strings: tangled — Yang selalu tersenyum
kaisar, maure
Kelas sudah dibubarkan lima menit yang lalu, namun dua orang mahasiswi masih belum bergerak di kursi mereka masing-masing. Salah satunya adalah Maure yang sedang membereskan barang-barangnya dengan pandangan yang lebih fokus pada ponselnya. Di sebelahnya adalah temannya, Cemima, yang masih malas untuk bangkit dari duduknya.
“Pesen apa, Ole?” Tanya Cemima saat dirinya melihat sekilas layar ponsel milik Maure yang sedang membuka aplikasi pesan antar.
“Mau beli cake.”
“Ada yang ulang tahun?” Tanya Cemima lagi asal.
“Buat Kaisar, tapi bukan ulang taun. Carrot cake.”
Mendengar nama itu, Cemima kini memberikan perhatian penuh pada temannya.
“Masih ngejar Kak Kaisar?”
“Iya lah, Ole pantang menyerah.” Perempuan itu kini sudah selesai dengan ponselnya dan bergerak untuk membereskan barang-barangnya dengan semangat.
“Semangat deh, gue gak tau mau bilang apa selain semangat.” Ucap Cemima sebelum keduanya bangkit dari kursi dan mulai meninggalkan kelas. Keduanya berpisah di halaman fakultas. Cemima berjalan menuju gedung parkiran sedangkan Maure pergi ke gerbang terdekat untuk mengambil kue pesanannya sebelum pergi ke arah Fakultas Hukum. Sebenarnya ia juga tidak tahu apakah Kaisar ada di sana atau tidak, karena laki-laki itu belum membalas pesannya.
Lalu, seolah takdir sedang berpihak, Maure berpapasan dengan Jegar, salah satu teman Kaisar yang cukup dikenalnya.
“Maure ya? Mau ketemu Kaisar?” Tanya laki-laki itu begitu ia melihat perempuan yang berjalan menenteng paper bag berwarna cokelat.
“Iya. Udah pada beres kelas ‘kan?”
“Iya, tapi lo gak usah ke fakultas. Anaknya lagi di taman gymnasium.”
Mendapat informasi yang berharga membuat sorot mana Maure terlihat senang seketika. Begitu pula dengan senyum yang otomatis terukir di bibirnya. Ia tidak bisa, dan mungkin tidak akan pernah bisa menyembunyikan reaksi antusiasmenya itu.
“Oke, MAKASIH ya Jegar!” Ucapnya dengan nada semangat sambil mempercepat langkahnya. Namun baru berjalan tiga langkah, ia berhenti lagi, membuat Jegar menatapnya bingung. “Kak Jegar maksudnya hehe.”
Kini Maure sudah tiba di taman gymnasium. Sebenarnya dibanding taman, tempat ini lebih cocok disebut halaman karena tidak terlalu luas. Letaknya di samping gedung gymnasium. Taman tersebut biasanya diisi oleh mahasiswa dari komunitas pecinta olah raga. Di taman ini terdapat beberapa peralatan olahraga sederhana yang sering dimainkan oleh anak-anak saat akhir pekan—atau di sore hari seperti sekarang. Di sisi lain taman, terdapat beberapa area duduk seperti bangku besi panjang dan beberapa bangku taman lengkap dengan mejanya. Di situlah Kaisar berada. Laki-laki itu duduk—kini tanpa mengenakan jaketnya—sambil memperhatikan beberapa anak yang sedang bermain di taman. Maure pun berjalan mendekatinya.
“Sendirian aja, jomblo ya?” Candanya yang langsung duduk di sebrang laki-laki itu tanpa menunggu dipersilahkan.
“Tau dari mana aku di sini?” Balas laki-laki itu santai, seolah tidak terkejut lagi dengan kedatangan Maure.
“Dari Jegar.” Jawab Maure sambil meletakkan paper bag-nya di atas meja. “Kak Jegar maksudnya.”
“Aku lagi gak pengen direcokin—”
“Tada!” Seru sekaligus potong Maure sambil menunjukkan paper bag dengan logo toko kue yang sangat familier bagi keduanya. Sebelum laki-laki itu sempat berkomentar, Maure sudah bicara lagi. “Jangan komen, makan aja.”
Kaisar hanya menghela napasnya pasrah. Bisa ditebak sendiri sudah seberapa sering perempuan itu mendatanginya seperti ini sampai teman-temannya pun terbiasa dengan keberadaannya. Ia kini hanya duduk bertopang dagu dengan sebelah tangan sambil memandang ke samping, masih memperhatikan anak-anak yang sekarang sedang bersiap untuk pulang itu. Sedangkan Maure di depannya sibuk mengeluarkan cake dari dalam paper bag.
Laki-laki itu memang baru saja hendak mengeluarkan komentar. Sesuatu tentang Maure yang selalu menyia-nyiakan waktu dan uang untuk membawakannya makanan seperti ini. Tidak hanya sekali juga makanan yang diberikan oleh Maure padanya berakhir di tangan dan perut teman-temannya. Tapi sepertinya kata menyerah tidak ada dalam kamus hidup perempuan itu. Akhirnya, Kaisar hanya menghela napas dan mengambil garpu plastik yang disodorkan kepadanya. Maure mengambil suapan lebih dulu dan seketika tersenyum senang.
“ENAK banget padahal aku kira yang versi resep baru gak akan seenak ini rasanya—” Serunya dengan mulut yang sibuk mengunyah dan pipi yang menggembung.
“Telen dulu, Ole.”
Keduanya makan dengan tenang—tidak terlalu tenang karena Maure masih mengomentari rasa carrot cake yang dibelinya itu. Tidak lama kemudian, keduanya diselimuti oleh keheningan. Entah karena sedang menikmati kue atau menikmati semilir angin sore yang bertiup. Dalam keheningan itu Maure diam-diam memperhatikan laki-laki di depannya.
Rambut hitam lurus yang bervolume itu sedikit berantakan tertiup angin, sesekali jatuh menutupi mata cokelat gelapnya. Earcuffs berwarna perak bertengger di bagian helix telinganya; kilaunya berpedar dibawah sinar matahari. Lalu matanya tertuju pada jemari laki-laki itu. Pada sebuah cincin yang tidak pernah meninggalkan jari kelingkingnya. Kadang, ia penasaran tentang satu hal. Apa makna dari cincin itu sampai melekat sebegitunya disana. Kenapa cincin perak sederhana itu jauh lebih istimewa dibanding cincin-cincin lainnya yang mengisi jari-jarinya yang lain secara bergiliran. Kemudian tanpa sadar, ia memperhatikan bibirnya. Sudut bibirnya yang secara natural sedikit melengkung ke atas membuat Kaisar nyaris selalu terlihat seperti tersenyum. Mungkin itulah alasan kenapa Maure tidak pernah menyerah. Karena apapun yang ia lakukan, sudut bibir laki-laki itu selalu melengkung ke atas, mengukir senyum yang sangaaaattttt kecil. Seperti saat ini.
“Jangan liat-liat, Le, nanti suka.” Celetuk Kaisar yang seketika menyadarkan Maure bahwa dirinya menatap secara terang-terangan.
“Telat, udah suka.”