strings: tangled — The Hope: Arumi and other story, the fourth strings


“Arumi Niana?”

“Hadir.”

Salah satu hal yang Arumi sukai tentang budaya di Indonesia adalah tidak krusialnnya keberadaan nama belakang. Orang-orang ternama, dari keluarga besar yang memiliki sejarah, memang sering dinilai atau dikenali lewat nama belakangnya. Tetapi orang biasa—khususnya mahasiswa biasa? Tidak. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Arumi Niana dan itu sudah cukup. Apakah ini sebuah cerita klise dimana Arumi adalah keturunan tersembunyi dari keluarga konglomerat? Bukan.

Meskipun terkadang, ia berharap kasusnya demikian.

Kadang Arumi berharap, alasannya jarang menggunakan nama belakangnya—alasannya menyembunyikan nama belakangnya—adalah untuk alasan privasi keluarga. Karena keluarganya sehebat itu sampai tidak bisa sembarangan muncul ditengah masyarakat. Bukan alasan menyedihkan seperti…karena ia tidak tahu nama belakang apa yang boleh ia gunakan. Atau karena ia tidak tahu nama belakang yang mana yang harus ia gunakan. Lebih buruk lagi, bahkan diantara sekian nama belakang yang dimilikinya, tidak ada satupun yang berhak ia miliki.

“Rumi,” Panggil teman di sebelahnya setelah absen berakhir.

“Iya, kenapa?”

“Tadi sebelum kesini, gue liat Kaisar sama Maure di taman yang deket University Center itu. Lo emang ngebiarin mereka deket-deket?”

Selain tentang nama, mungkin topik itu juga menjadi salah satu topik yang sering ingin ia hindari. Pertanyaan tentang hubungannya dengan Kaisar, hubungan Kaisar dengan Maure, memang sering berdatangan. Terlebih saat Maure mengejar Kaisar secara terang-terangan begitu. Ia sudah tidak kaget lagi dengan pertanyaan itu. Maka, Rumi pun hanya akan tersenyum simpul dan mejawab dengan jawaban yang sama.

“Mereka ‘kan nggak ada hubungan apa-apa.”

Orang-orang yang mengenal ketiganya sepertinya cukup peduli untuk bertanya, daripada berasumsi yang tidak-tidak. Rumi kadang menghargai hal itu. Meskipun ada satu pertanyaan yang selalu terlewatkan oleh orang-orang itu. Yaitu perihal hubungan dirinya dengan Maure.

Mungkin, orang-orang akan mulai bertanya setelah melihat Rumi dan Maure yang berinteraksi secara langsung.

“Apa kabar, Ole?” Sapa Rumi normal. Rumi bukan karakter novel ceria yang membawa pelangi ke dalam kehidupan semua orang. She’s not the bubbly noisy girl that everyone loves. Tapi dirinya memang sering kali menunjukkan keramahan—atau setikanya berusaha bersikap ramah pada semua orang. Bukan karena pencitraan, tetapi sesederhana agar tidak menimbulkan musuh yang tidak perlu. Berbanding terbalik dengan Maure yang lebih frontal dan jarang menyembunyikan ekspresinya. Terlihat dari bagaimana perempuan itu menatapnya sinis.

“Menurut lo?”

“Kita bisa ngobrol baik-baik ngga sih, Ole?”

“Gue gak punya alesan buat ngobrol baik-baik sama lo.” Balas Maure sambil membalikkan badan, hendak pergi. Namun ia terlihat mengurungkan niatnya. Sebaliknya, ia kembali menoleh dan membuka mulutnya lagi. “Kecuali lo sadar sama kesalahan lo selama ini.”