let me tell you a tale —The measurements of a relationship
Human relationship is interesting. There are terms for different kinds of relationships between different people, but even so, can you really decide? Human relationships are categorized according to their type of affection, emotion, and boundary. Each is divided by a clear line, but for some people, those lines are blurred — maybe at some point, the lines are always blurred. A family is a group of people related by blood, yet that is not the only measurement to call someone your family. A friend is someone you are close with and you share mutual affection with, but how close is it exactly, and how much affection do you share?
Under those uncertainties, how do you measure a relationship?
Mentari did not measure her relationship with Heksa at first. He was her co-worker and university colleague. Everything was clear she did not have to measure it by herself. But a relationship between people does not always stay in place. It tends to progress, worsen, or be better — closer. They barely talk at first, but suddenly they gave life updates to each. They only met when they had to, but suddenly they went for a casual lunch together. They did not notice each other presence, but suddenly they were the first person to send a recovery message to each other. But how and why did those things happen? Was it something that was bound to happen naturally as the relationship progressed? Or was it something they did intentionally to direct their flow of relationship to a certain track? But then again, was their relationship always clear since the beginning?
Everything was clear at first, was it?
Pagi-pagi sekali, Mentari sudah tiba di kampusnya. Hari seminar, sidang, dan wisuda selalu menjadi hari yang cukup sibuk untuknya. Ia seperti berubah menjadi peri pengantar bunga sehari; membawa paket-paket yang berisi ucapan selamat, rasa bangga, dan cinta. Saat pertama kali membantu Oma-nya membuat karangan bunga semasa kecil dulu, Mentari menganggap karangan bunga tidaklah lebih dari hadiah yang cantik. Hadiah yang diberikan pada hari tertentu, pada hari yang membuat seseorang berhak menerima hadiah. Saat dirinya beranjak remaja, ia belajar bahwa karangan bunga diberikan sebagai lambang dari sebuah perasaan; menjadi medium untuk menyampaikan perasaan. Ada yang memberi bunga sebagai tanda cinta dan kasih sayang, ada juga yang memberi bunga sebagai tanda bela sungkawa. Semakin ia tumbuh dewasa, ia semakin menemukan makna baru dari bunga. Bahwa ternyata, perasaan yang disampaikan tidak selalu sederhana. Bahwa terkadang, bunga-bunga itu menjadi pengganti kata dan perasaan yang terlalu sulit untuk disampaikan.
Saat sudah yakin semuanya siap, Mentari mulai menghubungi para pemesan. Sambil menunggu, Mentari duduk di bagasi mobilnya, memperhatikan suasana di sekitarnya.
Hari ini tempat ini diwarnai oleh orang-orang yang baru menyelesaikan sebuah cerita. Hari ini, mereka sedang menuliskan kalimat-kalimat terakhir dari cerita itu. Ada yang menulisnya dengan penuh suka cita, tentang akhir dari perjuangan yang susah payah dan hasil yang menyenangkan hati. Ada yang menulis dengan air mata, membayangkan hal-hal yang harus dilepaskan seiring selesainya cerita — membayangkan tentang perpisahan. Mentari jadi bertanya-tanya, saat gilirannya nanti, akan sepanjang apa ceritanya? Akan jadi seperti apa ceritanya?
Di tengah lamunannya itu, seseorang menghampirinya.
“Jangan ngelamun nanti kesurupan.” Suara itu datang bersamaan dengan sebuah tepukan di pundak, membuat Mentari yang memang sedang melamun itu, langsung tersadar. Ia menoleh secara refleks, untuk melihat siapa yang berbicara padanya itu. Keningnya berkerut bingung saat mendapati bahwa si pemilik suara adalah tidak lain dan tidak bukan, Samudera Khagi. Bukan tanpa alasan, Mentari merasa bingung karena sebenarnya tadi pagi mereka sudah sempat saling menyapa. Baru satu jam berlalu, laki-laki itu sudah kembali lagi, tapi kenapa? Tanpa sadar, perempuan itu melamun lagi memikirkan jawaban. Heksa yang melihatnya langsung menjentikkan jari di depan wajahnya. “Lah, malah ngelamun lagi.”
“Eh?” Gumam Mentari yang tersadar. Ia tersenyum kecil. Kemudian ia mulai memborbardir lawan bicaranya dengan pertanyaan. “Kenapa balik lagi ke sini? Kelasnya udahan? Mau beli bunga?”
“Enggak.” Geleng Heksa. Hal itu membuat Mentari menatapnya penasaran, menunggu kelanjutan jawaban. “Pengen aja.”
Laki-laki itu duduk bersilang kaki di sebelahnya. Pandangannya menatap ke atas, ke arah langit yang masih nyaman untuk dipandang karena matahari nya belum terlalu naik. Suasana di sekeliling mereka ramai, sangat ramai. Heksa pun mendengar apa yang Mentari dengar sedari tadi; suara lalu lalang mobil yang mencari tempat parkir, para penjual bunga dan bingkisan wisuda yang saling bersautan mencari pelanggan, dan sayup-sayup obrolan manusia. Suasananya ramai, tapi entah kenapa tidak terasa menganggu sama sekali. Entah kenapa, melihat Samudera Khagi yang menatap langit dengan raut wajah tenang itu, membuat Mentari jadi merasa tenang juga.
“Kelasnya selesai lebih awal. Ternyata dosennya cuma ngasih materi singkat sama instruksi tugas.” Ucap laki-laki itu beberapa saat kemudian, memecah hening. “Aku nggak ada kenalan yang lagi wisuda, nggak punya alesan buat ikut iring-iringan wisuda. Tapi nggak mau ngabisin setengah jam cuma buat keluar parkiran dan nyetir keluar kampus. Tapi yang paling males itu mikirin jalan keluar dari parkiran, penuh soalnya. Ngampus bawa mobil di hari wisuda nggak recommended, mending naik skuter aja.”
Seperti biasa, jawaban dari Heksa terdengar seperti sebuah cerita. Selama keduanya saling mengenal dan mengobrol, Heksa jarang memberikan respon yang singkat jelas padat, apalagi terkesan dingin. Mulanya Mentari pikir, hal itu dilakukan untuk menghindari miskomunikasi; agar jawaban apapun diberikan sejelas mungkin. Tapi lama-lama, ternyata itu memang sifatnya, kebiasaannya. Tidak salah kalau Mentari berpendapat bahwa laki-laki itu sangat cocok menjadi seorang pendongeng untuk anak-anak.
“Terus kenapa ke sini?” Mentari menatapnya penasaran.
“Kenapa ya?” Bukannya langsung menjawab, laki-laki itu malah mengulang pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia pun sedang memikirkan jawabannya. Mentari jadi berpikir apakah laki-laki itu hanya bosan atau mungkin kebetulan lewat. Setelah beberapa saat, Heksa menoleh padanya. “Siapa tau ada yang butuh part-timer buat jual bunga. Soalnya nggak mungkin bawa keranjang segede ini sendirian.”
Sebuah senyum terukir di wajah Mentari. Ia merasa tersentuh atas jawaban itu. Ia tidak merasa laki-laki itu memiliki sebuah keharusan untuk membantunya. Ia selalu merasa tersentuh atas sikap orang-orang yang melakukan sesuatu untuknya tanpa alasan. Menurutnya, cara kerja nurani manusia itu unik. Ada kalanya kita terdorong untuk melakukan sesuatu karena ada alasan yang jelas. Anak kecil terjatuh dari sepeda, wanita tua membawa barang yang berat, anak kucing tercebur selokan. Tapi ada kalanya juga, kita bertindak padahal tidak diperlukan — hanya karena ingin. Kalau seperti itu, apakah yang bertindak itu nurani atau hati?
Menurutnya, Heksa Samudera juga unik. Laki-laki itu sering terlihat malas dan tidak antusias dalam melakukan sesuatu; bekerja, belajar, mengerjakan tugas, mengantri makan. Tetapi disaat yang bersamaan, Heksa bisa melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak penting dan malah membuang waktunya, dengan sukarela. Seperti ikut melamun di sebelah Mentari, dan membantunya berjualan bunga.
Tidak lama kemudian, para customer yang memesan karangan bunga mulai berdatangan. Keduanya pun menghentikan obrolan mereka. Mentari segera menyambut mereka yang datang untuk mengambil bunga dengan senyum yang lebar. Heksa pun bergerak untuk membantu. Tanpa perlu disuruh, laki-laki itu membantu menyiapkan dan menyerahkan bunga-bunga pesanan.
Kalau diminta untuk menyebutkan kata-kata yang cocok untuk menggambarkan Heksa, Mentari akan memilih reliable sebagai salah satunya. Laki-laki itu hampir selalu sedia bantuan kalau memang diperlukan. Mentari menyadarinya saat Heksa mulai menawarkan tumpangan setiap mereka memiliki jadwal part-time di tempat yang sama. Ia menjadi yakin setelah melihat Heksa, yang tidak tahu apa-apa soal bunga, bergerak untuk membantunya tanpa diminta saat perempuan itu terlihat kesulitan. Yang membuatnya menjadi bisa diandalkan bukan sekedar soal siap membantu, tetapi juga tahu caranya membantu. Heksa Samudera selalu terlihat tahu apa yang harus dilakukan.
“Iya, Kak, aku nerima order bouquet juga.” Respon Mentari pada salah satu mahasiswi yang mampir untuk membeli bunga. Tidak jauh di sebelahnya, Heksa bersandar pada sisi mobil sambil mendengarkan. “…kalau desain-nya dari katalog bisa satu hari sebelum. Tapi kalau custom minimal tiga hari sebelumnya.”
Ternyata, bukan hanya Mentari yang menemukan hal baru tentang Heksa. Laki-laki itu juga mempelajari sesuatu. Ia mendapatkan satu-dua hal tentang Mentari selagi memperhatikan interaksi itu. Pertama, tentang bagaimana raut wajahnya berubah ceria dan semangat setiap ada pembeli, selalu tanpa terkecuali. Kedua, tentang bagaimana ia berinteraksi dengan orang-orang. Heksa sudah tahu kalau Mentari itu merupakan seseorang yang bertutur kata lembut. Ia berani bertaruh perempuan itu sangat jarang mengumpat seumur hidupnya. Tapi ia tidak berpikir bahwa Mentari bersikap ramah dan lembut pada semua orang, tanpa pengecualian.
“You’re a soft spoken person ya?” Tanya Heksa menarik perhatian Mentari yang sedang merapikan bunga-bunganya. Namun dari nada nya, kalimat itu lebih terdengar seperti sebuah pernyataan yang mengkonfirmasi sesuatu.
“Hm?” Gumam Mentari yang tidak langsung menangkap maksud kalimat laki-laki itu.
“Kamu selalu ngomong pakai nada yang sama. Pelan, lembut, ceria.” Jelas Heksa. “Kamu juga konsisten pake aku-kamu ke semua orang, padahal tadi ada pembeli yang pake lo-gue.”
Baru kali ini, pikiran perempuan itu terhubung dengan topik yang dimaksud. Baru kali ini juga, ia menyadari bahwa dirinya menggunakan kata ganti aku-kamu sejak pertama kali dirinya mengobrol dengan Heksa. Raut wajahnya pun seketiga berubah kaget bercampur sedikit kepanikkan. Terbiasa berinteraksi dengan banyak orang secara umum membuat Mentari lebih familiar dengan kata ganti saya dan aku dibanding lo-gue khas orang-orang di kota besar lainnya. Memang tidak ada yang salah, secara bahasa. Namun secara budaya pergaulan, pemilihan kata ganti bisa memiliki arti tertentu.
“Ah, aku dari awal pake aku-kamu ya?” Ucapnya sembari melayangkan tatapan tidak enak. “Aduh, sok akrab banget ya padahal baru ketemu…”
Memang, laki-laki itu tidak terlihat mempermasalahkan hal itu sama sekali. Tidak sekali pun juga ia pernah menggunakan kata ganti lo-gue saat berbicara pada Mentari. Tetapi perempuan itu tetap merasa sedikit tidak enak dan takut terlihat sok akrab. Alih-alih terlihat tidak nyaman, Heksa justru menggeleng dan tersenyum simpul.
“It suits your personality; warm and sweet.”
Respon itu cukup berada di luar ekspektasi. Seperti yang pernah Mentari sebutkan dalam obrolannya bersama Zoya, ia merasa akrab dengan Heksa namun masih belum mengenal satu sama lain dengan baik. Karena itu ia sedikit kaget, dalam konotasi positif, saat laki-laki itu sudah bisa menilai sifatnya dengan tepat. Sepertinya, Heksa Samudera adalah tipe pembaca orang lain.
“Thank you.” Ucap Mentari penuh ketulusan. “Jadi lega deh kalau kamu nggak risih sama sekali.”
“Aku nya aja ngomong pake aku-kamu juga, Tar. Lagian kan emang Bahasa Indonesianya kayak gitu. Kalau orang nangkepnya ada arti tertentu, mungkin Bahasa Indonesia mereka masih remedial.” Balas Heksa dengan nada bicara yang penuh rasa percaya diri. Hal itu membuat Mentari mengeluarkan tawa kecil. Laki-laki itu pun ikut terkekeh bersamanya. Beberapa saat kemudian, Heksa melayangkan tatapan yang serius “Mulut kita terserah kita, Tar. Terserah mau ngomong lo-gue, aku-kamu, i-you. Selama nggak nyakitin orang, yaudah. 'Kan aneh juga kalau jenis hubungan ditentuin pake cara manggil dan bukan perasaan. Ya nggak masalah juga sih ngikutin kultur dan stereotip, tapi ribet ah ngatur.”
Lagi, Mentari tertawa ringan berkat ucapan Heksa. Sekali lagi juga, laki-laki itu ikut terkekeh bersamanya. Walau diucapkan dengan candaan di sana sini, ia tahu bahwa laki-laki itu serius dengan pendapatnya. Memang, kadang, cara kita bicara berubah mengikuti jenis hubungan yang dimiliki. Tapi cara kita bicara bukan merupakan ukuran dari suatu hubungan. Kalau sepasang kekasih bisa menggunakan gaya bahasa yang kasar terhadap satu sama lain, kenapa dua orang teman tidak bisa berbicara dengan lembut?
“What are the measurements of a relationship, then?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian, murni hanya karena ingin mendengar pendapat laki-laki itu. “Apa diukur dari apa yang dilakuin?”
“Bisa iya bisa enggak.” Jawab Heksa. “Bisa aja, kalau mau ngikutin kultur sama stereotip. Tapi kalau mau bikin ukuran sendiri juga bisa.”
Dan hubungan itu sendiri juga, tidak harus selalu mengikuti aturan dan stereotip yang ada.
Misalnya, Mentari dan Heksa yang bisa menjadi teman dekat tanpa mengetahui banyak hal tentang satu sama lain. Keduanya bisa menghabiskan makan siang bersama tanpa tahu warna kesukaan satu sama lain. Keduanya bisa mengobrol sampai tengah malam tanpa tahu tanggal lahir satu sama lain. Keduanya bisa juga bisa tumbuh lebih dekat, tanpa tahu apa-apa. Semua itu sangat bisa terjadi, entah sekarang atau nanti. Dan bisa terjadi tanpa disadari.
“Sekarang kita ngapain?” Ucap Heksa beberapa saat kemudian, menatap sekilas pada keranjang bunga yang kini tinggal berisi bunga-bunga tanpa pemesan. Mendengar pertanyaan itu, Mentari menyunggingkan senyum penuh antusiasme sambil mengambil salah satu keranjang.
“Keliling jualan bunga!”
Matahari menyingsing di atas kepala, tanda hari sudah menyentuh waktu siang. Keranjang bunga yang mulanya penuh dengan mawar, daisy, dan bunga-bunga lainnya itu kini hanya berisi angin. Senyum puas terukir pada wajah Mentari saat melihat dua keranjang kosong yang baru ia letakan di bagasi mobilnya. Di sebelahnya ada Heksa yang membantu menutup pintu bagasi mobil. Mentari menoleh pada laki-laki itu.
“Mau makan nggak?” Tanyanya sambil memegang perut yang kehabisan bahan bakar setelah berjalan kaki mengelilingi hampir setiap sudut area kampus. “Pasti laper kan habis keliling kampus?”
“Boleh.” Angguk Heksa tanpa pikir panjang. “Tapi kantin kayaknya penuh deh. Mau nyari makan di luar aja?”
“Ayo.” Angguk Mentari semangat. Namun beberapa saat kemudian ia tersadar akan sesuatu. “Tapi kita berangkatnya gimana? Kan sama sama bawa mobil.”
“Iya ya...” Heksa terlihat berpikir sejenak. Tidak lama kemudian ia bicara lagi. “Jalan kaki nyari tempat makan yang deket mau?”
Dan itulah awal mula dari perjalanan mereka menyusuri jalan jalan kecil di sekitar kampus mereka; iseng mencari tempat makan yang siapa tahu merupakan hidden gem.
Sesekali keduanya berhenti untuk menyapa kucing yang berpapasan dengan mereka.
“Itu Tangerine!”
“Halo, Tatang!”
Sesekali, keduanya berhenti karena menemukan hal menarik untuk difoto.
“Suka foto ya, Mentari?”
“Iya. Bukan foto professional tapi. Foto biasa aja, buat kenangan.”
Setelah berjalan selama lima belas menit, keduanya memilih untuk makan di sebuah kedai mie ayam sederhana. Terletak di halaman sebuah rumah tua. Keduanya memilih tempat duduk yang paling nyaman, yaitu sebuah meja di bawah kanopi rumah. Mereka duduk berhadapan dan mengobrol ringan sambil menunggu pesanan selesai dibuat.
“Mau cemilan?” Tawar Samudera saat beberapa menit berlalu dan pesanan masih belum datang. Laki-laki itu tidak menunggu jawaban dan langsung mengeluarkan sebatang cokelat dari dalam tas nya. Ia membuka bungkus luarnya dan membaginya menjadi dua sama rata.
“Ini kayak cokelat bingkisan atau hadiah?” Tanya Mentari saat melihat pita dan stiker yang menghias sebatang cokelat itu. “Is it a love confession?”
“Kayaknya? Tadi ada yang ngasih, waktu aku keluar kelas.” Jelas Samudera. “Aku nggak sempet nolak dan bingung juga nolaknya gimana soalnya ngasihnya lewat orang lain.”
“Kalau dimakan apa artinya perasannya diterima?” Tanya Mentari setengah bercanda.
“Semoga enggak sih.” Balas Heksa, setengah bercanda juga. “Masa hubungan ditentuin pake makan cokelat atau enggak. Makanan kan urusan lambung, bukan hati. Kalau nggak dimakan kasian cokelatnya nanti nangis, lambung aku bunyi.”
Mentari terkekeh pelan mendengar cerita singkat dan penjelasan itu. Sepertinya Heksa memang memiliki bakat dalam bercerita. Semua yang keluar dari mulutnya hari ini, semuanya terdengar ringan. Padahal, topik yang dibahas mungkin cukup serius. Tapi Heksa membuatnya seperti sesuatu yang bisa dibicarakan dengan santai sambil tertawa. Kemudian, Mentari jadi merasa penasaran akan sesuatu.
“Kamu populer ya, Samudera?”
Sebenarnya, rasa penasarannya muncul sejak beberapa saat sebelumnya, saat mereka sedang berjualan bunga. Laki-laki itu menerima banyak sapaan saat keduanya mampir ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Heksa terlihat memasang wajah berpikir, walaupun Mentari tahu laki-laki itu tidak benarbenar memikirkan jawaban.
“Hmm aku nggak mau jawab ah, takut jadi narsis.” Candanya.
Mentari hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. Saat itulah ia kedua matanya menangkap bungkusan cokelat tadi. Apa yang ia kira stiker ternyata merupakan sebuah sticky notes bertuliskan pesan singkat. Pada pojok atas, tertulis dengan jelas to: heksa. *Heksa Samudera.** Tiba-tiba saja perempuan itu tersadar bahwa selama ini ia memanggil laki-laki itu menggunakan nama tengahnya, bukan nama depan. Dan sepertinya, ia memilih nama yang salah. Mentari mengambil kertas itu dan memberikan tatapan tidak enak pada laki-laki di depannya.
“Ah, kamu nggak dipanggil Samudera ya? Aku salah manggil dong?”
“Seumur hidup nggak ada yang pernah manggil aku pake nama Samudera. Aku lebih terbiasa sama Heksa. Tapi bukan nggak boleh juga sih.” Balas laki-laki itu santai. Namun, wajahnya terlihat sedikit berpikir; ia tidak bisa menutupi fakta bahwa nama Samudera memang asing baginya. Dan mungkin juga berpikir apakah ia akan membiarkan perempuan dengan sepasang mata bulat di hadapannya itu boleh memanggilnya dengan nama itu atau tidak. Semua orang memanggilnya dengan nama Heksa, tidak ada pengecualian, tidak ada panggilan khusus, tidak ada panggilan akrab. Laki-laki itu tidak tahu apakah nama Samudera akan menjadi panggilan khusus, atau hanya panggilan saja. Tetapi pada akhirnya, seperti yang ia katakan sendiri sebelumnya, cara memanggil tidak menjadi ukuran suatu hubungan. “Aku lebih terbiasa sama Heksa. Tapi nggak apa-apa kalau mau tetep manggil Samudera.”
Cara memanggil seseorang bukanlah satu-satunya ukuran untuk sebuah hubungan. Walaupun kadang nama panggilan menggambarkan garis batasan dalam hubungan itu. Topik obrolan dan kegiatan yang dilakukan bersama juga, tidak selalu menjelaskan hubungan yang terjalin. Sepertinya satu-satunya ukuran valid untuk sebuah hubungan adalah perasaan.
Lalu kalau ukuran utamanya adalah perasaan, kira-kira, apa ya yang Mentari rasakan sekarang?
“Kamu cocok sama nama Samudera.” Mulai Mentari beberapa saat kemudian. Kalimatnya terjeda oleh semangkuk mie ayam yang diletakkan di hadapannya oleh sang penjual. Perhatiannya pun teralihkan sebentar untuk mengambil alat makan dan mengaduk mienya. “You seem calm, like an ocean.”
Heksa tidak memberi respon apapun selain tersenyum simpul. Ia pun meraih sumpit dari wadah alat makan dan mulai mengaduk mienya. Melihat itu, Mentari pun bersiap untuk menyantap mienya. Perempuan itu mengucapkan satu kalimat terakhir sebelum mulai melahap makanannya.
“And I think you're a really good companion, Samudera.”
“You are a good companion, Tar.”
She thought it was the day she figured out everything about their relationship. She thought it was the day they made everything clear. But oh honey, that was actually the day when everything started to blur. But was it ever really clear? Everything was already blurred since the beginning, wasn't it? The path that lay before them was blurred.
And honestly, strangely, sometimes she preferred uncertainty over clarity.
If there was a specific measurement for a relationship, if there was a guidebook for a relationship, she would rather turn a blind eye to them. She did not want to measure their relationship at all — now and then.