strings; tangled — Truth Unfolded: Heksa, Maure, dan Keluarga—the eighth string


Khagi


“Ami, aku mau punya adik?”

Begitu tanya seorang anak laki-laki yang baru masuk ke dalam kamar itu. Wanita yang sedang duduk di depan meja rias itu tersenyum seraya menoleh pada anak semata wayangnya.

“Ayah udah bilang?” Tanyanya lembut. Anak itu mengangguk. “Kamu mau jadi abang?”

Saat mendengar kata adik, tidak ada hal lain yang dipikirkan oleh anak itu selain adik pada umumnya. Adik yang datang dalam bentuk bayi mungil yang keluar dari perut ibunya. Adik yang saat besar nanti jadi teman bermainnya dan harus ia jaga. Adik yang saat lebih besar nanti, juga membawa nama keluarganya.

Tapi Heksa tidak pernah mengira kalau adik yang dimaksud kedua orang tuanya ternyata datang dalam wujud seorang anak perempuan dengan usia yang tidak jauh beda darinya. Melangkah dengan kedua kakinya sendiri melewati pintu, bersama Ayah berdiri di sampingnya. Mengandalkan kemampuan berpikirnya dan pengetahuannya, ia pun berasumsi.

“Adiknya bukan anak Ayah sama Ami?” Tanyanya begitu mereka berempat duduk bersama di ruang keluarga. Anak yang sedang dipertanyakan terlihat mendongak pada pria di sebelahnya, pada Ayah. Sedangkan pria yang sedang ditatap terlihat berpikir; mencari kata-kata yang paling tepat—yang paling tidak menyakiti, yang paling mudah dimengerti oleh anak kecil berusia tujuh tahun. Ia sempat melirik ke arah Kiana dengan raut bertanya. Setelah mendapatkan senyum dari Kiana, Ragalih—namanya—pun bicara.

“Anak Ayah.”

Topik tentang perseturuan, perceraian, perselingkuhan, poligami, adopsi adalah hal-hal yang berada diluar jangkauan anak berumur tujuh tahun. Heksa bahkan belum tentu bisa membaca kata-kata barusan dengan lancar. Sayangnya bukan berarti hal-hal tersebut tidak mungkin terjadi di sekitar anak seusianya

Meskipun pengetahuan dan pengertiannya masih terbatas, anak itu cukup pintar dan peka untuk anak seusianya. Saat ayahnya memperkenalkan anak perempuan yang dibawanya sebagai “anak Ayah”, Heksa tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi—yang belum ia mengerti—di keluarganya. Ia tahu bahwa ada alasan yang rumit atas kenapa Ami tidak pernah menyebut anak perempuan itu sebagai “anak Ami” atau “anak Ayah dan Ami”. Satu hal yang sangat anak itu mengerti adalah: ia harus menerima.

“Ami, Ami sedih nggak?” Tanya Heksa malam harinya. “Ayah jahat nggak ke Ami?”

“Enggak sayang. Ami nggak sedih. Ayah nggak jahat dan masih selalu menyayangi Ami dengan baik.”

Kalimat itu adalah pegangannya. Di tengah asumsi dan praduga, Heksa memilih untuk mempercayai kedua orang tuanya. Jika Kiana berkata tidak ada yang jahat—tidak ada cinta yang hilang, maka demikianlah kenyataannya. Dan memang wanita itu tidak berbohong sama sekali. Ragalih Khagi masih mencintainya dengan baik. Hanya saja, sekarang, dalam situasi dan keadaan yang berbeda.

Bagi Kiana pun, tidak ada yang jahat. Meskipun sedikit rancu apakah karena memang tidak ada yang berniat menyakiti, atau karena antara dirinya, Ragalih, dan Zianne, sama-sama melakukan kejahatan yang setimpal.

Untuk bicara tentang ketiganya, ada rangkaian cerita yang rumit. Seperti benang yang kusut di tengah-tengah. Seperti halaman buku yang robek dan sengaja tidak dibaca. Rangkaian cerita yang hanya mereka yang tahu seperti apa kebenarannya. Dan ketiganya sama-sama berpikir bahwa lebih baik hanya mereka yang tahu tentang ceritanya.

“Heksa selalu percaya sama Ami, jadi Ami jangan pernah bohong ya?” Ucap anak laki-laki yang kini menjadi si sulung itu. “Kalau Ami sakit harus bilang sakit, kalau Ayah jahat harus bilang Ayah jahat. Aku belum ngerti soal hubungan orang besar jadi aku percaya sama Ami, sama Ayah. Tugas aku sekarang cuma jagain adik baru ‘kan?”


Sore itu, untuk pertama kalinya Heksa melihat penampakan adik barunya itu. Ayahnya memang tidak berbohong saat bilang anak perempuan itu “anak Ayah”, karena ia bisa melihat kemiripan di wajahnya. Siapapun yang melihat kedua anak itu berdiri berdampingan akan langsung tahu kalau mereka kakak beradik. Namun siapa yang akan menduga kalau masing-masing datang dari ibu yang berbeda?

Keduanya duduk bersama di taman belakang, ditemani berbagai buku anak yang dimiliki Heksa di rumahnya. Beberapa ada yang merupakan hadiah sambutan dari Kiana. Belum ada interaksi antar keduanya selain salam sapa yang diucapkan masing-masing saat sedang diperkenalkan tadi. Keduanya menghabiskan lima menit hanya dengan melihat-lihat buku yang berserakan di sekitar mereka. Sampai si anak perempuan bersuara pelan.

“Abang?” Panggilnya ragu. Nadanya bicaranya tidak seperti sedang memanggil, melainkan bertanya; mengkonfirmasi apakah nama itu benar atau tidak. Saat Heksa menoleh, ia melanjutkan. “Aku manggilnya Abang? Atau Kakak?”

“Abang aja.” Balas Heksa singkat, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana—dan takut salah memulai percakapan. “Kamu dipanggilnya apa?”

“Ole.”


Anak-anak biasanya lebih mudah berbaur dibanding orang dewasa. Mereka bisa bermain bersama tanpa tahu nama satu sama lain ataupun tertawa bersama setelah bertengkar lima menit sebelumnya. Begitu pula dengan Heksa dan Maure. Ketegangan yang hampir selalu menyelimuti kedua keluarga justru tidak pernah tergambarkan sedikitpun dalam hubungan mereka. Orang yang melihat akan berpikir kalau mereka hanyalah adik kakak pada umumnya.

Namun di kebanyakan waktu, tidak ada yang akan menyangka bahwa keduanya adalah kakak-beradik.

Maure adalah anak yang sah secara hukum maupun agama, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk menyembunyikannya. Anak itu tidak perlu merasa cemas untuk berkeliaran bahkan di kompleks perumahan Heksa. Tetapi tetap ada batasan-batasan yang harus dihormati. Tetap ada perasaan yang harus dijaga, dan tetap harus tahu diri. Bagaimanapun, Maure adalah bagian dari keluarga Ragalih bersama Zianne, bukan Kiana. Maka ada waktu dimana Ragalih menghabiskan waktu hanya bersama Kiana dan Heksa. Entah itu pergi ke taman hiburan atau makan malam keluarga seperti pada umumnya. Ada pula waktu dimana Ragalih menghabiskan waktu luangnya dengan mengadakan piknik kecil di pinggir danau bersama Zianne dan Maure.

Di saat-saat itu, baik Maure maupun Heksa hanya akan sibuk menikmati hari masing-masing. Walau ada juga saat dimana salah satu merasa penasaran; kenapa adik-kakak tidak bisa mengadakan makan malam keluarga bersama. Karena pada akhirnya, keduanya tetap dua anak kecil tidak bersalah yang ikut terkena imbas dari apapun itu yang melibatkan orang tua mereka.

“Kamu ngapain aja kemarin?” Tanya Maure seperti biasa saat ia berkunjung ke rumah Heksa untuk belajar bersama.

“Aku pergi sama Ayah sama Ami ke akuarium!” Jawab Heksa dengan antusias. “Aku udah pernah ke sana sih, tapi tetep seru.”

“Aku juga pernah sekali, tapi udah gak inget.”

“Kamu kenapa gak ikut aja?” Tanya Heksa kemudian.

“Kata Mama kalau Ayah lagi main sama kamu sama tante—”

“Ami.”

“Iya, kata Mama kalau Ayah lagi main sama Heksa sama Ami, aku jangan ikutan dulu.”


Hubungan keluarga yang rumit hanyalah satu dari sekian banyaknya hal yang harus mereka pelajari semasa kecil. Satu dari sekian banyaknya hal yang seharusnya belum menjadi kekhawatiran mereka. Tetapi keluarga itu sendiri juga termasuk titik awal dari benang-benang yang kusut itu. Keluarga itu sendiri, bisa jadi kusut dan berantakan; keluarga itu sendiri bisa hancur kalau tiang penopangnya pergi.

“Abang, Ayah kenapa?” Tanya gadis muda itu pada laki-laki yang duduk di atas ranjang dengan perban kecil di dahi nya. Namun yang ditanya tidak menjawab dan hanya menatap pada kekosongan. Akhirnya, gadis itu pun meninggalkan ruangan dan menghampiri ibunya—yang juga menatap pada kekosongan.

“Mama? Abang gak jawab waktu aku tanya.” Ucapnya lesu. “Abang lagi sedih?”

“Kita semua sedih.” Jawab Zianne sendu.

“Mama,” Panggil Maure lagi setelah beberapa saat. “Kalau Ayah pergi terus semua orang sedih, yang mau hibur aku siapa?”

Mungkin bukan hanya Maure saja yang mempertanyakan hal seperti ini. Dalam sebuah keluarga, kalau yang satu hancur dan yang lain ikut hancur, siapa yang harus bangun? Kalau semuanya hancur, siapa yang bisa memastikan mereka semua bangun?

Maure, Heksa, Zianne dan Kiana mempertanyakan hal yang sama. Tetapi, masing-masing memiliki jawaban yang berbeda.


Lalu hubungan keluarga yang rumit itu, pada akhirnya tidak banyak dibicarakan. Bahkan oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Entah karena tidak ada teman bicara, lebih baik tidak dibicarakan, atau sengaja tidak membicarakan.

Kontras dengan Heksa yang sering memiliki rasa penasaran tinggi walau cepat puas—atau cepat menyerah juga, Maure tidak pernah menjadi tipe yang sama. Ada yang bilang bahkan kalau ombak Tsunami datang, anak itu akan tetap bermain di pantai. Ia tidak banyak memikirkan tentang apa yang tidak mengusiknya; apa yang tidak menganggunya bukan masalah buatnya. Misalnya anak yang diam-diam membicarakannya, pasangan yang bertengkar di supermarket, keluarga yang menangis di pemakaman; saat melihat semua itu, Maure hanya akan berpkir bahwa semua itu bisa terjadi. Sama hal nya seperti apa yang terjadi di dalam keluarganya—di antara orang tuanya.

Tidak pernah satu pertanyaan pun terlontar dari mulutnya. Entah itu tentang wanita yang bukan ibunya tetapi ia sebut ibu, kakak laki-laki yang muncul setelah ia besar, atau ayahnya yang menghabiskan waktu dengan wanita yang bukan ibunya. Maure tidak pernah sekalipun bertanya kenapa ia harus memanggil Kiana dengan sebutan Ami, kenapa Heksa tidak lahir dari rahim ibunya, atau kenapa Ragalih menghabiskan waktu bersama Kiana dan Heksa, bukan Zianne dan Maure.

Sebaliknya, justru Zianne lah yang pertanya pada putri semata wayangnya itu.

“Ole,” Panggilnya sambil mengusap rambut panjang Maure yang menidurkan kepala di pangkuannya. “Kamu penasaran gak sama Mama, Ayah, sama Ami Kiana?”

“Iya, kadang penasaran.” Jawab perempuan yang baru memasuki masa remaja itu.

“Terus kenapa kamu gak pernah sekalipun nanyain soal itu ke Mama?”

“Soalnya itu bukan urusan aku.” Jawab Maure tenang, tanpa ragu, tanpa bingung. “Itu urusan Mama, Ayah, sama Ami Kiana. Aku penasaran juga gak ada gunanya kan aku nya gak terlibat? Kalau aku tau sesuatu juga palingan ujungnya aku cuma jadi penonton.”

“Terus kamu gak pengen nyari tau sama sekali?” Tanya Zianne lagi. “Khususnya tentang Ayah.”

“Enggak.” Jawab Maure yakin. “Aku gak tau apa yang Ayah lakuin ke Mama atau ke Ami Kiana, mau itu baik atau jahat. Tapi kalau jahat juga, Ayah jahatnya bukan ke aku? Ayah yang aku kenal baik. Aku cukup kenal Ayah yang baik aja.”

The thing about children being faced with family issues early is, they grow up too fast. They matured too fast.

“Aku gak tau Ayah itu suami yang baik atau bukan. Tapi Ayah itu ayah yang baik buat aku, buat abang juga.”

Jawaban itu terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Jawaban yang terlalu tenang untuk bisa keluar dari mulut seorang anak sekolah berumur tiga belas tahun. Jawaban yang tidak diharapkan oleh Zianne sama sekali. Ia lebih mengharapkan Maure untuk marah, untuk melontarkan seribu pertanyaan dengan penuh frustasi tentang apa yang terjadi dalam keluarga mereka. Ia lebih mengharapkan sikap kekanakan yang melelahkan dari gadis itu. Karena sikap dewasa ini hanya membenarkan asumsinya bahwa Zianne—serta permasalahan antara dirinya, Ragalih, dan Kiana—ikut memberatkan anak-anak mereka.


Keluarga itu hubungan yang menarik. Sering digambarkan sebagai hubungan interpersonal paling kuat karena statusnya bukan sekedar diikat oleh janji oral maupun tertulis saja. Keluarga itu hubungan yang diikat oleh darah dan seperti yang orang bilang, darah lebih kental dari pada air. Tapi ada kalanya aliran darah yang mengikat keluarga itu putus.

Ada kalanya, keluarga itu berdiri sendiri. Masing-masing dalam dunianya sendiri. Ada pula kalanya, kedua keluarga itu harus saling menopang—meskipun yang satu tidak ingin ditopang.

“Ole, tinggal di sini aja ya, sama Ami, sama Heksa?”

“Gak usah, Ami.” Tolak Maure untuk yang kesekian kalinya. “Ini rumah Ayah sama Ami sama Heksa, bukan rumah aku.”

Padahal menyandang nama yang sama, tapi Maure yang beranjak dewasa selalu menjauhkan dirinya dari Khagi. Bersikeras bahwa dirinya, terlepas dari nama yang dibawanya, bukanlah tanggung jawab dari Kiana. Ikatannya adalah dengan Ragalih, sebagian dengan Heksa, tapi bukan dan tidak pernah Kiana.

“Aku gak akan kenapa-kenapa kok, Ami.” Ucap Maure meyakinkan. “Aku masih punya om, tante, sama keluarga yang lain.”

Maure dan Zianne, lalu Heksa dan Kiana; kadang keduanya seperti satu keluarga yang sama dalam semesta yang berbeda. Mengikuti peraturan bahwa hanya boleh ada satu jenis dalam satu semesta. Maure memang masih belum tahu dan tetap tidak ingin tahu secara rinci apa yang terjadi di antara orang tuanya. Tetapi Maure yang kini beranjak dewasa itu cukup mengerti bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk memberatkan Kiana.

“Emangnya kita bukan keluarga?” Timpal Heksa yang bergabung ke dalam percakapan.

Sampai sekarang, Maure masih bingung. Apa batasan, perhitungan, tanda, ciri, apapun, yang bisa digunakan untuk mengukur ikatan keluarga? Katanya, keluarga itu terikat oleh perasaan; cinta dan kasih sayang. Sesuatu yang terlalu mewah, terlalu tidak tahu diri untuk Maure harapkan dari Kiana dan Heksa.

Tapi mungkin juga, alasannya sesederhana karena Maure hanya menginginkan keluarga kecilnya saja. Maure, Mama Anne, dan Ayah Khagi. Siapapun, apapun selain tiga nama itu, tidak bisa—tidak cukup memenuhi kriteria nya sebagai sebuah keluarga.

Sedangkan yang tersisa sekarang hanyalah nama Khagi yang melekat pada namanya.