strings: tangled — Yang punya cerita sejak lama


maure, kaisar, heksa


“Kamu pasti kesini gara-gara disuruh Heksa.” Sapa Maure begitu dirinya membuka pintu kamar kos nya dan melihat Kaisar berdiri disana sambil menjinjing sebuah paper bag yang sepertinya berisi makanan—masih lengkap dengan sling bag-nya, tanda laki-laki itu baru pulang kuliah. Ia tersenyum simpul sambil mengedikkan kedua bahunya sebagai jawaban. Maure pun mempersilahkannya untuk masuk.

“Dari kapan sakitnya?” Tanya Kaisar sambil berjalan menuju meja tempat microwave berada untuk menghangatkan sup yang tadi ia beli untuk Maure.

“Tadi pagi, pas bangun.” Jawab perempuan yang sudah kembali duduk di atas kasurnya itu, diam-diam memperhatikan gerak-gerik Kaisar yang sibuk menyiapkan makanan untuknya itu.

Maure terbilang cukup jarang memikirkan ini sebelumnya, tetapi Kaisar ternyata memang tumbuh dengan baik. Laki-laki itu masih terlihat sama seperti Kaisar yang dikenalnya sejak dulu, for the most part. Ia masih memiliki bambi eyes yang sama—mata selalu terlihat ramah. Begitu pun dengan bibir yang kedua ujungnya secara natural melengkung ke atas itu, membuatnya terlihat nyaris selalu tersenyum. Bedanya, struktur wajahnya menjadi lebih tegas, membuatnya kadang memiliki aura yang dingin. Terlebih dengan perawakannya yang tinggi dan berisi. And he looked more mature, for sure. Kaisar benar-benar memberikan kesan teman masa kecil yang jadi mempesona setelah tumbuh dewasa.

Benar. Kebenarannya adalah, mereka bertiga sudah saling mengenal sejak lama. Bukan hanya mengenal, namun berteman sejak lama. Maure, Kaisar, dan Heksa, dulunya hanya tiga bocah SMP yang sering menghabiskan waktu untuk belajar bersama. Lalu di sore hari mereka akan makan cemilan sambil menunggu makan malam yang dimasak oleh Ami Kiana atau duduk di teras rumah sambil menunggu Kaisar dan Maure dijemput oleh ibunya masing-masing. Dan di akhir pekan, mereka kadang bertemu untuk bermain bersama; entah sesederhana bersepeda keliling kompleks atau mengunjungi arkade terdekat.

“Makan dulu.”

Wisata masa lalu itu berhenti saat Kaisar meletakkan semanguk sup yang sudah dipanaskan di atas meja lipat yang diletakkan di sebelah kasur—di hadapannya. Ia yang mulanya duduk memeluk lutut sambil bersandar pada tembok itu pun berangsur maju ke tepian kasur—kini duduk bersila siap untuk makan. Kaisar pun ikut duduk bersila di atas lantai, menghadap Maure. Ia meletakkan tas nya ke samping dan mengeluarkan plastik bening yang berisi obat.

“Habis itu makan obat.” Ucapnya, meletakkan obat itu di atas meja.

“Kamu disuruh apa lagi sama Heksa?” Tanya Maure disela-sela makan.

“Nih baca aja sendiri.” Laki-laki itu menyodorkan ponselnya yang menampilkan ruang obrolannya bersama Heksa.

Nih ya list nya: 1. Jagain Ole sampai gue dateng 2. Kasih makan yang banyak 3. Suruh minum obat 4. Omelin soalnya bohong bilangnya gak sakit 5. Coba hasut Ole biar mau pindah dari kosan terus nempatin rumah yang disediain Ayah

Yang nomor 5 pake usaha ya

“Bawel banget.” Komentar Maure kesal sambil mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. Ia melanjutkan makan ditemani dengan keheningan. Hanya ada suara dari sendok yang berbenturan dengan mangkok. Kaisar di depannya tidak bicara apa-apa dan hanya menonton dirinya yang sedang makan. Hal itu membuat suasana terasa jadi sedikit serius. Maure pun kembali bersuara. “Apa? Kenapa liat-liat?”

“Kenapa ga mau nempatin rumahnya?”

“Kebesaran.” Jawab Maure singkat. “Udah gitu lebih jauh dibanding kosan.”

“Cuma gara-gara itu?” Tanya Kaisar lagi. Maure mengangguk sebagai jawaban.

Setelahnya, keheningan kembali menyelimuti. Maure tidak tahu alasannya tetapi Kaisar tidak banyak bicara. Setelah ia selesai makan, Kaisar membantu membereskan peralatan makannya tanpa bersuara. Ia kembali setelah meletakkan mangkuk ke wastafel dan kembali lagi dengan segelas air minum di tangannya. Ia kemudian duduk di sebelah Maure yang sedang mengambil obat untuk ia minum. Merasakan tatapan dari laki-laki di sebelahnya, Maure tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

“Apa kenapa liat-liat terus? Aku cantik?” Tanyanya dengan nada sedikit kesal.

“Aneh aja.” Jawab Kaisar yang masih menatapnya.

“Maksud kamu aku aneh—” Perempuan itu nyaris bangkit dari duduknya karena emosinya terpancing. Namun, emosinya kembali mereda saat Kaisar memotong kalimatnya.

“Aku ingetnya kamu masih SMP.” Ucapnya sambil tersenyum simpul.

Saat itu, barulah Maure menyadari tatapan dari laki-laki itu. Ia pikir sebelumnya, Kaisar menatapnya terus karena dirinya terlihat pucat atau apa. Tapi setelah mendengar kalimat itu, Maure menyadari kalau sedari tadi Kaisar menatapnya dengan teduh, hangat— a look of fondness. Tatapan itu membuat Maure bertanya-tanya: apakah mungkin Kaisar juga sedang memperhatikan bagian mana dari dirinya yang berubah? Mungkin Kaisar sedang memperhatikan rambutnya yang kini dibiarkan panjang melebihi dada. Atau mungkin ia sedang memperhatikan pipinya yang menjadi lebih tirus. Mungkin laki-laki itu juga sedang berpikir tentang betapa Maure tumbuh dengan baik.

“Kamu juga tiba-tiba tinggi besar.”

Selama beberapa waktu belakangan ini, keduanya sama sekali tidak pernah menyinggung soal masa lalu itu. Sebelumnya memang Kaisar beberapa kali membahasnya—berusaha mencari tahu tentang masa lalu yang terlewatkan. Tetapi setidaknya dalam satu bulan terakhir ini, Maure merasa seperti keduanya memang hanyalah dua manusia yang baru bertemu, saling mengenal, dan sedang membangun sebuah hubungan. Mungkin karena terbiasa, mungkin karena terbawa suasana, mungkin juga karena ada hal lain yang lebih dipikirkan.

Kaisar baru saja membuka mulutnya saat pintu kamar dibuka beriringan dengan sembulan sebuah kepala. Suara dari pintu yang terbuka itu membuat dua orang yang sedang duduk itu refleks menoleh.

“Kata Pak Uztad kalau laki-laki sama perempuan berduaan yang ketiganya setan.” Ucap si pemilik kepala dengan tengil.

“Ya berarti kamu setannya, Heksa.” Balas Maure malas.

“Lah iya ya?” Cengir Heksa sambil melebarkan pintu dan melangkah masuk.

Sama seperti Kaisar, Heksa baru saja menyelesaikan harinya di kampus, terlihat dari ransel yang masih menggantung di pundaknya. Laki-laki itu duduk bersila di atas lantai, tepatnya di depan meja lipat yang tadi digunakan Maure. Kini poisisnya Maure duduk di atas kasur, Kaisar duduk di sebelahnya, dan Heksa duduk di sebrang keduanya. Laki-laki itu meletakkan kantung plastik putih ke atas meja. Seketika wangi ayam tepung menyeruak.

“Nih, Kai.” Heksa mengeluarkan dua kotak ayam geprek dari kantung plastik itu dan menyerahkan satu pada Kaisar. Kini Kaisar pun ikut duduk bersila di lantai, di sebelah Heksa. Melihat tampilan ayam yang menggoda itu, Maure melayangkan protes.

“Buat aku mana? Masa kamu beli buat Kaisar doang???”

“Kamu kan lagi sakit.” Jawab Heksa tanpa meliriknya sedikit pun. “Kamu liatin kita aja, anggap lagi nonton mukbang. Kayak waktu dulu kamu lagi batuk terus aku sama Kaisar jajan cimol.”

“Atau waktu Ole lagi demam terus kita main layangan di halaman. Kasian cuma nonton dari jendela.” Tambah Kaisar, seperti bensin pada api.

“Nyebelin.” Ucap Maure kesal sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, membuat dua laki-laki di depannya terkekeh senang. Tetapi, rasa kesalnya itu langsung hilang lagi saat ia menyadari sesuatu.

Adegan ini seperti adegan dari masa lalu. Seperti hari-hari dimana Kaisar dan Heksa bermain bersama, lalu ada Maure yang mengekor di belakang. Seperti hari-hari dimana dua laki-laki itu akan membeli jajanan pedas di pinggir jalan, dan Maure akan protes karena dirinya tidak diperbolehkan untuk makan. Seperti hari-hari saat ketiganya hanyalah anak-anak menuju remaja, yang sibuk bermain, belajar, dan mengusili satu sama lain. Ini memang bukan pertama kalinya ketiganya berkumpul bersama. Tapi Maure rasa, ini pertama kalinya mereka berkumpul bersama sambil membawa sentimen dari masa lalu.


Meskipun begitu, percakapan tentang masa lalu masih bukan favorit Maure.

“Kamu kangen kita main bertiga nggak, Ole?” Tanya Heksa yang sedang mencuci piring di wastafel .

Maure yang mulanya sedang bermain ponsel, kini mendadak terdiam mendengar pertanyaan itu. Kaisar sudah pulang sepuluh menit lalu, kini hanya ada mereka berdua. Atmosfer ceria berbau nostalgia yang sempat memenuhi ruangan ini sudah hilang sepenuhnya, berganti dengan atmosfer serius—dan penuh misteri—dari masa sekarang. Laki-laki itu menatapnya menunggu jawaban. Jawaban yang Maure tahu bukan sesederhana iya atau tidak.

“Sekarang juga kita suka kumpul bertiga.” Elak Maure.

“Iya ya.” Angguk Heksa setuju. “Tapi aneh. Kita udah saling kenal dari kecil tapi pas ketemu kok kayak orang yang baru kenal pas kuliah ya?”

“Itu—”

“Kita emang kumpul bertiga, pergi bertiga.” Lanjut Heksa lagi tanpa membiarkan Maure untuk menyela. “Tapi kita nggak pernah tuh, kayak tadi, bahas-bahas masa lalu, nginget cerita-cerita lucu waktu kita kecil. Kita ngobrolinnya yang sekarang-sekarang doang.”

Ucapan Heksa itu membuat Maure termenung, bukan karena bingung tetapi justru karena ia sangat mengerti apa yang diucapkan oleh laki-laki itu. Seperti yang Maure sadari sebelumnya, hari ini adalah pertama kalinya mereka duduk bertiga bukan sekedar sebagai Maure, Kaisar, dan Heksa; mereka duduk bertiga sebagai Maure, Kaisar, dan Heksa dari masa lalu—bersama masa lalu. Dan seperti apa yang diucapkan oleh Heksa, sebelumnya mereka tidak pernah sama sekali menyentuh masa lalu itu. Mereka tidak pernah sama sekali membuka cerita yang sudah ada sejak lama itu. *They shared the past together, yet, it seemed like they only exist in the present.*

“Aku nggak bisa nebak deh, kamu itu nggak pernah mau cerita soal masa lalu karena nyembunyiin sesuatu, atau emang gak pernah kepikiran aja sih?” Kali ini, Heksa bertanya dengan nada yang lebih serius dan menuntut.

Kalau Maure-Arumi memiliki Kaisar sebagai topik keramat dalam perdebatan mereka, maka Maure-Heksa memiliki cerita lama sebagai topik keramat. Topik yang tidak pernah terselesaikan, karena pembicaraannya hanya akan berputar-putar pada pertanyaan yang tidak terjawab. Seperti sekarang, dimana Maure memilih untuk diam dibanding bersuara—berusaha memikirkan cara untuk menghentikan pembicaraan ini.

“Meong!”

Seperti menangkap sinyal dari sang majikan, tepat di saat itu juga, Kale—kucing Maure—yang sedari tadi tidur nyenyak tiba-tiba saja bangun dan bersuara. Kucing berwarna krem dan putih itu mengalihkan perhatian ketiganya; mengalihkan mereka dari topik tentang masa lalu itu.

“Wah ada si Asa baru bangun…”

“NAMANYA KALE!!!”

Dan sekali lagi, Maure menghindar dari pertanyaan tentang masa lalu.