strings: tangled — Yang retak sejak lama
Maure, Heksa
“Kaisar kok lama banget—” Kalimat itu terhenti di udara saat ia menoleh dan mendapati bukan sosok Kaisar yang berdiri disana, melainkan orang lain. Bukan seseorang yang Maure harapkan, tentunya. Tubuhnya mematung sejenak, lidahnya kehilangan kemampuan untuk mengucap kata. Ia perlu beberapa detik untuk menyiapkan dirinya sebelum bicara. “Heksa.”
“Kaisar udah pulang sama Rumi.” Ujar laki-laki itu, menjawab pertanyaan yang belum sempat Maure lontarkan. Jawaban itu memunculkan senyum kecut di wajahnya.
Walaupun ia sendiri sudah bisa menebak hal itu, Maure selalu berharap bahwa alasan dari setiap Kaisar-pergi-duluan atau Kaisar-gak-bisa adalah hal lain. Kendaraan mogok di jalan, kelas yang harus diikuti, rapat himpunan, ponsel yang mati, atau apapun itu. Apapun asalkan bukan Rumi. Atau mungkin laki-laki itu bisa langsung berkata dirinya tidak ingin menemui Maure. Setidaknya jawaban seperti itu akan terasa lebih baik dibanding terus menerus mendengar nama Rumi. Terlebih lagi mendengar bahwa nama yang tidak ia sukai itu, memiliki apa yang ia sukai.
“Hm.” Decih perempuan itu pada dirinya sendiri. “Aku ngarep apa sih.” Sebuah tawa yang pahit keluar dari mulutnya—Maure mentertawakan dirinya sendiri.
Sementara itu, Heksa kini berdiri di sebelahnya, ikut bersandar pada pagar. Ada keheningan di antara keduanya. Namun bukan suasana yang muncul karena rasa canggung pada satu sama lain. Keduanya hanya terlihat sedang tenggelam dalam kontemplasi masing-masing, atau hubungan keduanya mungkin memang selalu seperti itu. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir memang seperti itu. Setelah beberapa menit kontemplasi, laki-laki itu bersuara.
“Ole,” mulainya tenang. Jeda yang diambilnya menimbulkan rasa antisipasi akan apa yang akan terucap selanjutnya. “Aku kangen.”
Kalimat super pendek itu cukup untuk menarik perhatian Maure secara penuh. Pikirannya teralih sepenuhnya dari Kaisar, kini berganti pada laki-laki berambut pirang di sebelahnya. Heksa berdiri menatap tanah, kedua tangannya berada di saku jaket jeans biru-keabuan yang dikenakannya. Perawakannya cukup berbeda dari Kaisar. Tingginya mungkin mirip namun Heksa terlihat lebih kurus dibanding Kaisar. Namun hal itu tidak cukup untuk menghentikan opini bahwa Heksa dan Kaisar nyaris terlihat seperti kakak beradik. Meskipun begitu, orang-orang tetap setuju bahwa Heksa memiliki aura yang jauh berbeda dari Kaisar. Cara bicaranya jauh lebih tenang dan lembut, namun ada keseriusan yang pasti di sana. Sesuatu yang tidak bisa dilawan oleh Maure.
Karena itu sekuat apapun keinginannya untuk pergi dari tempat ini sekarang, Maure tidak melakukannya. Ia tetap diam dan merespon.
“Aku gak kemana-mana.” Balasnya pelan. “Kita satu kampus, kalau kamu lupa.”
“Iya ya?” Kali ini, laki-laki itu perlahan menoleh, dan menatap Maure tepat di matanya. Kemudian, ia tersenyum simpul. “Tapi kenapa sekarang susah banget buat ketemu ya?”
Kalimat serangan pertama itu meluncur dengan sukses dan tepat mengenai nurani perempuan itu. Ia pun mengalihkan pandangannya. Heksa baru saja menyenggol fakta yang berusaha Maure sembunyikan. Tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara, laki-laki itu bersuara lagi.
“Aku harus bawa Kaisar dulu biar kamu nggak kabur.” Ada kepahitan yang terpancar dari nada bicara yang tenang itu. The thing about calm person is, they’re still calm when they’re mad, and that’s even more scary. “Kamu segitu pengen ngehindar ya sampai harus pura-pura nggak kenal juga?”
Untuk sesaat, Maure kehilangan kemampuannya untuk bicara. Mulutnya terbuka, namun tidak ada satupun kata yang bisa keluar. Otaknya tidak bisa memikirkan kalimat apapun. Sorot matanya memandang kesana kemari, berusaha mencari pembelaan yang tidak ia miliki. Karena Heksa memang benar. Maure memang mengabaikan fakta bahwa Heksa ada di dunia ini—di sekitarnya. Benar juga bahwa selain sesuatu yang berkaitan dengan Kaisar atau situasi yang Kaisar ciptakan, mereka tidak pernah benar-benar berinteraksi—tidak lagi.
Langit semakin sore dan angin berhembus semakin kencang, namun atmosfer diantara keduanya malah semakin panas.
“Gak gitu—” Mulai Maure terbata. “It’s not like that.”
Heksa menaikkan sebelah alisnya, menanti penjelasan. Keduanya kini terlihat seperti adik tingkat yang sedang diospek oleh seniornya. Secara teknis, memang hampir benar. Heksa berada di angkatan yang sama dengan Kaisar, maka artinya mereka adalah adik tingkat dan kakak tingkat. Namun bukan itu yang membuat Maure merasa gugup sekarang.
“Aku cuma mikir mungkin emang paling baik kayak gini.” Ia berhenti sejenak untuk memeriksa reaksi laki-laki di depannya. Saat ia tidak merasakan penolakkan, ia melanjutkan. “Aku gak tahu mau ngomong apa kalau ketemu dan gak tahu kita harus ngapain juga—”
“Kamu bukan nggak tahu mau ngomong apa.” Potong Heksa. “Kamu cuma sengaja bikin diri kamu sendiri jadi nggak tahu mau ngomong apa. Kamu sengaja bikin diri kamu sendiri ngerasa canggung sama aku.”
“Aku bukan ngehindar karena pengen jauh dari kamu—”
“Ami minta kamu ke rumah.” Potong laki-laki itu seolah sudah tahu kelanjutan kalimat Maure dan tidak tertarik lagi pada apapun yang akan keluar selanjutnya. Sorot matanya begitu serius. Kedua tangannya kini tersilang di depan dada, membuatnya menjadi pihak yang memiliki kuasa dalam pembicaraan ini. Jika melihat Maure yang terus berusaha menghindari pandangan sambil memainkan jarinya, sepertinya perempuan itu memang pihak yang terpojokkan. “Pulang ke rumah, Ole.”
Hatinya terguncang saat mendengar kata Ami. Kilasan seorang wanita berparas cantik dengan pembawaan yang anggun segera memenuhi kepalanya. Bagaimana wanita itu selalu menyambutnya kapanpun ia datang ke rumahnya, masakan rumah yang disiapkannya dengan penuh cinta, dan suara lembut setiap wanita itu memanggil namanya. Rasa bersalah kini memenuhi hatinya.
“Bilang ke Ami Kiana maaf, belum bisa.” Ucap perempuan itu setelah beberapa saat.
“Kenapa?” Pertanyaan itu terdengar menuntut, memaksa jawaban. Begitu pula tatapan yang begitu dalam itu—yang sepertinya bisa menembus kepala Maure. Seolah pertanyaannya barusan bukanlah untuk pernyataan Maure sebelumnya. Namun untuk hal lain, yang jauh lebih besar. Perempuan itu menghela napasnya; setengah lelah, setengah untuk menenangkan dan meyakinkan dirinya sendiri.
“You know how it is between us.” Jawab perempuan itu pelan. “All of us.”
Hal itu membuat Heksa sedikit mengacak rambutnya frustasi. Namun sekesal apapun—semarah apapun dirinya, ia tidak bisa mengeluarkan amarah itu. Ia menghela napas berat sebelum bicara lagi—kali ini terdengar seperti memohon.
“Sekali aja, Ole.” Pintanya. “Ngobrol sama aku? Cerita sama aku?”
“Heksa—”
“Oke, kamu nggak mau ketemu Ami. Oke kamu nggak mau pulang.” Potong laki-laki itu kesal—dan setengah marah. “Tapi ngobrol sama aku ya? Talk to me? Please?“
“Nggak ada yang mau diomongin, Heksa!” Maure melemparkan kedua tangannya di udara, frustrasi—dan tanpa sadar meninggikan suaranya. Itu bukanlah sesuatu yang sering dilakukannya kepada Heksa.
Kini, di bawah langit oranye tanda senja sedang berlangsung, sepasang manusia itu berdiri menghadap satu sama lain dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Masing-masing menatap satu sama lain dengan serius dan tajam. Tatapan itu seperti mengatakan lebih banyak kata dibanding yang keluar dari mulut mereka. Angin sore yang terus berhembus sama sekali tidak berhasil untuk menurunkan atmosfer di antara keduanya.
Sampai salah satu menyerah.
“Yaudah.” Ucap Heksa pasrah sambil menghela napasnya pelan. “Take care, Ole.”
Baru berjalan tiga langkah, tubuh besar itu kembali berhenti dan menoleh sekilas. Lalu, ia membuka mulutnya lagi.
“Aku sama Ami selalu peduli sama kamu.” Lirihnya sebelum berjalan menjauh.
Kalimat itu sukses membuat Maure mematung di tempatnya untuk beberapa menit. Tidak ada yang ia lakukan selain meremas kedua sisi dressnya. Ia melihat sosok Heksa yang berjalan menjauh, menuju mobilnya. Kedua matanya terus menatap sosok itu dengan tatapan yang menggambarkan beberapa perasaan yang tercampur aduk. Salah satunya adalah penyesalan. Ia menunggu sampai sedan putih yang dikendarai laki-laki itu menghilang dari pandangannya. Saat itulah ia beranjak pergi dan melangkah menuju arah yang berlawanan.