semestastellar

semesta untuk dunia yang fiksi – alternative universe(s)


Human relationship is interesting. There are terms for different kinds of relationships between different people, but even so, can you really decide? Human relationships are categorized according to their type of affection, emotion, and boundary. Each is divided by a clear line, but for some people, those lines are blurred — maybe at some point, the lines are always blurred. A family is a group of people related by blood, yet that is not the only measurement to call someone your family. A friend is someone you are close with and you share mutual affection with, but how close is it exactly, and how much affection do you share?

Under those uncertainties, how do you measure a relationship?

Mentari did not measure her relationship with Heksa at first. He was her co-worker and university colleague. Everything was clear she did not have to measure it by herself. But a relationship between people does not always stay in place. It tends to progress, worsen, or be better — closer. They barely talk at first, but suddenly they gave life updates to each. They only met when they had to, but suddenly they went for a casual lunch together. They did not notice each other presence, but suddenly they were the first person to send a recovery message to each other. But how and why did those things happen? Was it something that was bound to happen naturally as the relationship progressed? Or was it something they did intentionally to direct their flow of relationship to a certain track? But then again, was their relationship always clear since the beginning?

Everything was clear at first, was it?


Pagi-pagi sekali, Mentari sudah tiba di kampusnya. Hari seminar, sidang, dan wisuda selalu menjadi hari yang cukup sibuk untuknya. Ia seperti berubah menjadi peri pengantar bunga sehari; membawa paket-paket yang berisi ucapan selamat, rasa bangga, dan cinta. Saat pertama kali membantu Oma-nya membuat karangan bunga semasa kecil dulu, Mentari menganggap karangan bunga tidaklah lebih dari hadiah yang cantik. Hadiah yang diberikan pada hari tertentu, pada hari yang membuat seseorang berhak menerima hadiah. Saat dirinya beranjak remaja, ia belajar bahwa karangan bunga diberikan sebagai lambang dari sebuah perasaan; menjadi medium untuk menyampaikan perasaan. Ada yang memberi bunga sebagai tanda cinta dan kasih sayang, ada juga yang memberi bunga sebagai tanda bela sungkawa. Semakin ia tumbuh dewasa, ia semakin menemukan makna baru dari bunga. Bahwa ternyata, perasaan yang disampaikan tidak selalu sederhana. Bahwa terkadang, bunga-bunga itu menjadi pengganti kata dan perasaan yang terlalu sulit untuk disampaikan.

Saat sudah yakin semuanya siap, Mentari mulai menghubungi para pemesan. Sambil menunggu, Mentari duduk di bagasi mobilnya, memperhatikan suasana di sekitarnya.

Hari ini tempat ini diwarnai oleh orang-orang yang baru menyelesaikan sebuah cerita. Hari ini, mereka sedang menuliskan kalimat-kalimat terakhir dari cerita itu. Ada yang menulisnya dengan penuh suka cita, tentang akhir dari perjuangan yang susah payah dan hasil yang menyenangkan hati. Ada yang menulis dengan air mata, membayangkan hal-hal yang harus dilepaskan seiring selesainya cerita — membayangkan tentang perpisahan. Mentari jadi bertanya-tanya, saat gilirannya nanti, akan sepanjang apa ceritanya? Akan jadi seperti apa ceritanya?

Di tengah lamunannya itu, seseorang menghampirinya.

“Jangan ngelamun nanti kesurupan.” Suara itu datang bersamaan dengan sebuah tepukan di pundak, membuat Mentari yang memang sedang melamun itu, langsung tersadar. Ia menoleh secara refleks, untuk melihat siapa yang berbicara padanya itu. Keningnya berkerut bingung saat mendapati bahwa si pemilik suara adalah tidak lain dan tidak bukan, Samudera Khagi. Bukan tanpa alasan, Mentari merasa bingung karena sebenarnya tadi pagi mereka sudah sempat saling menyapa. Baru satu jam berlalu, laki-laki itu sudah kembali lagi, tapi kenapa? Tanpa sadar, perempuan itu melamun lagi memikirkan jawaban. Heksa yang melihatnya langsung menjentikkan jari di depan wajahnya. “Lah, malah ngelamun lagi.”

“Eh?” Gumam Mentari yang tersadar. Ia tersenyum kecil. Kemudian ia mulai memborbardir lawan bicaranya dengan pertanyaan. “Kenapa balik lagi ke sini? Kelasnya udahan? Mau beli bunga?”

“Enggak.” Geleng Heksa. Hal itu membuat Mentari menatapnya penasaran, menunggu kelanjutan jawaban. “Pengen aja.”

Laki-laki itu duduk bersilang kaki di sebelahnya. Pandangannya menatap ke atas, ke arah langit yang masih nyaman untuk dipandang karena matahari nya belum terlalu naik. Suasana di sekeliling mereka ramai, sangat ramai. Heksa pun mendengar apa yang Mentari dengar sedari tadi; suara lalu lalang mobil yang mencari tempat parkir, para penjual bunga dan bingkisan wisuda yang saling bersautan mencari pelanggan, dan sayup-sayup obrolan manusia. Suasananya ramai, tapi entah kenapa tidak terasa menganggu sama sekali. Entah kenapa, melihat Samudera Khagi yang menatap langit dengan raut wajah tenang itu, membuat Mentari jadi merasa tenang juga.

“Kelasnya selesai lebih awal. Ternyata dosennya cuma ngasih materi singkat sama instruksi tugas.” Ucap laki-laki itu beberapa saat kemudian, memecah hening. “Aku nggak ada kenalan yang lagi wisuda, nggak punya alesan buat ikut iring-iringan wisuda. Tapi nggak mau ngabisin setengah jam cuma buat keluar parkiran dan nyetir keluar kampus. Tapi yang paling males itu mikirin jalan keluar dari parkiran, penuh soalnya. Ngampus bawa mobil di hari wisuda nggak recommended, mending naik skuter aja.”

Seperti biasa, jawaban dari Heksa terdengar seperti sebuah cerita. Selama keduanya saling mengenal dan mengobrol, Heksa jarang memberikan respon yang singkat jelas padat, apalagi terkesan dingin. Mulanya Mentari pikir, hal itu dilakukan untuk menghindari miskomunikasi; agar jawaban apapun diberikan sejelas mungkin. Tapi lama-lama, ternyata itu memang sifatnya, kebiasaannya. Tidak salah kalau Mentari berpendapat bahwa laki-laki itu sangat cocok menjadi seorang pendongeng untuk anak-anak.

“Terus kenapa ke sini?” Mentari menatapnya penasaran.

“Kenapa ya?” Bukannya langsung menjawab, laki-laki itu malah mengulang pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia pun sedang memikirkan jawabannya. Mentari jadi berpikir apakah laki-laki itu hanya bosan atau mungkin kebetulan lewat. Setelah beberapa saat, Heksa menoleh padanya. “Siapa tau ada yang butuh part-timer buat jual bunga. Soalnya nggak mungkin bawa keranjang segede ini sendirian.”

Sebuah senyum terukir di wajah Mentari. Ia merasa tersentuh atas jawaban itu. Ia tidak merasa laki-laki itu memiliki sebuah keharusan untuk membantunya. Ia selalu merasa tersentuh atas sikap orang-orang yang melakukan sesuatu untuknya tanpa alasan. Menurutnya, cara kerja nurani manusia itu unik. Ada kalanya kita terdorong untuk melakukan sesuatu karena ada alasan yang jelas. Anak kecil terjatuh dari sepeda, wanita tua membawa barang yang berat, anak kucing tercebur selokan. Tapi ada kalanya juga, kita bertindak padahal tidak diperlukan — hanya karena ingin. Kalau seperti itu, apakah yang bertindak itu nurani atau hati?

Menurutnya, Heksa Samudera juga unik. Laki-laki itu sering terlihat malas dan tidak antusias dalam melakukan sesuatu; bekerja, belajar, mengerjakan tugas, mengantri makan. Tetapi disaat yang bersamaan, Heksa bisa melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak penting dan malah membuang waktunya, dengan sukarela. Seperti ikut melamun di sebelah Mentari, dan membantunya berjualan bunga.

Tidak lama kemudian, para customer yang memesan karangan bunga mulai berdatangan. Keduanya pun menghentikan obrolan mereka. Mentari segera menyambut mereka yang datang untuk mengambil bunga dengan senyum yang lebar. Heksa pun bergerak untuk membantu. Tanpa perlu disuruh, laki-laki itu membantu menyiapkan dan menyerahkan bunga-bunga pesanan.

Kalau diminta untuk menyebutkan kata-kata yang cocok untuk menggambarkan Heksa, Mentari akan memilih reliable sebagai salah satunya. Laki-laki itu hampir selalu sedia bantuan kalau memang diperlukan. Mentari menyadarinya saat Heksa mulai menawarkan tumpangan setiap mereka memiliki jadwal part-time di tempat yang sama. Ia menjadi yakin setelah melihat Heksa, yang tidak tahu apa-apa soal bunga, bergerak untuk membantunya tanpa diminta saat perempuan itu terlihat kesulitan. Yang membuatnya menjadi bisa diandalkan bukan sekedar soal siap membantu, tetapi juga tahu caranya membantu. Heksa Samudera selalu terlihat tahu apa yang harus dilakukan.

“Iya, Kak, aku nerima order bouquet juga.” Respon Mentari pada salah satu mahasiswi yang mampir untuk membeli bunga. Tidak jauh di sebelahnya, Heksa bersandar pada sisi mobil sambil mendengarkan. “…kalau desain-nya dari katalog bisa satu hari sebelum. Tapi kalau custom minimal tiga hari sebelumnya.”

Ternyata, bukan hanya Mentari yang menemukan hal baru tentang Heksa. Laki-laki itu juga mempelajari sesuatu. Ia mendapatkan satu-dua hal tentang Mentari selagi memperhatikan interaksi itu. Pertama, tentang bagaimana raut wajahnya berubah ceria dan semangat setiap ada pembeli, selalu tanpa terkecuali. Kedua, tentang bagaimana ia berinteraksi dengan orang-orang. Heksa sudah tahu kalau Mentari itu merupakan seseorang yang bertutur kata lembut. Ia berani bertaruh perempuan itu sangat jarang mengumpat seumur hidupnya. Tapi ia tidak berpikir bahwa Mentari bersikap ramah dan lembut pada semua orang, tanpa pengecualian.

You’re a soft spoken person ya?” Tanya Heksa menarik perhatian Mentari yang sedang merapikan bunga-bunganya. Namun dari nada nya, kalimat itu lebih terdengar seperti sebuah pernyataan yang mengkonfirmasi sesuatu.

“Hm?” Gumam Mentari yang tidak langsung menangkap maksud kalimat laki-laki itu.

“Kamu selalu ngomong pakai nada yang sama. Pelan, lembut, ceria.” Jelas Heksa. “Kamu juga konsisten pake aku-kamu ke semua orang, padahal tadi ada pembeli yang pake lo-gue.”

Baru kali ini, pikiran perempuan itu terhubung dengan topik yang dimaksud. Baru kali ini juga, ia menyadari bahwa dirinya menggunakan kata ganti aku-kamu sejak pertama kali dirinya mengobrol dengan Heksa. Raut wajahnya pun seketiga berubah kaget bercampur sedikit kepanikkan. Terbiasa berinteraksi dengan banyak orang secara umum membuat Mentari lebih familiar dengan kata ganti saya dan aku dibanding lo-gue khas orang-orang di kota besar lainnya. Memang tidak ada yang salah, secara bahasa. Namun secara budaya pergaulan, pemilihan kata ganti bisa memiliki arti tertentu.

“Ah, aku dari awal pake aku-kamu ya?” Ucapnya sembari melayangkan tatapan tidak enak. “Aduh, sok akrab banget ya padahal baru ketemu…”

Memang, laki-laki itu tidak terlihat mempermasalahkan hal itu sama sekali. Tidak sekali pun juga ia pernah menggunakan kata ganti lo-gue saat berbicara pada Mentari. Tetapi perempuan itu tetap merasa sedikit tidak enak dan takut terlihat sok akrab. Alih-alih terlihat tidak nyaman, Heksa justru menggeleng dan tersenyum simpul.

It suits your personality; warm and sweet.

Respon itu cukup berada di luar ekspektasi. Seperti yang pernah Mentari sebutkan dalam obrolannya bersama Zoya, ia merasa akrab dengan Heksa namun masih belum mengenal satu sama lain dengan baik. Karena itu ia sedikit kaget, dalam konotasi positif, saat laki-laki itu sudah bisa menilai sifatnya dengan tepat. Sepertinya, Heksa Samudera adalah tipe pembaca orang lain.

Thank you.” Ucap Mentari penuh ketulusan. “Jadi lega deh kalau kamu nggak risih sama sekali.”

“Aku nya aja ngomong pake aku-kamu juga, Tar. Lagian kan emang Bahasa Indonesianya kayak gitu. Kalau orang nangkepnya ada arti tertentu, mungkin Bahasa Indonesia mereka masih remedial.” Balas Heksa dengan nada bicara yang penuh rasa percaya diri. Hal itu membuat Mentari mengeluarkan tawa kecil. Laki-laki itu pun ikut terkekeh bersamanya. Beberapa saat kemudian, Heksa melayangkan tatapan yang serius “Mulut kita terserah kita, Tar. Terserah mau ngomong lo-gue, aku-kamu, i-you. Selama nggak nyakitin orang, yaudah. 'Kan aneh juga kalau jenis hubungan ditentuin pake cara manggil dan bukan perasaan. Ya nggak masalah juga sih ngikutin kultur dan stereotip, tapi ribet ah ngatur.”

Lagi, Mentari tertawa ringan berkat ucapan Heksa. Sekali lagi juga, laki-laki itu ikut terkekeh bersamanya. Walau diucapkan dengan candaan di sana sini, ia tahu bahwa laki-laki itu serius dengan pendapatnya. Memang, kadang, cara kita bicara berubah mengikuti jenis hubungan yang dimiliki. Tapi cara kita bicara bukan merupakan ukuran dari suatu hubungan. Kalau sepasang kekasih bisa menggunakan gaya bahasa yang kasar terhadap satu sama lain, kenapa dua orang teman tidak bisa berbicara dengan lembut?

What are the measurements of a relationship, then?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian, murni hanya karena ingin mendengar pendapat laki-laki itu. “Apa diukur dari apa yang dilakuin?”

“Bisa iya bisa enggak.” Jawab Heksa. “Bisa aja, kalau mau ngikutin kultur sama stereotip. Tapi kalau mau bikin ukuran sendiri juga bisa.”

Dan hubungan itu sendiri juga, tidak harus selalu mengikuti aturan dan stereotip yang ada.

Misalnya, Mentari dan Heksa yang bisa menjadi teman dekat tanpa mengetahui banyak hal tentang satu sama lain. Keduanya bisa menghabiskan makan siang bersama tanpa tahu warna kesukaan satu sama lain. Keduanya bisa mengobrol sampai tengah malam tanpa tahu tanggal lahir satu sama lain. Keduanya bisa juga bisa tumbuh lebih dekat, tanpa tahu apa-apa. Semua itu sangat bisa terjadi, entah sekarang atau nanti. Dan bisa terjadi tanpa disadari.

“Sekarang kita ngapain?” Ucap Heksa beberapa saat kemudian, menatap sekilas pada keranjang bunga yang kini tinggal berisi bunga-bunga tanpa pemesan. Mendengar pertanyaan itu, Mentari menyunggingkan senyum penuh antusiasme sambil mengambil salah satu keranjang.

“Keliling jualan bunga!”


Matahari menyingsing di atas kepala, tanda hari sudah menyentuh waktu siang. Keranjang bunga yang mulanya penuh dengan mawar, daisy, dan bunga-bunga lainnya itu kini hanya berisi angin. Senyum puas terukir pada wajah Mentari saat melihat dua keranjang kosong yang baru ia letakan di bagasi mobilnya. Di sebelahnya ada Heksa yang membantu menutup pintu bagasi mobil. Mentari menoleh pada laki-laki itu.

“Mau makan nggak?” Tanyanya sambil memegang perut yang kehabisan bahan bakar setelah berjalan kaki mengelilingi hampir setiap sudut area kampus. “Pasti laper kan habis keliling kampus?”

“Boleh.” Angguk Heksa tanpa pikir panjang. “Tapi kantin kayaknya penuh deh. Mau nyari makan di luar aja?”

“Ayo.” Angguk Mentari semangat. Namun beberapa saat kemudian ia tersadar akan sesuatu. “Tapi kita berangkatnya gimana? Kan sama sama bawa mobil.”

“Iya ya...” Heksa terlihat berpikir sejenak. Tidak lama kemudian ia bicara lagi. “Jalan kaki nyari tempat makan yang deket mau?”

Dan itulah awal mula dari perjalanan mereka menyusuri jalan jalan kecil di sekitar kampus mereka; iseng mencari tempat makan yang siapa tahu merupakan hidden gem.

Sesekali keduanya berhenti untuk menyapa kucing yang berpapasan dengan mereka.

“Itu Tangerine!”

“Halo, Tatang!”

Sesekali, keduanya berhenti karena menemukan hal menarik untuk difoto.

“Suka foto ya, Mentari?”

“Iya. Bukan foto professional tapi. Foto biasa aja, buat kenangan.”

Setelah berjalan selama lima belas menit, keduanya memilih untuk makan di sebuah kedai mie ayam sederhana. Terletak di halaman sebuah rumah tua. Keduanya memilih tempat duduk yang paling nyaman, yaitu sebuah meja di bawah kanopi rumah. Mereka duduk berhadapan dan mengobrol ringan sambil menunggu pesanan selesai dibuat.

“Mau cemilan?” Tawar Samudera saat beberapa menit berlalu dan pesanan masih belum datang. Laki-laki itu tidak menunggu jawaban dan langsung mengeluarkan sebatang cokelat dari dalam tas nya. Ia membuka bungkus luarnya dan membaginya menjadi dua sama rata.

“Ini kayak cokelat bingkisan atau hadiah?” Tanya Mentari saat melihat pita dan stiker yang menghias sebatang cokelat itu. “Is it a love confession?

“Kayaknya? Tadi ada yang ngasih, waktu aku keluar kelas.” Jelas Samudera. “Aku nggak sempet nolak dan bingung juga nolaknya gimana soalnya ngasihnya lewat orang lain.”

“Kalau dimakan apa artinya perasannya diterima?” Tanya Mentari setengah bercanda.

“Semoga enggak sih.” Balas Heksa, setengah bercanda juga. “Masa hubungan ditentuin pake makan cokelat atau enggak. Makanan kan urusan lambung, bukan hati. Kalau nggak dimakan kasian cokelatnya nanti nangis, lambung aku bunyi.”

Mentari terkekeh pelan mendengar cerita singkat dan penjelasan itu. Sepertinya Heksa memang memiliki bakat dalam bercerita. Semua yang keluar dari mulutnya hari ini, semuanya terdengar ringan. Padahal, topik yang dibahas mungkin cukup serius. Tapi Heksa membuatnya seperti sesuatu yang bisa dibicarakan dengan santai sambil tertawa. Kemudian, Mentari jadi merasa penasaran akan sesuatu.

“Kamu populer ya, Samudera?”

Sebenarnya, rasa penasarannya muncul sejak beberapa saat sebelumnya, saat mereka sedang berjualan bunga. Laki-laki itu menerima banyak sapaan saat keduanya mampir ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Heksa terlihat memasang wajah berpikir, walaupun Mentari tahu laki-laki itu tidak benarbenar memikirkan jawaban.

“Hmm aku nggak mau jawab ah, takut jadi narsis.” Candanya.

Mentari hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. Saat itulah ia kedua matanya menangkap bungkusan cokelat tadi. Apa yang ia kira stiker ternyata merupakan sebuah sticky notes bertuliskan pesan singkat. Pada pojok atas, tertulis dengan jelas to: heksa. *Heksa Samudera.** Tiba-tiba saja perempuan itu tersadar bahwa selama ini ia memanggil laki-laki itu menggunakan nama tengahnya, bukan nama depan. Dan sepertinya, ia memilih nama yang salah. Mentari mengambil kertas itu dan memberikan tatapan tidak enak pada laki-laki di depannya.

“Ah, kamu nggak dipanggil Samudera ya? Aku salah manggil dong?”

“Seumur hidup nggak ada yang pernah manggil aku pake nama Samudera. Aku lebih terbiasa sama Heksa. Tapi bukan nggak boleh juga sih.” Balas laki-laki itu santai. Namun, wajahnya terlihat sedikit berpikir; ia tidak bisa menutupi fakta bahwa nama Samudera memang asing baginya. Dan mungkin juga berpikir apakah ia akan membiarkan perempuan dengan sepasang mata bulat di hadapannya itu boleh memanggilnya dengan nama itu atau tidak. Semua orang memanggilnya dengan nama Heksa, tidak ada pengecualian, tidak ada panggilan khusus, tidak ada panggilan akrab. Laki-laki itu tidak tahu apakah nama Samudera akan menjadi panggilan khusus, atau hanya panggilan saja. Tetapi pada akhirnya, seperti yang ia katakan sendiri sebelumnya, cara memanggil tidak menjadi ukuran suatu hubungan. “Aku lebih terbiasa sama Heksa. Tapi nggak apa-apa kalau mau tetep manggil Samudera.”

Cara memanggil seseorang bukanlah satu-satunya ukuran untuk sebuah hubungan. Walaupun kadang nama panggilan menggambarkan garis batasan dalam hubungan itu. Topik obrolan dan kegiatan yang dilakukan bersama juga, tidak selalu menjelaskan hubungan yang terjalin. Sepertinya satu-satunya ukuran valid untuk sebuah hubungan adalah perasaan.

Lalu kalau ukuran utamanya adalah perasaan, kira-kira, apa ya yang Mentari rasakan sekarang?

“Kamu cocok sama nama Samudera.” Mulai Mentari beberapa saat kemudian. Kalimatnya terjeda oleh semangkuk mie ayam yang diletakkan di hadapannya oleh sang penjual. Perhatiannya pun teralihkan sebentar untuk mengambil alat makan dan mengaduk mienya. “You seem calm, like an ocean.

Heksa tidak memberi respon apapun selain tersenyum simpul. Ia pun meraih sumpit dari wadah alat makan dan mulai mengaduk mienya. Melihat itu, Mentari pun bersiap untuk menyantap mienya. Perempuan itu mengucapkan satu kalimat terakhir sebelum mulai melahap makanannya.

And I think you're a really good companion, Samudera.”

You are a good companion, Tar.”


She thought it was the day she figured out everything about their relationship. She thought it was the day they made everything clear. But oh honey, that was actually the day when everything started to blur. But was it ever really clear? Everything was already blurred since the beginning, wasn't it? The path that lay before them was blurred.

And honestly, strangely, sometimes she preferred uncertainty over clarity.

If there was a specific measurement for a relationship, if there was a guidebook for a relationship, she would rather turn a blind eye to them. She did not want to measure their relationship at all — now and then.


There are various types of first encounters; the unpredictable ones, the dramatic ones, the comical ones, the cliche ones — the love at first sight ones, the got on the bad side ones, the right person wrong time ones, the were not supposed to happen ones. Sometimes you were either feeling thankful for it or regretting it your whole life. Sometimes you wanted to go back in time and experience it for the second time, sometimes you wanted to bury it deep down in your memory box — sometimes you wished things were better back then so you would be able to be grateful, to see it as a good memory. Sometimes, you wished you were able to stay in that moment forever, in the very beginning of the story, because the continuation did not progress better. You wanted to stay in that first encounter moment forever because that was the only time when everything was fine.

The early stage was the only time when they were fine.


Mentari has always enjoyed social interaction. She loves meeting new people, getting to know them, and hearing one or two stories about them. She loves filling her brain with glimpses of people’s life. The high schoolers who always came to study, while chatting about which basketball team would steal the champion. The mid-thirty woman was having an online business meeting and throwing unfamiliar terms she barely understood. The regulars always asked about a specific barista or waitress, and had small talk with them. The on-call part-timers — including her — and their how-i-ended-up-in-this-situation stories. She started doing part-time work in coffee shops for this reason. Well, besides the money, of course. Social interactions could be nerve-awakening, but exciting and thrilling at the same time. She felt nervous sometimes, thinking about what kind of people she would have to interact with — or deal with. But they were worth the time, whether it was an eccentric art student, a lovely coffee lovers grandpa, or simply a fellow part-timer.

A particular part-timer.

Hari ini ada part-timer lain, Kak?”

In the last few weeks, Mentari had been exploring the world of part-time work. It all started with impromptu volunteer work at an event. Turned out she enjoyed working. She tried several part-time jobs; babysitter, tutor, assistant, and the typical one, barista. Although, she only took temporary or on-call jobs because of her university schedule. She recently got an offer to be a part-timer for an opening week in a coffee shop, which she accepted with joy, of course.

Originally, there was nothing particular about this job. It was just an ordinary part-time job. Until it became the beginning of a story. And it all started with a simple encounter.

Iya. Dia dateng shift sore nanti.

The said him came fifteen minutes before the afternoon shift started. Her co-worker had introduced him before but her busy brain failed to fully make out his name — pretty sure it was Samudera something. So that was what she called him, Samudera.

Salam kenal, Samudera.”

He was tall, probably ten inches taller than her. He had this silk fluffy short black hair. His slim face and sharp jaw made him look underweight — and sick, honestly. His face looked tired, or maybe he had this tired-looking face type. The pair of semi-droopy-looking eyes supported her opinion. He looked gentle, though. Gentle and definitely calm as the ocean. He did not talk much. He barely talked after their introduction greetings. She just assumed he was not the talkative type. They worked in silence for a while and interacted only when urgently needed. After two hours passed, the extroverted-ness in her could not stand it anymore.

Pertama kali jadi part-timer?” She started a conversation to kill the silence.

“As a barista? Iya, baru pertama kali.” His voice came out soft, very soft, and angelic. It sounded like the type of voice you would hear from teachers in preschool and kindergarten. It sounded feminine if described but was quite masculine if you heard it directly. “Ada yang salah ya?

Enggak, bukan gitu. Cuma keliatan nggak terbiasa aja.”

And he looked unenthusiastic. Enthusiasm seemed to leave his body for a long time. He was not the type that looked lazy, annoyed, and wanted to go home within five minutes; but rather the type that did something only because he had to. He did not look excited or interested in this job at all, but he did well without a single complaint. She bet he was the professional-in-almost-everything type of person.

“Are you always this bright?” His sudden question took her by surprise. Not because he finally initiated a small talk, but because of the choice of question. Because he apparently paid attention to her.

“By bright you mean...?”

Murah senyum, ceria, ramah.” He answered. “Setiap customer disapa. Yang nyebelin juga disapa.”

Aku suka kerja kayak gini, ketemu banyak orang.” A smile formed on her face upon remembering some of her wholesome interactions with the people she worked with and worked for. She turned her gaze back to him, which was staring at her. Maybe because she used aku, a familiar pronoun that was not usually used to talk with someone you just met a few hours ago. Maybe because she looked weird, smiling while staring dreamingly into the air. He seem satisfied with the simple answer though; it pretty much answered his curiosity. He nodded in response and proceed back to his activity. But that was when her curiosity kicked in. She befriended most of her co-workers so far, even when they never meet each other again after. She wondered if she could befriend him too, and if he would like to befriend her. Therefore, she returned his question. “Are you always this unenthusiastic?”

Her question seem to amuse him because he smiled immediately. She bet this was not the first time he got that kind of question.

Iya, setelan pabrik kalau ketemu banyak orang.” He half-joked. “Atau mungkin emang lagi capek aja.

Mungkin kekurangan zat besi.” She joked back. He let out a short laugh upon her remark. The first laugh ever since he stepped foot into this coffee shop. Well it was not like people came to a coffee shop to laugh, but he was so serious he almost looked like he was in dark mode. She almost thought he was indeed someone with a gloomy personality. Turned out he was just calm and probably super tired. And that only made her become more curious about him.

She could not help but wonder why he took this job. Was it solely for the money — hence the I-just-want-to-finish-the-job, or was it to kill time, or was it to fulfill his working hours as a requirement for something? She could not help but wonder about the glimpses of his life. Even though she was also aware that she probably would never meet him again after this. He was probably only another passerby.

A memorable passerby, maybe.

Makasih buat hari ini ya, Mentari, Heksa.”

Ah, it was Heksa Samudera, his name.

The day went in a blink of an eye, and suddenly their shift ended, as announced by the owner. The both of them went to their locker in the communal staff’s room. Each was ready to go home, to end the story of the day — and to end their encounter as well. As soon as they stepped out of this building, they would be strangers again — well, it was not like they were a thing either.

“It was nice working with you.” Mentari broke the silence in the room.

“Because I am not a lousy co-worker?” He joked. Soft laughter was heard briefly in the room. Then, it was silence again as each busy preparing to go home. Samudera was the first to close the locker door. He adjusted the sling bag on his shoulders, then turned toward her to bid his goodbye. “Duluan ya, bye.”

His voice caught her attention. She immediately turned her head to reply to his greeting. That was the time when her eyes caught something familiar. A navy blue blazer, with a familiar logo on the chest. The exact copycat of the one she had in her arms right now.

Almamaternya…kuliah di Sentosa?” She asked immediately while pointing at the said blazer. He lifted the blazer so she could look at it better.

Iya. Kamu juga?

Iya. Fashion design.”

Aku Manajemen Bisnis.”

Turned out, the so-called stranger was not really a stranger, or at least, would not be a stranger from now on. Not only they went to the same university, their faculties were pretty close to one another. That raised the chance of them meeting each other again in the future — she wondered briefly why they have not already all this time.

“Apparently it's not a goodbye?” She smiled.

“See you around then, I guess?” He returned her smile before he grabbed the door handle.

“See you around, Samudera.”

And maybe, he was not a mere passerby.

She did not know what their encounter means — what their encounter would bring. It could be a story, an unforgettable one. It could be a random encounter. Either way, she was strangely very interested in how their encounter would turn out. Because she always believes that every single encounter might have a precious value she did not realize. Every single encounter matters. Even the worst encounter she ever experienced was still worth the time because that was how she differentiate the good ones.


And that marked the first encounter, as well as the beginning of the story of her and — her now acquaintance turned friend — Heksa Samudera Khagi.

The tired-looking Business major student that achieved an almost perfect GPA in his first semester. The iron-deficiency man who managed to finish an eight-hour shift after his morning class. The hate-socializing man who happens to have a wide circle of acquaintances — including her. The fellow part-timer who now occasionally asked her to have a meal together. And not-so-suddenly, they were practically friends.

The owner of the coffee shop Mentari was working at hired him for a couple more days. That was how she knew Heksa was looking for more part-time jobs, and apparently, she had a lot of job channels. Encounters turned into casual meetings. Sometimes they worked a shift together. On other days, they met each other at the university cafeteria. And one day, they met for a meal together.

Like many friendship stories, it all started with a meal. They were about to leave after their shift ended. As usual, they took their personal belongings from the locker in the communal staff's room. Also like usual, they had some small talk.

Udah pesen gojek?” Heksa became the first to open his mouth. He was ready to leave the room, but his eyes caught the sigh of her on the sofa.

Udah tapi belum beruntung.” She showed him the screen of her mobile online taxi application. “Kayaknya hujan, jadi dibatalin terus.

Kalau gitu mau ikut aku makan?

Mentari raised her gaze to meet his. The offer was a little bit unexpected. Though, it was not like they were not supposed to have a meal together whatsoever. Their relationship has grown closer in the past month. They greet each other daily, whenever they saw each other; they also talk to each other occasionally, asking about each other's well-being and such. So, having a meal together actually was not out of the ordinary.

Makan di mana?

So, they went to the nearest restaurant which happens to be a small ramen place, which was also his recommendation. The place was small, maybe it would not be able to handle more than 15 people. Despite the density, this place somehow made you feel at peace. The ambiance was perfect for devouring a bowl of warm ramen after a tiring day as they did.

As she slurped the warm miso ramen in front of her, she immediately felt grateful she agreed to the offer. Not only she discovered one of the best miso ramen she ever had, but she also had a nice conversation. They talked about other nearest restaurants, about the best delivery food around, and about the vintage interior of the place. They were no longer having the boring small talk consisting of things they actually need to talk about. They were having a conversation about things they want to say, things that sound interesting to them, things that would entertain each other. They talked more than they usually did.

Makanan itu jadi paling enak kalau besoknya libur.”

Hah? Kok gitu?

Kalau besok libur, kan, jadi nggak mikirin takut kembung, sakit perut, muka bengkak, sakit gigi, radang atau apapun. Jadi lebih tenang dan leluasa buat makan.”

Kok aku nggak pernah kepikiran gitu ya sebelumnya?”

Terus kalau misalnya besok nggak libur, pura-pura besok libur aja.

Hahaha mana bisa kayak gitu, Samudera.”

And she suddenly thought that if they were not working together or studying at the same university, they probably would still befriend each other. Maybe they just happened to enjoy each other’s company. Maybe they discovered they could have a nice conversation outside their working shift. Maybe they just did not have any reason to not befriend each other.

And that was how their encounter progressed. The first meeting led into another and another, and another. Meeting him was no longer a coincidence, no longer an event, but rather a normal activity. The empty room chat in their phones filled with bubbles of messages. The unintentional first meeting turned into a planned casual meeting on a random day. The short excerpt turned into an actual story.

Mentari still did not know what their encounters — their meetings means. She did not know where those meetings would lead them or where they would end up at. She did not know what was waiting for them. She could not guess yet whether their encounter was a good one or was it the opposite. But whatever it was, she would like to see. She would like to see how their story progresses from here.


Do you love fairy tales? Do you believe in fairy tales?

As a child, my life was filled with hundreds of bedtime stories. Sometimes it was a local folklore, sometimes it was Middle Eastern myths, sometimes it was urban legend from neighbor grandma, and sometimes it was a lovely tale from the fantasy world. I found those tales very fascinating. How something — someone, so memorable, so special they became a tale told to millions of children in this world. Not to mention the magic of perspectives that created versions of a story, serving you with choices of variables. You might also be familiar with the phrase “…history is written by the winner…” right? A similar thing also happens with tales. The plot, and the theme, could change under different perspectives. The Sleeping Beauty was cursed by an evil fairy. We hated that one evil fairy. But Maleficent was a victim of someone’s greed. We empathize with her. The story changes according to whose perspective we are looking at.

And the same goes for the story of a person.

You must have heard stories about people around you. I heard stories about people around me; my veteran great-grandfather, my great-aunt who married a rich merchant, my police uncle who caught a drug dealer, my cousin and her new boyfriend, the cat lady two blocks from my house, and even the female ghost under the mango tree in my backyard. Some were good stories, full of astonishment and admiration. Some were anecdotes that never fail to invite laughter from the room. But there were also some not-so-good stories, filled with anger, hatred, and grudge. Sometimes you tell stories about someone’s good deeds. Sometimes, you tell stories about someone’s crime. Remembering the existence of those stories and tales made me wonder about one thing.

How would I tell the story of Samudera Khagi to people?

How would I tell the story of someone — as calm as the ocean but never as cold, a good companion but too good to be true — that I love? How would I tell the story of someone I love? I would write hundreds of pages full of my admiration for him. I would write pages about his soft voice, his evil laugh, his warm hands, his fluffy hair, and his soothing gaze. I would write about how good he was at sport yet he cheated in a basketball arcade game. Maybe I would write about how he made an impromptu food song to entertain a crying kindergarten student. And I would never forget to include the random stories he told me, or the ridiculous fairy tale he read to me during our late-night call. And — and how hard he was to himself. He was so hard on himself he chose to struggle alone. He barely loosen up, he was always up for something, and he was almost always in guard mode. And he never allows me to love him, actually.

So, tell me how to write a story about him. A story that did not end well. It began with giggles and soft laughter and ended with tears of loss. It started off as a slice-of-life kind of story, and I got my heart sliced to pieces at the end. Everything was easy and clear at first but suddenly it all got tangled up somewhere. It gave me smiles and butterflies; never I thought they came in a bundle with cries and sweet lies. A story that made me go through stages of emotions — and stages of grief. So, tell me, how would I pour those emotions into words? How would I tell the story of our first encounter, our core moments, our hard times, and our goodbye? How would I tell the story, when he was not only someone I love but also someone who left me? What — which and whose perspective should I use?

My story — our story, too, might have variables. It could have different variables depending on whose perspective we were talking about. It could be a story of a young man struggling with his life, who was given a choice to be selfish or selfless. A young man who only care for others, but still, he couldn't make everyone happy. A story of a young man who got someone's heartbroken. It could also be a story of a young woman and her unrequited love. A story of a young woman so naive she got hurt by her own expectations. A story of my unrequited love and how I spent my time wishing I could have that love in my grasp.

Now tell me, which versions of the story do you wish to hear? Is it the life journey of Samudera Khagi? Or is it the unrequited love of Mentari? Would the story fill with anger-raising events? Or would there be hundreds of curse words? Or maybe the agony of a broken heart? Be prepared for disappointment because I would not tell that kind of story. I would not make him a villain, and I would not write myself as a victim. I would write him as someone I love, and I would write myself as someone who loves him. I just want to tell a story about someone I love, and everything we once had. And I want to write him so beautifully it sounds like a fairy tale. So, let me tell you the story — his story, our story.

Let me tell you a tale about Samudera Khagi.


Terkadang, sebuah jawaban itu, terletak di masa lalu. Setidaknya begitu bagi Maure, Heksa, Kaisar, dan Arumi. Jawaban atas kekusutan di antara mereka terletak di masa lalu. Jawabannya dan solusi dari gulungan benang itu adalah dengan mengungkap masa lalu yang mengikat semuanya. Sama hal nya dengan masalah mereka masing-masing, yang jawabannya sama sekali tidak ada di masa sekarang. Jawabannya terletak pada kepingan masa lalu yang menyakitkan itu. Tersembunyi dibalik luka masa lalu sehingga sulit ditemukan. Dan kalau ingin menemukan jawaban itu, mereka harus menjelajahi kembali masa yang menyakitkan itu.

“Lucu deh, Abang, aku yang paling semangat ngelupain masa lalu justru jadi yang paling terakhir move on.” Mulai Maure sambil memperhatikan ruangan di sekitarnya. “Selama ini justru aku yang paling stuck di masa lalu. Aku stuck di masa lalu tapi aku gak mau berinteraksi sama masa lalu itu.”

Saat ini, Maure dan Heksa sedang berada di rumah masa kecil Maure, di Bandung. Rumah yang ia tinggali sampai kepergian Ragalih Khagi. Setelahnya, rumah ini hanya menjadi rumah singgah, rumah yang ia datangi bersama Zianne beberapa kali dalam satu tahun. Sekarang, rumah ini hanya menjadi gudang memori.

“Ini nggak mau kamu liat-liat dulu, Ole?” Tanya Heksa sekali lagi sambil menunjuk tumpukan kardus di sekitar mereka.

Tumpukkan kotak-kotak itu berisi memori. Berisi kenangan tentang masa hidup Zianne Amora, bahkan bisa dibilang kotak itu berisi bukti kehidupan dan saksi-saksi kehidupan Zianne. Tumpukkan kotak-kotak yang tidak pernah Maure sentuh—tidak pernah mau ia sentuh. Heksa pun ingat, bagaimana Maure selalu memalingkan wajah selama proses pemakaman. Mengalihkan pandangannya, melihat kemanapun asal jangan ke arah wajah cantik Zianne yang nyaris sepucat kertas. Heksa juga ingat bagaimana Maure langsung meminta barang-barang ibunya itu segera dibereskan dan dikirim ke rumah masa kecilnya, sedangkan rumah tempat Zianne merenggut nyawanya sendiri itu dijual satu tahun kemudian. Heksa ingat bagaimana Maure berusaha keras untuk melupakan Zianne.

“Kamu nggak pernah nyentuh barang-barang Mama Anne.”

Lebih tepatnya, Maure merasa takut untuk menyentuh barang-barang itu. Takut dengan apa yang mungkin ia temukan disana, namun juga takut akan apa yang mungkin tidak akan pernah ia temukan disana.

“Ada satu.”

“Hm?”

“Ada satu yang aku sentuh. Jurnalnya Mama.” Lanjutnya, sambil menunjuk buku kecil berwarna cokelat dari dalam laci nakas. “Waku aku udah homeschooling, aku mulai sering ke makam Mama. Waktu itu kayaknya sekitar satu taun peringatan kematian Mama? Aku frustasi banget karena aku bener-bener pengen tau kenapa Mama pergi. Akhirnya aku buka jurnal ini.”

“Kamu dapet jawabannya?”

“Enggak, Abang. Mau aku baca seratus kali juga nggak ada jawabannya. Jurnal ini isinya cuma kenangan yang Mama punya tentang Ayah, tentang aku. Jurnal ini jadi barang pertama sekaligus terakhir yang aku sentuh setelah kematian Mama. Aku gak mau buka-buka barang Mama lagi. Aku takut, gimana kalau jawabannya emang gak ada? Gimana kalau tumpukan kotak itu isinya cuma kenangan yang bikin aku terus terusan keinget sama Mama?”

Tapi sekarang, ia ingin membuka semua tumpukkan kotak itu, satu per satu. Ia ingin membedah luka masa lalunya satu per satu, agar ia tahu caranya mengobati semua.

Maka ia melakukannya. Ia membuka setiap isi kotak. Ia menelusuri barang-barang peninggalan Zianne dan memilah mana yang akan ia simpan sendiri, mana yang harus dibuang, mana yang akan dibiarkan—sambil mencari jawaban yang mungkin ada di antaranya. Maure membuka semua kotak, semua lemari, semua laci. Ia sampai merogoh setiap kantung baju yang masih tersimpan di dalam rumah itu, setiap halaman buku, setiap lembar foto. Dan ternyata, jawaban dari semuanya memang selalu ada di masa lalu.

Jawaban itu tersimpan di dalam surat yang diselipkan di album foto pertama Maure.

“Ketemu, Abang.”

“Ketemu apa?”

“Surat, dari Mama buat aku.”

Perjalanannya menyembuhkan luka, dimulai dari sini.


Tempat lain untuk menemukan jawaban adalah diri sendiri. Baik itu jawaban tentang apa yang terjadi, apa yang diinginkan, apa yang harus dilakukan—apa yang harus mereka lakukan sekarang. Ada banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban, namun yang paling penting adalah pertanyaan yang terakhir. Apa yang harus mereka lakukan? Selalu, itu adalah pertanyaan yang terpenting. Apa yang harus dilakukan agar bisa tahu tentang apa yang terjadi? Apa yang harus dilakukan agar bisa tahu apa yang diinginkan? Dan terakhir, apa yang harus dilakukan saat dua pertanyaan sebelumnya sudah terjawab? Hanya masing-maisng yang tahu jawabannya sekarang. Masalah apapun yang dilalui, pada akhirnya yang menghadapi adalah diri sendiri. Pada akhirnya, diri sendiri yang menentukan.

“Rum, menurut kamu apa yang nahan kita semua selama ini? Selain karena masa lalu yang nyakitin, apart from the pain, apa yang bikin kita sama-sama ga mau nyelesain masalah ini ya?”

Tapi sebelum itu, Kaisar memulai dengan mempertanyakan sikapnya sendiri. Mencari tahu, apa tepatnya, sesuatu di dalam dirinya yang menahannya selama ini. Memori yang menyakitkan itu pasti, semuanya pun setuju. Tapi kalau pada akhirnya ia bisa melewati semuanya, ia bisa mengambil langkah untuk mengatasi semuanya, kenapa baru sekarang? Ia ingin tahu, isu semacam apa yang ada di dalam dirinya.

“Mungkin kita takut?” Tebak Arumi. “Ole takut sama kebenaran dibalik kematian mamanya, kamu takut ngelawan ayah tiri kamu malah bikin situasi jadi tambah buruk, aku takut kehilangan apa yang aku punya.”

“Heksa takut kehilangan kita semua.”

Dan ternyata, mereka semua tetaplah jiwa-jiwa muda yang punya banyak ketakutan, dan tidak tahu banyak tentang hidup. Mereka semua bukan tetua bijaksana yang bisa memikirkan solusi dari suatu masalah hanya dalam sekali berpikir.

We really need to fix ourselves.

Semuanya setuju, bahwa apa yang terjadi tidak semata bisa diserahkan kepada waktu. Apa yang terjadi bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan waktu—hanya dengan waktu. Tetapi pada akhirnya, mereka tetap memerlukan waktu, mungkin banyak waktu, untuk bisa mewujudkan solusi mereka.

“Iya ‘kan? Mau dipikirin seberapa banyak pun itu jawabannya, diri kita sendiri, Kai.” Sahut Heksa yang baru bergabung dengan keduanya. “Wa started in wrong circumstances, wrong state of ourselves. Makannya yang paling harus diperbaiki itu diri sendiri dulu. Jangan mikirin yang lain dulu, itu udah jawaban yang paling bener.”

“Makannya aku sama Abang milih buat pergi sebentar.” Timpal Maure, sebagai orang terakhir yang bergabung.

Semuanya pun setuju, bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda, entah itu untuk menemukan jawaban, menyelesaikan masalah, atau menyembuhkan diri.

They are letting go of the tangled strings.


Perpisahan dan bahagia sangat jarang berada dalam satu kalimat yang sama. Semua orang juga tahu bahwa hampir semua perpisahan adalah hal yang tidak menyenangkan—menyedihkan, menyakitkan. Kebanyakan perpisahan juga memang didasarkan pada hal yang tidak menyenangkan. Perpisahan karena kematian, putus hubungan, perpindahan, dan sebagainya. Perpisahan juga kebanyakan terjadi untuk waktu yang lama, bahkan selamanya—hence it is a goodbye and not a see you.

Perpisahan itu, adalah adegan yang terjadi sekarang.

“Gue kira lo bakalan pergi tanpa bilang ke gue.”

“Lo kan temen gue, masa gue ngilang gitu aja.”

“Lo sering-sering chat gue ya, Ole.”

“Iya, pasti! Cemi juga kalau Jegar macem-macem langsung bilang nanti gue kirim santet online.”

“Waduh, serem ya Maure.”

Semua orang—semua yang terlibat dalam cerita ini (atau hampir semuanya) saat ini sedang berada di bandara untuk melepas kepergian Maure, Heksa, dan Kiana. Sudah satu jam berlalu di habiskan oleh obrolan dan salam perpisahan. Ucapan-ucapan penghibur keluar dari dan ditujukan untuk kedua belah pihak. Ucapan-ucapan tentang untuk selalu saling mengingat, untuk menjaga kesehatan, untuk menjadi lebih bahagia. Juga obrolan-obrolan tentang mimpi-mimpi yang ingin dicapai, atau sekedar hal yang ingin dilakukan keesokan hari.

Maure dan Heksa sudah memutuskan dan membulatkan keputusan itu. Ketiganya memilih untuk pergi sementara waktu untuk menyelesaikan cerita mereka masing-masing—untuk menyelesaikan beban di pundak masing-masing.

Terdengar seperti adegan yang klise untuk cerita yang penuh lika-liku. Mungkin juga, terdengar tidak masuk akal. Kenapa pergi saat semua masalah sudah diselesaikan? Kalau pada akhirnya akan pergi, kenapa tidak pergi dari dulu? Jawabannya adalah karena kepergian mereka bukanlah bentuk pelarian. Maure dan Heksa tidak sedang melarikan diri. Pun, mereka bukan pergi untuk memulai kehidupan baru sambil menyembunyikan yang lama ke dalam kotak pandora. Mereka hanya pergi. They’re leaving for good. Kali ini, Maure tidak mengabaikan semuanya—ia tidak melarikan diri lagi. Justru, ia pergi untuk menghadapi dirinya sendiri. Begitu pun dengan Heksa, dan yang lain. Semuanya pergi untuk menghadapi diri mereka masing-masing—dengan cara mereka masing-masing. Bagi kakak beradik itu, ini cara mereka.

Masalah yang mengikat semuanya, benang-benang kusut yang mengikat semuanya, memang sudah dibereskan. Tapi benang-benang kusut di dalam diri masing-masing, belum.

They—the four of them—have found each other. Now it is time to find themselves.

“Baik-baik disini ya, Rumi.”

“Iya, Kak. Kamu juga.”

“Jadinya habis dari sini langsung ke tempat Mama kamu?”

“Aku ketemu temen dulu sebentar, baru nanti sore dijemput Mama.”

Enjoy your time, ya.”

One chose to rebound.

“Titip Kale ya. Awas kalau Kale gak nyampe ke gue.”

“Iya iya. Gue udah sering kali bantu transfer peliharaan ke luar negeri.”

“Titip salam ke Kak Kinan.”

“Iya.”

Perpisahan dan bahagia memang jarang ada dalam satu kalimat yang sama. Tapi, tidak bahagia bukan berarti buruk. Terkadang, ada perpisahan yang baik meski tidak membahagiakan.

Cerita ini belum sempurna. Semuanya belum sempurna. Namun tidak salah kalau menyebut semuanya sudah baik-baik saja sekarang. Badanya sudah berlalu dan sekarang semuanya baik-baik saja. Sebaik itu sampai Maure bisa mengajak Cemima dan Jegar untuk bergabung bersama mereka hari ini. Sebaik itu sampai Maure dan Kaisar bisa kembali bercanda seperti biasanya. Sebaik itu sampai Maure dan Arumi bisa berpelukan sambil berpamitan walau pelukan itu tidak bertahan lebih dari sepuluh detik. Sebaik itu sampai Maure dan Heksa bisa memutuskan untuk pergi, dan mereka pergi tanpa penyesalan; tanpa perasaan lainnya yang memberatkan hati. Semuanya berakhir sebaik itu sampai mereka semua bisa tersenyum sekarang. Semuanya berakhir baik sampai perpisahannya pun berakhir baik.

Good luck buat sidang Bunda lo ya, Kai. Gue yakin kalian bakalan menang dan ayah tiri lo bakal nerima hukuman yang pantes.”

Thanks. Lo juga, good luck in finding whatever it is you want to find. Jangan lama-lama perginya.”

“Gue pulang lo harus udah jadi pengacara ya.”

“Kalau kayak gitu lo perginya minimal lima taun.”

One chose to fight.

“Hehehehe, jangan kangen ya, Kai.”

“Jangan kepedean.”

“Bukan sama gue, jangan kangen sama Ole maksudnya.”

Meskipun sebaik apapun perpisahannya, rasa sedih itu pasti ada. Perpisahan di antara mereka pun tidak dikecualikan dari rasa sedih.

“Sini,” Kaisar membuka kedua tangannya untuk menyambut Maure ke dalam pelukannya. Dalam hitungan detik, perempuan itu sudah menyandarkan kepala dengan nyaman di dadanya. “I’ll miss you.”

Keduanya berpelukan dengan nyaman dan tenang. Sama seperti yang lain, sama-sama menyampaikan kasih sayang terakhir sampai mereka semua berkumpul lagi. Kalau dipikir-pikir lagi, hubungan Maure dan Kaisar bisa dibilang sebagai api pertama yang menyulut api-api lainnya. Hubungan yang sebenarnya benar-benar sederhana. Hubungan yang mulanya dikira paling sederhana, namun ternya tetap saja dalam perjalanannya harus melewati gulungan benang yang kusut—dan akhirnya ikut kusut juga. Sangat disayangkan keduanya tidak memiliki banyak waktu untuk bernafas lega bersama karena kini, mereka dihadapkan pada perpisahaan. Mungkin, pemikiran itu juga yang membuat Maure menitikan air matanya.

“Eh kok tiba-tiba nangis?” Tanya Kaisar sedikit khawatir saat mendengar perempuan itu mulai terisak.

*Maure has experienced a lot of goodbyes, adding another one to the list didn’t seem like a huge thing—she had familiarized herself with goodbye(s). She got used to being separated, unwillingly, with people. So she thought this one would be just fine. She thought this one would be just fine since it wasn’t about death, it wasn’t about running away, but about healing the self—she thought this one would not hurt at all since they were saying goodbye for good. But a good goodbye is actually the worst. She wasn’t forced by anything—the circumstances, the fate—she wasn’t forced to say goodbye but she chose to. That is what hurt the most.*

“Sedih.” Jawabnya singkat disela tangisnya.

“Aku juga sedih.” Balas Kaisar. Ia menarik napas panjang sebelum bicara lagi, menyampaikan kata-kata yang menenangkan, dan sedikit menyenangkan. “We’ll be okay like you said. Don’t worry, my feeling for you is there, it exists.”

“Makasih, Kaisar.” Ucap Maure pelan setelah tangisnya sedikit mereda. Hal itu membuat Kaisar memeluknya semakin erat; meletakkan dagunya di puncak kepala Maure sambil mengusap punggung perempuan itu pelan, menenangkan. “Sampai ketemu.”

One chose to heal.

“Iya.” Balasnya, masih sesekali mengusap punggung Maure. “I’ll be here.”

Semua orang berkata hal yang sama hari ini. Mereka yang pergi berucap terima kasih, dan mereka yang ditinggalkan berucap dengan yakin—menjanjikan bahwa mereka akan selalu siap menyambut kalau-kalau yang pergi pulang. Mereka yang ditinggalkan berjanji kalau mereka akan selalu ada, akan selalu jadi rumah untuk pulang nanti. Bahkan saat yang pergi belum bisa menjanjikan kepulangannya.

Take care, Ole, lo juga, Sa.”

“Kalian semua juga take care, wherever you are.

One chose to see everyone well and happy.

Sebuah cerita tidak selalu berakhir dengan perpisahan, tetapi perpisahan sering menjadi tanda dari berakhirnya sesuatu. Sebuah cerita tidak harus diselesaikan dengan perpisahan, tetapi perpisahan sering menjadi tanda selesainya sebuah cerita. Bagi Maure, Heksa, Kaisar, dan Arumi, perpisahan ini menjadi akhir—menjadi penyelesaian dari cerita yang sebelumnya. Tanda selesainya cerita yang berisi benang-benang kusut yang sempat mengikat mereka satu sama lain. Mereka bukan berpisah untuk selamanya. Mereka berpisah untuk bertemu kembali, dengan versi diri masing-masing yang lebih baik, dalam cerita yang baru. Sedangkan cerita yang penuh cerita—penuh amarah, tangis, dan luka itu sudah bertemu dengan ujung.

Dengan begitu, cerita mereka selesai sampai sini.


Dari kecil aku sering denger kalau aku ini terlalu dewasa buat anak seumuran aku. Dulu aku mikirnya padahal bagus kan ya, dibilang dewasa. Tapi ternyata ada bedanya antara bersikap dewasa doang sama terlalu dewasa. Aku bisa bersikap dewasa dari kecil itu bukan karena aku yang keren, tapi karena situasinya bikin aku terpaksa harus selalu bersikap dewasa. Aku nggak punya waktu buat bersikap kekanakan. Aku jangan sampai bersikap kekanakan. Aku punya pola pikir kalau aku ini harus selalu dewasa, harus jadi yang paling dewasa. Aku harus ngambil peran orang dewasa.

Sebenernya nggak ada yang nyuruh aku buat bersikap dewasa sih. Kayaknya itu bentuk inisiatif aku aja? Dari aku kecil, dari seinget aku, Ayah nggak tinggal bareng aku sama Ami. Awalnya, kayak tipikal keluarga broken home sejak dini, aku taunya Ayah kerja. Lama-lama ya aku ngerti juga kalau Ayah sama Ami emang nggak bareng aja. Ayah emang sering ke rumah, sering main bareng aku, sering ngabisin waktu bareng Ami juga. Tapi kebanyakan waktu, aku berdua aja sama Ami. Kayaknya, sikap dewasa aku udah kepancing dari situ. Karena aku cuma berdua sama Ami, aku otomatis mikir kalau aku harus jagain Ami dong? Pemikiran sederhana Heksa umur bocah waktu itu kira-kira gini: di keluarga lain ada ayah yang menjaga keluarga, nah karena di keluarga aku ayahnya nggak tinggal di rumah, berarti yang dapet tugas menjaga keluarga, ya aku.

Lama-lama aku tau juga kalau Ayah punya keluarga lain, dan aku punya adik di keluarga Ayah yang lain itu. Waktu itu aku mikir apa ya…kayaknya bingung sedikit kok adiknya anak Ayah tapi aku nggak pernah liat, terus datang-datang udah besar. Tapi waktu tau adiknya bukan anak Ami, aku langsung ngerti. Jujur, nggak ngerti-ngerti banget tapi ya intinya ngerti deh. Aku ngerti kalau keluarga aku nggak kayak keluarga pada umumnya. Hal pertama yang aku pikirin waktu itu adalah Ami. Aku butuh jawaban Ami biar bisa tau, keluarga aku ini baik-baik aja atau enggak. Kalau Ami bilang semuanya baik-baik aja, berarti emang baik-baik aja. Sebagai anak yang baik, sebagai anak pertama yang baik, tugas aku itu ya menerima keadaan keluarga ini. Tugas aku yang lain adalah menerima adik yang baru muncul itu.

Sejak saat itu, Maure Zianne Khagi jadi bagian dari hidup aku. Ole jadi bagian dari hidup aku.

Aku nggak pernah kepikiran soal adik sih, tapi kalau dikasih ya nggak nolak. Walaupun awalnya sedikit bingung, namanya anak-anak ujungnya kalau ngerasa seru, ya akur-akur aja. Kalau Ole datangnya sekarang-sekarang, mungkin ceritanya bakalan beda jauh. Jangankan deket, kayaknya kita mau nyapa doang canggung. Tapi Ole datangnya waktu aku masih kecil, belum ngerti banyak soal hubungan interpersonal. Jadi, kita gampang akrabnya. Untungnya, aku ketemu Ole dari kecil. Kalau enggak, aku nggak akan ngerasain hari-hari punya adik.

Ole buat aku awalnya ya adik aja. Adik yang harus aku temenin, adik yang harus aku jaga, adik yang harus aku sayang. Seiring kita tambah dewasa, aku semakin sadar soal satu hal: Ole itu nggak enakan. Ole sering bersikap nggak enakan. Dia sering ragu-ragu buat nerima hadiah dari Ami. Dia jarang banget nerima ajakan main bareng Ami. Ya wajar aja sih ya, karena Ami itu bukan ibunya Ole. Tapi, Ole juga nggak enakan soal Ayah. Ole nggak mau nerima hadiah dari Ayah kalau aku nggak dapet juga. Ole nggak mau pergi bareng Ayah kalau aku nggak pergi juga, walaupun perginya tetep misah-misah. Ole nggak mau pergi ambil rapor bareng Ayah kalau aku nggak ambil bareng Ayah. Aku ngerti kalau Ole kayak gitu ke Ami, tapi kalau ke Ayah? Kenapa harus ngerasa nggak enak? Ayah kan ayahnya Ole. Ngapain Ole harus ngerasa sungkan buat minta kasih sayang dan perhatian Ayah? Jawabannya, ya karena situasi keluarga kita.

Dari situ, pandangan aku tentang Ole berubah. Ole bukan sekedar adik aku, tapi seseorang yang berbagi cerita yang sama kayak aku; berbagi nyawa, berbagi luka.

Aku sama Ole banyak miripnya. Ya iyalah orang adik kakak. Kita lahir dari Ayah yang sama, kita tumbuh besar dalam situasi yang sama, kita belajar tentang masalah yang sama. Ada beberapa sifat, sikap, atau tindakan kita yang mirip. Contohnya, kita yang sama-sama sering ngerasa ragu buat jadi ‘manja' ke Ayah karena sadar kalau Ayah nya harus dibagi dua. Kita yang masih sering sungkan waktu main ke rumah masing-masing karena ngerasa ngerepotin—ngerasa nggak berhak. Tapi ada banyak juga sifat, sikap, atau tindakan kita yang beda. Misalnya, persepsi kita ke Ayah dan keluarga ini.

Ole itu prinsip hidupnya everything is okay as long as it is okay. Dia dari sananya emang cuek dan nggak banyak mikir, hidupnya juga lurus-lurus aja. Kalau ditanya soal Ayah, Ole selalu bilang dia nggak mau tau apapun selain yang dia tau sekarang. Jawabannya selalu sama, dia cuma pengen tau yang baik-baiknya aja tentang Ayah. Selebihnya, khususnya soal Ayah, Ami, sama Mama Anne, bukan urusannya. Sebaliknya, aku justru sering penasaran tentang semua itu. Cerita hubungan mereka bertiga itu nantinya nentuin persepsi aku ke Ayah. Apakah Ayah orang yang bisa aku junjung dan aku contoh, atau sekedar Ayah yang cukup aku cintai aja. Sayangnya, Ayah pergi sebelum aku sempet belajar lebih jauh tentang Ayah. Ayah pergi dan aku terjebak sama satu dilema.

I was torn between carrying the family name with pride, or with hatred.

Tapi, aku nggak punya waktu buat mikirin itu. Aku nggak punya waktu buat mikirin diri aku sendiri. Aku nggak punya waktu buat main game. Aku nggak punya waktu buat belajar masuk kedokteran. Aku nggak punya waktu buat ikutan klub-klub olahraga di kampus atau sekedar rutin ikutan main. Aku nggak punya waktu buat mikirin dunia percintaan sampai satu orang aku gantungin dari taun kemarin. Aku nggak punya waktu buat mikirin isi kepala aku sendiri, karena ada banyak hal lain yang perlu aku pikirin.

Ayah pergi ninggalin banyak hal. Ayah ninggalin koleksi stik golf-nya. Ayah ninggalin rumah sakit keluarga yang sekarang diurus sama Ami. Ayah ninggalin properti tempat tinggal yang katanya buat aku sama Ole tempatin kalau udah besar. Ayah ninggalin Ami, Ole, dan Mama Anne. Ayah ninggalin cerita tentang mamanya Rumi, berikut Rumi nya. Ayah ninggalin keluarga Khagi. Dan siapa yang bakal ngejaga semua itu kalau bukan aku? Siapa yang bakal bertanggung jawab soal semua itu kalau bukan aku? Ayah ninggalin tanggung jawab yang belum sempet diselesaikan dan aku yang ngambil alih tanggung jawab itu. Aku nggak punya waktu buat mikirin dilema aku, atau isi kepala aku yang lain, karena ujungnya, aku tetep nerusin nama Khagi juga. Aku ngelanjutin hidup sambil bawa nama Khagi.

Aku yang jadi atap, bukan cuma buat keluarga Khagi, tapi semua orang.

Bukan cuma Ami, Ole, dan Mama Anne, tapi Kaisar sama Rumi juga. Aku ngerasa kalau aku ini harus jadi atap buat semua orang. Aku yang bertanggung jawab atas semua orang, keselamatan mereka, kebahagiaan mereka. Kalau aku ambruk, nanti mereka berteduh dimana? Berlindung dimana? Kalau aku ambruk, nanti mereka juga. Pokoknya urusan aku belakangan, yang penting mereka aman dulu semuanya. Aku berharapnya, mereka semua baik-baik aja.

Aku udah tau dan selalu tau tentang keluarganya Kaisar. Tapi aku nggak bisa ikut campur urusan rumah tangga orang lain, dan cuma bisa stand by buat Kaisar. Buat selalu siap siaga kalau-kalau dia butuh bantuan, sambil jadi temen yang selalu ada disampingnya. Kadang, aku nggak tahan kalau diem aja dan aku mutusin buat bantu sedikit-sedikit. Masalah keluarganya Kaisar emang bukan tanggung jawab aku, tapi sebagai temen, sebagai sahabat, hal paling kecil yang bisa aku lakuin itu ngebantu dia biar tetep kuat. Tanggung jawab aku itu, ngebantu dia biar tetep kuat. Karena itu juga yang dia lakuin buat aku. Nggak banyak, nggak besar. Kaisar ngebantu aku buat tetep waras. Kaisar ngebantu aku dengan selalu ada di samping aku.

Dibanding Ole, aku lebih dulu tau soal mamanya Rumi, berikut cerita lengkapnya Rumi. Pesan Ayah ke aku itu emang sekedar jangan benci Rumi. Soal ngejaga Rumi itu urusan Ayah. Tapi disaat Ayah pergi, otomatis Rumi jadi tanggung jawab aku. Tanggung jawab aku buat mastiin dia hidupnya baik-baik aja. Tanggung jawab aku juga buat ngasih tau dia tentang mamanya dan cerita kehidupan lengkapnya. Bagian Rumi ini sedikit susah, karena rawan bikin salah paham di antara aku, Ole, dan Rumi. Aku nggak punya attachment apa-apa ke Rumi. Dibanding sayang juga, jauh lebih cocok kalau disebut sekedar peduli atas dasar simpati. Jadi selama ini aku cuma merhatiin Rumi dari jauh buat hidupnya baik-baik aja.

Aku berharapnya, mereka semua baik-baik aja. Tapi aku banyak gagalnya. Malah kayaknya dari sekian banyak usaha aku buat ngejaga mereka, lebih banyak yang gagal dibanding yang berhasil. Dan makin kesini aku malah makin ragu, did I ever did it right? Aku ragu, usaha aku udah cukup atau belum? Ada hal-hal yang kelewat sama aku atau enggak? Tindakan aku bener atau salah ya? Kalau udah bener, kok banyak yang gagal? Kok banyak yang berantakan?

Aku gagal disaat Mama Anne pergi, she was gone in the worst way possible, the most hurt. Aku lengah dan jadi kurang merhatiin sama Mama Anne. Aku gagal lagi disaat aku nggak bisa ngejaga hubungan di antara Ole sama Rumi. Ayah berharap mereka bisa akur. Nggak harus akrab dan deket tapi seenggaknya jangan saling benci. Aku juga gagal lagi disaat Kaisar terlibat sama semua ini. Dia jadi terlibat sama apa yang bukan bebannya dia. Tapi titik paling gagal aku itu disaat aku ngeliat Ole ambruk di depan makam Mama Anne, sendirian, dan kesakitan. Titik paling gagal aku itu disaat aku ngeliat Ole hancur.

Ole adik aku, Ole setengah dunia aku, Ole-nya aku.

Aku ngerasa gagal se-gagal gagalnya jadi Abang. Aku ngerasa gagal se-gagal gagalnya sebagai kepala keluarga. Ole tinggal punya aku, tinggal aku keluarganya. Tapi aku nggak bisa jadi tempat berteduhnya dia, tempat bersandarnya dia. Aku nggak bisa jadi tempat berlindungnya dia. Aku nggak bisa bikin Ole bahagia. Di samping semua itu, aku juga ngerasa kecolongan. Ole berjuang ngelawan grief setelah kehilangan Mama Anne dan aku nggak tahu. Aku nggak tahu seberapa banyak, seberapa berat rasa sakit yang Ole rasain akibat grief itu. Dan aku marah sama diri aku sendiri karena aku nggak tau apa-apa selama ini. Aku makin marah waktu tau kalau aku bisa aja nyari tau lebih bener lagi. Ah, bukan cuma itu aja. Aku bisa aja meminimalisir semua kekusutan ini kalau aku lebih bener lagi.

Kita semua bisa bahagia, kalau aku berusaha lebih keras lagi buat ngejaga semuanya.

Ada yang pernah (sering, sebenernya) bilang ke aku kalau semua ini bukan tanggung jawab aku. Katanya, masih belum waktunya aku ngambil peran yang sedewasa itu. Katanya, aku harusnya masih hidup seneng-seneng dibanding mikirin semua ini. Atau kalau emang tanggung jawab aku, seenggaknya bisa aku bagi ke orang lain. Beban yang aku bawa ini bisa aku bagi ke orang lain. Katanya, takut berat kalau aku tanggung sendirian. Dia ada benernya, sedikit. Emang berat. Tapi mau seberat apapun, ujungnya tetep harus aku bawa juga. Aku bisa berbagi beban ini sama orang lain. Entah dengan cara minta bantuan, atau sekedar cerita. Tapi, orang lain nggak punya kewajiban buat menanggung beban ini. Orang lain nggak punya kewajiban buat ikut ambil tanggung jawab ini. Orang lain nggak punya kewajiban buat mikirin semua ini. Orang lain nggak punya kewajiban buat ngeberesin semua kekusutan ini.

Mau semua ini emang tanggung jawab aku atau bukan, aku bakalan tetep ngambil peran sebagai orang yang ngeberesin semua ini.


Salah satu impresi orang ke aku yang paling melekat di aku itu, katanya aku ini penuh dengan harapan. Aku punya banyak visi tentang banyak hal, punya banyak tujuan yang ingin aku capai. Katanya, aku ini optimis dan selalu yakin kalau kita bisa nemuin jalan dan harapan buat wujudin visi dan tujuan itu. Aku akuin, aku emang punya banyak harapan. Aku punya banyak hal yang pengen aku capai dan aku milikin. Aku punya banyak harapan tentang hidup aku kedepannya. Dan diantara visi, misi, tujuan, dan harapan itu, banyak yang berhasil aku capai. Aku bisa masuk Kedokteran Hewan berkat beasiswa. Aku jadi volunteer di banyak kampanye peduli hewan. Aku bahkan berhasil dapet kesempatan buat jadi pengurus salah satu program kampanye adopt don’t shop. Banyak yang ngira aku bisa optimis dan penuh harapan gini karena aku selalu sukses dalam mencapai semua itu. Little did they know, I was born with nothing, therefore I desired everything.

Informasi personal buat aku itu kayak sesuatu yang keramat, kayak pandora box yang ngga boleh dan ngga akan pernah mau aku buka. Alasan sederhananya, karena aku udah ngerasa bahagia dan nyaman dengan kehidupan aku yang sekarang. I feel content with everything I have. Dan aku ngga mau kehilangan semua itu. Aku ngga mau kehilangan apa yang aku punya sekarang—kehidupan yang normal, dan sempurna. Aku punya keluarga yang sayang, peduli, dan berterima kasih akan kehadiran aku. Aku punya banyak temen yang kagum dan ngerasa terinspirasi sama aku. Aku lagi dalam perjalanan buat mencapai cita-cita aku. Dan di atas semua itu, aku punya seseorang yang selalu suportif sama aku.

Happy family, fun friends, great reputations, dreams, and a supportive boyfriend. Hampir.

Kaisar bukan pacar aku dan ngga akan pernah jadi pacar aku. Alesannya? Ya karena kita temenan. Aku ngga pernah sekali pun punya perasaan lebih buat dia. Sedeket apapun kita, aku ngga pernah baper, aku ngga pernah jatuh cinta sama dia sedikitpun. Tapi dalam satu tahun terakhir, aku mulai bersikap kayak gitu. Aku mulai bersikap kalau Kaisar ini the supportive boyfriend yang ngelengkapin daftar keinginan aku. Kaisar emang sering nawarin diri buat anter jemput aku. Dia juga jarang ngebolehin aku pulang sendirian. Tapi dalam satu tahun terakhir ini justru aku yang lebih sering minta dijemput. Kita juga emang sering pergi bareng, ngabisin waktu bareng, atau saling nemenin buat dateng ke suatu acara. Tapi aku yang lebih sering ngajakin Kaisar ngedate belakangan ini. Kita emang selalu cerita soal satu sama lain, saling kabar-kabaran. Tapi aku jadi lebih sering cerita, bahkan soal hal yang ngga penting sekalipun. Aku mulai bersikap seolah aku sama Kaisar punya hubungan khusus—seenggaknya di depan orang-orang. Aku jarang banget bawa-bawa kehidupan personal aku ke publik, tapi aku seneng pamer kalau soal Kaisar. Aku ngerasa pengen banget orang-orang tau tentang aku sama Kaisar.

Aku pengen Ole tau tentang aku sama Kaisar.

Kalau ditanya soal perasaan aku ke Ole, jawabannya cuma satu. Iri. Aku iri sama Ole. Dia lahir, sah secara hukum dan agama, di keluarga yang utuh. Di keluarga yang saling menyayangi. Di atas semua itu, dia dapet kakak laki laki yang sayang banget sama dia, dan satu ibu tambahan yang juga luar biasa sayangnya ke dia. Di samping semua itu, dia punya keluarga lain, kerabat, yang bisa dia datengin kapan aja. Ole dikelilingi orang orang baik. Ole itu keberadaan yang diinginkan, dan aku iri sama hal itu. Rasa iri itu tumbuh dan berkembang, jadi rasa marah. Karena aku ngga punya apa yang Ole punya.

Aku lahir sebagai kesalahan. Aku lahir tanpa orang orang yang menanti kelahiran aku. Aku bahkan ngga punya surat surat legal yang bisa menyatakan kalau aku ini manusia yang sah—bahwa kehadiran aku ini berhak untuk diakui. Sampai aku ketemu sama Ayah Khagi. Orang baik yang dengan tangannya sendiri, merangkul aku. Orang yang menaruh namanya di akta kelahiran aku, supaya kehadiran aku bisa diakui semua orang. Tapi aku tetep marah, karena walaupun aku akhirnya bisa ngerasain apa yang Ole rasain, semua itu bukan punya aku. Aku punya “orang tua” tapi aku ngga bisa manggil mereka sebagai orang tua aku. Aku punya “keluarga” tapi aku bukan bagian dari keluarga itu. Aku akhirnya bisa dapet apa yang Ole punya, tapi apa? Semua yang aku dapetin itu, pada akhirnya, punya Ole. Aku disini cuma peminjam.

Iri berubah jadi amarah dan amarah itu berubah jadi kebencian.

Waktu tau kalau Ole juga kenal Kaisar, aku ngerasa menang. Kenapa? Karena aku lebih dulu kenal Kaisar. Karena aku lebih kenal Kaisar. Karena aku punya Kaisar. Dan waktu tau Ole suka sama Kaisar, aku makin kepancing buat nunjukkin kepemilikan aku. Waktu tau Ole suka sama Kaisar, aku juga jadi bersikap seakan aku suka Kaisar. Aku juga jadi ngerasa aku ini suka sama Kaisar. Aku ngerasa menang karena untuk pertama kalinya, aku punya sesuatu yang ngga Ole punya. Untuk pertama kalinya, Ole pengen apa yang aku punya.

Selama beberapa waktu, emang aku menang. Tapi yang namanya hati, ngga bisa aku atur sendiri. Kaisar yang emang udah kenal Ole dari lama itu, lama-lama makin luluh sama Ole. Lama-lama, aku kalah juga—kalah lagi. Karena itu, aku ganti target. Di antara apa yang Ole punya, ada satu yang ngga mungkin banget bisa aku punya. Ada satu—seseorang, yang out of my league. Ada seseorang yang ngga bisa aku sentuh, ngga bisa aku raih.

Kak Heksa.

Aku nerima kepedulian dan kasih sayang dari Ayah Khagi, walau ngga sebanyak Ole. Aku juga sesekali nerima perhatian dari tante Anne—Mama Anne. Tapi perhatian dan cinta dari Kak Heksa? Ngga pernah dan ngga mungkin. Aku bahkan ngga bisa manggil dia Abang, ngga dibolehin manggil dia Abang. Kak Heksa itu, orang yang mau satu dunia benci sama Ole pun, bakal tetep ada di pihak Ole. Dia orang yang mau dunia kiamat juga, bakal tetep berusaha buat ngelindungin Ole. Dia orang yang tujuan hidupnya cuma Ole. Dan aku ngga suka. Aku ngga suka fakta kalau Ole punya seseorang yang sesayang itu sama dia. Aku ngga suka kalau selain orang tua yang baik, dia juga punya kakak se-malaikat itu. Aku iri karena Ole punya Kak Heksa sedangkan aku engga.

Waktu Kak Heksa mulai reach out ke aku, aku seneng bukan main. Tapi ternyata, harapan aku ketinggian. Kedatangannya bukan buat menyambut aku, melainkan buat nyadarin aku tentang posisi aku.

Itu adalah hari dimana aku belajar kalau ternyata keberadaan aku ini lebih ngga berharga lagi dari sebuah kesalahan. Hubungan one night stand? Aku lahir dari hubungan kayak gitu? Seumur hidup aku percaya kalau aku lahir di tempat dan situasi yang salah. Walaupun aku tau keberadaan aku ini bukan sesuatu yang dinanti orang-orang, aku masih mikir kalau aku seenggaknya berhak buat dapet kasih sayang. Aku sering nebak, mungkin aku ini anak yang ngga direstuin keluarga, mungkin Mama ngelahirin aku sendirian karena konflik keluarga, dan sebagainya. Aku masih mikir kalau aku ini, anak yang lahir dari cinta. Tapi ternyata apa? Keberadaan aku ini ngga ada harganya sama sekali.

Aku perlu waktu buat nenangin diri. Aku perlu waktu buat mencerna informasi yang baru aku terima. Kak Heksa nyaranin aku buat ngobrol sama Mama aku. Buat ngelurusin semuanya, dan mungkin, sekalian memperbaiki hubungan. Selain itu, dia juga minta pengertian aku soal sikapnya Ole. Dia minta aku ngerti posisi aku dan posisi Ole. Aku ngikutin saran itu. Aku ngambil cuti, aku pergi ketemu Mama yang ngga pernah aku liat sejak aku masih kecil itu. Aku berusaha mikirin semuanya.

Harusnya, aku terus ngikutin saran itu. Harusnya, aku ngikutin semua saran Kak Heksa. Tapi aku ngga bisa. Aku ngga bisa disaat aku tau kalau semua orang baik-baik aja tanpa aku. Aku ngga bisa diem aja disaat ngeliat orang-orang, Ole, Kaisar, dan Kak Heksa, baik-baik aja tanpa aku.

Aku masih belum memperbaiki hubungan aku sama Mama. Aku belum denger penjelasan Mama sama sekali. Waktu yang aku pake buat ngilang itu sebagian besarnya cuma aku pakai buat liburan, buat nenangin diri. Dan akhirnya, aku mutusin buat balik lagi. Masa bodoh sama masa lalu aku, masa bodoh sama Mama. Aku cuma mau balik lagi ke kehidupan normal aku. Aku cuma mau balik lagi jadi Arumi dengan kehidupannya yang bahagia.

Itu juga jadi alesan kenapa aku milih buat ngejauh dari keluarga Khagi. Ngga lama dari kematian Ayah, ada sepasang suami istri yang mau ngadopsi aku. Aku ngga punya alesan buat nolak. Justru, waktu itu, aku ngerasa lagi ditawarin mimpi di depan mata: keluarga kecil aku sendiri. Lagian, nggak ada yang sedih juga kalau aku pergi, kan? Semua orang baik-baik aja tanpa keberadaan aku, jadi buat apa aku terus berhubungan sama mereka? Bukannya dari awal aku cuma ‘numpang’? Kalau ada keluarga baru yang mau menyambut aku, menerima aku, kenapa engga? Kenapa juga aku harus terlibat dalam masalahnya mereka? Kenapa aku harus ikut menderita disaat mereka menderita?

Kenapa aku harus ikut menderita cuma karena Ole menderita?

Aku ngerti kalau Ole sedih. Tapi apa hubungan dari sedihnya Ole sama bahagianya aku? Kenapa seakan-akan aku ini ngga boleh bahagia kalau Ole ngga bahagia? Aku salah. Aku salah soal kematian tante Anne. Tapi aku bukan penyebab kematian tante Anne. Ada atau ngga adanya aku, salah atau engga nya aku, tante Anne bakal tetep bikin keputusan yang sama. Aku nangis-nangis pun ngga akan bisa bikin tante Anne hidup lagi. Ole benci aku segimana pun, ngga akan bikin tante Anne hidup lagi. Aku ngerasa ngga adil karena penderitaan Ole menginvalidasi kebahagiaan aku. Aku ngerasa ngga adil karena bahagianya Ole ngga bergantung sama aku, tapi bahagianya aku bergantung sama dia? Aku ngerasa ngga adil karena semua orang minta aku ngertiin Ole, tapi apa mereka pernah minta Ole ngertiin aku? Aku ngerasa ngga adil, jadi aku milih buat nutup mata soal semua itu.

Di tengah semua yang pernah terjadi itu, aku milih buat hidup bahagia.

Emang kenapa kalau aku menikmati hidup? Aku menghabiskan masa kecil aku buat nyalahin takdir, dan diri sendiri atas kehidupan yang aku jalanin. Sekarang aku punya kesempatan buat hidup normal, aku bisa dapet apa yang selama ini aku pengen—keluarga, temen, kehidupan yang baik. Kenapa aku ngga boleh nikmatin semua itu dengan tenang?

Tapi ternyata, cuma aku yang nikmatin hidup. Cuma aku yang hidup normal. Cuma aku yang tenang. Cuma aku yang bahagia.

Selama ini aku terlalu sibuk berharap sampai lupa buat merhatiin sekitar aku. I was busy desiring everything instead of appreciating what I already had. Ngga ada salahnya berharap. Sebagai anak yang lahir tanpa keluarga dan ngandelin belas kasih orang lain, ngga ada yang salah dari mengharapkan cinta dan kebahagiaannya sendiri. Tapi, aku serakah. Aku pengen punya semuanya, aku terus menerus pengen punya sesuatu, sampai lupa kalau tanpa semua itu pun sebenernya hidup aku ngga kenapa-kenapa, ngga hancur. Dibanding aku, justru orang-orang di sekitar aku yang lagi hancur.

Aku terlalu fokus sama diri aku sendiri sampai aku gagal ngeliat maksud dari semua ini. Aku terlalu fokus sama diri aku sendiri sampai aku gagal ngeliat maksud dari Ole, tentang aku yang bahagia sendirian—tentang aku yang ngga boleh bahagia sendirian. Semua ini bukan tentang aku yang ngga boleh bahagia, tapi tentang kita semua yang berbagi satu luka yang sama.

Disaat semuanya berantakan, disaat semuanya nyerang aku, aku baru sadar kalau ternyata aku doang yang ngga sadar. Aku doang yang ngga baca situasi, ngga bisa nerima situasi. Semuanya sibuk sama luka masing-masing, semuanya sibuk ngatasin masalah masing-masing. Sedangkan aku malah sibuk ngehapus masa lalu dan sibuk ngejar kehidupan yang sempurna, yang bahagia. Masalahnya, gimana bisa sempurna kalau akarnya aja cacat? Gimana aku bisa bahagia kalau di sepanjang jalannya ada banyak benang yang kusut?

Seberapa keras pun usaha aku buat memisahkan diri dari keluarga Khagi atau dari benang yang ngikat kita berempat, aku ngga akan berhasil. Aku tetep bagian dari gulungan benang ini. Aku bagian dari kekusutannya. Juga, mau se ngga peduli apapun aku sama semua ini, aku tetep bagian dari ini masalahnya.

Aku salah.


Orang sering bilang kalau kelebihan sekaligus kekurangan gue itu terlalu baik. Kelebihannya, ya karena gue baik. Gue bisa dimintain pertolongan, gue peduli sama orang-orang di sekitar gue, dan kemugkinan gue berbuat jahat dan nyakitin orang itu kecil banget. Kekurangannya, kebaikan gue bisa bikin orang gampang salah paham ke gue. Gue ngerti kenapa mereka bilang kayak gitu. Gue ga keberatan kalau orang mikir kayak gitu. Tapi gue juga pengen sedikit klarifikasi, kalau orang yang salah paham itu cuma mereka yang liat tanpa terlibat langsung. Sedangkan di antara orang yang berinteraksi sama gue, ga pernah ada yang salah paham atau salah tangkap maksud dari kebaikan gue.

Banyak atau bahkan hampir semua orang, salah paham sama hubungan di antara gue, Rumi, dan Ole.

Rumi awalnya cuma temen gue. Sama kayak Heksa ataupun Ole, dia temen yang gue temuin di masa kecil. Temen gue dari kecil. Kita emang udah deket dari awal, dan gue udah peduli sama dia dari awal, karena gue bisa berempati sama dia begitupun sebaliknya. Gue lebih gampang buat terbuka ke Rumi dibanding Heksa, termasuk soal apa yang menimpa keluarga gue. Waktu itu, gue ga bisa ngasih beban tambahan ke Heksa atau Ole. Gue ga mungkin ngerepotin mereka yang punya masalahnya sendiri. Waktu itu, yang bisa gue jadiin tempat cerita cuma Rumi. Dari situ gue rasa Rumi jadi temen yang selalu punya tempat spesial di hati gue. Bukan lagi karena kita berbagi sentimen yang sama, tapi karena dia bikin gue bisa nunjukin segala sisi yang gue punya, sisi gue yang paling jujur.

Ga banyak yang tau tentang keluarga gue. Khususnya, tentang ayah tiri gue yang abusive. Ga banyak yang tau kalau Bunda sampai sekarang masih bolak-balik terapi buat nyembuhin traumanya. Ga banyak yang tau, betapa bingung, marah, dan sedihnya gue atas kejadian yang dialamin Bunda. Hampir ga ada yang tau tentang semua ini, tapi Rumi tau. Dia ngeliat apa yang terjadi sama keluarga gue. Dimulai dari gue yang seneng karena Bunda bisa jatuh cinta lagi, sampai gue yang frustrasi banget karena ternyata Bunda salah pilih orang. Dia ngeliat gimana terlukanya gue ngeliat Bunda. Dia jadi tempat gue cerita. Dia jadi tempat gue bergantung disaat gue lagi kesulitan.

She was there at my worst, so I grew an attachment toward her.

Apa yang ayah tiri gue lakuin ke Bunda mungkin ninggalin bekas di gue. Efeknya, gue jadi protektif sama orang-orang di sekitar gue. Setelah ngeliat apa yang Bunda lewatin, gue otomatis jadi lebih perhatian dan lebih protektif juga ke Rumi. Gue ngerasa kalau apa yang terjadi sama Bunda itu, sedikit karena gue yang lengah, gue yang kurang perhatian. Gue ga mau ngulangin kesalahan yang sama. Sebenernya, gue kayak gini ke semua orang yang deket sama gue. Tapi, emang gue secara khusus lebih perhatian ke Rumi. Alesannya? Karena attachment itu. Selain karena rasa takut efek kejadian yang gue dan Bunda alamin, perhatian gue juga karena keadaan Rumi sendiri. Rumi sendirian. Kalau bukan gue, siapa lagi yang bakalan selalu ngulurin tangan buat dia? Siapa lagi yang bakal nawarin bahu buat bersandar? Ini yang bikin orang salah paham tentang gue sama Rumi. Padahal, di antara gue dan Rumi sendiri, ga ada salah paham semacam itu. Gue ga pernah ngasih sikap yang mengarah ke romantic relationship, Rumi juga ga pernah nganggap perhatian gue sebagai bentuk rasa suka atau apa.

Hubungan gue sama Rumi itu bener-bener jelas. Tapi kalau diliat dari perspektif orang lain, emang keliatannya ga jelas.

Ole juga mikir kayak gitu. Ole ngira di antara gue sama Rumi emang ada hubungan khusus, semacam situationship. Waktu Ole muncul dan secara terang-terangan nunjukkin kalau dia suka sama gue, dari sudut pandang orang lain ceritanya pasti ga beres sama sekali. Orang yang liat antara mikir Ole orang ketiga di antara gue sama Rumi, atau gue two-timing Rumi sama Ole; karena gue ga ngejauh dari Ole. Mungkin perlu gue perjelas lagi kalau gue ga benci sama Ole. Gue bukannya ga suka sama Ole. Kayak yang pernah gue bilang sebelumnya, I have been always fond of her. Gue sama Ole bukan dua orang yang baru ketemu kemarin. We’re childhood friends. Kita udah kenal selama bertaun-taun, ga mungkin gue ngejauhin dia gitu aja. Rasa suka gue ke Ole itu urusan lain, urusan baru yang muncul di masa sekarang. Itu sesuatu yang lagi gue proses dan lagi gue pikirin sekarang. Tapi terlepas dari semua itu, I am fond of her, always. Gue selalu peduli sama Ole, gue selalu perhatian sama Ole. Dan Ole juga termasuk dari orang-orang yang selalu pengen gue jaga dan gue pastiin keamanannya.

Hal ini pasti bikin orang bingung. Kalau gue emang udah sepeduli dan seperhatian itu, kenapa gue masih ga punya perasaan apapun ke Ole? Dan banyak yang pastinya ngira jawabannya itu Rumi. Orang ngira jawabannya karena gue suka sama Rumi. Tapi jawabannya bukan Rumi, dan ga pernah Rumi. Kalau emang gue punya perasaan lebih ke Rumi, if I love her, gue ga akan nerima Ole sama sekali. I would reject her directly. Sedangkan faktanya, perasaan gue ke Rumi itu murni attachment karena dia ada di masa-masa tersulit gue. Selebihnya, gue ga ada perasaan apapun. Makannya, gue ga nolak Ole. Sebaliknya, gue ngebiarin Ole masuk dan gue ngebiarin perasaan gue tumbuh dengan sendirinya. Tapi gue juga ga bisa gitu aja nerima perasaan Ole atau numbuhin perasaan buat Ole, karena dari sudut pandang gue, ada hal yang mengganjal pikiran gue tentang Ole. Dari sudut pandang gue, Ole itu orang yang pernah tiba-tiba ngilang dari hidup gue, dan balik lagi tiga tahun kemudian. Ole itu orang yang habis ngilang selama tiga tahun dan waktu datang lagi, dia tiba-tiba suka sama gue. Jadi sebelum gue memproses perasaan Ole, dan perasaan gue sendiri, gue harus tau dulu what’s her deal. Makannya gue ga bisa bener-bener ngerespon Ole sebelum gue tau alesan dia suka sama gue, alesan dia ngilang selama SMA, dan alesan dia ga bisa cerita soal semua itu.

Tapi disaat gue mulai punya perasaan sama Ole, disaat gue siap buat ngerangkai benang baru bareng Ole, benangnya malah kusut.

Waktu tau kalau gue jadi semacam perantara di antara Ole dan Rumi, gue bingung, kecewa, sekaligus marah. Gue sempet ngerasa kalau gue ini cuma jadi alat. Gue ngerasa…selama ini perasaan gue doang yang nyata. Apa semua sikap Ole selama ini palsu? Atau semua itu cuma permainannya dia aja? Apa arti gue buat Ole cuma segini? Did she even genuinely liked me? Tapi gue paling kecewa karena cuma gue yang ga tau. Cuma gue yang ga tau apapun. Gue terlibat tanpa tau jelas apa masalahnya, dimana masalahnya.

Gue bingung gue harus memposisikan diri gue dimana, di tengah benang-benang yang kusut ini. Apakah gue disini sebagai pihaknya Rumi? Sahabatnya Heksa? Atau gue disini sebagai cowok yang Ole suka? Waktu itu Ole pernah bercanda, kalau kita berempat diibaratin sebagai persidangan, siapa yang jadi siapa. Ternyata candaan Ole itu ada benernya. Ole sebagai terdakwa sekaligus kunci dari kasus; Heksa jadi pengacara yang selalu ada di pihak terdakwa, ga peduli dia salah atau bener; Rumi jadi jaksa yang nyerang terdakwa; dan gue jadi hakim yang ngeliat peperangan mereka sekaligus jadi pihak yang ngedengerin pembelaan setiap pihak.

Keberadaan gue di cerita ini bukan orang yang baru-baru banget. Gue udah bareng Heksa dari lama, dari SMP, dan kita barengan terus sampai sekarang. Gue juga ga oblivious banget sama masalah yang Heksa laluin, sama masalah keluarga dia yang sedikit rumit. Tapi status gue waktu itu ada di luar gulungan benangnya. Urusan keluarga dia bukan keluarga gue. Entah kenapa jadi pilar pendukung buat Heksa. Karena kalau gue roboh, Heksa jadi ga punya tempat bersandar. Gue cukup jadi temen yang nemenin dia ngelewatin semua ini. Gue cukup jadi temen yang nemenin Ole ngelewatin semua ini. Dan disaat yang bersamaan, gue juga cukup jadi temen yang nemenin Rumi ngelewatin semua ini. Dan eventually gue ngerasa kalau gue harus jadi pilar buat semua orang. Gue harus bisa nolong semua orang.

Disaat mikirin semua itu, gue jadi sadar kalau gue juga bisa jadi terdakwa disini. Gue sadar kalau ternyata gue juga terlibat di gulungan benangnya, bahkan mungkin sebelum Ole bikin gue ikut terlibat. Ole salah karena dia ga bilang apapun soal dia sama Rumi, termasuk ngelibatin gue di antara urusan dia sama Rumi. Tapi gue juga sama salahnya karena ga ngasih penjelasan dari awal, soal gue sama Rumi. Gue salah karena gue belum bisa ngelepas attachment gue ke Rumi disaat gue mulai suka sama Ole. Gue salah karena gue juga ga pernah cerita apapun.

Gue juga, harus memperjelas semuanya, memperjelas perasaan gue ke setiap pihak.


Seumur hidup, pujian yang paling sering aku dapet itu, Ole ceria. Aku emang gak kenal banyak orang dan gak ketemu banyak orang juga, tapi seenggaknya semua orang yang aku kenal pernah bilang kayak gitu minimal satu kali. Katanya, aku anaknyaanteng. Gak ribet dan gak manja. Kalau disuruh main ya main, kalau disuruh diem ya diem. Jarang nangis kalau memang gak ada yang perlu di tangisin, dan selalu bisa ketawa selama gak ada hal yang bikin nangis. People said my parents were blessed with such a good, well-mannered, and unbothered daugther. They just did not know that I was not born like that, I was raised that way.

Aku bukan dari lahir udah begini, tapi lebih ke tumbuhnya kayak gini. Ada banyak hal-hal baik yang Mama ajarin ke aku. Yang paling aku inget waktu kecil itu, kalau aku harus selalu rendah diri dan murah hati. Awalnya, aku ngira Mama ya pengen anaknya jadi orang baik aja. Tapi setelah tau kalau Ayah pernah berkeluarga sebelumnya, aku jadi ngerti maksud Mama ngajarin nilai-nilai itu di aku. Aku harus sadar diri terhadap sesuatu yang bukan punya aku sendiri. Gimanapun, Ayah tetep ayah dari Abang juga. Aku gak boleh manja dengan minta Ayah jadi Ayah aku seorang. Begitupun soal Ami Kiana. Walaupun statusnya udah bukan istri Ayah dan gak punya hak tentang Ayah lagi, aku harus selalu menghormati, menghargai, dan menjaga perasaan Ami.

Walaupun aku punya hak, aku tetep gak boleh berbuat dan bersikap seenaknya.

Kayaknya, emang itu yang bikin aku jadi gak neko-neko. Aku cukup iya-iya aja. Bahkan di tengah hubungan keluarga yang sedikit rumit itu, aku gak tertarik buat nyari tau sama sekali dan lebih milih buat gak tau apapun. Alasan utama aku gak pernah nyari tau soal apapun itu karena Ayah. Ayah buat aku itu, kayak kebanyakan anak perempuan lainnya, cinta pertama aku. Dan aku pengen selamanya kayak gitu. Aku gak mau nyari tau apapun karena takut isinya bikin aku patah hati. Kalau nyari tau sesuatu tentang hubungan Mama, Ayah, dan Ami bakalan ngerubah persepsi aku ke Ayah, aku gak mau. Lagian, apapun itu, kan udah kejadian juga? Udah lewat juga? Udah gak relevan lagi karena sekarang semuanya baik-baik aja walaupun agak rumit sedikit. Aku lebih milih buat percaya kalau semuanya baik-baik aja. Everything is okay as long as it is okay, and it is not ruined until it ruined.

Waktu Ayah pergi, baru aku mulai goyah. Aku bingung karena tiang penopang aku hilang satu. Baru, aku mulai kepikiran tentang keluarga. Gimana kita lanjutin hidup? Gimana cara kita ngatasin rasa kehilangan itu? Apa aku masih jadi keluarga Khagi? Aku sempet bingung, tapi waktu itu ada Mama. Keluarga aku rumpang tapi masih ada Mama yang selalu bilang kalau kita bakalan baik-baik aja walau cuma berdua. Aku goyah sedikit, tapi ada Mama yang ngebantu aku buat bangkit lagi, buat berdiri lagi.

Tapi beberapa taun kemudian, Mama pergi juga. Dan kali ini gak ada yang bantu aku buat ngelewatin kebingungan dan kekhawatiran itu. Gak ada juga yang bisa ngejawab pertanyaan-pertanyaan aku tentang semuanya.

Aku gak tau dan gak akan pernah bisa tau alesan Mama ngambil keputusan itu. Aku tau Mama bukan orang paling bahagia di bumi. Aku sering ngeliat Mama nangis semenjak kepergian Ayah. Aku sering ngeliat Mama melamun sendirian di teras, atau denger musik sendirian tengah malem. Tapi aku gak pernah tau kalau Mama selama ini semenderita itu. Aku tau Mama, sama kayak aku, ngerasa sedih atas kepergian Ayah. Mama, sama kayak aku, kadang ngerasa bingung sama status dan keberadaan kita, kadang ngerasa bersalah. Tapi aku gak pernah tau kalau Mama bakalan kalah ngelawan semua itu. Aku tau kita sedikit pincang di sana sini tapi aku kira kita bakalan jalan bareng terus berdua. Aku kira kita bakalan saling topang sampai kita bisa lari lagi. Aku kira, Mama gak akan nyerah.

Aku gak tau dan gak pernah kepikiran, kalau mungkin aku juga termasuk salah satu hal yang nyakitin Mama. Ngeliat aku mungkin ngingetin Mama sama Ayah. Aku ngingetin Mama sama keluarga kecil kita yang pernah bahagia. Tapi mungkin aku juga ngingetin Mama sama hubungan keluarga yang rumit, yang gak aku tau itu. Mungkin ngeliat aku ngingetin Mama sama rasa bersalahnya; karena aku jadi lahir di tengah keluarga yang rumit ini, dan karena Mama ngerasa gak berhak ngelahirin aku dan hidup bahagia bareng Ayah. Ada banyak kemungkinan tapi aku gak tau mana yang bener.

Dari semua kemungkinan itu juga, mungkin aja Mama cuma bersikap egois dan pengen lepas dari rasa sakitnya sendirian.

Tapi bahkan kalau Mama emang egois, aku gak bisa marah. Walaupun Mama sekarang ninggalin luka buat aku, aku gak bisa marah. Karena aku tau, buat Mama pun, semuanya gak mudah. Dan di atas semua itu, aku juga dihantui kemungkinan kalau aku bisa aja jadi kayak Mama. Aku bisa aja tenggelam dalam luka yang sama kayak Mama. Aku bisa aja kemakan kesedihan yang sama kayak Mama. Aku bisa banget jadi sehancur Mama. Itu juga yang orang orang takutin. Abang, Ami, keluarganya Mama, semua selalu khawatir sama aku dan dihantui pikiran tentang kemungkinan kemungkinan itu.

Kalau boleh jujur, aku pun sama takutnya.

Ada waktu dimana aku ngerasa aku gak sanggup nahan perasaan aku sendiri. Ada waktu dimana aku gak bisa tidur semaleman, dan sekalinya aku tidur, aku mimpiin kejadian itu lagi. Ada waktu dimana aku ngerasa ketakutan Abang dan Ami itu, sangat sangat masuk akal. Dan ada waktu dimana aku ngerasa semua ketakutan itu, mimpi buruk itu, mungkin bisa berubah jadi kenyataan. Mama itu alasan aku hidup. Kalau Mama pergi, apa yang tersisa buat aku disini? Sederhananya, kayak gitu. Tapi semakin aku mikirin tentang semua itu, rasanya malah makin parah.

Makannya, aku milih muat berhenti mikirin semuanya. Aku milih buat berhenti cerita tentang semua itu—tentang keluarga Khagi, tentang Mama, tentang diri aku sendiri. Mungkin, ini juga karena sifat bawaan aku sendiri. Seinget aku, aku ini orangnya kalau ada yang gak aku suka atau bikin aku gak nyaman, ya gak aku pikirin. Cara aku buat keluar dari masalah itu ya dengan berhenti mikirin masalah itu. Sejauh ini, cara itu selalu berhasil. Satu yang gak bisa selesai pake cara itu adalah: grief.

Aku pernah percaya diri bisa ngelewatin semua ini sendirian. Karena waktu Ayah pergi pun, aku bisa ngatasin sendiri. Tapi dibanding percaya bisa ngelewatin semuanya sendirian, aku lebih percaya kalau aku harus ngelewatin semua ini sendirian. Karena semua ini nasib aku, takdir aku, yang harus aku jalanin. Karena semalang apapun, semuanya takdir aku dan aku gak boleh ngerepotin orang lain. Aku gak boleh ngerepotin Abang dan Ami. Aku jaga jarak dari Ami, dari Heksa, dari keluarga Khagi. Aku makin nyembunyiin nama Khagi yang emang gak pernah aku pamerin itu. Aku tinggal bareng keluarganya Mama, aku homeschooling, dan aku berhenti ngerayain liburan, natal, taun baru, atau perayaan apapun bareng keluarga Khagi. Aku ngelewatin masa grieving aku sendirian. Abang dan Ami mungkin udah cukup tersakiti sama kehadiran Mama dan aku. Aku gak perlu nambah beban mereka dengan minta bantuan mereka, dan ngerepotin mereka dengan masalah aku. Aku gak bisa nambah beban mereka dengan bilang kalau aku selama ini masih grieving, kalau aku, in fact, belum bisa ngelupain masa lalu itu—aku gak bisa bilang kalau aku gak sanggup ngelewatin semua ini sendirian.

Tapi kematian Ayah sama Mama itu beda. Aku bisa dengan gampang nerima kematian Ayah karena emang takdirnya kayak gitu. Aku bisa bangkit dengan gampang karena ada Mama di samping aku. Tapi soal Mama... aku gak bisa nerima, dan gak mau nerima. Dan kayaknya, aku juga gak bisa bangkit lagi. Aku kemakan grief-nya.

Grief itu ada banyak jenis dan cara penyampaiannya. Salah satunya lewat amarah dan kebencian.

Aku kehilangan Ayah. Aku kehilangan Mama. Aku kehilangan hidup aku. Di waktu yang bersamaan, ada Rumi yang justru jadi punya apa yang hilang dari aku. Aku kehilangan dunia aku dan Rumi dapat dunia baru. Aku kesakitan sebanyak ini tapi apa kabarnya Rumi? Dia bahagia. Semua orang struggle sama semua ini tapi Rumi enggak.

Aku emang gak pernah suka banget sama Rumi. Tapi aku baru bener-bener marah, bener-bener gak suka, dan bener-bener benci sama Rumi setelah kejadiannya Mama Anne. Setelah Rumi ngasih tau aku kalau hari itu, dia ketemu sama Mama bahkan dititipin pesan sama Mama. Setelah aku tau kalau lagi-lagi, Rumi cuma mikirin dirinya sendiri dan dengan sadar ngelupain pesan dari Mama itu. Setelah aku tau kalau aku bisa aja mencegah kematian Mama, atau seenggaknya bisa ngabisin momen terakhir sama Mama. Kalau aja bukan karena Rumi.

Perasaan aku? Awalnya, aku marah bukan main. Aku semarah dan sebenci itu. Aku marah sama semuanya. Aku marah sama hal apapun itu yang bikin Mama sedih, aku marah sama diri aku sendiri yang gak bisa nyelamatin Mama, tapi aku paling marah sama Rumi yang lagi-lagi, terlibat sama semua ini. Dan titik puncak marahnya aku adalah Rumi yang setelah semua ini, masih bisa hidup dengan baik.

I don’t have a choice but to resent her.

Semua ini emang gak adil kalau diliat dari sisi Rumi. Setelah kemarahan aku reda, aku pun ngerti kalau terlepas dari salahnya, Rumi bukan penyebab kematian Mama. Aku sadar kalau waktu itu aku kemakan rasa emosi dan rasa kehilangan dan aku ngelampiasin perasaan itu ke Rumi. Tapi, apa Rumi berubah jadi ngerti dan sadar tentang semua ini?

Rumi menganggap rasa benci aku ke dia itu perasaan kekanakan yang harusnya aku lupain dari lama. Rumi gak ngerti, dan gak mau ngerti, kalau kebencian aku itu lebih dari sekedar perasaan anak-anak. Semua ini bukan lagi tentang aku yang simply gak suka sama Rumi dari kecil. Bukan tentang rebutan mainan, bukan tentang baju siapa yang lebih bagus, bukan tentang ranking siapa yang lebih tinggi. Semua ini tentang apa yang terjadi setelah kita tumbuh besar. Apa yang terjadi bukan karena takdir, tapi karena keputusan Rumi sendiri.

Aku udah ngelewatin banyak banget hal, sesuatu yang Rumi gak ngerti sebanyak apa sakitnya. Apa aku berlebihan kalau aku minta ucapaan maaf sederhana dari Rumi? Apa aku keterlaluan, kalau aku pengen Rumi bersimpati sama aku? Aku butuh validasi buat kesedihan aku, amarah aku. I needed someone to validate my loss and grief. Tapi Rumi gagal buat ngerti tentang itu atau bahkan gak mau ngerti. Dan lama lama, aku jadi benci sama dia bukan lagi karena aku lagi grieving, tapi karena ya aku benci dia aja.

Aku bisa maafin Rumi. Aku bisa maafin Rumi seandainya dia sadar sama kesalahannya dan mau minta maaf yang tulus. Ah, dia bahkan bisa minta maaf seikhlasnya hari itu dan aku kayaknya bakal nerima nerima aja. Aku bisa maafin Rumi bahkan kalau maafnya dia sekedar bentuk simpati.

But how could I forgive when there's no apology?

Mungkin, aku masih bisa nerima kalau Rumi gak mau minta maaf. Tapi Rumi yang bersikap seolah gak ada apa-apa di antara kita? Rumi yang bersikap seolah dia gak kenal sama Mama? Rumi yang bersikap seolah dia gak pernah nerima kepedulian bahkan kasih sayang keluarga Khagi? Rumi yang bahagia sendirian, di atas aku, Abang, dan Ami yang masih belum sembuh dari masa lalu? Aku gak bisa biarin dia gitu aja.

Sayangnya, keegoisan aku buat ngasih pelajaran ke Rumi ini, buat balas dendam ke Rumi ini, malah bikin orang yang gak bersalah jadi ikut terlibat.

Aku gak punya banyak temen, tapi dari sedikitnya temen yang aku punya itu, semuanya pernah seenggaknya satu kali nanya tentang Kaisar. Pertanyaannya juga selalu sama. Kenapa aku suka sama Kaisar, kenapa aku masih ngejar Kaisar, kenapa aku gak pernah benci sama Kaisar padahal usaha pdkt aku ditolak terus. Wajar kalau orang-orang penasaran, soalnya mereka kan kenalnya aku sama Kaisar yang sekarang. Mereka taunya aku ini Maure maba, dan Kaisar itu kating Ilmu Hukum dan kita berdua baru ketemu pas ospek. Tapi kalau mereka tau hubungan asli aku sama Kaisar, mungkin mereka bakalan ngerti kenapa aku masih disini-sini aja. Kenapa aku gak pernah benci sama Kaisar. Pertama, karena kita udah kenal dari lama, dari kecil; kita temenan. Soal aku yang suka sama Kaisar itu perkara baru yang masih gak seberapa kalau dibandingin hubungan pertemanan kita. Dan ya Kaisar gak ada kewajiban buat bales perasaan aku juga? Kedua, dibanding ngerasa benci, aku justru ngerasa bersalah. Karena aku bikin dia ikut terlibat. Karena aku mengikutsertakan dia di agenda kebencian aku ke Rumi.

Kaisar gak punya salah apa-apa dan bahkan gak terlibat apa-apa. Dia gak punya kewajiban atau keharusan buat ikut campur sama masalah keluarga aku. He was just simply being there. Tapi aku yang egois dan gegabah dan bikin dia ujungnya jadi terlibat tanpa tau masalahnya apa.

Pertanyaan lain yang sering aku dapet tentang Kaisar dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir ini, datang dari Abang. Pertanyaannya: Ole beneran suka Kaisar? Jawabannya iya, beneran. Dari kapan? Dari awal masuk SMA. Aku emang banyak ngelak dan banyak bohong kalau ditanya soal semuanya, tapi jawaban apapun yang aku kasih tentang Kaisar itu semuanya jujur. Yang aku bilang soal perasaan suka yang sederhana juga bener. Aku suka Kaisar ya karena suka aja. I simply fell in love with my brother’s best friend. Tapi waktu dulu, perasaannya masih belum terlalu besar. Aku masih naksir-naksir lucu aja ke Kaisar. Perasaan aku baru berkembang selama satu tahun terakhir ini. Karena harus persiapan daftar kuliah, aku jadi sering keluar rumah dan main sosmed lagi. Aku mulai sering interaksi dan ketemu sama Abang lagi, dan kadang jadi gak sengaja liat Kaisar. Rasa suka yang aku sendiri sempet kira sepele itu, ternyata masih ada dan malah jadi tambah besar. Proses selebihnya ya sama aja kayak orang jatuh cinta.

Soal aku yang sengaja caper secara terang-terangan buat bikin Rumi kesel juga, bener. Waktu tau mereka saling kenal, awalnya aku emang males ikut campur. Aku ya bodo amat aja karena rasa suka aku ke Kaisar waktu itu ya belum seberapa. Tapi sekarang semuanya udah beda. Ada banyak yang terjadi, ada banyak yang berubah. Aku gak bisa ngeliat Kaisar sama Rumi dan bilang good luck. Aku pengen jadi egois dan gak tau diri juga. Aku juga pengen Rumi tau rasanya punya sesuatu dan tiba-tiba dia harus berbagi sesuatu itu sama orang lain.

Disaat yang bersamaan, aku juga berharap Kaisar itu jadi semacam escape buat aku. Di tengah semua benang kusut ini, aku harap seenggaknya aku bisa seneng-seneng aja bareng Kaisar. Aku pengen ngelupain semuanya dan fokus ngerangkai benang baru bareng Kaisar. Dia satu-satunya orang yang gak ada kaitannya sama cerita masa lalu yang pengen aku lupain itu. Semua kenangan aku sama Kaisar itu bagus, jadi aku pikir sekarang pun kita bisa bikin lebih banyak kenangan yang bagus. Tapi ternyata, semuanya malah berantakan. Hubungan aku sama Kaisar pun jadi ikut kusut. Harapan terakhir aku, ikut kusut.

Aku pun, ikut kusut.

Selama ini aku denial. Aku denial tentang banyak hal. Tentang grief nya aku, tentang kesulitan aku, tentang perasaan aku. Tapi hari itu, kayaknya aku gak punya tenaga lagi buat bersikap ceria seolah semuanya baik-baik aja. Aku gak bisa lagi nyembunyiin rasa sakit yang aku rasain selama ngelewatin semua ini. Aku gak sanggup lagi sendirian.

Aku sadar kalau aku gak bisa lagi nahan semuanya sendirian. Aku butuh rumah.

Waktu aku cerita tentang semua ini ke Abang, Abang nanya:

“Kenapa kamu nggak pernah cerita, Ole”

Jawaban aku, justifikasi aku, cuma satu:

“Karena sakit, Abang.”

Everything was too painful. I'm hurting, suffering by simply remembering it.

Tapi ternyata, ngelupain semuanya pun gak ngeberesin apapun. Aku baru sadar, keputusan aku buat fokus ngerangkai hubungan yang baru, fokus sama masa sekarang, justru bikin semuanya jadi berantakan. aku pengen nyembuhin diri aku sendiri, tapi cara aku salah. Abang udah sering ngasih tau aku, buat cerita tentang apapun yang ada di dalam kepala aku, biar semuanya bisa diselesain baik-baik. tapi aku gak mau. Aku gak mau ngebuka-buka lagi cerita lama dan balik lagi ke masa-masa itu. Sampai aku sadar, kalau buat ngelurusin benangyang kusut, kita harus mulai dari titik awal kusutnya, yaitu cerita-cerita di masa lalu.

Aku harus cerita soal semuanya ke semuanya.


“Ole?”

Sebuah panggilan datang bersamaan dengan ketukan pelan pada pintu kayu yang setengah terbuka itu. Di ambang pintu, nampak Heksa yang berdiri bersandar pada bingkai pintu. Laki-laki itu terlihat sudah siap untuk pergi; mengenakan collar sweater berwarna krem yang dipadukan dengan trousers hitam. Ia melihat ke arah Maure yang sedang berdiri di depan kaca, menyisir rambutnya. Mendengar namanya dipanggil, perempuan itu pun menoleh.

“Hm?”

“Udah siap?”

Hari ini adalah harinya. Hari dimana Maure memulai untuk meluruskan benang-benang yang kusut. Setelah selama ini menghindar, berpikir benang kusut itu bisa meluruskan dirinya sendiri, Maure akhirnya memilih untuk meluruskan gulungan benang itu dengan tangannya sendiri. Ia sadar bahwa benang kusut itu kalau dibiarkan ya akan tetap kusut. Usaha meluruskannya pun tidak mudah. Kalau ditarik sembarangan, justru bisa jadi semakin kusut bahkan menjadi kusut permanen. Untuk melerai gumpalan benang itu, perlu ditelusuri titik kusutnya. Perlu ditelusuri setiap helainya.

“Abang,” Perempuan itu menghentikan aktivitas menyisir rambutnya. Ia terlihat menatap cemas pada pantulannya sendiri di kaca. Pemandangan itu membuat Heksa mengambil langkah masuk dan berjalan mendekatinya. Saat laki-laki itu tiba di belakang Maure, perempuan itu melanjutkan. “Kalau gak berhasil gimana? Kalau tetep kusut gimana?”

Terdengar helaan napas keluar dari mulut Maure. Tatapan cemasnya kini bercampur rasa takut dan keraguan. Meluruskan benang yang kusut itu, tidak mudah sama sekali. Meskipun Maure berhasil meluruskan bagiannya, masih ada bagian lain—helaian lain—yang berada di luar kendalinya.

Heksa menangkap dengan jelas kecemasan dan keraguan yang muncul dalam diri perempuan itu. Dirinya sendiri pun, bisa dibilang setengah bergantung pada harapan. Meskipun begitu, ia masih bisa terlihat tenang dan yakin. Laki-laki itu tersenyum pada Maure lewat pantulan cermin. Satu tangannya bergerak mengusap puncak kepala adiknya itu.

“Dicoba dulu.” Ucapnya dengan tenang. “Yang penting semuanya jelas dulu.”

Meluruskan benang yang kusut itu memang tidak akan mudah sama sekali. Seperti yang sudah dibilang, setiap helai harus ditelusuri. Itu artinya setiap masa lalu, setiap hubungan, perlu dibongkar. Namun sekali lagi, tidak peduli seberapa sulit, memang itulah hal yang harus dilakukan. Gestur dan kalimat sederhana dari Heksa itu cukup untuk menenangkan Maure. Perempuan itu berbalik dan memberikan senyum simpulnya.

“Ayo berangkat, Abang.”


Setiap orang tua punya patah hati yang berbeda-beda tentang anaknya. Ada yang patah hati saat anaknya pergi, ada yang patah hati saat anaknya jadi pembangkang, ada yang patah hati karena memang disakiti oleh anaknya. Kalau Ami, patah hatinya Ami itu saat melihat anak-anak Ami hancur. Patah hatinya Ami itu saat Ami tahu kalau anak-anak Ami hancur setelah berjuang melawan masalah yang timbul karena orang tuanya. Heksa, Maure, Arumi, dan Kaisar, semuanya hanya korban. Kalian korban dari cerita-cerita yang melibatkan orang tua kalian, melibatkan Ami. Kalian hanya melanjutkan hidup pada benang-benang yang sudah kami rangkai. Maka sewaktu tahu kalau kalian lebih menderita dari apa yang Ami kira, hati Ami patah sepatah-patahnya.

Abang, anak Ami yang paling kuat, paling tenang seperti samudera, ternyata selalu diterpa badai. Ternyata Abang selama ini menghadapi konflik dan dilema, antara membenci Ayah yang gagal mempertahankan keluarga atau menjunjung nama Khagi yang kamu bawa. Abang selalu ragu setiap Ami cerita tentang Ayah. Abang selalu ragu, apa Ami, Ayah, dan Mama Anne bahagia dengan semua ini? Tapi jawaban Ami selalu sama, Abang. Ayah dan Ami sama-sama salah. Tapi baik Ami, Ayah, ataupun Mama Anne, tidak ada yang marah. Semuanya menerima apa yang terjadi tanpa dendam. Biar soal apa yang terjadi diantara Ami, Ayah, dan Mama Anne, cukup menjadi beban kami bertiga. Jadi, Abang bisa sepenuhnya berhenti memikirkan cerita yang bukan tanggung jawab Abang.

Tapi Abang, semuanya pun bukan tanggung jawab Abang. Kematian Ayah bukan tanggung jawab Abang, tapi tanggung jawab takdir. Duka nya Ole juga bukan tanggung jawab Abang, tapi luka yang hanya bisa sembuh oleh waktu. Hilang jati dirinya Rumi bukan tanggung jawab Abang, tapi tanggung jawab dirinya sendiri. Apa yang menimpa Kaisar dan ibundanya bukan tanggung jawab Abang, tapi tanggung jawab ayahnya Kaisar. Pun dengan keluarga ini, sekarang belum menjadi tanggung jawab Abang. Jadi, Abang jangan terburu-buru jadi kepala keluarga. Abang jangan terburu-buru menanggung beban yang bukan untuk Abang.

Sekarang waktunya Abang membagi beban itu, waktunya Abang melepaskan diri dari beban itu, dan hidup dengan pundak yang ringan.

Ole anak Ami yang paling berani, paling ceria meski langitnya sedang mendung, ternyata lebih muram dari mendung itu sendiri. Ternyata Ole selama ini selalu berduka sendirian sambil menganggap diri sendiri beban yang merepotkan. Ternyata, Ole juga tidak se-berani itu. Ole sering kali takut kalau nama Khagi yang dibawanya sebenarnya tidak berhak untuk dimilikinya. Ole sering kali takut kehadirannya menyakiti Ami dan Abang. Ole juga takut untuk mencari tahu cerita di antara Mama Anne, Ayah, dan Ami, karena takut jadi membenci Ayah. Tapi Ole lebih takut lagi kalau Ole malah jadi membenci Mama Anne dan dirinya sendiri. Ami ingin bilang, kalau Ole tidak perlu takut tentang semua itu. Kehadiran Ole tidak pernah menyakiti siapapun, sebaliknya, malah membahagiakan. Kehadiran Ole di keluarga Khagi tidak pernah sebuah kesalahan.

Tapi Ole, semuanya pun bukan salah Ole. Perceraian Ami dan Ayah bukan salah Ole maupun Mama Anne. Kepergian Mama Anne juga bukan salah Ole. Abang yang tumbuh di keluarga yang tidak utuh juga bukan salah Ole. Jadi, jangan pernah tenggelam dalam luka dan perasaan bersalah lagi. Sebaliknya, Ami harap Ole berhenti melalui semuanya sendirian, karena Ole mempunyai orang-orang yang selalu siap membantu Ole. Di hari kamu diperkenalkan ke Ami, kamu sudah menjadi anak Ami juga. Semua yang menjadi anak Ayah, menjadi anak Ami juga. Jadi, Ole jangan pernah lagi berduka sendirian. Ole jangan pernah lagi sendirian, karena Ole punya Ami dan Abang.

Sekarang waktunya Ole menyembuhkan diri, waktunya Ole membagi duka itu agar cepat sembuh, dan hidup dikelilingi cinta yang selalu berhak didapatkan.

Rumi anak manis, anak yang mandiri, yang tetap memimpikan pelangi di tengah badai. Ternyata, Rumi mengejar pelangi itu sendirian. Ternyata, Rumi memilih melupakan hubungan yang pernah terangkai bersama keluarga ini karena merasa tidak diinginkan. Dibalik kemandirian itu, Rumi hanya anak yang ingin dicintai dan diinginkan semua orang. Rumi hanya anak yang ingin bahagia bersama semua orang. Rumi hanya ingin merasa berhak atas apa yang sudah diterima. Salah satunya, nama Khagi yang juga ikut dibawa. Meskipun pada akhirnya Rumi memilih untuk melupakan. Rumi memilih untuk melepaskan apa yang pernah dimiliki untuk memiliki sesuatu yang lain.

Tapi Rumi, tidak semuanya harus dimiliki. Rumi tidak harus memiliki semua hal yang ada di bumi. Rumi tidak harus memiliki Ayah Khagi, Mama Anne, Heksa, ataupun Kaisar. Rumi tidak harus memiliki nilai yang bagus atau reputasi yang bersih. Rumi tidak harus memiliki keluarga yang utuh, teman yang banyak, atau pacar yang manis. Rumi tidak harus memiliki semua itu untuk bahagia. Rumi bisa bahagia dengan sederhana. Rumi bisa bahagia dengan menjalani hidup yang Rumi miliki. Tidak ada yang salah dari menginginkan pelangi. Tidak ada yang salah dari menginginkan kehidupan yang sempurna. Tetapi Rumi melewati jalan yang salah dan tersesat. Tetapi Rumi menuju pelangi yang salah. Rumi tidak bisa bahagia kalau menginginkan pelangi orang lain.

Sekarang waktunya Rumi menerima masa lalu, waktunya Rumi berdamai dengan takdir yang ada, sambil merangkai pelangi baru, pelangi Rumi sendiri.

Kaisar anak baik, anak yang paling perhatian pada semua orang. Anak yang ikut terbawa ke dalam gulungan benang kusut ini. Padahal Kaisar tidak ada kaitannya. Padahal Kaisar hanya datang sebagai teman. Padahal, Kaisar juga sudah memiliki kehidupan yang sulit. Apa yang terjadi di keluarga Kaisar membuat Kaisar jadi protektif pada orang-orang disekitarnya. Kaisar jadi merasa harus selalu tahu, harus selalu mengerti, dan harus selalu bisa membantu semua orang. Kaisar jadi takut lengah saat sesuatu terjadi.

Tapi Kaisar, tidak semua orang harus ditolong oleh Kaisar. Bukan kewajiban Kaisar untuk menolong semua orang. Beberapa hal terjadi, beberapa orang menghadapi masalah, tapi bukan kewajiban Kaisar untuk menolong. Bukan kewajiban Kaisar untuk menolong Heksa, Ole, dan Rumi. Tidak semua hal yang mereka lewati bisa dibantu oleh Kaisar. Jadi, Kaisar bisa membiarkan mereka membantu diri mereka sendiri.

Sekarang waktunya Kaisar menolong diri sendiri, waktunya Kaisar meyakinkan diri sendiri kalau orang lain akan baik-baik saja, dan waktunya Kaisar untuk hidup dalam ketenangan.

Ami sudah cukup melihat dan mendengar pertarungan-pertarungan kalian. Ami sudah cukup patah hati melihat luka-luka kalian. Mulai sekarang, Ami hanya ingin melihat Abang, Ole, Rumi, dan Kaisar yang senang, yang tersenyum. Ami ingin melihat kalian semua lepas dari masalah yang selama ini menahan kalian. Ami ingin melihat kita semua sembuh.

Sehat dan bahagia selalu, anak-anak Ami yang tersayang.