strings; tangled — Truth Unfolded: Heksa, Maure, Arumi, darah dan kertas — the tenth string


maure, arumi, ragalih khagi


Sama seperti cerita-cerita sebelumnya, cerita Maure dan Arumi pun, dimulai dari masa lalu. Masa lalu yang berada jauh sebelum semua kekusutan ini dimulai. Ah, atau mungkin, justru masa lalu lah yang menjadi titik kekusutan itu?

Cerita masa lalu kali ini, adalah hari dimana Maure dan Arumi, secara tidak langsung, menjadi saudari. Menjadi keluarga di atas kertas.

“Kenapa dia manggil Ayah, Ayah?”

Pertanyaan itu membuat pria yang menerima pertanyaan terdiam kaget. Ia tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya, namun juga terlihat menunjukkan rasa bersalah. Mungkin karena menyimpan rahasia dari putrinya. Mungkin, karena melibatkan putrinya ke dalam sesuatu yang seharusnya bukan menjadi urusannya.

“Ole, boleh ya, Rumi pinjem nama Ayah buat jadi ayahnya?” Tanya Ragalih Khagi dengan lembut pada Maure.

Pertanyaan yang terdengar sederhana itu, nyatanya mengandung konsep yang tidak dimengerti oleh anak berumur tujuh tahun itu. Konsep yang terdengar seperti tipuan yang mudah dimengerti oleh anak kecil yang polos dan belum mengerti apa-apa itu, tapi disaat yang bersamaan, Maure tidak mengerti apa-apa. Ia tahu tentang meminjam barang, ia tahu tentang berbagi sesuatu. Maka dalam kepalanya, mungkin apa yang ayahnya bilang itu sama seperti konsep meminjam barang. Tapi gadis itu masih belum mengerti, dalam konteks apa ayahnya dipinjam?

“Kenapa aku harus minjemin Ayah ke dia?”

Harus diakui, bahwa pria itu mungkin membuat tindakan yang sedikit gegabah dengan memutuskan untuk membantu Karina, ibu dari Arumi. Ia sedikit gegabah saat menyetujui namanya, bersama dengan nama Zianne Amora, digunakan sebagai nama yang tertulis pada surat dan dokumentasi kelahiran dari Arumi Niana. Ia gegabah berbuat baik sampai lupa kalau tindakan baiknya itu belum tentu baik untuk semua orang. Menjadi orang tua yang bertindak demi kebaikan, namun bukan kebaikan anaknya.

“Rumi nggak punya Ayah.” Jawab Ragalih singkat.

“Aku minjemin Ayah ke Rumi sama kayak Abang minjemin Ayah ke aku?”

Menjadi orang tua yang gagal berpikir jauh tentang apa dampak tindakannya pada jiwa-jiwa muda yang tidak tahu apa-apa; pada anak-anak mereka yang dipaksa mengerti sejak dini.

Seperti orang tua yang baik pada umumnya, baik Ragalih maupun Zianne sering mengajarkan tentang tanggung jawab kepada anaknya; tentang sebab-akibat. Bahwa setiap tindakan, apalagi yang tidak baik, pasti hampir selalu berakibat yang tidak baik juga. Meskipun tidak mengerti tentang perceraian dan semacamnya, Maure bisa menangkap bahwa ia dan Zianne mengambil Ragalih dari Heksa dan Kiana—in some way. Maka secara natural, ia berpikir apapun yang terjadi antara ayahnya dan Arumi adalah hukumannya dari Tuhan.

“Kok ngomongnya gitu?” Pria itu kini berjongkok menyamai tinggi si anak. “Ayah kan ayah kamu, kamu nggak pinjem Ayah dari Abang.”

Tetapi kalau ayahnya bilang dirinya tidak merebut apapun, kenapa sekarang miliknya harus direbut?

“Kalau gitu kenapa sekarang Ayah direbut dari aku? Aku salah apa?”

“Ole, sayang…” Di tengah itu, Zianne datang menengahi. “Ayah sama Mama cuma bantu Rumi sama mamanya. Ayah tetep Ayah kamu kok. Sekarang Rumi jadi kayak sepupu kamu aja.”

“Yaudah.”

Lalu hal lain tentang anak-anak, mereka mudah menyerah, mudah percaya. Mudah tertipu dan mudah terjebak dalam rekayasa fakta. Bagi Ragalih dan Zianne sendiri, memiliki anak yang berani dan tidak segan untuk bertanya namun mudah puas dengan jawaban yang diberikan seperti sebuah berkat. Di tengah situasi rumit yang sepertinya selalu menyelimuti mereka itu, Maure bisa bersikap santai tanpa memikirkan apapun.


Pada akhirnya, Maure being Maure, gadis itu tidak banyak berpikir, tidak banyak curiga, dan hanya melanjutkan hari seperti biasanya. Dalam kepalanya, meminjam tidak sama seperti memiliki. Maka bahkan jika Arumi memanggil ayahnya dengan sebutan Ayah juga, anak itu tetap tidak memiliki hak apapun atas ayahnya.

“Hai, Ole.”

Dan walaupun Arumi bukanlah teman favoritnya, Maure tetap menemani anak itu bermain.

“Iya.” Jawabnya singkat pada anak yang baru ia kenal selama seminggu itu.

“Kata Ayah Khagi kita jangan musuhan.”

Anak-anak memang mudah akrab dan mudah bertengkar. Permusuhan yang terjadi di antara anak-anak juga biasanya bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Demikian yang terjadi di antara Maure dan Arumi. Meski bukan teman dekat, tidak akrab, dan tidak saling menyayangi, hubungan keduanya tidak selalu seperti angin ribut. Ada kalanya keduanya bisa duduk dengan tenang sambil menggambar di buku masing-masing. Saling bertukar kata meski tidak banyak dan bersikap acuh tak acuh terhadap kehadiran satu sama lain.

“Kamu masih tinggal sama Nenek?”

“Iya. Mau dimana lagi?”

“Mama kamu kemana?”

“Ngga tinggal bareng aku. Paling aku ketemu setaun sekali.”

“Oh.”

Saat itu, Maure tidak mengerti banyak tentang simpati dan empati. Ia hanya tahu caranya menjaga sikap di depan orang lain dan tidak berbuat jahat atau menyakiti orang lain dengan sengaja. Tapi seperti apa batasan jahat dan sakit atau bagaimana cara mengobatinya, ia tidak tahu. Ia juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap Arumi. Ia tidak tahu apa yang dilalui gadis itu untuk bisa merasa kasihan kepadanya, apalagi sampai peduli. Tapi sekurang-kurangnya, Maure tetap berusaha bersikap baik sesekali.

“Nanti kamu boleh bantuin aku berkebun bareng Mama.” Ucapnya suatu hari dengan wajah tidak peduli. “Tapi jangan ikutan manggil Mama.”

“Iya, makasih, Ole.”

Arumi pun, hampir sama tidak mengertinya seperti Maure, tentang situasi yang ia hadapi sekarang. Ia hanya tahu kalau Ragalih Khagi dan Zianne menawarkan bantuan untuk ikut menjaganya. Ia hanya tahu bahwa sekarang dirinya memiliki akta kelahiran dan nama yang tertulis di sana adalah kedua nama itu. Tetapi, ia tidak mengerti sikap apa yang harus ia tunjukkan. Ah, lebih tepatnya, ia tidak mengerti kenapa ia harus bersikap rendah diri dan berhati-hati. Kalau Ragalih dan Zianne menawarkan bantuan bukankah ia harus menerima dan menikmatinya? Bukankah ia berhak menerima dan menikmati kepedulian dan sedikit kasih sayang keduanya? Kalau Ragalih mengizinkannya untuk memanggilnya Ayah, bukankah berarti Arumi berhak?

Tetapi, Arumi salah menganggap simpati dan kepedulian itu sebagai hak kepemilikan. Dari situ, benangnya mulai kusut.

“Kamu gak makan pepaya nya, Le?”

“Gak suka. Aku sukanya apel, kelengkeng, mangga.”

“Aku ngga nanya kamu sukanya apa.”

“Kemarin aku sama Mama panen buah jeruk di belakang rumah.”

“Aku ngga nyuruh cerita?”

“Aku mau pamer aja.”

Mulanya, mereka hanya berdebat tentang hal kecil. Mengusili satu sama lain dan sengaja membuat jengkel.

“Ole, Heksa jarang main kesini?”

“Lumayan sering ah. Dia kesini kalau gak ada kamu.”

“Kenapa?”

“Ya soalnya Abang kesini buat main sama aku bukan sama kamu. Kamu cari Abang sendiri aja sana.”

Hampir selalu hari keduanya diwarnai oleh ertengkaran anak-anak yang akan terlupakan dalam hitungan hari seolah tidak pernah terjadi. Pertengkaran yang tidak perlu menjadi kekhawatiran. Pun, seberapa galak sikap Maure pada Arumi, gadis itu tidak sampai membencinya. Sebaliknya, ia masih mau-mau saja menjadi temannya. Memang, keramahan jangan jarang terpancar darinya. Tapi, ia masih cukup mengerti bahwa rasa tidak sukanya pada Arumi tidak boleh menjadi alasannya untuk berbuat jahat.

“Ayah abis dari mana? Kok telat satu jam?”

“Maaf ya, Ole, tadi Ayah nganterin Rumi dulu.”

But everyone has a villain origin story, don’t they?


heksa, arumi, ragalih khagi


Apa yang melibatkan keluarga harus diketahui oleh semua anggota keluarga, bukan? Dengan begitu, masalah yang mungkin timbul karena kesalahpahaman bisa dihindari. Sebagai orang dewasa sekaligus kepala keluarga yang bertanggung jawab, Ragalih paham betul bahwa apapun keputusannya, baik atau buruk, tetap harus dibicarakan dengan anggota keluarga yang lain; bahkan kalau tujuannya hanya untuk bercerita dan mendengar sudut pandang.

“Abang, kita ngobrol sebentar sini.” Panggil Ragalih pada anak sulungnya di suatu sore.

“Kenapa, Yah?”

Ragalih sempat menatap Heksa dengan tatapan bersalah. Merasa sangat bersalah karena harus menghujani anak itu dengan pembicaraan-pembicaraan berat yang seharusnya tidak menjadi kekhawatiran anak-anak.

“Kamu kemarin liat kan anak perempuan yang main bareng Ole?” Mulai pria itu.

“Iya. Itu siapa?”

“Namanya Arumi.”

Lalu cerita pun berlanjut tentang bagaimana Arumi lahir tanpa seorang ayah. Lebih tepatnya, kelahiran tidak sengaja dari hubungan satu malam yang yang hanya berlangsung selama satu malam itu saja—one night stand. Tetapi Ragalih melewatkan bagian itu untuk sekarang. Ia hanya bercerita sampai sejauh Karina, ibu dari Arumi sekaligus sepupu jauhnya sendiri, meminta bantuannya. Bantuan yang terdengar sederhana namun rumit: sedikit membantu menjaga Arumi. Bagaimana pun, wanita itu tidak sampai hati kalau anaknya terjebak dalam nasib yang tidak menyenangkan; tinggal tanpa keluarga dan tanpa identitas. Tinggal bersama seorang wanita paruh baya yang pernah bekerja sebagai pengurus panti milik keluarga Zianne; tanpa kartu keluarga, tanpa surat lahir, tanpa ada sesuatu yang bisa membuktikan bahwa kelahirannya itu diinginkan.

Maka Ragalih, bersama dengan Zianne, membantu sebanyak yang nurani mereka bisa lakukan.

“Ayah bukan ngadopsi Rumi, walaupun keliatannya emang kayak gitu.” Jelas Ragalih. “Anak tanpa surat-surat yang lengkap itu kedepannya bakalan dipersulit soal administrasi masuk sekolah, dan lain-lain. Ayah sama Mama Anne cuma minjemin nama kita buat bantu Rumi, gitu, Abang. Mamanya Rumi sendiri sebenernya masih sepupu jauh Ayah juga.”

Heksa tidak bisa berbuat banyak selain menjadi pendengar. Ia sendiri, juga masih anak-anak yang belum mengerti banyak tentang apa yang dibicarakan oleh Ragalih. Kedewasaannya baru sampai tahap mengerti bahwa apa yang dilakukan Ayahnya, meski terdengar rumit, hanyalah sebuah bentuk kebaikan.

“Ayah tau kamu juga belum bener-bener ngerti. Ayah milih buat cerita lengkap dari sekarang biar kamu nggak kaget dan bingung nantinya.”

Ah, kalau dipikir kembali, bagian cerita ini memang tidak terlalu rumit, atau bahkan tidak rumit sama sekali. Merawat kerabat seperti keluarga sendiri bukanlah hal yang tidak lazim. Sebaliknya, itu merupakan hal yang umum terjadi.

“Ole udah tau garis besarnya. Abang gak harus baik sama Rumi, tapi Rumi jangan dibenci ya.”


Seperti yang diminta, Heksa tidak pernah sekalipun membenci Arumi. Ia tidak punya alasan untuk membenci gadis itu. Tetapi, tidak membenci dan menyayangi adalah dua hal yang berbeda. Ia bisa bersikap baik, bersikap ramah. Ia bisa bersikap peduli saat diperlukan. Tetapi hanya sampai situ saja yang bisa Heksa berikan.

“Aku manggilnya apa? Abang?”

“Heksa. Nama aku Heksa.” Selebihnya adalah batasan yang tidak bisa Arumi lewati. “Yang manggil Abang itu Ole.”

Darah lebih kental dari pada air, dan selembar kertas tidak cukup untuk menandinginya. Seberapa banyak kebaikan dan kasih sayang yang diterimanya, Arumi statusnya hanyalah keluarga di atas kertas. Kemudian keluarga yang pernah menjadi impiannya itu, mulai berbalik menjadi sebuah kebencian. Rasa benci, rasa tidak suka, rasa marah, yang timbul dari rasa ingin memiliki. She once desired for what Maure had, but now she desired for something Maure did not have.

Awal mula dari kebutaannya terhadap Maure. Tetapi disaat yang bersamaan juga, bukti kekalahannya dan awal kehancurannya.


Hampir segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Entah itu sebuah keberuntungan, tragedi, atau bahkan sikap manusia. Seperti yang sudah diketahui, Heksa tidak menumbuhkan perasaan yang sama pada Arumi seperti yang ia miliki terhadap Maure. Hal itu bukan semata karena mereka tidak memiliki hubungan keluarga. Keputusannya untuk selalu berada di pihak Maure pun, bukan sekedar karena mereka adalah kakak beradik.

“Aku gak suka sama Rumi.” Mulai Maure pada suatu hari. “Dia ngambil apa yang aku punya terus.”

“Dia nyuri barang kamu?

“Bukan barang.”

“Terus?”

“Ayah sama Mama.”

“Ole—”

“Kamu tau gak kenapa aku main sama kamu terus sekarang? Biar kamu gak ikutan diambil sama Rumi.”

If Samudera Khagi has a villain origin story, then this will be it.

Ragalih dan Zianne adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, yang mengerti bahwa mereka tidak boleh bersikap biased. Mereka harus bisa membedakan mana yang boleh ditanggapi dengan perasaan, dan mana yang tidak. Tetapi Heksa bukan orang dewasa. Meskipun ia bisa menjadi dewasa dengan tidak mengambil pihak, ia tidak melakukannya. Meskipun ia tahu bahwa sikap Maure kekanakan, ia tidak mau menghakiminya. Ia lebih memilih untuk ikut bersikap kekanakan.

Percakapan itu adalah percakapan yang membuatnya memutuskan untuk terus berada di pihak Maure, apapun masalahnya, siapapun pelakunya. Dan kalau diminta jujur, percakapan itu pula yang membuatnya tidak pernah bisa benar-benar menerima Arumi.

Kemudian, menjadi alasannya untuk turun tangan.


“Rumi nggak tau apa-apa soal mamanya, Ayah belum mau ngasih tau sekarang. Nanti kalau kalian semua udah lebih besar sedikit, baru kita bahas ini lagi ya?”

Itu adalah tugas besar kedua yang Heksa terima; menjaga rahasia.

Seiring dirinya tumbuh dewasa, ia semakin mengerti alasan dari Ragalih dan Zianne yang memutuskan untuk membantu Arumi dan ibunya, termasuk alasan bagian cerita tentang ibunya tidak dimunculkan ke permukaan. Ia semakin mengerti, bahwa realita yang dimiliki oleh Arumi terlalu berat untuk diterima. Dan Arumi, tidak punya siapa-siapa.

Saat Ragalih pergi, keputusan untuk mengungkap cerita itu ke permukaan beralih ke tangannya. Mulanya, Heksa memilih untuk mengubur cerita itu. Namun latar cerita sedikit bergeser, maka alur ceritanya pun tidak bisa tetap sama. Saat Arumi yang sekarang bukan lagi Arumi yang sendirian dan tanpa bantuan, apakah ceritanya tetap harus disembunyikan? Saat ada benang kusut yang tercipta berkat cerita itu, apakah ia harus tetap diam?

Ia harus menjadi penengah, menjadi pelerai.

Namun pada akhirnya, ia tetaplah seorang kakak. Kedua kakinya tidak pernah berdiri di tengah-tengah, melainkan selalu di belakang garis perbatasan itu; ia berada di wilayah Maure, di pihak Maure. Maka saat pilihannya adalah menjaga perasaan salah satu dan menampar yang lain dengan kenyataan, bisa ditebak siapa yang menerima apa.

Hari itu, setelah tidak sengaja menyaksikan perdebatan antara Maure dan Arumi, Heksa memutuskan untuk ikut turun tangan.

“Mau ngobrolin apa Kak?”

“Soal Mama kamu.”

Maka mau tidak mau, ia harus melihat Arumi yang menatapnya bingung, kaget, dengan mata yang berkaca-kaca setelah mendengar cerita itu—ceritanya. Cerita berisi kebenaran yang membuat Arumi bertanya-tanya, apakah ceritanya tidak bisa lebih buruk dari ini? Apakah tidak ada satu pun bagian cerita dimana keberadaannya diinginkan dan dinanti? Heksa harus melihat Arumi yang kemudian kecewa, bukan padanya tetapi pada sosok ibu, yang menurutnya menjadi titik awal kemalangannya itu. Kemudian, Arumi yang berubah marah, pada takdirnya yang selalu cacat.

“Kenapa tiba-tiba bahas ini, Kak?”

“Karena kamu nggak bisa terus terusan bersikap seolah masa lalu kamu itu nggak ada, Rum. Kamu bisa mulai kehidupan baru, tapi masa lalu kamu, masa lalu kita semua, nggak akan pernah berubah. Aku rasa kamu perlu tahu, secara jelas, tentang masa lalu kamu, khususnya tentang keluarga kamu, supaya kamu bisa memposisikan diri. Supaya kamu bisa mempertimbangkan ulang, sikap kamu selama ini bener atau salah.”

“Kenapa baru sekarang?”

“Karena kamu diem aja sampai sekarang.”

“Maksudnya?”

“Selama ini ada banyak kesempatan buat kamu nanya, buat kamu nyari tau tentang apa yang bikin kamu penasaran. Tapi kamu nggak pernah nyamperin aku buat nanya apapun. Selama ini juga ada banyak kesempatan buat kamu jujur, tapi kamu bohong ke Kaisar. Dan, selama ini juga ada banyak kesempatan buat kamu minta maaf sama Ole. Tapi kamu nggak pernah minta maaf.”

He warned her, quite far before the strings got tangled.

“Kamu mau ketemu sama mama kamu dulu nggak?”

He told her to fix things before it got worse.

“Kalau kamu butuh bantuan, aku bisa sedikit bantu kamu sama mama kamu. Gimana pun kamu harus denger cerita mama kamu juga.”

He helped her.

“Gimanapun, kamu masih bawa nama Khagi. Kamu kehitung adik aku juga.”

She thought she had him. She took it as a chance to have him. A brother that was always out of her league before. She wanted to took him from Maure.