strings; tangled — Truth Unfolded: Kaisar, Arumi, dan Rahasia — the ninth string
kaisar, arumi
“Kamu ngga punya ayah? Sama, aku juga.”
Itulah awal mula percakapan yang terjadi antara dua anak, laki-laki dan perempuan, di sebuah ruang kelas.
“Nama aku Rumi.” Mulai si anak perempuan lagi. “Arumi Niana.”
“Aku Kaisar Jisaka.” Balas si anak laki-laki.
“Oh, kayak raja!” Seru Arumi, merasa tertarik. Kemudian, ia terlihat memikirkan sesuatu, yang membuat Kaisar ikut berpikir juga.
“Kenapa?”
“Kamu dipanggilnya apa?” Tanya gadis itu yang kini terlihat penasaran.
“Kaisar atau Aji.” Jawab Kaisar. “Di rumah dipanggil Aji. Di sini dipanggil Kaisar.”
Sesuai penampilannya yang terlihat; bambi eyes, rambut yang tersisir rapi, dan bibir yang membentuk senyum secara alami, Kaisar juga bicara dengan nada pelan—tenang dan lembut. Begitu pula dengan gerak tangannya membawa pensil warna menari-nari di atas kertas. Atau dengan caranya menatap teman baru di hadapannya; teduh, sopan, meskipun sedikit penasaran.
“Aku manggilnya Aji, boleh?” Tanya Arumi lagi sambil tersenyum ramah. Senyuman yang membuat Kaisar dengan sendirinya menjawab.
“Iya, boleh.”
Dan percakapan itu juga menjadi awal mula dari sebuah hubungan pertemanan antara dua anak yang berbagi sentimen yang sama. Dua anak yang memiliki takdir yang serupa. Memang benar kalau orang bilang kita akan lebih mudah menyukai orang yang mirip dengan kita. Setidaknya, logika sederhana itu berlaku pada kedua anak itu.
Yang satu, baru saja kehilangan ayahnya satu tahun lalu. Yang satu, tidak pernah memiliki ayah sejak lahir.
Sering dibilang bahwa menjadi anak kecil itu mudah dan menyenangkan. Walau kenyataannya tidak seperti itu, secara general memang bisa dibilang kalau masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan. Terbebas dari tuntutan untuk mengerti banyak hal, dan cukup hanya dengan pola pikir yang sederhana. Menjadi anak-anak itu artinya tidak perlu memperlajari permasalahan orang dewasa.
Walaupun terkadang, beberapa anak sudah dihadapkan pada situasi yang tidak sederhana.
“Ayah kamu kemana?” Tanya Arumi di sela-sela makan.
“Kecelakaan pesawat.” Jawab Kaisar, yang juga sedang makan. Keduanya sedang memakan bekal makan siang masing-masing di kantin sekolah. “Ayah aku pilot.”
“Ayah kamu keren.” Komentar gadis itu setelah beberapa saat. “Aku ngga pernah punya Ayah.”
“Gak pernah ketemu sama ayah kamu?” Tanya Kaisar yang kini menaruh alat makannya untuk memberikan perhatian penuh pada Arumi.
“Iya. Aku ngga tau ayah aku siapa.”
Keduanya terdiam. Sedikit ironis bahwa anak-anak sama tereksposnya pada emosi-emosi yang dirasakan oleh orang dewasa. Terhindar dari permasalahan orang dewasa tidak sama seperti terhindar dari pertarungan emosi yang dialami orang dewasa. Rasa berduka saja sudah sulit dicerna, apalagi duka yang bercampur dengan rasa penasaran, kekecewaan, dan kebencian?
“Mungkin kamu keluar dari telur.” Ucap Kaisar dengan ekspresi dan nada bicara yang datar. Pertanyaan konyol itu berhasil membuat keduanya sama-sama tertawa. Atmosfer berat yang sempat menyelimuti pun tergantikan oleh atmosfer yang menyenangkan.
“Kamu lucu deh.” Kekeh Arumi. “Jadi temen aku terus ya?”
“Iya.” Angguk Kaisar.
“Sampai lulus sekolah.”
“Iya.”
“Sampai besar?”
“Iya boleh.”
Kaisar selalu diajarkan oleh ibundanya kalau janji itu sebisa mungkin harus ditepati, dan kalimat apapun yang keluar dari mulut bisa saja menjadi sebuah janji. Karena itu, ia menepati ucapannya satu tahun lalu: untuk menjadi teman Arumi sampai lulus sekolah, bahkan sampai mereka melanjutkan ke sekolah baru. Dua anak sekolah dasar itu kini berubah menjadi beranjak dewasa; seragam putih-merah pun kini berganti putih-biru.
“Kemarin ngapain aja, Rum?”
Berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing adalah sebuah kewajiban. Entah itu hasil laporan penilaian di setiap semester, sekolah menengah pertama mana yang akan dipilih, teman yang menyebalkan di kelas, cerita liburan akhir tahun, dan sebagainya.
“Oh iya, aku belum cerita! Kemarin aku nemuin anak kucing di jalan, terus aku coba cari shelter dan ketemu. Ternyata jadi dokter hewan seru, bisa nolong dan interaksi sama banyak binatang. Kayaknya sekarang cita-cita aku jadi dokter hewan deh.”
“Oh ya? Menurut aku kamu cocok jadi dokter hewan. Kamu anaknya suka binatang, perhatian, lembut…ah, kamu juga berani.”
“Beneran? Kalau gitu kamu harus temenan sama aku sampai jadi dokter hewan.”
“Iya, aku temenin.”
“Kalau kamu ada rencana mau jadi apa, Ji?”
“Aku?” Laki-laki itu terlihat berpikir keras sejenak, lalu menjawab dengan nada datar. “Juragan kos.”
“Hahahahahaha kenapa kamu suka ngelawak sih.”
Janji baru pun, dibuat. Bukan lagi sekedar janji tentang akan menjadi teman bermain atau teman bicara satu sama lain. Tetapi janji tentang menjadi pendukung mimpi masing-masing.
“Kemarin kamu pulangnya malem ya, Ji?”
“Iya.” Angguk Kaisar. “Aku harus nemenin adiknya Heksa dulu.”
“Adiknya Heksa?”
“Ole.”
Kadang, ada nama-nama familiar yang masuk ke dalam cerita keduanya. Nama-nama yang kadang membuat Arumi cemburu karena ia jadi harus membagi temannya. Setidaknya itu yang Kaisar kira saat menyadari bahwa Arumi tidak terlalu senang dengan cerita tentang Heksa dan Maure. Padahal, tidak peduli berapa banyak teman baru yang di dapat, bagi Kaisar, Arumi tetap yang nomor satu dan sebaliknya. Bahkan saat ia harus membagi waktunya dengan teman yang lain, Arumi akan selalu mendapat porsi yang paling besar.
“Bisa kok, nanti aku pulang duluan aja biar sempet nganterin kamu.” Seperti itulah kalimat yang sering di ucapkan oleh Kaisar.
Ada banyak hal yang berubah dari keduanya. Salah satu yang paling mencolok adalah fisik, tentu saja. Dua anak manis itu kini berubah menjadi remaja dengan aura fresh, khas anak muda yang memasuki masa eksplorasi. Kemudian sama seperti jenjang sekolah yang meningkat, kedekatan keduanya pun bertambah.
Lama-lama, keduanya pun berbagi cerita yang lebih serius. Cerita tentang kehidupan personal masing-masing.
“Rum, Bunda aku mau nikah lagi.”
“Kamu seneng ngga?” Tanya Arumi serius.
“Ga tau.” Jawab Kaisar lesu. “Kalau Bunda seneng ya aku harus seneng. Keliatannya calon ayah baru aku juga baik.”
Dimulai dengan sentimen yang sama sebagai anak tanpa ayah, berusaha menjalani kehidupan senormal dan sebaik mungkin di sekolah, keduanya lama-lama menjadi penopang untuk satu sama lain. Menjadi orang pertama yang dicari saat memiliki cerita, saat ingin bercerita.
Termasuk cerita yang hanya dibagikan kepada satu sama lain.
“Kamu jago nyimpen rahasia ngga, Ji?” Tanya Arumi suatu hari saat keduanya sedang belajar bersama di kediaman Kaisar. Gadis itu mengalihkan perhatiannya dari buku Bahasa Inggris yang sedang dipelajarinya. Laki-laki yang diajak bicara pun menatapnya.
“Rahasia apa?” Tanya Kaisar dengan rasa penasaran yang mulai naik.
“Aku sebenernya ngga punya ibu juga.” Mulai Arumi. “Nenek aku juga bukan nenek kandung aku, tapi nenek yang ngerawat aku aja. Tapi sekarang aku lagi seneng soalnya ada orang baik yang mau jadi keluarga aku.”
Senyum tulus segera terukir pada wajah laki-laki itu. Kabar yang membahagiakan bagi temannya itu juga menjadi kabar bahagia untuknya. Fakta kurang menyenangkan di awal cerita pun hanya sebentar terasa menyedihkan. Selebihnya, Arumi terus tersenyum senang.
Bagi beberapa orang, bahagia itu sesederhana sebuah kehidupan yang normal. Bagi Arumi, itu kehidupan dimana dirinya tidak perlu lagi merasa takut dengan pertanyaan orang tua kamu dimana, bisa datang bersama saat pembagian rapor, dan memiliki foto keluarga yang bisa dipajang dan dipamerkan. Itu adalah hal yang sering ia ceritakan pada Kaisar.
“Kamu juga kalau punya sesuatu yang berat buat ditanggung sendiri, bisa cerita ke aku, ya. Aku jago nyimpen rahasia kok.”
Hubungan pertemanan masa kecil itu, kemudian berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius. Lebih dari sekedar teman bercerita. Lebih dari sekedar teman yang selalu ada.
“Rum, sebenernya aku kemarin ga sekolah bukan karena sakit.” Mulai Kaisar sebagai kalimat awal dari cerita panjangnya. “Bunda berantem sama Ayah. Ayah…kasar. Ayah ga pernah kasar ke aku, tapi dia kasar ke Bunda. Aku bahkan kadang ga tau masalahnya apa, Ayah tiba-tiba marah dan ngelampiasin amarahnya ke Bunda. Kadang Bunda sampai harus masuk rumah sakit….”
“Kamu ngga sendirian. Ada aku, Aji.”
“Bunda lagi di rumah, Ji?”
Sosok Bunda Kaisar, tidak lama kemudian, ikut memiliki porsi besar dalam cerita keduanya.
“Bunda lagi pergi check up, kambuh lagi kemarin.” Jawab Kaisar lesu.
Kontras dengan keluarga kecil Arumi yang meski tidak sempurna tetapi bahagia, Kaisar harus melewati yang sebaliknya. Kekerasan dalam rumah tangga dalam kurun waktu yang tidak sebentar, membawa banyak perubahan dalam hidupnya. Kekerasan itu membawa banyak perubahan pada Bundanya.
Wanita yang dulunya kuat dan tegar sendirian itu, kini dihantui mimpi buruk tentang masa lalu kelam yang disebabkan oleh laki-laki yang pernah mengaku mencintainya. Bayangkan betapa hancurnya Hanggia saat orang yang ia kira dapat menjadi obat dari rasa kehilangannya, justru malah menyadi luka dan penyakit baru untuknya. Tidak sedikit luka lebam dan memar yang muncul pada tubuh wanita itu. Tidak sedikit pula luka yang kemudian membekas, tinggal untuk waktu yang sangat lama. Tidak sedikit hari yang ia habiskan dengan sesi terapi. Tidak sedikit pula hari yang dilalui bersama obat-obatan, mengkonfirmasi bahwa dirinya, nyatanya memang terluka. Apalagi hari yang berlalu dengan tangis, rasa takut, dan rasa sakit.
“Kaisar, apapun yang Bunda kamu laluin, apapun yang kamu laluin, aku bakal selalu ada disini bareng kamu.” Ucap Arumi suatu hari saat keduanya sedang menjenguk Hanggia yang harus dirawat di rumah sakit. “Kamu nemenin aku waktu aku sendirian dan kesulitan. Sekarang gantian ya giliran aku yang nemenin kamu.”
Hubungan pertemanan sederhana itu, nyatanya lebih berharga dibanding yang dikira—lebih dalam dibanding yang dikira. Keduanya hanya berawal dari dua anak yang kebetulan memiliki nasib yang mirip. Saling berempati dan berbagi sentimen yang sama; merasa mirip dengan satu sama lain. Kemudian tanpa disadari, keduanya menggenggam tangan masing-masing erat, menahan satu sama lain—menguatkan, dari apapun yang menyakiti. Saat dunia bersikap tidak ramah pada keduanya, setidaknya kehadiran satu sama lain terasa seperti matahari yang menghangatkan, menguatkan, dan memberi harapan.
“Biasanya juga, aku yang nangis depan kamu. Sekarang kamu ngga apa-apa kalau mau nangis depan aku.”
Dan seperti cerita klise, keduanya ibarat dua jiwa yang terluka, yang saling menyembuhkan.
Namun, tidak pernah lebih dari itu. Tidak pernah lebih dari dua teman yang saling peduli dan saling menyayangi.
kaisar, heksa
Lebih cenderung memiliki sifat pendengar, Kaisar bukanlah tipe orang yang mudah terbuka tentang masalahnya. Laki-laki itu merasa cukup hanya dengan bercerita satu-dua kali saja dalam jangka waktu yang panjang antar cerita. Masalah demi masalah mungkin menghantamnya dengan kuat, tapi urat kesabarannya jauh lebih kuat. Namun seperti bau bangkai yang lama-lama akan tercium, kisah hidupnya pun kadang sedikit terkuak.
Misalnya, saat sebuah lebam muncul di wajahnya setelah dirinya berusaha melindungi ibunya dari tamparan ayah tirinya.
“Lah, muka lo kenapa, Kai?”
Lebam yang jelas penyebabnya bukanlah jatuh dari sepeda.
“Jatoh dari sepeda kemarin.”
Tetapi, itulah jawaban yang ia berikan pada temannya, Heksa. Jawaban yang pada saat itu, ia pikir, cukup untuk menutupi kebenaran. Jawaban yang ia pikir cukup untuk mengelabui temannya. Mungkin masalahnya membuatnya lupa kalau Heksa itu si cerdik yang tidak mungkin tertipu. If anything, he would be the one who deceive other. Laki-laki sebayanya yang terlalu dewasa untuk umur sebayanya.
Juga, seorang teman yang peduli padanya.
“Oh…” Angguk Heksa seolah percaya. “*Btw, Kai, gue emang nggak jago berantem sih, nggak bisa adu fisik. Tapi gue jago nipu orang. Kalau butuh jasa nipu orang ke gue aja ya.”
“Sesat.”
Meskipun Kaisar tahu kalau Heksa kemungkinan besar tahu tentang apa yang dialaminya, ia ingin mempercayai bahwa laki-laki itu tidak tahu. Ia berharap Heksa memang tidak peka sama sekali; berharap laki-laki itu menutup mata pada masalahnya. Ada banyak alasan kenapa sebuah cerita disembunyikan. Kadang alasannya sesederhana tidak penting untuk diceritakan. Kadang, disembunyikan agar tidak memberatkan, tidak menyeret orang lain. Kadang, karena terlalu sakit untuk diceritakan.
“Eh gue juga jarang liat Bunda lo deh.” Satu lagi pertanyaan yang membuat Kaisar terdiam. “Kangen masakannya.”
“Iya, lagi sibuk banget.” Dan jawaban yang sama yang selalu dikeluarkan untuk menjawab pertanyaan semacam itu.
“Oh pantesan.”
Ada pula orang-orang yang meski merasakan keberadaan cerita itu, pada akhirnya memilih untuk berpura-pura buta dan tuli. Bukan karena tidak peduli, tapi karena tahu si pemilik cerita ingin ceritanya tersembunyi.
“Sekarang Bunda lo lagi nggak di rumah berarti?”
“Iya. Di kantor.”
“Eh Kai, nginep di gue aja lah yuk.”
“Kita udah depan kompleks gue, Sa.”
“Ya tinggar puter balik. Kalau Bunda lo mau ikutan nginep juga ayo.”
“Udah gila.”
Meskipun terkadang, tidak bisa menahan diri untuk tidak peduli—dan diam-diam melindungi. Seperti yang sering dilakukan oleh Heksa. Ia berpura-pura buta dan tuli; bersikap seolah apa yang ia lihat dan ia dengar hanya halusinasinya. Ia akan berkata ia baru saja tiba, disaat faktanya ia sudah tiba sepuluh menit yang lalu, dan melihat bagaimana ayah tiri Kaisar menampar ibunya sebelum kemudian meninggalkan rumah dengan penuh emosi. Ia akan melakukan panggilan video dan meminta Kaisar bermain gitar di ruang keluarganya, karena dengan itu ia bisa sedikit mencegah adegan kekerasan di dalam rumah itu. Ia akan mengajak Kaisar menginap di rumahnya, bahkan saat keduanya sudah tiba di depan rumah Kaisar, karena ia melihat sosok ayah tiri laki-laki itu berada di dalam rumah sendirian. Heksa melakukan hal-hal seperti itu.
That was the least he could do as a best friend.