strings: tangled — Yang kalah, hilang, hancur dan rindu rumah
arumi, kaisar, heksa, maure
arumi
Sepasang kaki jenjang melangkah dengan santai namun berat, menyusuri lorong shelter dan melemparkan senyum pada setiap orang dan hewan yang lewat. Senyumnya pun tidak pernah tidak dibalas. Animal shelter yang sudah seperti rumah keduanya ini adalah tempat dimana ia paling merasa disukai. Tidak pernah ada yang bertanya tentang siapa dirinya, atau dosa apa yang sudah ia lakukan di masa lalu; tidak pernah ada yang bertanya tentang dirinya. Yang mana, menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menyedihkan secara bersamaan. Karena orang lebih memperhatikan tentang apa yang ia lakukan, apa yang dirinya bisa lakukan, dan akan lakukan.
Bagusnya, ia bisa menjalani harinya dengan nyaman sebagai Arumi—hanya Arumi. Tidak bagusnya, kadang dirinya merasa sepi.
“Halo, Kilo!”
Pada hari-hari yang terasa sepi itu, ia biasanya menghabiskan waktu di halaman belakang shelter itu. Halaman luas dimana para hewan, kebanyakan anjing, bebas berlarian selama waktu bermain. Salah satunya adalah german shepherd tua yang selalu duduk di bawah pohon sambil melihat teman-temannya berlarian kesana-kemari. Dan Arumi akan menemani di sebelahnya. Tapi kali ini kebalikannya, karena justru Kilo yang lebih dulu menghampiri Arumi.
Seperti tahu kalau si kakak cantik sedang butuh teman.
“Kamu kangen main sama Aji, ngga, Kilo?”
Begitu nama itu keluar dari mulutnya, barulah semua perasaan yang tertahan sebelumnya, kembali menlajari tubuhnya. Membuatnya refleks menyiutkan tubuhnya, memeluk lututnya; merasa kecil dan sendirian.
Merasa apa yang sudah dibangun, runtuh.
“Arumi?”
Sebuah panggilan datang bersamaan dengan tepukan di pundak. Raut wajah Kinanti yang khawatir segera menyambutnya. Kemudian entah karena perasaan yang sedang ia tahan, entah karena rasa khawatir yang terpancar dari wajah Kinanti, kedua mata Arumi terlihat mulai berkaca-kaca. Bibirnya terbuka untuk berucap pelan.
“Semuanya berantakan, Kak.”
“Hah?
“Aku sendirian lagi.”
kaisar
Hari itu, langit sudah muram sejak pagi; mendukung mereka yang hatinya lebih dulu dilanda angin ribut. Padahal belakangan ini cuaca selalu bagus. Setidaknya sampai kemarin. Namun langit mendung bukanlah rintangan besar bagi kebanyakan orang yang akan beraktivitas hari ini. Mungkin Kaisar Pangestu pun menganggap hari ini adalah hari yang bagus untuk berolahraga. Kalau tidak, mana mungkin laki-laki itu mengitari lapangan sampai sepuluh kali—sendirian.
Laki-laki itu mengenakan windbreaker abu-abu dan celana pendek hitam. Rambutnya berantakan oleh angin dan keringat. Wajahnya terlihat lelah. Dibanding karena putaran yang sudah dilakukan, eskpresi lelah dan lesu itu lebih dikarenakan dirinya yang baru saja bangun tidur. Faktanya, berlari sendirian di sport center kompleks rumahnya adalah hal yang pertama kali muncul di kepalanya begitu ia membuka kedua matanya.
Matahari naik semakin tinggi. Suhu udara pun terasa pengap karena langit yang mendung. Setelah hampir satu jam, akhirnya laki-laki itu berhenti. Kedua kakinya melangkah berat menuju sebuah bangku di taman di seberang running track. Ia duduk dengan kedua tangan yang bertumpu di lutut, kepalanya tertunduk. Helaan napas kasar keluar dari mulutnya. Sesekali, ia mengacak rambutnya frustrasi. Ternyata ratusan meter yang ditempuhnya ditambah suara lagu yang memekakan telinga lewat earphones di telinganya sama sekali tidak membantu.
Kepalanya masih dipenuhi oleh pikiran tentang satu orang; Maure.
Tepat saat nama itu terbesit lagi di kepalanya, ponselnya berdering. Tangannya bergerak malas untuk mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya. Melihat nama yang tertera di layar, mau tidak mau ia menjawab panggilan tersebut.
“Kai, lo lagi sama Ole?” Tanya suara di seberang tanpa basa-basi.
Sepertinya, dunia hari ini memang tidak mengizinkannya mengalihkan pikiran dari Maure. Ada jeda panjang sebelum mulutnya terbuka untuk bicara.
“Ole…” Mulainya berat. “Gue belum ketemu sama Ole hari ini.” Dan mungkin tidak akan pernah bertemu lagi.
“Kai, are you ok?” Tanya Heksa cepat begitu merasakan suara Kaisar yang terdengar lesu.
Laki-laki itu terdiam lagi. Pada titik ini, sepertinya ia bahkan tidak menyimak penuh pertanyaan Heksa. Ia hanya menghela napas tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“Kaisar?” Panggil Heksa saat laki-laki itu terlalu lama diam. Kemudian mengabaikan pertanyaan temannya itu, ia akhirnya bersuara.
“Sa, what is actually happened to the four of us?” Lirihnya. “Kita ini kenapa sih, Sa? Ada berapa banyak bagian dari cerita kita yang hilang? Yang gue gak tahu?”
Kali ini, Heksa yang terdiam. Di sebrang sana hanya terdengar suara napas yang tenang namun dalam. Percayalah, laki-laki itu juga menanyakan hal yang sama. Namun untuk saat ini, ada hal yang lebih penting yang menjadi alasan utamanya menelepon Kaisar.
“Kai, something happened?”
“Semuanya berantakan, Sa.” Jawabnya lesu.
maure
Waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh pagi. Seorang perempuan yang meringkuk di atas sofa itu membuka matanya dengan berat. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, memperhatikan sekitarnya. Setelah menyadari posisinya, ia pun mengangkat tubuhnya. Secara mengejutkan ia terbangun cukup pagi—dengan fakta bahwa ia baru terlelap tidak sampai tiga jam yang lalu. Hal yang pertama kali dirasakannya saat membuka mata adalah rasa lelah yang menggunung. Bukan karena tidurnya yang kurang, tapi karena semua yang sudah terjadi.
Helaan napas menjadi satu-satunya suara yang keluar dari mulutnya. Satu tangannya tergerak untuk menyisir rambutnya seraya kedua kakinya melangkah untuk melihat keluar jendela. Mendung. Bukankah ini hari yang bagus untuk pergi ke pemakaman?
Maure kembali melangkahkan kaki di kota yang baru saja dikunjunginya tidak sampai satu minggu lalu. Saat berkunjung sebelumnya, ia tidak menyangka dirinya akan datang lagi secepat ini. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan melarikan diri secepat ini—melarikan diri dari semua yang terjadi.
Perempuan itu berdiri di depan sebuah nisan dengan lesu. Tidak ada rangkaian bunga atau apapun di tangannya. Wajahnya menatap nama yang tertulis pada nisan tersebut dengan sendu.
Zianne Amora
Tengkorak yang terbaring dibawah gundukan tanah itu adalah ibunya. Ibu yang sangat ia sayangi, namun juga ibu yang meninggalkan banyak luka untuknya. Luka yang muncul karena ia terlalu menyayangi ibunya sampai tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ibunya meninggalkannya. Karena ia terlalu menyayangi ibunya sampai dukanya tidak pernah hilang, sampai detik ini. Dan batu nisan yang tidak bisa bicara itu, masih menjadi tempat pulangnya.
Lama berdiri dalam diam, Maure akhirnya membuka mulutnya.
“Ma, Ole egois ya? Aku cuma fokus sama hubungan aku sama Kaisar. Aku cuma peduli sama hubungan aku sama Kaisar.” Lirihnya, tidak mengalihkan pandangannya sama sekali. Ia mengambil jeda sejenak. Semakin ia bicara, dadanya terasa semakin sesak dan air mata semakin menumpuk di pelupuk matanya. “Aku cuma gak mau nginget-nginget apa yang bikin aku sedih. Aku gak mau ngelibatin orang lain. Aku cuma mau ngelewatin semuanya sendirian. Aku cuma pengen hidup tenang dan bahagia kayak anak seumuran aku. Aku egois ya, Ma?”
Detik itu pula, air matanya jatuh; gagal dibendung. Air mata itu mengalir deras seiring tubuhnya yang jatuh ke tanah. Ia kehilangan kekuatan untuk beridiri. Lalu seolah turut merasakan sakit yang dirasakannya, langit pun menurunkan hujan yang sudah tidak bisa lagi dibendung.
heksa
Laki-laki yang mengenakan hoodie hitam itu menghentikan langkahnya. Suara napasnya yang terengah-engah nyaris mengalahkan bunyi deras hujan; entah seberapa kencang ia berlari sebelumnya—juga berapa gilanya dirinya yang mengemudikan mobil dengan sangat cepat sampai menyaingi kereta api. Terdengar gila memang. Ia menempuh jarak puluhan kilometer—ratusan bahkan, secepat yang ia bisa. Kekhawatiran membuatnya hilang akal untuk memikirkan hal lain; ia tidak bisa berpikir jernih. Dan kekhawatiran itu terbukti benar.
Di sinilah Heksa sekarang, pemakaman. Pemakaman yang sama yang didatangi oleh Maure. Di sinilah juga dirinya. Menyaksikan gadis itu yang ambruk di depan pusara ibunya; berlutut di atas tanah dengan tubuh yang bergetar. Melihat bagaimana perempuan itu hancur di bawah derasnya hujan; dengan tangis yang menyaingi hujan itu sendiri.
Dan pemandangan itu sangat menyakitkan.
Terlalu menyakitkan jika ia hanya diam disana dan tidak melakukan apa-apa. Karena itu, ia memutuskan untuk melangkah mendekat. Sampai akhirnya ia hanya berjarak beberapa langkah dari perempuan itu. Saat itulah ia membuka mulutnya dan bersuara pelan.
“Ole?”
Mendengar namanya dipanggil, Maure sontak menoleh perlahan. Kini, Heksa bisa melihat jelas wajahnya. Meskipun huja mengguyur, masih nampak jelas bahwa wajah itu basah bukan karena hujan melainkan oleh air mata. Suara isakannya terdengar semakin jelas sekarang.
Ia pikir, pemandangan tadi sudah cukup menyakitkan. Tapi melihat Maure dari dekat ternyata jauh lebih menyakitkan. Dadanya ikut sesak setiap ia mendengar isakan itu. Sakit menjalari tubuhnya setiap ia melihat bahu yang bergetar itu. Air matanya pun berkumpul di pelupuk saat ia melihat wajah itu. Wajah yang dilanda sendu. Tidak ada seucil pun senyum yang terukir diwajahnya—dan terlihat seperti tidak akan ada lagi senyum yang terukir di wajahnya. Kedua matanya merah dan sembab, tetesan air mata turun seperti air terjun. Kedua mata itu menatapnya dalam. Heksa bisa melihat dengan jelas, lewat kedua mata itu, betapa sakit yang dirasakan Maure sekarang. Dan ia juga melihat, bagaimana sepasang mata itu meminta untuk diselamatkan.
Tidak lama berselang, Maure pun membuka mulutnya dan berucap lirih.
“Abang…”
Dan detik itu pula, Heksa ikut ambruk. Tangisnya pecah seiring dengan tangis Maure yang semakin kencang. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu berlutut disamping Maure dan membawa gadis itu ke pelukannya—erat.
“Mau pulang…” Isaknya dengan tubuh yang bergetar. “Sakit, Abang, mau pulang…”
“Iya, kita pulang ya, Ole.”