strings: tangled — The Truth: Unfolded


“Kenapa kamu nggak pernah cerita, Ole?”

“Karena sakit, Abang.”


“Iya aku gak tau dan gak pernah tau. Tapi aku bisa berprasangka baik kalau aja kamu bilang, Kaisar. Tapi kenapa kamu gak pernah bilang?”

“*Because it hurts, Ole.


“Rum…ternyata ada sebanyak ini yang aku gak tau? Kenapa Rum?”

“Karena rasanya sakit, Ji.”


“Abang?” Sebuah panggilan lembut terdengar bersamaan dengan pintu yang diketuk. Laki-laki yang sedang duduk di tepian ranjang itu pun menoleh. “Kenapa melamun?”

Melihat senyuman lesu yang terukir, Kiana menganggapnya sebagai izin untuknya memasuki kamar anaknya itu. Wanita itu duduk

“Hari ini Abang ngeliat Ole nangis sendirian di makam Mama Anne.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa semakin berat seiring dengan hal-hal menyakitkan yang muncul di kepalanya. “Selama ini Ole nyimpen semuanya sendirian, Ami.”

Alasan dibalik raut sangsi Heksa begitu ia duduk di atas sofa terjawab sudah. Dan memang, ia bukan sedang memikirkan masa sekarang atau masa depan, melainkan masa lalu. Sepanjang ingatannya, Maure yang ia lihat selalu anak perempuan biasa—adiknya—yang bertingkah seperti anak sekolah pada umumnya. Maure yang memakan roti sarapannya di dalam mobil dalam perjalanan ke sekolah. Maure yang terlihat membeli jajanan di depan sekolahnya bersama teman sebangkunya. Maure yang mengobrol dengan satpam sekolah sambil menunggu Heksa datang menjemputnya untuk pulang bersama. Dan Maure yang akan bercerita tentang kejadian heboh yang terjadi di sekolahnya hari itu.

“Ada banyak yang Abang nggak tau…”

Tidak pernah terbayangkan oleh Heksa bahwa suatu hari ia akan melihat Maure dalam genre yang berbeda. Melihat bagaimana perempuan itu menangis meraung di depan pusara ibunya adalah gambar paling menyakitkan tentang Maure yang terekam di dalam kepalanya. Dan ia tidak bisa untuk tidak berpikir tentang seperti apa kehidupan yang telah dilalui adiknya itu.

Memikirkan bagaimana Maure Zianne menderita sendirian ikut membuatnya merasa tersiksa.

“Ami, kalau dari awal kita semua jujur dan nggak nutupin apapun, kita bakalan lebih bahagia kali ya?”

“Abang…” Tangan Kiana terlurur untuk menggenggam tangan anaknya itu.

Ada banyak sekali. Ada banyak yang mereka ketahui, dan ada banyak juga yang tidak mereka ketahui; tergantung kita sedang bicara lewat sudut pandang siapa. Kini, bom waktu yang sudah meledak itu membuat semuanya harus mengungkap kebenaran—mengungkap cerita yang disembunyikan.

“Kamu sendiri kenapa nggak pernah cerita apa-apa ke Ami, Abang?”

Heksa yang mulanya menundukkan kepala kini kembali mendongak. Matanya langsung bertemud engan sorot teduh milik Kiana.

“Karena sakit, Ami…”