the weird little feelings — resolusi
Daffa ngajak gue ke Kebun Raya Bogor. Waktu ditanya tujuannya apa, katanya biar adem aja. Oke sip. Kita ngabisin waktu buat jalan-jalan dan ngobrol-ngobrol. Enggak, kita nggak ada ribut sama sekali. Ternyata emang gue nya aja yang nethink. Selain malu, gue juga ngerasa bersalah. Gue udah bikin Daffa panik sampai ninggalin masakannya yang belum mateng itu. Gue juga takut overthinking-nya gue lama-lama bikin dia ngerasa kalau reassurance yang selama ini dia kasih ke gue itu sia-sia. Tapi Daffa selalu bisa berpikir positif dan dewasa.
“Wajar kok, Kal.” Katanya waktu gue bahas lagi kejadian tadi pagi. “Bukan lo aja, tapi kita berdua jadi lebih sensitif. Lagi sibuk-sibuknya, dapet banyak tekanan, terus gak bisa ketemu satu sama lain. Menurut gue itu bisa banget bikin kita jadi lebih sensitif. Dikit-dikit overthinking, dikit-dikit khawatir.”
“Tapi lo keliatan tenang—keliatan lebih stabil gitu.”
“Ya kalau gue ikutan uring-uringan, yang nenangin lo siapa?” Kali ini kita berhenti di pinggir danau. “Bahasa keren nya nih ya, kalau gue ikut jatoh, yang jadi sandaran lo siapa nanti? Kalau gue ikutan goyah, yang jadi tiang hubungan ini siapa nanti? Bukan bilang gue gak boleh ikutan lemah. Tapi maksudnya, kalau gue bisa jadi pihak yang kuat, ya kenapa enggak? Kan nanti bisa gantian. Gue yang overthinking lo yang nenangin.”
Gue terdiam setelah ngedenger ucapannya Daffa—yang sekarang lagi jongkok di depan danau. Gue duduk di sebelahnya, sambil masih merenungkan ucapannya dia. Gue heran, kok bisa ya gue ketemu sama Daffa? Di antara laki-laki brengsek yang jumlahnya gak sedikit, kok bisa ya gue seberuntung ini ketemunya sama Daffa?
“Oh iya, Kal,” panggilan Daffa ke gue kembali narik atensi gue. Sekarang dia udah ganti posisi jadi duduk. “Gue mau resign dari kantor yang sekarang.”
“Hah?”
“Iya, jadinya mau kerja di kantor—perusahannya Ayah gue aja.”
“Bukannya lo suka banget ya kerja di finansial? Kok resign? Terlalu banyak kah kerjaannya?”
“Hahaha, itu fakta sih, tapi bukan gara-gara itu.” Daffa yang duduk sambil meluk kedua lututnya itu menoleh ke gue. “Biar gampang management waktu nya, jadi kita bisa jalan pagi setiap hari Minggu lagi. Oh iya, kantornya juga lumayan deket sama kampus lo jadi kita bisa carpooling.”
“Tolong hargai keputusan gue buat benci sama olahraga dong.”
“Hahahaha, sehat, Kal, jalan pagi. Nggak capek juga.”
“Eh tapi serius dulu, emangnya nggak apa-apa lo gak jadi financial analyst lagi? Kalau di perusahaan Ayah lo, lo jatohnya jadi di management sama operasional nggak sih?”
“Gampang itu mah. Kalau kangen kan bisa jadi financial consultant sesekali.”
Gue dibikin gak bisa berkata-kata lagi sama Daffa. Dulu dia pernah cerita kalau dia suka banget sama bidang finansial (agak sulit dimengerti). Itu juga yang jadi alesan dia nunda-nunda perintah Ayahnya buat ikut ngemanage perusahaan beliau (yang pada dasarnya punya Daffa juga). Katanya, dia nggak begitu minat kalau soal management dan operasional. Tapi sekarang, dia ngambil keputusan itu. Alasannya? Karena kita. Buat hubungan kita.
Dan kalian mau tahu hal yang lucu? Gue juga udah resign dari monospace. Tiba-tiba? Nggak juga, karena gue udah kepikiran tentang ini dari beberapa waktu lalu. Tapi gue baru bener-bener memantapkan keputusan gue dua-tiga hari kebelakang. Waktu gue bilang “akhirnya gue libur”, sebenernya maksud gue itu libur karena udah gak kerja, bukan sekedar gak ada shift. Alasan gue? Ya sama kayak Daffa. Buat hubungan kita.
“Fun fact, gue juga udah resign dari monospace.”
“Lah kok? Katanya nyaman jadi barista.”
“Ya biar kita ada waktu buat ngedate.”
Masih inget ‘kan, tentang gue sama Daffa yang punya kehidupan masing-masing? Bahwa di luar hubungan ini, kita punya kehidupan yang lebih dulu jadi prioritas kita masing-masing. Tapi sekarang, kita ada di dalam kehidupan itu. Kita udah jadi bagian dari kehidupan satu sama lain. Kita udah jadi prioritas satu sama lain.
Beberapa waktu lalu, gue masih akan beranggapan kalau keputusan kayak gini itu berlebihan. Dan emang bener, dulu kita gak punya urgensi. Tapi sebenernya, keputusan kayak gini juga sesuatu yang lambat laun bakal kita lakuin. Bukan tentang resign dari kerjaan dan nyari kerjaan lain yang lebih suitable buat hubungan kita. Bukan tentang jadi bucin dan memprioritaskan cinta. Tapi keputusan tentang menyesuaikan aktifitas masing-masing supaya bisa punya waktu buat satu sama lain. Menyediakan ruang di kehidupan masing-masing buat hubungan kita.
Dan menurut gue, ini resolusi dari cerita kita sejauh ini.