strings: tangled — Truth Unfolded: Maure, Arumi, dan dendam—the eleventh string
maure, arumi, kaisar
Disaat kita memiliki sesuatu yang berharga, dibanding pamer, kita lebih sering memilih untuk menyembunyikan hal itu bukan? Karena takut ada yang iri. Karena takut ada yang ingin. Karena takut diambil orang lain.
Bagi sebagian orang, seseorang—sebuah hubungan, bisa jauh lebih berharga dibanding harta apapun.
“Yang di foto ini siapa, Ole?”
“Itu Kaisar.”
Bagi Maure, seseorang yang ingin ia sembunyikan itu, adalah Kaisar. Satu orang tersisa yang bisa ia sembunyikan itu, adalah Kaisar.
“Kaisar ngga main kesini bareng Kak Heksa?”
“Kenapa nanya-nanya? Lo suka?”
Dari sudut pandang Maure, Kaisar adalah hal terakhir yang ia miliki, yang tidak ada kaitannya dengan Arumi. Seseorang yang tidak perlu ia bagi pada gadis itu. Her little secret she wanted to gatekeep forever. Mulanya, alasannya sesederhana karena ia menyukai Kaisar. Sebagai teman, sebagai laki-laki. Perasaan yang sederhana itu cukup untuk membuatnya tidak ingin kehilangan laki-laki itu, terlebih pada Arumi. Now that Arumi came into the picture, her reasoning shifted. Ia tidak mau berbagi Kaisar pada Arumi karena ia tidak suka dan tidak mau melihat gadis itu terus menerus, ikut memiliki apa yang ia miliki.
“Lo suka?”
“Kepo. Gak usah nanya-nanya lagi, kenal juga enggak.”
She gatekept him. She created a line, a boundary between Kaisar and Arumi. Though, she kind of foresaw the possibility, the connected strings between them.
Maure sempat merasa janggal akan sikap Arumi yang sering bertanya tentang Kaisar, seolah sengaja memancing informasi—atau mungkin reaksi. Saat itu, mungkin untuk pertama kalinya, Maure tidak ingin berburuk sangka pada Arumi. Ia berharap prasangka nya hanyalah prasangka. Namun di atas semua itu, ia paling berharap bahwa semesta tidak terlalu jahat padanya.
Tapi apakah sekedar berharap pada semesta saja sudah cukup? Nyatanya tidak. Semesta justru menunjukkan ketidak ramahan yang berturut-turut pada Maure. Tidak lama setelah ia kehilangan ibunya, ia menemukan fakta bahwa ia juga, mungkin, akan segera kehilangan Kaisar.
Saat memasuki masa SMA, Maure melihat Kaisar dan Arumi berjalan bersama sepulang sekolah. Pemandangan itu mengungkap fakta bahwa keduanya saling mengenal. Fakta yang saat itu, ingin Maure anggap sebagai kebetulan semata. Pada hari ulang tahun laki-laki itu, Maure menemukan fakta tambahan bahwa Kaisar dan Arumi lebih dari saling mengenal. Satu-satunya orang yang ia pikir tidak terlibat dalam benang kusut ini, ternyata sudah lebih dulu menjalin benang.
She lost her hope.
“Lo seneng ya, Rum, diem-diem ngetawain gue setiap gue ngomongin Kaisar? Lo pasti puas banget ngebego-begoin gue.”
“Gue salah apa lagi sekarang?”
“Gue liat lo sama Kaisar kemarin.”
Sama seperti Maure, Arumi pun melihat Kaisar sebagai seseorang yang berharga. Sebagai satu satunya yang ia miliki, yang tidak bisa Maure miliki. Untuk pertama kalinya, ia memiliki sesuatu—seseorang yang tidak bisa Maure jangkau. Someone she had closer, deeper relationship with. Someone whom she knew better than her. Someone, that would likely to chose her. Someone who would be on her side forever.
“Terus masalahnya apa?”
Tidak ada yang salah, kalau hanya dilihat dari permukaan. Tidak ada yang aneh pula dari fenomena mutual friends. Tapi bagi Maure, takdir ini, benang yang terjulur di antara mereka ini, terlalu lucu untuk disebut sebuah kebetulan. Terlalu lucu bagaimana benang-benang yang ada disekitarnya, entah bagaimana, selalu terhubung pada Arumi juga.
“Kenapa sih, anehnya—lucunya, orang-orang yang gue punya semuanya harus terlibat sama lo juga?”
“Gue lebih dulu kenal Kaisar dibanding lo. Bukannya fair ya? Lo punya Ayah, Tante Anne, Ami Kiana, Kak Heksa…Rugi banget kalau Kaisar ada di sisi gue?”
“Punya? Apa yang gue punya sekarang?”
He was her last string of hope—someone she could use as an escape from the strings around her.
“Tapi Rum, jangan terlalu seneng. Kaisar ada di pihak lo karena dia gak tau apa-apa kan?”
maure, arumi, zianne
Seperti yang sudah dibilang, kita sering kali bersikap protektif dan memilih untuk menyembunyikan sesuatu yang berharga, bukan?
Maure memang terbiasa dengan yang namanya berbagi. Selain karena Zianne adalah wanita yang murah hati dan sering mengajarkan tentang berbagi kebaikan, juga karena Maure ditakdirkan untuk selalu berbagi. Contohnya, berbagi Ayah. Sedari kecil ia belajar bahwa keluarganya sedikit berbeda dari keluarga pada buku cerita. Ayahnya bukanlah miliknya sendiri. Iya harus berbagi Ayahnya dengan anak lain yang merupakan kakak laki-laki nya. Dan lama-lama ia belajar juga, bahwa justru Heksa lah yang harus berbagi Ayah dengannya.
Zianne menjadi seseorang yang bisa Maure miliki sepenuhnya. Tidak seperti Ragalih, wanita itu hanya milik Maure seorang. Wanita itu hanya memiliki Maure seorang sebagai anaknya. Maka, Maure pun jadi bersikap protektif, posesif. Karena di antara semua orang, Zianne adalah yang paling berharga buatnya.
Ia pun, kalau bisa, ingin menyembunyikan Zianne dari semua orang.
“Gue jarang liat tante Anne deh sekarang.”
“Terus?”
“Kangen aja, udah lama ngga ketemu.”
“Mama gak kangen sama lo.”
Kalau bisa, Maure paling ingin menyembunyikan Zianne dari Arumi.
Sayangnya, hal itu tidak mungkin sama sekali karena sudah sejak lama, Arumi terhubung lewat benangnya. Karena biar bagaimanapun, nama Zianne Amora juga lah nama yang tertulis di atas akta kelahiran Arumi. Harus Maure akui, ia terkadang kesal karena Zianne terlalu baik. Dan terkadang, ia kesal karena fakta itu membuatnya semakin mustahil untuk bisa menyukai Arumi.
“Ole besok pulang sekolah ngga ada agenda?”
“Kenapa nanya-nanya?”
“Ikut gue ke pameran yuk?”
“Males ah, pameran gitu nanti lama. Lo gak punya temen emangnya sampe ngajak gue?”
“Gue ngga ada temen yang suka pameran.”
“Terus emangnya kita temenan?”
“Di pamerannya nanti ada handcrafts bazaar juga, lo bisa beli hadiah buat tante Anne.”
“Yaudah.”
“Besok gue yang nyamperin ke sekolah lo deh.”
“Iya iya.”
Meskipun untuk menyukai Arumi sepertinya sulit, seiring tumbuh dewasa, sikap kekanakan Maure yang sering memusuhi Arumi tanpa sebab semakin berkurang. Keduanya memang tidak dekat dan tidak akrab, tetapi tidak lagi seperti angin ribut. Maure bahkan membiarkan fakta bahwa dirinya pernah melihat Arumi dan Kaisar bersama, berlalu begitu saja. Benar, ada masa dimana Maure memilih damai dan tenang.
Sampai Maure kehilangan satu-satunya orang yang berharga baginya itu.
“Ma?”
Panggilan itu disambut oleh keheningan.
Keheningan yang tidak biasa menyelimuti rumahnya yang selalu hangat itu. Semua lampu menyala, namun entah kenapa rasanya suram. Tidak ada suara televisi, tidak ada lantunan musik yang biasa diputar lewat turntable, tidak ada wewangian lilin aromaterapi kesukaan ibunya, tidak ada tanda kehadiran Zianne. Hal yang pertama Maure tuju adalah stop kontak terdekat di ruang tengah. Ia segera menyalakan ponsel barangkali ada pesan masuk dari ibunya.
Hanya ada dua pesan masuk.
Ole, hari ini mau makan apa? dan Ole, pulang jam berapa hari ini?
Pesan yang terlihat seperti pesan biasa itu, entah kenapa memunculkan rasa tidak nyaman. Seolah ada yang terlewatkan. Rasa tidak nyaman itu membuat Maure segera menjelajahi rumah, mencari sosok Zianne. Setelah gagal menemukan wnaita itu di lantai satu, ia beranjak ke lantai dua, menuju kamar Zianne.
Begitu pintu kamar terbuka, Maure disambut oleh pemandangan yang tidak pernah ia pikir akan ia saksikan dalam hidupnya. Pemandangan yang bahkan tidak pernah muncul bahkan dalam mimpinya sekalipun. Pemandangan yang kini membuatnya merasa seperti bermimpi—berharap sedang bermimpi.
Di tengah ruangan, tubuh kaku dari Zianne Amora menggantung di langit-langit. Sebuah tali besar menjadi penghubung antara dirinya dengan tiang penyangga di langit-langit; dan menjadi pemutus nyawanya.
Zianne Amora commited suicide.
Zianne Amora yang penuh cinta. Zianne yang penuh kasih sayang. Zianne yang selalu tersenyum. Mama Anne-nya.
Apa yang ada di depan matanya membuat Maure merasa seperti nyawanya ikut terbang meninggalkan raganya. Terkejut saja tidak cukup untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Matanya terbuka lebar dengan air mata yang mulai berkumpul. Tubuhnya bergetar hebat seiring ia mengambil langkah mundur hingga punggungnya membentur tembok dan membuatnya ambruk ke lantai. Napasnya mulai terengah seiring tangis yang mulai keluar.
“Iya, Ole, kenapa?”
“Abang…sini…”
“Hah? Kamu kenapa nangis? Ada apa, Ole?”
“Abang kesini…tolongin aku…Mama—”
“Kenapa? Kamu tarik napas dulu sebentar…Ngomong pelan-pelan Mama Anne kenapa?”
“Mama…gantung diri…”
To say she was sad was not enough—never enough. Grief was more than sadness and tears. It was filled with pain, sorrow, longing, regret, and even anger. She was tormented, wounded with agony, drowned in deep regret, and confused. Emotions came in all at once she got confused of which she should absorb first. The anger? The sadness? Or maybe the confusion itself. She did not know. She did not know what or how she should feel about everything. She got thunderstruck by a train of emotions she could not even cry anymore. She did not have the energy to cry.
Her world collapsed and she was in chaos. Alone.
Lalu, seolah semesta masih belum cukup jahat kepadanya, cerita berlanjut dengan sebuah adegan yang menjadi titik puncak kebenciannya pada Arumi, juga pada dirinya sendiri. The climax of her villain origin story—and the beginning of her grief.
“Ole…” Mulai Arumi pada gadis yang sibuk memetik bunga di halaman belakang rumahnya itu. “Hari itu gue ketemu Mama Anne.”
Bruk
Keranjang krem yang setengah penuh dengan bunga krisan itu jatuh ke atas rumput, isinya berserakan kemana-mana. Hanya tersisa satu bunga yang selamat, bunga yang berada di tangan Maure. Namun sepertinya umur bunga itu juga tidak akan lama kalau melihat tangan Maure yang memegang tangkai bunga itu dengan sangat kuat. Gadis itu berbalik perlahan, menghadap lawan bicaranya dengan raut wajah bingung. Skenario mulai terancang di kepalanya. Skenario yang ia harap tidak benar.
“Mama Anne nitip ini ke gue, buat lo.” Arumi mengulurkan tangannya, menyerahkan paper bag kecil berisi assorted chocolates pemberian Zianne beberapa hari lalu. “Mama Anne minta gue buat nyuruh lo pulang cepet. Lo gak bisa dihubungin soalnya hp lo lowbat. Waktu itu gue kira Mama Anne nyuruh lo pulang doang dan ngga ada yang penting…”
Berantakan. Itu adalah apa yang dirasakan oleh Maure tepat setelah otaknya mencerna semua ucapan Arumi. Ia merasa berantakan; hati yang belum sembuh sama sekali itu kembali hancur mendengar fakta yang baru diterimanya. Penyesalan, rasa bersalah, namun di atas semua itu adalah kekecewaan dan amarah.
“Kenapa baru bilang sekarang?” Mulutnya hanya mampu mengucapkan kalimat itu, untuk sekarang. Seberapa besar amarahnya, gadis itu tidak punya energi untuk marah. “Kenapa—”
Harusnya, ia marah meledak-ledak. Inginnya, ia marah meledak-ledak. Tapi sungguh, Maure tidak punya energi sama sekali bahkan sekedar untuk membentak.
“Gue mau bilang tapi gue pengen banget ke pameran itu, jadi gue…ngga langsung bilang ke lo biar lo tetep nemenin gue.”
Ah, benar. Pameran yang sangat ingin Arumi datangi, yang diadakan di hari itu. Dan karena Arumi meminta, Maure setuju untuk ikut menemaninya. Maure pergi karena Arumi. Ia terlambat pulang karena Arumi. Skenario yang ia harapkan tidak benar itu, ternyata benar.
“Gara-gara lo.” Ucap Maure dingin.
“Hah?”
“Mama meninggal gara-gara lo.” Barulah sekarang, amarah itu mulai menguasai dirinya.
“G—gue?”
“Kalau lo gak minta gue nemenin lo ke pameran itu, kalau lo gak nunda-nunda titipan Mama, kalau lo ngasih tau gue detik itu juga…” Serang Maure sambil mengambil langkah maju. Rasa marah terdengar jelas lewat suara dan sorot matanya. Namun, tatapan nyalang itu tetap mengandung perasaan terluka juga. Terlihat dari air mata yang mulai berkumpul. “Kalau gue pulang lebih cepet gue bisa—gue bisa—”
Sekali lagi, Maure merasa berantakan dan hancur. Berbagai perasaan berenang di dalam dirinya secara bersamaan.
“Kalau lo gak egois dan mentingin pameran yang gak seberapa itu, gue bisa pulang lebih cepet dan bisa nyelamatin Mama.”
“Ole, gue—”
“Gue gak mau liat muka lo lagi.”
She needed someone to blame for her unfortunate and cruel fate. Coincidentally, she was always at the crime scene. So, she had no choice but to resent her; for her involvement, and for what she did. And as time passed by, she resents her simply for existing.
maure, arumi, and the present
Apa yang dimulai dengan pertengkaran sepele antara dua anak itu, ternyata jauh lebih serius dari yang dikira. Apa yang dianggap akan dilupakan dalam hitungan hari, nyatanya seperti akan dibawa sampai mati.
“Sampai kapan lo mau benci sama gue soal hal ini?”
Ini bukan pertama kalinya Maure mendapat pertanyaan itu dan Arumi pun bukan satu-satunya orang yang bertanya demikian. Faktanya, orang-orang disekitarnya sedikit-kurang menanyakan hal yang sama padanya. Tentang sampai kapan kebencian itu akan dibawa. Maure pun, pernah menanyakan hal yang sama. Kepalanya pernah cukup tenang dan pikirannya cukup jernih untuknya menyanyakan hal itu kepada dirinya sendiri.
Sampai kapan ia akan membenci Arumi?
Namun setiap kali ia melihat Arumi, ia selalu mendapat jawabannya. Ah, tepatnya, pertanyaan itu hilang dengan sendirinya karena Maure merasa dirinya tidak perlu membuang waktunya untuk mempertanyakan hal seperti itu. Ia tidak perlu membuang waktu untuk memikirkan Arumi kalau orangnya saja tidak memikirkan dirinya, perasaannya, dan apa yang sudah dilakukan padanya. Untuk apa berpikir untuk berhenti membenci kalau orang yang dibenci masih bersikap tidak tahu diri?
“Sampai lo sadar kalau lo salah.”
Atau mungkin, sampai ada yang mengucap maaf.
Maaf karena tidak mengerti situasi. Maaf karena bersikap egois. Maaf karena gagal memahami luka yang sedang berduka. Maaf karena dengan mudah melupakan kejadian yang menghantu Maure seumur hidupnya itu. Maaf karena tidak memilih untuk tinggal di samping Maure. Maaf karena memilih untuk bahagia sendirian. Atau sekedar maaf tanpa klausa yang jelas. Sesederhana kata maaf yang diucapkan sebagai rasa simpati. Maaf yang diucapkan sekedar untuk menyenangkan pihak yang mendengar.
“Gue ngga salah. Gue bukan penyebab kematian Mama Anne.” She was given chances to say it, but she chose not to. “Mama Anne bikin keputusan itu. Mama Anne yang bikin keputusan itu, bukan gue.”
“Minta maaf itu bukan cuma karena bikin salah. Minta maaf juga bentuk dari simpati.” She had the thought of forgiving her in mind, but she chose not to. “Jangan salahin gue kalau gue benci sama lo sampai mati.”
Dan mungkin juga, maaf karena terlalu benci. Maaf karena dibutakan oleh amarah. Maaf belum bisa menerima sepenuh hati. Maaf, sudah menjadi tempat pelampiasan duka.