strings: tangled — Dari Mentari: Yang terluka dan berduka; burden and guilt — an interlude
Dulu, aku nggak percaya sama ucapan dunia itu sempit. Aku nggak percaya sama plot cerita dimana semua karakternya berkaitan sama satu sama lain. Aku pikir, rasanya terlalu nggak masuk akal, nggak realistis, dan nggak mungkin terjadi di sekitar aku. Perlu lebih dari satu keajaiban buat plot kayak gitu bisa jadi kenyataan. Tapi nyatanya, aku sendiri justru terlibat dalam plot itu, tanpa aku sadari.
Aku udah cukup lama kenal sama Samudera. Heksa Samudera Khagi. Laki-laki jurusan Managemen Bisnis yang rambutnya sering gondrong dan hobinya olahraga. Aku udah cukup lama kena Samudera untuk tau beberapa hal tentang dia. Kalau ditanya soal Samudera, aku bisa nulis puluhan bahkan ratusan halaman tentang dia. Ada banyakkkkkk banget hal yang bisa aku tulis; mulai dari kelakuan isengnya, suara lembutnya, tawa renyahnya, rambut pirangnya (yang sekarang udah balik hitam), senyum hangatnya, permen yang selalu ada di dalam saku celananya, sampai gantungan kunci kesayangannya yang bentuknya kelinci. Ada banyak hal yang aku tahu tentang Samudera sampai bisa kutulis jadi buku. Aku tahu makanan kesukaannya, aku tahu hoodie yang paling sering dia pakai, aku tahu dia punya pajangan batu di kamarnya, aku bahkan tahu kunci sandi handphone-nya. Tapi dibanding hal-hal yang aku tahu, ada lebih banyak hal yang nggak aku tahu tentang Samudera.
Samudera itu, aneh; dia misterius. Selama aku kenal sama dia, banyak hal yang aku tahu tentang dia tapi disaat yang bersamaan, aku nggak tahu apa-apa sama sekali. Dia punya cara buat menutup diri tanpa harus membatasi diri dari orang lain. Sekilas, dia bener-bener kayak anak kuliahan pada umumnya. Dia kumpul sama temen-temennya, dia pergi main futsal sama temen-temennya, dia sibuk nugas, dia nyari part-time—semuanya keliatan normal. Until I fell in love with him and he couldn’t do the same.
Aku bingung. Kenapa? Apa yang bikin Samudera nggak bisa jawab iya aku juga tapi malah aku belum bisa? Berhari-hari aku pakai buat mikirin tentang apa yang salah, apa yang kurang dari kita. Disitu aku sadar kalau selama ini, selama aku kenal Samudera, aku nggak pernah tahu apa-apa tentang dia; dia nggak pernah ngasih tahu aku apa-apa. Aku kurang mengenal Samudera.
Aku nggak pernah tahu alasan dibalik Samudera yang katanya mau jadi dokter tapi malah masuk bisnis; atau alasan dari kesibukannya yang dari pagi sampai malam itu. Aku nggak pernah tahu kenapa Samudera selalu nolak bunga, kopi, cokelat, dan ajakan makan siang dari perempuan lain; termasuk kenapa aku pun nggak bisa masuk ke dalam hatinya. Aku pun nggak pernah tahu kalau selama ini Samudera itu terluka. Aku nggak tahu alasan dibalik insomnianya; atau penyebab dari sakit kepala dan muka capeknya. Aku nggak pernah tahu apa yang bikin Samudera melamun di pinggir danau dengan tatapan sendu; atau kenapa dia nangis di dalam mobil, tengah malam, sendirian. Aku nggak pernah tahu apa, hal apa, siapa, yang bikin Samudera nggak bisa bahagia; apa sebenernya, yang menahan dia dari bahagia.
I never know what burdens he carries on his shoulders.
Berulang kali aku nanya sama Samudera—aku bahkan memohon sama dia buat cerita, buat berbagi whatever it is on his shoulder sama aku. Hasilnya nihil. Samudera nggak pernah sekalipun cerita. Jawabannya selalu sama: beban dia bukan beban aku. Cerita dia pun, katanya, bukan cerita yang perlu aku pikirin. Satu kata andalannya adalah nanti. Nanti kalau semuanya udah selesai, dia pasti cerita—yang mana ini cuma versi halus dari kalimat aku nggak bisa cerita. Tapi, suatu hari, ada satu hal yang pernah dia ceritain ke aku. Yaitu cerita tentang perempuan manis yang dia sayang banget. Perempuan yang bikin dia nggak mau nerima perasaan dari perempuan-perempuan lain karena takut perhatiannya jadi terbagi-bagi. Perempuan yang jadi salah satu tujuan hidupnya saat ini. Perempuan itu, Maure, adiknya.
Maure yang sama yang selama hampir satu tahun ini jadi pelanggan tetap di toko bunga punya Oma ku. Perempuan yang selalu pesan white carnations setiap dia mampir. Perempuan yang selalu datang sendirian ke toko bunga, dan mungkin pergi sendirian juga ke pemakaman. Perempuan yang selalu menyapa aku dengan ramah, walaupun keramahan itu langsung hilang begitu seikat bunga carnations pesanan dia sampai di tangannya. Seenggaknya, itu yang aku tahu soal Maure. Tapi aku pun nggak pernah naruh perhatian khusus ke Maure sampai aku tahu nama lengkapnya. Maure Zianne K. She’s a Khagi.
And I connected the dots.
Maure adalah perempuan yang pernah Samudera bilang. Asumsi itu terkonfirmasi nggak lama kemudian. Asumsiku itu terkonfirmasi saat Maure untuk pertama kalinya datang ke toko bunga sebagai seorang Khagi; disaat dia menyapa aku sebagai adiknya Heksa Samudera Khagi. Aku masih inget dengan jelas; raut wajah yang sempat keliatan ragu sebelum akhirnya dia nyapa aku, tatapan fokusnya disaat lagi milih bunga buat bouquet ulang tahun Samudera, dan senyum tulusnya waktu dia minta aku jadi kurir bunganya. Juga, ucapan terima kasih karena aku nggak pernah sekalipun bertanya apa-apa tentang dia. Dan juga, ucapan terima kasih karena aku ada di samping kakaknya—oh if only she knew.
Perempuan di dalam ceritanya Samudera itu, adalah Maure, adiknya. Adik yang dia sayang, adik yang dia jaga, dan adik yang selalu jadi prioritasnya.
Sama hal nya kayak soal Samudera, aku pun nggak tahu banyak tentang Maure selain nama dan statusnya buat Samudera. Aku nggak tahu dia kuliah jurusan apa, aku nggak tahu rumahnya dimana, warna kesukaannya apa, nama sahabatnya siapa; aku nggak tahu hal-hal itu. On the other hand, aku tahu dia rutin ke toko bunga setiap bulan dan pesan satu bouquet bunga carnations. Aku tahu dia ada dimana—disaat semua orang lagi nyari dia. Tapi aku baru tahu semua orang nyari dia disaat Samudera akhirnya minta bantuan aku; Samudera akhirnya membiarkan aku sedikit mengintip ke dalam urusan-nya. Aku pun pelan-pelan, sedikit demi sedikit, mulai tahu pertarungan apa yang dihadapi sama Maure. Dimulai dari kunjungan rutin ke toko bunga berikut bunga carnations yang selalu dia beli; Maure lagi berduka. Aku memang nggak tahu banyak dan nggak punya hak untuk tahu juga. Tapi kalau boleh nebak, aku berasumsi kalau Maure memilih diam soal semua ini karena dia nggak mau orang lain tahu soal pertarungannya.
She is haunted by guilt.
Aku jadi tahu kenapa Samudera keliatan frustasi bahkan nyaris gila karena menghadapi semua ini. Karena Samudera juga nggak tahu apa-apa tentang Maure. Dia tahu ada sesuatu yang dia nggak tahu, but there is not much he can do about it. Karena cerita ini nggak dijalani sama Samudera sendiri, maka jalan ceritanya pun nggak bisa dia tentuin sendiri. Sama kayak Maure yang tahu kalau dia nggak bisa melewati semuanya sendirian, but she chose to anyway, karena menurutnya itu yang paling mudah. Mereka berdua terikat oleh satu benang yang sama tanpa pernah tahu apa yang terjadi di sepanjang jalannya.
Adik yang berpikir semua yang terjadi itu kesialannya dan kesalahannya, lalu kakak yang berpikir semua yang terjadi itu tanggung jawabnya. Keduanya saling menjaga perasaan satu sama lain, berusaha untuk nggak jadi beban untuk satu sama lain, tanpa pernah tahu kalau masing-masing sama-sama terluka dan berduka. Kalau masing-masing sama-sama tenggelam dalam masalahnya sendirian.
Dan aku, berdiri di tengah-tengah benang itu—between the one who bears burden and the one who bears guilt.