ketenangan itu lagi-lagi hanya ada pada permukaannya saja. Setidaknya itulah yang selalu diyakini oleh Heksa, bahwa tidak mungkin semuanya baik-baik saja ditengah semua ini—ditengah apapun yang melibatkan mereka.

“Cerita, Ole. Cerita.” Jawab Heksa dengan nada sedikit memohon. Sayangnya, Maure tetap bersikap tak acuh. “Baru sebentar ini aku mikir semuanya emang baik-baik aja dan nggak ada apa-apa. Tapi ternyata ada banyak yang harus diceritain, Ole.”

Selalu. Selalu ada yang harus diceritakan bahkan dalam masa-masa tenang mereka. Cerita itu memang dibiarkan menjadi cerita lama—menjadi cerita yang tidak diceritakan. Tapi apa bisa cerita itu menghilang dengan sendirinya? Jawabannya adalah tidak. Apa bisa sebuah benang yang kusut merapikan dirinya sendiri? Jawabannya juga tidak.

Maka cerita-cerita itu, seperti benang yang kusut, hanya akan menumpuk di satu tempat jika tidak diceritakan—jika tidak diselesaikan. Memang mulanya tidak terjadi apa-apa. Mulainya terasa baik-baik saja. Sampai mereka kehabisan waktu. Seperti melewati soal yang dirasa sulit dalam sebuah ujian. Selama beberapa waktu, kamu bisa dengan tenang mengerjakan soal-soal lain; menyelesaikan permasalahan lain yang lebih mudah. Tapi pada akhirnya waktu semakin menipis dan soal-soal sulit yang dilewati itu harus dikerjakan juga—atau seluruh ujian menjadi sia-sia. Seperti menjahit menggunakan benang yang super panjang, tapi tidak pernah memperhatikan arahnya dan benangnya kusut. Tapi bukannya melepas kusutnya, kamu malah melanjutkan menjahit. Awalnya memang tidak masalah, sampai kamu kehabisan benang, sampai benang yang baru ikut kusut, sampai seluruh jahitannya gagal. Pada akhirnya, kamu harus membetulan benang yang kusut itu. Dan sekarang, itulah yang terjadi di antara Heksa, Maure, dan dua orang lainnya. No matter how hard they tried to ignore those stories, everything will re-surface, alwaysand eventually, they will all meet the tangled point.

“Kamu ngapain ke rumah sakit?” Tanya Heksa tanpa basa-basi, dan dengan nada yang menuntut.

“Kamu ngapain? Sama Rumi lagi.” Maure bertanya balik, sekaligus menghindar dari pertanyaan yang diterimanya.

Respon itu membuat Heksa menghela napas, tanda-tanda rasa frustrasi mulai muncul di dalam dirinya. Namun, ia terlihat masih berusaha untuk bicara dengan setenang mungkin.

“Aku nggak sengaja ketemu dijalan, aku anterin dia sekalian.” Jawab Heksa. Maure tidak terlihat terlalu curiga dengan jawaban itu. Tetapi, bukan berarti jawaban itu cukup menjawab rasa penasarannya.

“Kalau soal obrolan kalian yang gak sengaja aku denger gimana? Kamu keep in touch sama Rumi? Selama ini kamu kabar-kabaran sama dia? Kamu bantuin dia? Bantuin apa?” Serang Maure bertubi-tubi.

Saat ini, keduanya sangat terlihat seperti kakak-beradik. Bukan, bukan karena penampilannya. Tapi dari bagaimana masing-masing bicara, bagaimana masing-masing menyisir rambut dengan tangan secara kasar, bagaimana masing-masing menghela napas—how they navigate anger; seperti sedang bercermin. Satu sifat yang seperti ciri khas dari seorang Khagi, mereka tidak marah secara meledak-ledak. Mereka menunjukan kekesalan, amarah, dan frustrasi dengan seminimal mungkin—setenang mungkin. Tanpa ada nada tinggi, tanpa ada tatapan nyalang, apalagi tindakan fisik; hanya ada tatapan serius yang semakin lama semakin menelisik dan atmosfer yang kian memberat. Meskipun dua Khagi ini, masih belajar memproses dan melampiaskan amarah dengan baik.

“Aku ngebantu Rumi buat ketemu dan baikan sama Mama nya.” Ucap laki-laki itu. “Iya, aku keep in touch sama Rumi tapi tetep seperlunya aja. Dia cuma ngabarin kondisinya sama progress hubungan dia sama Mama nya.”

“Jadi yang kamu sibuk ada urusan itu, ngurusin Rumi?” Tanya Maure tidak percaya.

“Sebagian, iya.” Jawab Heksa, kali ini dibumbui sedikit rasa bersalah.

“Pantes aja Rumi kayaknya santai banget aku sama Kaisar. Ternyata karena sekarang ada kamu. Dia keliatan santai aku ngambil Kaisar dari dia soalnya dia ngambil kamu dari aku.” Ucap Maure disertai senyum pahit.

Meskipun hubungannya dengan Heksa sendiri masih belum sepenuhnya baik, Maure tetap percaya bahwa di dunia ini, kalau seluruh dunia memusuhinya, Heksa akan menjadi satu-satunya orang yang memihaknya. Jauh di dalam dirinya, ia mempercayai bahwa saat ia kehilangan segalanya, Heksa akan menjadi satu-satunya yang ia miliki. Dan ia sangat ingin mempercayai bahwa sampai kapanpun, dalam situasi dan kondisi apapun, ia tidak akan pernah kehilangan Heksa. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu—tidak sesempurna itu.

“Kamu itu orang terakhir yang aku harap ada di pihak Rumi.” Ucap Maure, kali ini dengan suara yang lebih pelan; suara yang nyaris terdengar seperti sebuah lirihan. Suara yang diiringi oleh kekecewaan. “I can lose Kaisar but not you.

Pernyataan itu, caranya berbicara, tatapan yang dilayangkannya, semua membuat Heksa goyah. Semua itu tidak nyaman untuk dilihat—menyakitkan. Mengetahui bahwa dirinya membawa kekecewaan untuk Maure, bahkan secuil pun, hal itu menyakiti dirinya. Tapi isi kepalanya saat ini terlalu kusut untuk bisa berpikir, bersikap, dan bertindak dengan baik. Dan tindakan bodoh yang diambilnya adalah, mengabaikan hatinya yang goyah. Mengabaikan keinginannya yang langsung menghentikan pembicaraan, mengabaikan apapun itu yang sedang dibicarakan seperti tidak pernah terjadi. Sebaliknya, ia malah bersikeras mencoba berdiri di tengah.

“Terus Rumi berhak kehilangan semuanya?”

Terkadang, kita tidak bisa hanya menyenangkan satu pihak saja. Terkadang, justru, kita harus menyenangkan semua pihak—terdengar tidak realistis, ambisius, selfish but selfless at the same time. Sesuatu yang Heksa sedang usahakan. Namun malah berujung pada situasi yang tidak mengenakan. Berujung menyakiti salah satu pihak.

“Kamu beneran milih buat diem di pihak Rumi?”

Selama keduanya saling mengenal—yaitu seumur hidup, keduanya tidak pernah terlibat dalam percakapan yang serumit ini. Percakapan yang menguras energi karena emosi yang naik turun seperti rollercoaster. Dari rasa penasaran berubah kesal, berubah kaget dan kecewa, berubah marah, berubah khawatir, lalu kecewa lagi dan marah lagi. Seolah setiap jenis emosi yang ada di dunia ini bergiliran mengisi tempat. Keduanya tidak pernah terlibat dalam percakapan yang sekusut ini.

“Ya Tuhan nggak gitu, Ole. Dengerin dulu. Aku bakal selalu ada di pihak kamu. Kalau enggak, apa aku bakal diem selama ini? Disaat aku tahu kalau yang kamu lakuin nggak semuanya bener?” Heksa kembali bicara dengan nada lembutnya. Sekilas, raut khawatir nampak di wajahnya; khawatir dirinya sudah menyakiti Maure terlalu jauh. “Tapi kalau aku diem, itu cuma bakal bikin kamu jadi pihak yang jahat, Ole. Aku nggak mau itu. Aku nggak mau kamu jadi orang jahat yang ngerampas atau bahkan ngancurin kehidupan orang lain.”

“Kamu lupa siapa yang lebih dulu ngerampas dan ngancurin kehidupan orang lain?”

“Oke, sorry pemilihan kata aku salah.” Heksa mengangkat kedua tangannya sebagai gestur maaf. “Gini Ole, aku nggak mau kamu kemakan dendam. Aku nggak mau kamu kemakan sama rasa nggak suka kamu ke Rumi.”

“Tapi kamu gak harus nyakitin aku dengan ngebantuin Rumi diem-diem di belakang aku.”

“Aku bantu Rumi supaya masalah kita selesai juga, Ole.”

Pada akhirnya, turning point yang pernah Maure anggap sebagai titik awal yang lebih baik itu, tidak pernah bermakna demikian. Turning point itu justru menjadi titik awal dimana semuanya mulai kusut. Ah, atau tepatnya, *turning point itu tidak pernah ada sama sekali. Faktanya, tidak ada yang benar-benar mengabaikan masa lalu. Kaisar tidak semata melupakan Rumi dan fokus pada hubungannya dengan Maure. Heksa pun tidak semata mengabaikan masalah yang ada di antara mereka. Dan ternyata, Maure sendiri pun tidak pernah mengabaikan masa lalunya sendiri.

“Sekarang giliran kamu yang jawab pertanyaan aku, kamu ngapain ke rumah sakit?” Tanya Heksa, membawa kembali percakapan ke titik awal; enggan berhenti sebelum pertanyaan itu terjawab. Laki-laki itu menatap Maure dengan alis yang terangkat, menunggu—dan menuntut jawaban. Meskipun begitu tetap ada harap-harap cemas pada wajahnya. “Kamu bukan ke psikiater ‘kan? Kamu bilang ke aku kamu udah nggak kesana lagi.”

“Iya aku ke psikiater.” Jawab Maure pada akhirnya. Ia mengalihkan pandangannya dari Heksa, merasa tidak sanggup menemui matanya.

Kali ini, giliran Heksa yang ditimpa oleh tsunami kekecewaan. Rasa tidak percaya, rasa kecewa, rasa marah, sampai rasa bersalah; semuanya tercampur aduk dan membentuk gelombang demi gelombang yang menghantamnya. Sangat kuat sampai kakinya terasa seperti mau ambruk. Cukup kuat sampai membuat kedua matanya berkaca-kaca.

“Jadi kamu bohong selama ini? Yang kamu bilang kamu nggak kenapa-kenapa itu, semuanya bohong?” Tanya Heksa tidak percaya, masih berharap informasi yang baru di dapatnya adalah sebuah kebohongan. “Soal Mama Anne juga ‘kan? Kamu diem-diem ke Bandung setiap bulan bukat ke makam Mama Anne. Kamu nggak pernah mau aku temenin karena kamu nggak mau ketahuan. You’re always grieving all this time but you never tell me?” Dan gelombang emosi yang sama sepertinya juga menghantam Maure, karena perempuan itu kini menatap Heksa dengan mata yang berkaca-kaca juga.

We’re equally lying to each other anyway.” Ucapnya pelan.

“Ole,” Mulai Heksa berat. “Aku nawarin diri buat nganter Rumi karena entah kenapa aku dapet feeling kalau aku harus nyari kamu di rumah sakit. Dan aku harap feeling aku salah karena rumah sakit itu tempat terakhir dimana aku berharap bisa ketemu kamu. Karena aku kayaknya nggak akan sanggup kalau ternyata feeling aku, kecurigaan aku bener. Aku juga masih berusaha berpikir positif waktu tau kalau kamu, setiap bulan, beli bouquet bunga—bunga kesukaan Mama Anne. Sampe aku berdiri disini aja aku masih berharap kalau feeling aku salah. I am still hoping I can trust your words.

Laki-laki itu menatap Maure gusar. Ia masih berusaha mencerna informasi yang ia dapatkan—yang sekarang terkonfirmasi. Namun ia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kecewa dan marah. Pada Maure, pada dirinya sendiri, pada situasi yang mengikat keduanya.

“Ada berapa banyak sih yang nggak kamu ceritain ke aku, Ole?” Heksa mengacak rambutnya frustasi; juga sudah mulai kehabisan energi.

Maure hanya bisa memalingkan wajah sebagai jawaban.

“Ole, kalau semisalnya aku nggak ikut campur, kapan kamu mau beresin semua ini?” Heksa pun melanjutkan. “Aku ngikutin keputusan kamu, buat berhenti bahas semuanya. Aku nyoba buat percaya kalau kita, khususnya kamu emang nggak kenapa-kenapa. Tapi liat sekarang? Kamu minta semua orang buat berhenti mikirin masa lalu tapi kamu sendiri lagi dimakan sama masa lalu, Ole. Dan di atas semua itu, kamu nggak pernah cerita sama aku. Kenapa segala sesuatu tentang kamu aku harus taunya dari orang lain? Aku ini di hidup kamu apa sih?”

“Aku gak mau jadi beban—”

“Aku Abang kamu, Ole.” Potong Heksa kesal. Lagi, laki-laki itu mengacak rambutnya sendiri.

We’re half siblings.” Timpal Maure pelan. Ucapannya itu membuat Heksa semakin frustrasi.

For God’s sake, aku nggak peduli. Kamu adik aku.” Tegas Heksa. “Berhenti bilang kalau beban kamu, kesulitan kamu, rasa sakit kamu, bukan tanggung jawab aku. Kamu itu tanggung jawab aku, Ole. Semua tentang kamu itu tanggung jawab aku.”

Heksa mengakhiri kalimatnya dengan hembusan napas kasar. Ia mengambil beberapa langkah mundur sampai kakinya membentur pada bagian belakang sofa. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya disana sambil memijat pelipisnya. Selama beberapa saat, tidak ada yang bersuara; tidak ada yang menaikan pandangan dan saling bertatap muka. Keduanya sama-sama mengalihkan pandangan, sama-sama bungkam; mengambil waktu sejenak untuk setidaknya sedikit membereskan isi kepala.

Setelah atmosfer dirasa sudah tidak terlalu menyesakkan lagi, Heksa kembali membuka mulutnya.

“Sekarang kamu yang mau gimana? Kamu kuncinya, Ole.” Ucapnya pelan. “Semua ini nggak akan ada beresnya kalau kamu diem terus.”

“Nanti dulu, aku lagi gak pengen mikirin itu.”

Lagi-lagi, itu jawaban yang diberikan. Nanti. Sebuah jawaban yang digunakan bukan untuk menjawab pertanyaan—atau permintaan Heksa, melainkan menghindarinya. And that answer was the last straw.

“Kamu mau nunggu berantakan?”

Pertanyaan itu meluncur seperti sebuah panah yang membuat Maure diam tak berkutik. Pertanyaan yang tajam, dan ia sendiri tahu betapa benarnya itu. Betapa pertanyaan itu juga adalah pertanyaan yang sering ia tanyakan pada dirinya sendiri. Pada saat yang bersamaan juga merupakan pertanyaan yang sangat ia hindari. Pertanyaan yang tidak bisa ia jawab, bukan karena ia tidak memiliki jawaban tetapi justru karena ia tahu jawabannya. Bahwa Maure memang sedang menghindar, melarikan diri; entah menunggu masalah selesai sendiri, entah menunggu kehancuran seperti kata Heksa. Menunggu apa yang mulai kusut ini jadi semakin kusut.

I warned you.” Ucap Heksa final sebelum berjalan menuju pintu, meninggalkan Maure yang masih diam di tempatnya.