strings: tangled — Yang dimulai dari sini dan yang selesai sampai sini
Terkadang, sebuah jawaban itu, terletak di masa lalu. Setidaknya begitu bagi Maure, Heksa, Kaisar, dan Arumi. Jawaban atas kekusutan di antara mereka terletak di masa lalu. Jawabannya dan solusi dari gulungan benang itu adalah dengan mengungkap masa lalu yang mengikat semuanya. Sama hal nya dengan masalah mereka masing-masing, yang jawabannya sama sekali tidak ada di masa sekarang. Jawabannya terletak pada kepingan masa lalu yang menyakitkan itu. Tersembunyi dibalik luka masa lalu sehingga sulit ditemukan. Dan kalau ingin menemukan jawaban itu, mereka harus menjelajahi kembali masa yang menyakitkan itu.
“Lucu deh, Abang, aku yang paling semangat ngelupain masa lalu justru jadi yang paling terakhir move on.” Mulai Maure sambil memperhatikan ruangan di sekitarnya. “Selama ini justru aku yang paling stuck di masa lalu. Aku stuck di masa lalu tapi aku gak mau berinteraksi sama masa lalu itu.”
Saat ini, Maure dan Heksa sedang berada di rumah masa kecil Maure, di Bandung. Rumah yang ia tinggali sampai kepergian Ragalih Khagi. Setelahnya, rumah ini hanya menjadi rumah singgah, rumah yang ia datangi bersama Zianne beberapa kali dalam satu tahun. Sekarang, rumah ini hanya menjadi gudang memori.
“Ini nggak mau kamu liat-liat dulu, Ole?” Tanya Heksa sekali lagi sambil menunjuk tumpukan kardus di sekitar mereka.
Tumpukkan kotak-kotak itu berisi memori. Berisi kenangan tentang masa hidup Zianne Amora, bahkan bisa dibilang kotak itu berisi bukti kehidupan dan saksi-saksi kehidupan Zianne. Tumpukkan kotak-kotak yang tidak pernah Maure sentuh—tidak pernah mau ia sentuh. Heksa pun ingat, bagaimana Maure selalu memalingkan wajah selama proses pemakaman. Mengalihkan pandangannya, melihat kemanapun asal jangan ke arah wajah cantik Zianne yang nyaris sepucat kertas. Heksa juga ingat bagaimana Maure langsung meminta barang-barang ibunya itu segera dibereskan dan dikirim ke rumah masa kecilnya, sedangkan rumah tempat Zianne merenggut nyawanya sendiri itu dijual satu tahun kemudian. Heksa ingat bagaimana Maure berusaha keras untuk melupakan Zianne.
“Kamu nggak pernah nyentuh barang-barang Mama Anne.”
Lebih tepatnya, Maure merasa takut untuk menyentuh barang-barang itu. Takut dengan apa yang mungkin ia temukan disana, namun juga takut akan apa yang mungkin tidak akan pernah ia temukan disana.
“Ada satu.”
“Hm?”
“Ada satu yang aku sentuh. Jurnalnya Mama.” Lanjutnya, sambil menunjuk buku kecil berwarna cokelat dari dalam laci nakas. “Waku aku udah homeschooling, aku mulai sering ke makam Mama. Waktu itu kayaknya sekitar satu taun peringatan kematian Mama? Aku frustasi banget karena aku bener-bener pengen tau kenapa Mama pergi. Akhirnya aku buka jurnal ini.”
“Kamu dapet jawabannya?”
“Enggak, Abang. Mau aku baca seratus kali juga nggak ada jawabannya. Jurnal ini isinya cuma kenangan yang Mama punya tentang Ayah, tentang aku. Jurnal ini jadi barang pertama sekaligus terakhir yang aku sentuh setelah kematian Mama. Aku gak mau buka-buka barang Mama lagi. Aku takut, gimana kalau jawabannya emang gak ada? Gimana kalau tumpukan kotak itu isinya cuma kenangan yang bikin aku terus terusan keinget sama Mama?”
Tapi sekarang, ia ingin membuka semua tumpukkan kotak itu, satu per satu. Ia ingin membedah luka masa lalunya satu per satu, agar ia tahu caranya mengobati semua.
Maka ia melakukannya. Ia membuka setiap isi kotak. Ia menelusuri barang-barang peninggalan Zianne dan memilah mana yang akan ia simpan sendiri, mana yang harus dibuang, mana yang akan dibiarkan—sambil mencari jawaban yang mungkin ada di antaranya. Maure membuka semua kotak, semua lemari, semua laci. Ia sampai merogoh setiap kantung baju yang masih tersimpan di dalam rumah itu, setiap halaman buku, setiap lembar foto. Dan ternyata, jawaban dari semuanya memang selalu ada di masa lalu.
Jawaban itu tersimpan di dalam surat yang diselipkan di album foto pertama Maure.
“Ketemu, Abang.”
“Ketemu apa?”
“Surat, dari Mama buat aku.”
Perjalanannya menyembuhkan luka, dimulai dari sini.
Tempat lain untuk menemukan jawaban adalah diri sendiri. Baik itu jawaban tentang apa yang terjadi, apa yang diinginkan, apa yang harus dilakukan—apa yang harus mereka lakukan sekarang. Ada banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban, namun yang paling penting adalah pertanyaan yang terakhir. Apa yang harus mereka lakukan? Selalu, itu adalah pertanyaan yang terpenting. Apa yang harus dilakukan agar bisa tahu tentang apa yang terjadi? Apa yang harus dilakukan agar bisa tahu apa yang diinginkan? Dan terakhir, apa yang harus dilakukan saat dua pertanyaan sebelumnya sudah terjawab? Hanya masing-maisng yang tahu jawabannya sekarang. Masalah apapun yang dilalui, pada akhirnya yang menghadapi adalah diri sendiri. Pada akhirnya, diri sendiri yang menentukan.
“Rum, menurut kamu apa yang nahan kita semua selama ini? Selain karena masa lalu yang nyakitin, apart from the pain, apa yang bikin kita sama-sama ga mau nyelesain masalah ini ya?”
Tapi sebelum itu, Kaisar memulai dengan mempertanyakan sikapnya sendiri. Mencari tahu, apa tepatnya, sesuatu di dalam dirinya yang menahannya selama ini. Memori yang menyakitkan itu pasti, semuanya pun setuju. Tapi kalau pada akhirnya ia bisa melewati semuanya, ia bisa mengambil langkah untuk mengatasi semuanya, kenapa baru sekarang? Ia ingin tahu, isu semacam apa yang ada di dalam dirinya.
“Mungkin kita takut?” Tebak Arumi. “Ole takut sama kebenaran dibalik kematian mamanya, kamu takut ngelawan ayah tiri kamu malah bikin situasi jadi tambah buruk, aku takut kehilangan apa yang aku punya.”
“Heksa takut kehilangan kita semua.”
Dan ternyata, mereka semua tetaplah jiwa-jiwa muda yang punya banyak ketakutan, dan tidak tahu banyak tentang hidup. Mereka semua bukan tetua bijaksana yang bisa memikirkan solusi dari suatu masalah hanya dalam sekali berpikir.
“We really need to fix ourselves.”
Semuanya setuju, bahwa apa yang terjadi tidak semata bisa diserahkan kepada waktu. Apa yang terjadi bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan waktu—hanya dengan waktu. Tetapi pada akhirnya, mereka tetap memerlukan waktu, mungkin banyak waktu, untuk bisa mewujudkan solusi mereka.
“Iya ‘kan? Mau dipikirin seberapa banyak pun itu jawabannya, diri kita sendiri, Kai.” Sahut Heksa yang baru bergabung dengan keduanya. “Wa started in wrong circumstances, wrong state of ourselves. Makannya yang paling harus diperbaiki itu diri sendiri dulu. Jangan mikirin yang lain dulu, itu udah jawaban yang paling bener.”
“Makannya aku sama Abang milih buat pergi sebentar.” Timpal Maure, sebagai orang terakhir yang bergabung.
Semuanya pun setuju, bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda, entah itu untuk menemukan jawaban, menyelesaikan masalah, atau menyembuhkan diri.
They are letting go of the tangled strings.
Perpisahan dan bahagia sangat jarang berada dalam satu kalimat yang sama. Semua orang juga tahu bahwa hampir semua perpisahan adalah hal yang tidak menyenangkan—menyedihkan, menyakitkan. Kebanyakan perpisahan juga memang didasarkan pada hal yang tidak menyenangkan. Perpisahan karena kematian, putus hubungan, perpindahan, dan sebagainya. Perpisahan juga kebanyakan terjadi untuk waktu yang lama, bahkan selamanya—hence it is a goodbye and not a see you.
Perpisahan itu, adalah adegan yang terjadi sekarang.
“Gue kira lo bakalan pergi tanpa bilang ke gue.”
“Lo kan temen gue, masa gue ngilang gitu aja.”
“Lo sering-sering chat gue ya, Ole.”
“Iya, pasti! Cemi juga kalau Jegar macem-macem langsung bilang nanti gue kirim santet online.”
“Waduh, serem ya Maure.”
Semua orang—semua yang terlibat dalam cerita ini (atau hampir semuanya) saat ini sedang berada di bandara untuk melepas kepergian Maure, Heksa, dan Kiana. Sudah satu jam berlalu di habiskan oleh obrolan dan salam perpisahan. Ucapan-ucapan penghibur keluar dari dan ditujukan untuk kedua belah pihak. Ucapan-ucapan tentang untuk selalu saling mengingat, untuk menjaga kesehatan, untuk menjadi lebih bahagia. Juga obrolan-obrolan tentang mimpi-mimpi yang ingin dicapai, atau sekedar hal yang ingin dilakukan keesokan hari.
Maure dan Heksa sudah memutuskan dan membulatkan keputusan itu. Ketiganya memilih untuk pergi sementara waktu untuk menyelesaikan cerita mereka masing-masing—untuk menyelesaikan beban di pundak masing-masing.
Terdengar seperti adegan yang klise untuk cerita yang penuh lika-liku. Mungkin juga, terdengar tidak masuk akal. Kenapa pergi saat semua masalah sudah diselesaikan? Kalau pada akhirnya akan pergi, kenapa tidak pergi dari dulu? Jawabannya adalah karena kepergian mereka bukanlah bentuk pelarian. Maure dan Heksa tidak sedang melarikan diri. Pun, mereka bukan pergi untuk memulai kehidupan baru sambil menyembunyikan yang lama ke dalam kotak pandora. Mereka hanya pergi. They’re leaving for good. Kali ini, Maure tidak mengabaikan semuanya—ia tidak melarikan diri lagi. Justru, ia pergi untuk menghadapi dirinya sendiri. Begitu pun dengan Heksa, dan yang lain. Semuanya pergi untuk menghadapi diri mereka masing-masing—dengan cara mereka masing-masing. Bagi kakak beradik itu, ini cara mereka.
Masalah yang mengikat semuanya, benang-benang kusut yang mengikat semuanya, memang sudah dibereskan. Tapi benang-benang kusut di dalam diri masing-masing, belum.
They—the four of them—have found each other. Now it is time to find themselves.
“Baik-baik disini ya, Rumi.”
“Iya, Kak. Kamu juga.”
“Jadinya habis dari sini langsung ke tempat Mama kamu?”
“Aku ketemu temen dulu sebentar, baru nanti sore dijemput Mama.”
“Enjoy your time, ya.”
One chose to rebound.
“Titip Kale ya. Awas kalau Kale gak nyampe ke gue.”
“Iya iya. Gue udah sering kali bantu transfer peliharaan ke luar negeri.”
“Titip salam ke Kak Kinan.”
“Iya.”
Perpisahan dan bahagia memang jarang ada dalam satu kalimat yang sama. Tapi, tidak bahagia bukan berarti buruk. Terkadang, ada perpisahan yang baik meski tidak membahagiakan.
Cerita ini belum sempurna. Semuanya belum sempurna. Namun tidak salah kalau menyebut semuanya sudah baik-baik saja sekarang. Badanya sudah berlalu dan sekarang semuanya baik-baik saja. Sebaik itu sampai Maure bisa mengajak Cemima dan Jegar untuk bergabung bersama mereka hari ini. Sebaik itu sampai Maure dan Kaisar bisa kembali bercanda seperti biasanya. Sebaik itu sampai Maure dan Arumi bisa berpelukan sambil berpamitan walau pelukan itu tidak bertahan lebih dari sepuluh detik. Sebaik itu sampai Maure dan Heksa bisa memutuskan untuk pergi, dan mereka pergi tanpa penyesalan; tanpa perasaan lainnya yang memberatkan hati. Semuanya berakhir sebaik itu sampai mereka semua bisa tersenyum sekarang. Semuanya berakhir baik sampai perpisahannya pun berakhir baik.
“Good luck buat sidang Bunda lo ya, Kai. Gue yakin kalian bakalan menang dan ayah tiri lo bakal nerima hukuman yang pantes.”
“Thanks. Lo juga, good luck in finding whatever it is you want to find. Jangan lama-lama perginya.”
“Gue pulang lo harus udah jadi pengacara ya.”
“Kalau kayak gitu lo perginya minimal lima taun.”
One chose to fight.
“Hehehehe, jangan kangen ya, Kai.”
“Jangan kepedean.”
“Bukan sama gue, jangan kangen sama Ole maksudnya.”
Meskipun sebaik apapun perpisahannya, rasa sedih itu pasti ada. Perpisahan di antara mereka pun tidak dikecualikan dari rasa sedih.
“Sini,” Kaisar membuka kedua tangannya untuk menyambut Maure ke dalam pelukannya. Dalam hitungan detik, perempuan itu sudah menyandarkan kepala dengan nyaman di dadanya. “I’ll miss you.”
Keduanya berpelukan dengan nyaman dan tenang. Sama seperti yang lain, sama-sama menyampaikan kasih sayang terakhir sampai mereka semua berkumpul lagi. Kalau dipikir-pikir lagi, hubungan Maure dan Kaisar bisa dibilang sebagai api pertama yang menyulut api-api lainnya. Hubungan yang sebenarnya benar-benar sederhana. Hubungan yang mulanya dikira paling sederhana, namun ternya tetap saja dalam perjalanannya harus melewati gulungan benang yang kusut—dan akhirnya ikut kusut juga. Sangat disayangkan keduanya tidak memiliki banyak waktu untuk bernafas lega bersama karena kini, mereka dihadapkan pada perpisahaan. Mungkin, pemikiran itu juga yang membuat Maure menitikan air matanya.
“Eh kok tiba-tiba nangis?” Tanya Kaisar sedikit khawatir saat mendengar perempuan itu mulai terisak.
*Maure has experienced a lot of goodbyes, adding another one to the list didn’t seem like a huge thing—she had familiarized herself with goodbye(s). She got used to being separated, unwillingly, with people. So she thought this one would be just fine. She thought this one would be just fine since it wasn’t about death, it wasn’t about running away, but about healing the self—she thought this one would not hurt at all since they were saying goodbye for good. But a good goodbye is actually the worst. She wasn’t forced by anything—the circumstances, the fate—she wasn’t forced to say goodbye but she chose to. That is what hurt the most.*
“Sedih.” Jawabnya singkat disela tangisnya.
“Aku juga sedih.” Balas Kaisar. Ia menarik napas panjang sebelum bicara lagi, menyampaikan kata-kata yang menenangkan, dan sedikit menyenangkan. “We’ll be okay like you said. Don’t worry, my feeling for you is there, it exists.”
“Makasih, Kaisar.” Ucap Maure pelan setelah tangisnya sedikit mereda. Hal itu membuat Kaisar memeluknya semakin erat; meletakkan dagunya di puncak kepala Maure sambil mengusap punggung perempuan itu pelan, menenangkan. “Sampai ketemu.”
One chose to heal.
“Iya.” Balasnya, masih sesekali mengusap punggung Maure. “I’ll be here.”
Semua orang berkata hal yang sama hari ini. Mereka yang pergi berucap terima kasih, dan mereka yang ditinggalkan berucap dengan yakin—menjanjikan bahwa mereka akan selalu siap menyambut kalau-kalau yang pergi pulang. Mereka yang ditinggalkan berjanji kalau mereka akan selalu ada, akan selalu jadi rumah untuk pulang nanti. Bahkan saat yang pergi belum bisa menjanjikan kepulangannya.
“Take care, Ole, lo juga, Sa.”
“Kalian semua juga take care, wherever you are.”
One chose to see everyone well and happy.
Sebuah cerita tidak selalu berakhir dengan perpisahan, tetapi perpisahan sering menjadi tanda dari berakhirnya sesuatu. Sebuah cerita tidak harus diselesaikan dengan perpisahan, tetapi perpisahan sering menjadi tanda selesainya sebuah cerita. Bagi Maure, Heksa, Kaisar, dan Arumi, perpisahan ini menjadi akhir—menjadi penyelesaian dari cerita yang sebelumnya. Tanda selesainya cerita yang berisi benang-benang kusut yang sempat mengikat mereka satu sama lain. Mereka bukan berpisah untuk selamanya. Mereka berpisah untuk bertemu kembali, dengan versi diri masing-masing yang lebih baik, dalam cerita yang baru. Sedangkan cerita yang penuh cerita—penuh amarah, tangis, dan luka itu sudah bertemu dengan ujung.
Dengan begitu, cerita mereka selesai sampai sini.