strings: tangled — Yang dibiarkan menjadi cerita lama
kaisar, maure
“Ole, can we talk?” Suara bariton itu menghentikan pergerakan Maure yang sedang merapikan barang-barang di dalam tas nya. Ia menoleh dan melihat Kaisar yang baru saja meletakkan segelas air di atas meja. Kini laki-laki itu berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Matanya memancarkan sorot tatapan yang serius.
“Kenapa?” Melihat atmosfer yang serius, Maure pun menonaktifkan mode bercandannya. Ia mengedikkan kedua bahunya sambil menatap Kaisar, tanda mempersilahkannya untuk bicara.
Laki-laki itu menatapnya—tepat ke dalam matanya—dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan sebelum ia membuka mulutnya.
“Aku…penasaran.” Mulainya. Kedua matanya menatap Maure lekat-lekat seperti sedang mengobservasi perempuan itu—menerka-nerka reaksi yang akan diberikan nanti. Ia membuka mulutnya, namun tidak langsung bersuara. Ia mengalihkan pandangannya, menatap lantai. Laki-laki itu terlihat ragu untuk melanjutkan.
“Kenapa?” Tanya Maure saat melihat Kaisar yang malah kembali diam. Ia menatap laki-laki itu penuh antisipasi. Kata penasaran itu belakangan ini seolah menjadi kata favorit di antara mereka. Dan kata penasaran itu bisa berujung, bisa mengarah pada apa saja. Setelah beberapa saat, akhirnya Kaisar kembali menatapnya. Kali ini, keraguan yang sempat tergambar itu hilang sepenuhnya. Ia pun membuka mulutnya dan bersuara.
“What happened to us, Ole?”
Pertanyaan itu sukses membuat atmosfer di antara keduanya terasa berkali lipat lebih berat. Meskipun ini bukan kali pertama pertanyaan itu dilontarkan, Maure merasa lebih tegang dan gugup karena keduanya berhadapan secara langsung. Tidak ada yang bersuara untuk beberapa saat, seolah sedang sama-sama menyiapkan hati untuk melanjutkan percakapan. Terlebih Maure yang cukup terkejut dengan topik yang dipilih oleh laki-laki itu. Ia selalu tahu bahwa percakapan ini bisa terjadi—kapan saja. Tetapi ia tidak menduga percakapan ini akan terjadi sekarang; saat ketiganya baru saja melewati masa yang tenang sebentar. Ia tidak menduga percakapan ini akan terjadi setelah hanya beberapa waktu lalu ketiganya berkumpul bersama dengan tawa—nyaman dan tenang,
“Which us?” Akhirnya, perempuan itu membuka mulutnya.
“Kaisar, Maure, Heksa.”
Keheningan memenuhi ruangan begitu ketiga nama itu disebut, Seperti sebuah mantra, tiga nama itu membuat dua manusia yang berada dalam ruangan diam tanpa kata. Seperti sebuah mantra, tiga nama itu membuat keduanya terbang, menjelajah masa lalu yang nyaris terlupakan itu. Masa lalu yang seperti sejarah gelap, yang dikubur dalam dalam. Padahal nyatanya, masa lalu itu hanyalah sebuah masa lalu biasa; kepingan memori tentang ketiganya.
“What happened to us, Ole?”
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya. Seperti sebuah gema yang ditinggalkan oleh lonceng besar di menara. Di saat yang bersamaan, juga seperti es yang menjalari setiap inci tubuhnya sampai ia tidak bisa bergerak. Pada kenyataannya, Maure memang sedang mematung di tempat sekarang.
Pertanyaan yang baru didengarnya itu, adalah pertanyaan yang selama ini ia hindari. Pertanyaan yang menjadi alasan atas sikapnya selama ini; bersikap seperti tidak peduli pada masa lalu. Bukan karena ia sungguh-sungguh menyepelekan masa lalu mereka, tetapi karena ia ingin membiarkan masa lalu itu tetap berada di masa lalu. Kalau ditanya soal mengakui keberadaan masa lalu itu sendiri, jawabannya Maure sangat mengakuinya. Ia sangat menyadari tentang keberadaan masa lalu yang pernah mengikat mereka. Ia juga menyadari raut bingung, penasaran, dan putus asa itu sedari lama.
Ia tahu dan sadar setiap Kaisar menatapnya dengan tatapan itu. Namun ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
“We grew up.” Jawab Maure singkat, berharap jawaban itu cukup memenuhi rasa penasaran laki-laki itu. Meskipun, ia sendiri tahu bahwa jawaban itu tidak menjawab apapun sama sekali.
“There’s more than growing up, Ole.” Dan seperti dugaan, Kaisar meminta jawaban lebih. “Aku harap kali ini kamu bisa kasih aku jawaban yang jelas.”
“Iya dan gak semuanya harus kamu pikirin.” Balas Maure, masih terlihat berusaha menjaga percakapan seminimal mungkin. Mendengarnya, Kaisar menghela napas.
“Aku ga bisa terus pura-pura kalau aku ga kepikiran sama sekali tentang kita.” Mulai Kaisar lagi. “Ada banyak yang nggak aku ngerti—dan nggak aku tahu. You left the country without a notice and came back like you never left?”
“Soal itu kamu juga tahu aku kemana, dan kenapa.”
“Terus soal kamu tiba-tiba suka sama aku—ngejar aku tapi malah ngehindar dari Heksa? Heksa yang tiba-tiba jadi anak ambis, jadi sering nanya keadaan kita, tapi disaat yang bersamaan jadi lebih pendiem? Aku tahu kita sekarang sedikit kayak dulu lagi tapi tetep aja, Ole. Aku…bingung.”
Kalau tentang bingung atau tidak, semuanya sama. Heksa juga bingung, Maure juga bingung, bahkan Kiana pun bingung melihat hubungan ketiga anak itu sekarang. Wanita itu bahkan tidak bisa menyalahkan pubertas karena ia pun tahu alasannya tidak sesederhana itu. Seperti kata Kaisar, there’s more than just growing up. Tetapi ia juga tidak bisa berbuat apapun selain menyerahkan semuanya pada mereka. Ada kalanya ketiganya memilih untuk menjalani seperti biasa dan hanya melihat kedepan. Pun, ada juga hari dimana mereka memilih untuk menggubris rasa penasaran yang selalu menemani itu. Keputusan untuk mencari tahu selalu ada di tangan masing-masing. Meskipun begitu, keputusan untuk memberi jawaban pun berada di tangan masing-masing. Hari ini, Maure harus memutuskan jawaban apa yang akan ia berikan.
“People change, Kaisar.” Mulainya. “Kita tumbuh besar. Pandangan kita tentang banyak hal berubah. Sifat kita juga bisa berubah. Aku suka kamu. Aku pengen bikin hubungan baru sama kamu. Buat itu aku rasa aku gak perlu bawa-bawa masa lalu? Aku gak mau ngeliat kamu sebagai temennya Heksa dan aku juga gak mau kamu cuma ngeliat aku sebagai anak bawang yang ngikut-ngikut kalian berdua. Can’t you see it that way?”
Masa lalu tidaklah selalu sesederhana berkumpul di ruang keluarga sambil bermain game atau makan cemilan di gazebo belakang rumah. Masa lalu itu juga mencakup benang-benang yang menghubungkan setiap kepingan masa lalu itu sendiri—benang-benang yang menghubungkan setiap orang. Benang-benang itu pun, mungkin tersusun rapi seperti papan kasus detektif; setiap benang jelas arahnya kemana, menunjuk pada siapa dan mengaitkan siapa pada siapa. Tetapi benang-benang itu juga mungkin kusut, tidak bisa diketahui benang yang mana mengarah kemana, dan siapa saja yang terhubung lewat benang itu. Masa lalu itu, bisa berisi hal-hal yang tidak terpecahkan. Kaisar tahu itu, dan kalimat terakhir Maure pun mengindikasikan hal itu.
Masa lalu juga menyimpan luka yang tidak ingin diingat. Meskipun kadang, jawabannya sesederhana karena tidak ada yang penting untuk diingat.
“Sekarang aku yang nanya. Kalau menurut kamu kenapa, Kaisar?” Kepala yang sempat tertunduk itu mendongak saat pertanyaan terlontar dari mulut Maure. “Why we can’t ignore each other’s existence yet we ignore most part of our past? Kenapa kita gak bisa pura-pura gak kenal, tapi juga gak bisa jadi saling kenal kayak dulu lagi? Ah, atau, kenapa kita bisa bersikap kayak dulu lagi, tapi kita gak bisa bahas masa lalu itu?”
Satu hal yang sangat pasti, Maure, Heksa, dan Kaisar tidak bermusuhan sama sekali. Mereka juga tidak bersikap denial tentang pertemuan mereka di masa lalu. Memang bagian ini rancu. Mereka tidak bersikap seperti teman lama namun tidak juga bersikap seperti orang asing. Seperti ada satu masa yang sengaja dilewatkan dan dilupakan. Seperti ada cerita yang sengaja tidak diceritakan—atau tidak boleh diceritakan.
“Ada yang harus dibahas dan dijelasin, tapi kamu juga ngerasa gak pengen buat ngebahas ‘kan? Kita semua punya hal yang gak pengen kita bahas, karena lebih baik gak dibahas.” Ujar Maure lagi. “Tapi mungkin juga gak seserius itu. Mungkin jawabanya karena, ya gak ada yang perlu untuk dibahas aja. Aku santai dan cuek ya karena aku ngerasa tanpa perlu bahas-bahas masa lalu pun, kita baik-baik aja? Aku, kamu, Heksa, kita baik-baik aja. Kita bisa bikin hubungan yang baru.”
Ada pandangan yang sulit dijelaskan yang dilayangkan oleh Kaisar pada perempuan di depannya. Seperti ingin tahu lebih jauh, namun merasa ragu sendiri. Yang dikatakan Maure memang ada benarnya. Mereka tidak perlu mengenang apalagi sampai mengglorifikasi masa lalu yang dimiliki oleh ketiganya, for it was just an ordinary memories of childhood friendships. Lalu juga seperti yang dikatakan oleh Maure, Kaisar sendiri pun mungkin punya hal yang tidak ingin ia bicarakan.
“Kenapa kita gak fokus sama masa sekarang aja? Fokus sama masa sekarang dan cuma ngeliat kedepan.” Ucap Maure final.
Mungkin memang ada banyak bagian yang hilang. Ada benang-benang yang dibiarkan kusut. Ada benang-benang yang mengikat hal-hal yang belum terungkap. Tapi sepertinya, mereka sama-sama berpikir bahwa semua itu lebih baik dibiarkan tidak tersentuh seperti sekarang—dibiarkan menjadi cerita lama yang tidak diceritakan.