strings: tangled — Dari Kinanti: Yang senang sendirian


Satu hal yang paling aku inget dari Rumi itu senyumnya. Dia yang paling sering senyum di antara semua orang yang kerja di shelter ini. Mungkin, dia juga yang paling seneng ngelakuin pekerjaan ini. Rumi yang aku tahu selalu datang dengan suasana hati yang bagus, ngejalanin pekerjaan tanpa ngeluh, dan nangis terharu setiap kita berhasil menyelamatkan binatang. Hebatnya, attitude-nya terhadap profesi ini nggak pernah berubah dari awal dia datang sebagai volunteer di tempat ini.

Aku kenal Rumi cukup lama. Sekitar tiga tahun? Dari waktu Rumi masih jadi murid SMA yang dengan semangat bilang pengen jadi dokter hewan, sampai dia jadi mahasiswi kedokteran hewan dan jadi relawan tetap di shelter ini. Tapi aku nggak begitu tahu banyak tentang dia secara personal. Kita sering ngobol dan cerita-cerita. Tapi semua cerita yang aku denger itu isinya tentang keseharian Rumi juga. Misalnya tentang kafe yang baru dia datengin, kucing liar yang dia temuin dijalan, kasus kekerasan binatang yang bikin dia kesel, dan kadang, dia cerita tentang orang-orang yang ada di samping dia.

Karena anaknya ramah dan punya positive vibes, aku yakin kalau Rumi pasti banyak temen dan relasinya. Terbukti dari engagement di media sosial shelter yang naik kalau habis dipromosiin sama dia. Tapi temennya Rumi yang aku kenal cuma Kaisar—yang aku nggak tahu apakah mereka cuma temenan atau lebih dari itu. Kaisar cukup sering ikut Rumi ke shelter. Kadang dia cuma nganterin, kadang dia mampir sebentar buat ketemu hewan-hewan disini dan nyapa staff disini. Dari interaksi mereka, aku ngeliatnya mereka itu temen deket. Mungkin mereka udah saling kenal dari lama. Kalau dari cara Rumi cerita tentang Kaisar, dia terkesan punya perasaan lebih buat cowok itu, TAPI disaat yang bersamaan Rumi nggak keliatan mau ngejar perasaannya itu.

Kali pertama aku ketemu temennya Rumi selain Kaisar itu adalah waktu acara adoption fair. Dari pagi Rumi udah ngasih tau ke aku kalau tiga temennya mau dateng. Kaisar, Maure, Heksa. Aku juga masih inget senyum yang muncul di mukanya waktu dia nyampein kabar itu ke aku. Senyumnya itu bukan senyum yang kentara, nggak kayak senyumnya waktu main sama hewan-hewan disini ataupun senyumnya waktu dia berhasil nolong salah satu hewan disini. Senyumnya justru keliatan kayak sesuatu yang dia sendiri pun nggak sadar. Aku nggak begitu merhatiin soal ini karena yang aku tahu, Rumi nggak pernah cerita sesuatu yang khusus tentang Maure ataupun Heksa. Aku baru ngasih perhatian ke mereka berempat waktu ngeliat Rumi masang ekspresi sedikit bete di hari adoption fair itu. Padahal, event ini ditunggu-tunggu banget sama dia, tapi di beberapa waktu selama acara dia sempet keliatan kesel dan nggak seneng sama sekali.

Awalnya aku cuma berasumsi kalau Rumi capek karena dia ngurusin acara ini dari awal persiapan sampai akhir. Asumsi itu mulai berubah waktu aku denger kabar dari Rumi kalau dia belum tentu bisa lanjut jadi relawan di shelter. Aku lebih kaget lagi waktu dia bilang dia ambil cuti juga dan pindah rumah buat sementara waktu—dan bisa juga selamanya. Rumi nggak akan pernah kehilangan passion-nya di dunia kedokteran hewan, aku yakin banget. Jadi satu-satunya alasan yang masuk akal adalah masalah personal. Dari situ aku baru mulai me-review hal-hal yang aku tahu tentang Rumi. Salah satunya hubungan Rumi sama tiga temennya itu. Kebetulan, salah satu dari mereka yaitu Maure, ngadopsi salah satu kucing dari shelter ni dan beberapa kali mampir buat check up kucingnya. Dari situ aku jadi mulai kenal sama Maure juga.

Setelah berinteraksi sama Maure dan Rumi disaat yang bersamaan, aku sedikit-sedikit berusaha nebak sesuatu tentang Rumi. Rumi beberapa kali mampir ke shelter walaupun nggak se-sering dulu. Setiap dia mampir, dia selalu nyempetin nanya apa Maure sama Kale (kucingnya) mampir atau enggak; dan kalau mampir, dia dateng sama siapa. Waktu aku tanya apa mau titip salam atau gimana, dia jawab nggak usah, tapi nggak usah dirahasiain juga kalau dia datang ke shelter. Terus entah kebetulan atau keanehan, Maure juga pernah nanya Rumi suka datang ke shelter atau enggak. Bedanya, Maure nggak keliatan tertarik buat ngomongin Rumi apalagi sampai nunjukin rasa seneng dan excitement disaat bahas Rumi. Dari situ, aku mulai tebak-tebakan lagi tentang mereka.

Mungkin waktu itu Rumi ngerasa kalau adotion fair itu harusnya jadi harinya dia. Tapi, temen-temen yang dia pamerin ke aku itu malah nikmatin acara tanpa dia. Akhirnya dia pun ngerasa kecolongan, ngerasa kalau kebahagiaannya direbut. Aku nggak mau banyak berasumsi tapi hari itu juga mungkin bikin Rumi sadar kalau selama ini cuma dia doang yang seneng.

Rumi sadar kalau selama ini, dia ngerasa seneng sendirian.

Dia maju dan berkomitmen buat jadi relawan di *shelter** ini dan ngebantu kita menyelamatkan banyak binatang. Dia punya cita-cita jadi dokter hewan dan berhasil lolos ke jurusan Kedokteran Hewan. Dia punya Kaisar yang setia ngebantu dia, nemenin dia, dan nge-support semua kegiatannya. Dia punya dua orang lagi, Maure dan Heksa yang datang ke acara yang berarti banget buat dia. Tapi siapa yang ngerasa seneng atas semua itu? Rumi sendiri. Mungkin rasanya sama kayak dapet kabar baik barengan sama kabar buruk orang lain. Nggak ada yang nyalahin kamu, nggak ada yang benci kamu, tapi nggak ada yang ikut bersorak bareng kamu.

Sayangnya aku nggak bisa nebak, sedih dan kecewanya Rumi hari itu apakah karena dia ngerasa kesepian, dia ngerasa bersalah, atau dia marah karena ngerasa orang lain nggak ngebolehin dia bahagia—seolah kesenangannya nggak pernah valid. Dan sayangnya juga, aku cuma tahu sedikit—aku cuma tahu cerita dari sisi Rumi.

Pengetahuan aku bertambah sedikit waktu Rumi akhirnya muncul lagi, dan sedikit ngejawab pertanyaan aku tentang ngilangnya dia.

Jawabannya gak lengkap dan rancu, dan karena Rumi emang bukan tipe yang sering cerita tentang kehidupan personalnya, aku ngerti kalau soal ini pun dia nggak bisa jawab dengan detail. Katanya, ada seseorang yang bilang mungkin Rumi salah mengartikan apa yang dia pikir kebahagiaan. Mungkin Rumi salah mengartikan posisinya. Mungkin Rumi salah mengartikan perspektifnya sendiri. Karena itu, Rumi pergi sebentar. Rumi pergi sebentar buat mikirin semua ucapan itu sekaligus nyari jawabannya. Tapi katanya, satu-satunya jawaban yang dia dapat itu, adalah fakta kalau semua orang baik-baik aja tanpa dia.

Setelah itu aku jadi tahu kenapa, terlepas dari usaha aku buat jadi seakrab mungkin sama Rumi, dia tetep nyembunyiin kehidupan personalnya. Apapun yang dia rasain, entah seneng entah sedih, entah bisa dia manage sendiri atau bikin dia kewalahan, juga dia simpen sendiri. Alasannya karena dia takut. Dia takut denger respon dan pendapat orang. Dia takut ketakutannya terkonfirmasi; tentang dia yang seneng sendirian. Yang artinya juga, dia sendirian di pihaknya sendiri. Yang artinya juga, semua orang emang baik-baik aja tanpa dia.

Ternyata selain senang sendirian, Rumi juga sedih sendirian.