strings: tangled — Yang ikut kusut
maure, kaisar
“Kamu mau ngomongin apa?” Tanya Maure dengan nada malas begitu ia tiba di sebelah SUV putih yang dikendarai Kaisar. Nada bicara dan attitude perempuan itu sempat membuat Kaisar sedikit kaget, namun ia masih bisa menahan diri untuk tetap berkepala dingin. Ia membuka pintu mobil dengan tenang dan tanpa bicara.
“Masuk dulu, ngobrolnya di rumah.” Ucapnya.
Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Tidak ada satupun dari keduanya yang membuka mulut untuk bicara. Setiap kali Kaisar menengok ke arah Maure, perempuan itu sedang menatap keluar jendela; seolah sengaja menghindari percakapan. Setengah jam kemudian, keduanya tiba di tempat tinggal Maure.
Begitu keluar dari mobil, perempuan itu langsung berjalan masuk tanpa menunggu Kaisar. Sekali lagi membuat laki-laki itu terkejut sekaligus bingung dengan sikapnya itu.
“Ole.” Panggil Kaisar dengan nada serius saat keduanya sudah berada di ruang tengah rumah itu. Kali ini, barulah Maure menatapnya setelah mengabaikannya sepanjang perjalanan tadi. Namun berbeda dengan beberapa menit lalu, kini raut wajahnya sudah melunak.
“Apa?”
Kaisar menghela napasnya sebelum membuka mulutnya lagi.
“Kamu seminggu kemarin kemana, Ole?” Tanya laki-laki itu dengan nada tenang.
Pertanyaan itu sudah menganggu kepalanya selama berhari-hari. Selama berhari-hari itu pula ia hanya bisa menunggu ada yang memberinya jawaban yang jelas. Tapi melihat Maure sekarang, sepertinya ia harus menurunkan ekspektasinya tentang jawaban yang akan didapat.
“Aku ada.” Jawab perempuan itu dengan tenang. “Aku ada, tapi aku ada urusan.” Tambahnya.
Tentu saja, jawaban itu sama sekali tidak memuaskan rasa ingin tahu Kaisar—juga tidak menjawab apapun sama sekali. Sebelumnya ia percaya pada apa yang ia dengar, bahwa ia cukup menunggu Maure saja. Tapi kali ini, ia ingin menuntaskan rasa penasarannya, dan membereskan apa yang dirasa tidak benar selama ini.
“Ga. Jangan kasih aku jawaban itu. Aku yakin gak sesederhana itu. Heksa bilang kamu ga kenapa-kenapa, tapi kamu susah dihubungin. Terus kamu tiba-tiba muncul, baik-baik aja, bahkan bisa pergi main sama Cemima? The very first thing you did instead of replying to my messages.” Mulai Kaisar. “Ini antara aku yang reaksinya berlebihan dan overthinking, atau aku satu-satunya orang yang gak tau.”
“Aku pergi juga kamu gak kenapa-kenapa tuh?” Balas Maure, mengelak dari deretan fakta yang baru saja dilontarkan oleh laki-laki itu. “Gimana aku mau ngasih tau kamu kalau yang kamu tau Rumi doang?”
“Kenapa bawa-bawa Rumi?”
“Ya soalnya dari awal emang ada Rumi. Kan ini cinta segitiga?” Jawab Maure dengan nada setengah sarkas setengah kesal. “Kamu pikir aku gak tau dari kapan Rumi balik dan dari kapan kalian mulai ketemu lagi? Kamu nanya kenapa aku gak langsung ngabarin kamu disaat kamu nya aja lagi sama Rumi?”
“Ole—…”
Serangan bertubi-tubi itu berhasil membuat Kaisar kembali diam. Raut bersalah muncul pada wajahnya. Bagainapun, apa yang ia lakukan juga bukan tidak ada salahnya. Maure yang menyepelekan kekhawatirannya memang salah. Tapi Kaisar yang lebih dulu menyembunyikan interaksinya dengan Arumi.
Kemudian, Maure melontarkan pertanyaan baru.
“Kaisar, coba aku tanya, Ole atau Rumi?”
Pertanyaan itu sukses membuat Kaisar kembali terdiam. Keresahan mulai terpampang pada wajahnya. Mulutnya setengah terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Atau mungkin, ia hanya segan untuk mengucapkannya.
“Gak bisa jawab ‘kan? Atau tau jawabannya tapi gak mau jawab?” Desak Maure saat Kaisar tak kunjung bersuara. “Emangnya sepuluh taun masih kurang buat kamu bisa nentuin perasaan kamu ke Rumi?”
Kalimat terakhir Maure menarik perhatian Kaisar. Laki-laki yang awalnya menghindari tatapannya itu, kini menoleh dan menatapnya bingung sekaligus kaget.
“Aku ga pernah cerita soal berapa lama aku kenal Rumi.”
Satu kalimat itu sukses membalikkan keadaan di antara keduanya. Kini gantian Maure yang menampilkan gurat keresahan di wajahnya. Keresahan itu menunjukkan bahwa ia baru saja melakukan kesalahan. Emosi yang tidak stabil ternyata membuatnya bicara tanpa berpikir. Kini, sesuatu yang tidak seharusnya terucap, terlanjur keluar dari mulutnya. Perempuan itu mulai menghindari tatapan Kaisar.
“Ole,” Panggil Kaisar serius. “Kamu tau dari mana tentang Rumi? Kamu kenal Rumi?”
Sekarang, Kaisar pun bisa menebak dengan pasti jawaban dari pertanyaannya di awal, tentang apakah ia bersikap berlebihan atau dirinya memang satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa. Pada kenyataannya, dirinya memang satu-satunya yang tidak tahu. Seperti ironi dimana seorang raja justru hanya menjadi pion yang dihindarkan dari kebenaran. Dalam cerita ini pun, Kaisar adalah pihak yang menentukan, yang mengambil keputusan besar. Tapi dirinya malah tidak tahu apa-apa tentang konteks dari keputusan itu; tidak tahu apa-apa tentang semuanya.
“Dari kapan?” Tanya Kaisar lagi. Suaranya penuh dengan keterkejutan, dan mungkin kekecewaan.
“Jauh sebelum kamu kenal Rumi.”
Kaisar mengambil satu langkah mundur secara refleks; reaksi dari seseorang yang terkejut dan kecewa disaat yang bersamaan. Ia terlihat menengadah sesaat, mengarahkan pandanganya kemanapun asal bukan pada perempuan di hadapannya. Hurt and betrayed feelings were the only things visible on his face. Ia bahkan tidak tahu bagaimana dirinya bisa memproses informasi yang baru ia dapatkan ini. Bagaimana ia memproses bahwa selama ini, ia dibohongi. Maure pun tahu dengan pasti bahwa fakta yang baru terungkap itu akan sulit diterima olehnya.
“Aku selama ini gak ngerti kenapa kamu se-nggak suka itu sama rumi.” Lirih laki-laki itu. “Ternyata jawabannya ini ya? Ada yang aku nggak tau—ralat, banyak yang aku nggak tau.”
Keheningan mengambil alih selagi keduanya sama-sama memproses percakapan yang baru saja terjadi. Memproses fakta yang baru saja terungkap. Sayangnya, semua itu baru permulaan saja. Kekacauan yang sebenarnya baru terjadi saat Kaisar melontarkan pertanyaan selanjutnya.
“Ole, tell me honestly. Why did you fall for me?”
Saat memulai semuanya, Maure pernah berpikir bahwa yang dilakukannya sama saja dengan membuat sebuah bom waktu yang sangat besar. Saat itu ia menyepelekan pikirannya sendiri. Ia tetap mengambil langkah meski tahu bahwa kemungkinan semuanya akan meledak suatu saat akan terus mengiringi. Maure tetap yakin dengan pilihannya, meskipun jauh di dalam hatinya, ia pun sadar pilihannya itu egois.
Mengabaikan—melupakan sesuatu dan menganggapnya tidak ada sama sekali tidak berarti bahwa sesuatu itu tidak pernah terjadi.
“Why did you fall for me, Ole?” Tanya Kaisar untuk yang kedua kalinya saat Maure tidak kunjung menjawab. Rautnya menunjukkan bahwa dirinya menanti jawaban, namun sorot matanya menunjukkan ketakutannya akan jawaban yang mungkin ia dengar. Setelah beberapa saat, ia kembali melontarkan pertanyaan. Kali ini, pertanyaan yang berbeda dari sebelumnya. “Was it all because of Rumi?”
Lagi. Nama itu disebut lagi di antara dirinya dengan Kaisar, seolah sejak awal memang menjadi bagian dari hubungan ini. Kaisar berharap kenyataannya tidak seperti itu. Tetapi saat ia menangkap sorot mata Maure yang diisi oleh rasa bersalah, ia tahu kenyataannya.
“It was.” Jawab Maure dengan suara pelan dan tegas, berlawanan dengan rasa bersalah yang ia sampaikan lewat sorot matanya. Jawaban itu, berikut caranya berbicara, membuat Kaisar kehilangan kata-kata. Berbagai emosi terpancar di wajahnya; bingung, kaget, cemas, kecewa. “It was, Kaisar.”
Itu dia. Jawaban yang membuat jantung laki-laki itu mencelos. Kaget, bingung, dan marah; semuanya tercampur aduk sampai membuatnya tidak bisa berkata-kata. Kekecewaannya yang tadi tidak seberapa kalau dibandingkan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Itu adalah jawaban yang tidak ia harapkan dan akan pernah ia harapkan. He never expects—he never wishes for her to hurt him like this.
“Ole…” Lirihnya setelah beberapa saat. Suaranya sangat pelan, dan lembut seperti sebuah bisikan. Lirihan itu nyaris tidak terdengar suaranya, namun rasa sakit dan kekecewaan bisa dirasakan dengan jelas. Maure pun tidak tahu ia harus apa—karena pemandangan Kaisar di depannya sekarang juga menyakitinya.
Saat ia merasa Kaisar sudah bisa mulai mencerna ucapannya, perempuan itu membuka mulutnya lagi.
“It was, at some point, Kaisar.” Tegas Maure, membuat makna jawabannya jadi berbeda. “Aku gak suka sama Rumi karena hidupnya baik-baik aja. Aku lebih gak suka lagi sama dia karena dia bersikap seolah dia gak ada kaitannya sama aku. Aku—aku se-nggak suka itu sama Rumi sampai aku mulai suka sama hal-hal yang dia suka, semata buat bikin dia kesel. Tapi—”
Kalimatnya menggantung di udara. Keraguan terdengar lewat suaranya dan terpancar lewat raut wajahnya. Untuk sesaat, Maure benar-benar bingung tentang apa yang harus ia bicarakan; sejauh mana ia harus bicara. Karena sekarang stau hal sudah terkuak, apakah lebih baik keluarkan saja semuanya sekalian? Atau karena hubungannya dengan Kaisar sedang dipertaruhkan, haruskah ia memutar arah dan menutup semuanya dengan ucapan manis?
Di tengah keraguan itu, ia melihat Kaisar yang menaikkan sebelah alisnya; menunggu kelanjutan ceritanya.
“Tapi aku beneran suka kamu, Kaisar.” Lanjut Maure. “Aku udah tertarik sama kamu dari SMP. Tapi waktu SMA, aku baru tau kamu kenal dan deket sama Rumi, dan aku males ikut campur. Tapi kita ketemu lagi di kampus dan aku masih suka kamu. Itu jawaban buat rasa penasaran kamu tentang kenapa aku tiba-tiba ngejar-ngejar kamu. Jawaban yang sama yang selalu aku kasih ke kamu. I simply fall in love with my childhood friend.”
“Was it really that simple? Cause I don’t think so, Ole.” Geleng laki-laki itu dengan tatapan kurang percaya. Kaisar mempercayai setiap kata yang keluar dari mulut Maure. Namun ia juga percaya bahwa masih ada lebih banyak kata yang tidak dikeluarkan; jika tidak maka mereka tidak akan berada dalam perdebatan ini. Jika memang sedari awal semuanya sesederhana itu, perdebatan ini—perdebatan manapun, tidak akan pernah ada.
Keduanya berada dalam sesi tatap menatap sebelum akhirnya Maure menyerah.
“Oke.” Gumamnya sebelum menarik napas panjang dan mulai bicara. “Iya, tingkah aku caper berlebihan ke kamu—beberapa— itu awalnya karena aku gak suka sama Rumi. Aku sengaja caper ke kamu secara terang-terangan di depan orang lain biar Rumi tau kalau aku suka kamu. Tapi perasaannya sendiri, perasaan aku ke kamu selalu tulus dan selalu sama dari dulu.
Waktu pertama kali kita ketemu, aku pikir akhirnya aku ketemu orang baru, yang gak ada hubungannya sama semua ini. Tapi ternyata dari awal kamu udah terlibat, karena kamu kenal Rumi. Aku sempet mikir buat gak ngejar perasaan aku sama sekali. Buat nyerah sebelum mulai. Aku rasa itu yang bikin rasa suka aku ke kamu kesannya tiba-tiba, padahal dari dulu udah ada. Dan perasaan itu gak bisa ilang makannya sekarang aku merjuangin perasaan itu.
Kaisar, kamu tau kalau aku dari dulu cuma punya Heksa dan kamu. Waktu kita ketemu lagi di kampus, aku sendirian. Makannya aku pikir mungkin aku harus nyatain perasaan aku. Aku gak peduli sama Rumi dan hubungan kalian yang gak jelas itu. I want you for myself. For the sake of myself. Because I believe you could be the light of my life.”
Maure menyelesaikan paragraf panjangnya dengan hembusan napas. Selagi mengumpulkan kembali napasnya, ia memberikan waktu bagi Kaisar untuk mencerna semuanya. Jawaban Maure itu memang cukup banyak, cukup memerlukan waktu untuk dicerna. Sebagian dari jawaban itu adalah sesuatu yang sudah Kaisar ketahui, for the most part. Walapun begitu tetap saja, elaborasi ini masih mengejutkan untuknya. Maure harap, jawabannya kali ini cukup memenuhi rasa penasaran laki-laki itu. Tetapi entah perempuan itu sadar atau tidak, jawabannya hanya akan mengarah pada pertanyaan lain.
“How can I be the light of your life when I don’t even know what kind of abyss that you’re trapped in?” Ucap laki-laki itu dengan suara pelan. Pertanyaannya itu tidak terasa seperti sebuah serangan, tidak terasa seperti sebuah tuntutan. Pertanyaan itu justru terdengar seperti sebuah keputusasaan.
Kali ini, Maure terdiam bak membeku. Seolah ia tidak memiliki kata yang tersisa untuk dikeluarkan setelah paragraf panjangnya tadi—the previous answer was the only thing she prepared. Kali ini, giliran Maure yang kebingungan untuk menjawab. Raut bersalah pun kembali muncul pada wajahnya.
“Kamu kemana aja selama ini—selama kita SMA? And no, I can’t believe Melbourne and studying abroad anymore. Pasti ada jawaban lebih buat hal ini juga kan? Aku bingung. Kamu tiba-tiba pergi, Heksa berubah, dan yang masih sama cuma Rumi.” Lanjut Kaisar. “Kamu kemana selama satu minggu kemarin? Dari mulai kamu yang jadi pendiem, slow response, sampai gak bisa dihubungin sama sekali. Kemana dan apa yang kamu lakuin sampai Heksa gak bisa ngasih tau aku? Apa ada kaitannya sama titik semua masalah diantara kita?”
Dan itu dia. Seberapa banyak yang coba Maure tutupi, pada akhirnya tercium juga. Jawaban yang tidak memuaskan hanya akan berujung pada pertanyaan baru, dan pada akhirnya Maure harus menjelaskan semuanya juga. Pada akhirnya, keduanya hanya berputar-putar; pada akhirnya semua kembali pada perkara paling awal: cerita yang belum diceritakan.
“If I am part of these so-called tangled strings then I have the very right to know everything, Ole. Something, if you cannot tell everything yet. Or at least tell me one thing to understand you, Ole.”
Lalu, tahu apa hal yang sering terjadi saat mencoba meluruskan benang yang kusut? Entah kamu berputar-putar di kekusutan yang sama, atau kamu menciptakan kekusutan yang baru. Seperti yang sedang dilakukan Maure sekarang. Ia mencoba menyelesaikan satu perkara namun penyelesaiannya disaat yang bersamaan mengarah pada pertanyaan baru yang kemudian menjadi masalah baru.
“Emangnya kalau aku cerita, bisa bikin aku jadi lebih penting dari Rumi? Ditanya Ole atau Rumi aja kamu gak bisa jawab.”
“Ole—bukan gitu, aku kan udah bilang—”
“Kalau logikanya you have history, ya aku sama kamu juga punya history.”
“But you decided to erase that history.”
“Ya soalnya apa pentingnya kalau ujungnya yang ada di mata kamu cuma Rumi?”
“You haven’t listened to the whole story, Ole.”
“Ya apa? Cerita apa? Kamu pengen aku cerita tapi aku juga gak tau cerita kamu.”
Kalau diibaratkan sebagai sebuah game, Maure dan Kaisar saat ini sedang saling menyerang. Mereka menyerang satu sama lain secara bergantian, dengan senjata rahasia yang dimiliki oleh masing-masing. Menunggu siapa yang memiliki serangan paling kuat, atau siapa yang lebih dulu kehabisan tenaga.
Keduanya masih berdiri di ruang tengah di tempat tinggal Maure, dikelilingi oleh keheningan. Maure bahkan merasa bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Kaisar pun tidak banyak bereaksi. Laki-laki itu hanya bisa menatapnya dengan perasaan yang campur aduk.
Maure memanfaatkan diamnya Kaisar untuk kembali bicara. “Kaisar, aku mau nanya yang terakhir—giliran aku yang nanya ini. Were you really fall for me? Or was it only the same old feelings? The one you'd always had for me.“
Kaisar diam tanpa suara. Raut wajahnya masih sangat serius menatap Maure. Ia tidak terlihat sedang memikirkan jawaban atau bahkan tidak bisa menjawab. Entah untuk alasan apa, Kaisar justru terlihat seperti sengaja tidak menjawab. Perempuan itu menatap laki-laki di depannya dengan senyum pahit.
“You asked why I never tell you anything right? Because I know nothing about you either. That makes us even.”
Semuanya hancur. Benang yang baru dirangkai antara Maure dan Kaisar pun, kini ikut tertarik ke dalam gulungan benang kusut itu.