strings: tangled —Dari Arumi Niana (Khagi): Yang selalu berharap — Anger and Desire


Salah satu impresi orang ke aku yang paling melekat di aku itu, katanya aku ini penuh dengan harapan. Aku punya banyak visi tentang banyak hal, punya banyak tujuan yang ingin aku capai. Katanya, aku ini optimis dan selalu yakin kalau kita bisa nemuin jalan dan harapan buat wujudin visi dan tujuan itu. Aku akuin, aku emang punya banyak harapan. Aku punya banyak hal yang pengen aku capai dan aku milikin. Aku punya banyak harapan tentang hidup aku kedepannya. Dan diantara visi, misi, tujuan, dan harapan itu, banyak yang berhasil aku capai. Aku bisa masuk Kedokteran Hewan berkat beasiswa. Aku jadi volunteer di banyak kampanye peduli hewan. Aku bahkan berhasil dapet kesempatan buat jadi pengurus salah satu program kampanye adopt don’t shop. Banyak yang ngira aku bisa optimis dan penuh harapan gini karena aku selalu sukses dalam mencapai semua itu. Little did they know, I was born with nothing, therefore I desired everything.

Informasi personal buat aku itu kayak sesuatu yang keramat, kayak pandora box yang ngga boleh dan ngga akan pernah mau aku buka. Alasan sederhananya, karena aku udah ngerasa bahagia dan nyaman dengan kehidupan aku yang sekarang. I feel content with everything I have. Dan aku ngga mau kehilangan semua itu. Aku ngga mau kehilangan apa yang aku punya sekarang—kehidupan yang normal, dan sempurna. Aku punya keluarga yang sayang, peduli, dan berterima kasih akan kehadiran aku. Aku punya banyak temen yang kagum dan ngerasa terinspirasi sama aku. Aku lagi dalam perjalanan buat mencapai cita-cita aku. Dan di atas semua itu, aku punya seseorang yang selalu suportif sama aku.

Happy family, fun friends, great reputations, dreams, and a supportive boyfriend. Hampir.

Kaisar bukan pacar aku dan ngga akan pernah jadi pacar aku. Alesannya? Ya karena kita temenan. Aku ngga pernah sekali pun punya perasaan lebih buat dia. Sedeket apapun kita, aku ngga pernah baper, aku ngga pernah jatuh cinta sama dia sedikitpun. Tapi dalam satu tahun terakhir, aku mulai bersikap kayak gitu. Aku mulai bersikap kalau Kaisar ini the supportive boyfriend yang ngelengkapin daftar keinginan aku. Kaisar emang sering nawarin diri buat anter jemput aku. Dia juga jarang ngebolehin aku pulang sendirian. Tapi dalam satu tahun terakhir ini justru aku yang lebih sering minta dijemput. Kita juga emang sering pergi bareng, ngabisin waktu bareng, atau saling nemenin buat dateng ke suatu acara. Tapi aku yang lebih sering ngajakin Kaisar ngedate belakangan ini. Kita emang selalu cerita soal satu sama lain, saling kabar-kabaran. Tapi aku jadi lebih sering cerita, bahkan soal hal yang ngga penting sekalipun. Aku mulai bersikap seolah aku sama Kaisar punya hubungan khusus—seenggaknya di depan orang-orang. Aku jarang banget bawa-bawa kehidupan personal aku ke publik, tapi aku seneng pamer kalau soal Kaisar. Aku ngerasa pengen banget orang-orang tau tentang aku sama Kaisar.

Aku pengen Ole tau tentang aku sama Kaisar.

Kalau ditanya soal perasaan aku ke Ole, jawabannya cuma satu. Iri. Aku iri sama Ole. Dia lahir, sah secara hukum dan agama, di keluarga yang utuh. Di keluarga yang saling menyayangi. Di atas semua itu, dia dapet kakak laki laki yang sayang banget sama dia, dan satu ibu tambahan yang juga luar biasa sayangnya ke dia. Di samping semua itu, dia punya keluarga lain, kerabat, yang bisa dia datengin kapan aja. Ole dikelilingi orang orang baik. Ole itu keberadaan yang diinginkan, dan aku iri sama hal itu. Rasa iri itu tumbuh dan berkembang, jadi rasa marah. Karena aku ngga punya apa yang Ole punya.

Aku lahir sebagai kesalahan. Aku lahir tanpa orang orang yang menanti kelahiran aku. Aku bahkan ngga punya surat surat legal yang bisa menyatakan kalau aku ini manusia yang sah—bahwa kehadiran aku ini berhak untuk diakui. Sampai aku ketemu sama Ayah Khagi. Orang baik yang dengan tangannya sendiri, merangkul aku. Orang yang menaruh namanya di akta kelahiran aku, supaya kehadiran aku bisa diakui semua orang. Tapi aku tetep marah, karena walaupun aku akhirnya bisa ngerasain apa yang Ole rasain, semua itu bukan punya aku. Aku punya “orang tua” tapi aku ngga bisa manggil mereka sebagai orang tua aku. Aku punya “keluarga” tapi aku bukan bagian dari keluarga itu. Aku akhirnya bisa dapet apa yang Ole punya, tapi apa? Semua yang aku dapetin itu, pada akhirnya, punya Ole. Aku disini cuma peminjam.

Iri berubah jadi amarah dan amarah itu berubah jadi kebencian.

Waktu tau kalau Ole juga kenal Kaisar, aku ngerasa menang. Kenapa? Karena aku lebih dulu kenal Kaisar. Karena aku lebih kenal Kaisar. Karena aku punya Kaisar. Dan waktu tau Ole suka sama Kaisar, aku makin kepancing buat nunjukkin kepemilikan aku. Waktu tau Ole suka sama Kaisar, aku juga jadi bersikap seakan aku suka Kaisar. Aku juga jadi ngerasa aku ini suka sama Kaisar. Aku ngerasa menang karena untuk pertama kalinya, aku punya sesuatu yang ngga Ole punya. Untuk pertama kalinya, Ole pengen apa yang aku punya.

Selama beberapa waktu, emang aku menang. Tapi yang namanya hati, ngga bisa aku atur sendiri. Kaisar yang emang udah kenal Ole dari lama itu, lama-lama makin luluh sama Ole. Lama-lama, aku kalah juga—kalah lagi. Karena itu, aku ganti target. Di antara apa yang Ole punya, ada satu yang ngga mungkin banget bisa aku punya. Ada satu—seseorang, yang out of my league. Ada seseorang yang ngga bisa aku sentuh, ngga bisa aku raih.

Kak Heksa.

Aku nerima kepedulian dan kasih sayang dari Ayah Khagi, walau ngga sebanyak Ole. Aku juga sesekali nerima perhatian dari tante Anne—Mama Anne. Tapi perhatian dan cinta dari Kak Heksa? Ngga pernah dan ngga mungkin. Aku bahkan ngga bisa manggil dia Abang, ngga dibolehin manggil dia Abang. Kak Heksa itu, orang yang mau satu dunia benci sama Ole pun, bakal tetep ada di pihak Ole. Dia orang yang mau dunia kiamat juga, bakal tetep berusaha buat ngelindungin Ole. Dia orang yang tujuan hidupnya cuma Ole. Dan aku ngga suka. Aku ngga suka fakta kalau Ole punya seseorang yang sesayang itu sama dia. Aku ngga suka kalau selain orang tua yang baik, dia juga punya kakak se-malaikat itu. Aku iri karena Ole punya Kak Heksa sedangkan aku engga.

Waktu Kak Heksa mulai reach out ke aku, aku seneng bukan main. Tapi ternyata, harapan aku ketinggian. Kedatangannya bukan buat menyambut aku, melainkan buat nyadarin aku tentang posisi aku.

Itu adalah hari dimana aku belajar kalau ternyata keberadaan aku ini lebih ngga berharga lagi dari sebuah kesalahan. Hubungan one night stand? Aku lahir dari hubungan kayak gitu? Seumur hidup aku percaya kalau aku lahir di tempat dan situasi yang salah. Walaupun aku tau keberadaan aku ini bukan sesuatu yang dinanti orang-orang, aku masih mikir kalau aku seenggaknya berhak buat dapet kasih sayang. Aku sering nebak, mungkin aku ini anak yang ngga direstuin keluarga, mungkin Mama ngelahirin aku sendirian karena konflik keluarga, dan sebagainya. Aku masih mikir kalau aku ini, anak yang lahir dari cinta. Tapi ternyata apa? Keberadaan aku ini ngga ada harganya sama sekali.

Aku perlu waktu buat nenangin diri. Aku perlu waktu buat mencerna informasi yang baru aku terima. Kak Heksa nyaranin aku buat ngobrol sama Mama aku. Buat ngelurusin semuanya, dan mungkin, sekalian memperbaiki hubungan. Selain itu, dia juga minta pengertian aku soal sikapnya Ole. Dia minta aku ngerti posisi aku dan posisi Ole. Aku ngikutin saran itu. Aku ngambil cuti, aku pergi ketemu Mama yang ngga pernah aku liat sejak aku masih kecil itu. Aku berusaha mikirin semuanya.

Harusnya, aku terus ngikutin saran itu. Harusnya, aku ngikutin semua saran Kak Heksa. Tapi aku ngga bisa. Aku ngga bisa disaat aku tau kalau semua orang baik-baik aja tanpa aku. Aku ngga bisa diem aja disaat ngeliat orang-orang, Ole, Kaisar, dan Kak Heksa, baik-baik aja tanpa aku.

Aku masih belum memperbaiki hubungan aku sama Mama. Aku belum denger penjelasan Mama sama sekali. Waktu yang aku pake buat ngilang itu sebagian besarnya cuma aku pakai buat liburan, buat nenangin diri. Dan akhirnya, aku mutusin buat balik lagi. Masa bodoh sama masa lalu aku, masa bodoh sama Mama. Aku cuma mau balik lagi ke kehidupan normal aku. Aku cuma mau balik lagi jadi Arumi dengan kehidupannya yang bahagia.

Itu juga jadi alesan kenapa aku milih buat ngejauh dari keluarga Khagi. Ngga lama dari kematian Ayah, ada sepasang suami istri yang mau ngadopsi aku. Aku ngga punya alesan buat nolak. Justru, waktu itu, aku ngerasa lagi ditawarin mimpi di depan mata: keluarga kecil aku sendiri. Lagian, nggak ada yang sedih juga kalau aku pergi, kan? Semua orang baik-baik aja tanpa keberadaan aku, jadi buat apa aku terus berhubungan sama mereka? Bukannya dari awal aku cuma ‘numpang’? Kalau ada keluarga baru yang mau menyambut aku, menerima aku, kenapa engga? Kenapa juga aku harus terlibat dalam masalahnya mereka? Kenapa aku harus ikut menderita disaat mereka menderita?

Kenapa aku harus ikut menderita cuma karena Ole menderita?

Aku ngerti kalau Ole sedih. Tapi apa hubungan dari sedihnya Ole sama bahagianya aku? Kenapa seakan-akan aku ini ngga boleh bahagia kalau Ole ngga bahagia? Aku salah. Aku salah soal kematian tante Anne. Tapi aku bukan penyebab kematian tante Anne. Ada atau ngga adanya aku, salah atau engga nya aku, tante Anne bakal tetep bikin keputusan yang sama. Aku nangis-nangis pun ngga akan bisa bikin tante Anne hidup lagi. Ole benci aku segimana pun, ngga akan bikin tante Anne hidup lagi. Aku ngerasa ngga adil karena penderitaan Ole menginvalidasi kebahagiaan aku. Aku ngerasa ngga adil karena bahagianya Ole ngga bergantung sama aku, tapi bahagianya aku bergantung sama dia? Aku ngerasa ngga adil karena semua orang minta aku ngertiin Ole, tapi apa mereka pernah minta Ole ngertiin aku? Aku ngerasa ngga adil, jadi aku milih buat nutup mata soal semua itu.

Di tengah semua yang pernah terjadi itu, aku milih buat hidup bahagia.

Emang kenapa kalau aku menikmati hidup? Aku menghabiskan masa kecil aku buat nyalahin takdir, dan diri sendiri atas kehidupan yang aku jalanin. Sekarang aku punya kesempatan buat hidup normal, aku bisa dapet apa yang selama ini aku pengen—keluarga, temen, kehidupan yang baik. Kenapa aku ngga boleh nikmatin semua itu dengan tenang?

Tapi ternyata, cuma aku yang nikmatin hidup. Cuma aku yang hidup normal. Cuma aku yang tenang. Cuma aku yang bahagia.

Selama ini aku terlalu sibuk berharap sampai lupa buat merhatiin sekitar aku. I was busy desiring everything instead of appreciating what I already had. Ngga ada salahnya berharap. Sebagai anak yang lahir tanpa keluarga dan ngandelin belas kasih orang lain, ngga ada yang salah dari mengharapkan cinta dan kebahagiaannya sendiri. Tapi, aku serakah. Aku pengen punya semuanya, aku terus menerus pengen punya sesuatu, sampai lupa kalau tanpa semua itu pun sebenernya hidup aku ngga kenapa-kenapa, ngga hancur. Dibanding aku, justru orang-orang di sekitar aku yang lagi hancur.

Aku terlalu fokus sama diri aku sendiri sampai aku gagal ngeliat maksud dari semua ini. Aku terlalu fokus sama diri aku sendiri sampai aku gagal ngeliat maksud dari Ole, tentang aku yang bahagia sendirian—tentang aku yang ngga boleh bahagia sendirian. Semua ini bukan tentang aku yang ngga boleh bahagia, tapi tentang kita semua yang berbagi satu luka yang sama.

Disaat semuanya berantakan, disaat semuanya nyerang aku, aku baru sadar kalau ternyata aku doang yang ngga sadar. Aku doang yang ngga baca situasi, ngga bisa nerima situasi. Semuanya sibuk sama luka masing-masing, semuanya sibuk ngatasin masalah masing-masing. Sedangkan aku malah sibuk ngehapus masa lalu dan sibuk ngejar kehidupan yang sempurna, yang bahagia. Masalahnya, gimana bisa sempurna kalau akarnya aja cacat? Gimana aku bisa bahagia kalau di sepanjang jalannya ada banyak benang yang kusut?

Seberapa keras pun usaha aku buat memisahkan diri dari keluarga Khagi atau dari benang yang ngikat kita berempat, aku ngga akan berhasil. Aku tetep bagian dari gulungan benang ini. Aku bagian dari kekusutannya. Juga, mau se ngga peduli apapun aku sama semua ini, aku tetep bagian dari ini masalahnya.

Aku salah.