sakha tupperware — nyanyian dan obrolan
Saora berjalan menyusuri koridor dengan sketchbookkesayangannya dalam pelukan. Gadis itu baru saja kembali dari sesi melukis singkat di art room. Entah ini bisa dibilang privillege atau bukan, tetapi guru seni yang bertanggung jawab atas ruangan itu memberi izin khusus kepada Saora untuk menggunakan ruangan itu kapan saja. Mungkin salah satu alasannya karena memang hanya Saora, murid di sekolah itu, yang paling semangat tentang melukis. Ia sedang dalam perjalanan kembali ke kelasnya saat langkahnya terhenti di depan ruang musik yang menarik perhatiannya. Lebih tepatnya, orang yang bernyanyi di dalam yang menarik perhatiannya.
Lewat celah pintu, ia bisa melihat dengan jelas Sakha yang berdiri di tengah ruangan sambil memegang sebuah botol air mineral—yang difungsikan sebagai mic. Mulutnya terbuka lebar seiring suara merdu yang kuat keluar; melantunkan lagu, yang kalau perkiraan Saora benar, ada;ah lagu dari penyanyi Tulus. Tidak jauh dari laki-laki itu, ada Alvaro yang duduk di atas sebuah kursi dengan posisi menghadap ke belakang, menjadikan sandaran kursi sebagai tumpuan dagunya.
Karena penasaran—dan suara Sakha bagus, Saora mendekatkan diri pada pintu agar bisa mendengar dengan lebih jelas. Namun dasar dirinya ceroboh, ia malah tidak sengaja mendorong pintu kayu itu, membuatnya terbuka semakin lebar. Suara decitan dari pintu membuat Sakha refleks menghentikan nyanyiannya. Dua orang yang berada di dalam ruangan itu pun menoleh ke arah pintu.
“Eh, hehe…gak sengaja.” Ucap Saora kikuk menahan rasa malu.
Melihat siapa yang datang, Sakha dan Alvaro yang mulainya kaget langsung memasang ekspresi lega.
“Yeu kirain siapa.” Komentar Sakha yang membuat Saora melebarkan cengirannya.
“Gomen tidak bermaksud mengganggu.” Ucap Saora sambil bergerak hendak meninggalkan ruangan. Namun Sakha mencegah langkahnya.
“Eh mau kemana lo?” Tanyanya. Kemudian ia menarik ujung lengan seragam gadis itu dan menyuruhnya duduk di sebelah Alvaro. “Sini gue butuh penonton bayaran. Si Alvaro buta nada gue tanya bagus atau kagak jawabnya iya iya aja.”
Saora yang tidak diberikan kesempatan untuk menolak hanya bisa menerima takdirnya. Ia memberi tatapan bingung pada Alvaro di sebelahnya, yang hanya dibahas oleh anggukan kepala dan helaan napas. Sepertinya ia sudah mulai bosan berada di ruangan ini. Sementara itu Sakha sudah kembali bersiap-siap untuk bernyanyi.
“Cek satu dua oke…” Dengan itu, Sakha pun kembali mengeluarkan suaranya. “Lembaran hidup hitam putih~”
Sudah menjadi informasi umum kalau Sakha merupakan bagian dari tim paduan suara. Ia bahkan cukup menonjol setiap upacara bendera, padahal dirinya masih kelas 10 dan masih baru bergabung. Sekarang Saora tahu alasannya. Laki-laki itu memang memiliki suara yang terlampau bagus. Ini pertama kalinya ia mendengar Sakha bernyanyi seorang diri dan perhatiannya langsung terserap seketika oleh penampilan sederhana itu. Suara merdu namun kuat milik laki-laki itu memenuhi ruangan. Minimnya instrumen musik yang mengiringi membuat warna suaranya terdengar jelas. Gadis itu bertepuk tangan pelan begitu nyanyian selesai.
“Wah…” Gumamnya kagum.
“Gimana?” Tanya Sakha meminta pendapat.
“Bagus.” Jawab Alvaro singkat, membuat Sakha memberinya tatapan tidak puas. Hal itu membuat Alvaro kesal. “Lo udah nyanyi lima kali, lima-limanya bagus. Gue harus jawab apa?”
“Ya lebih rinci kek komentarnya.”
“Tau ah gue mau balik ke kelas.” Pamit Alvaro kesal sambil beranjak untuk meninggalkan ruangan.
“Lah Varo? Varo?!” Panggil Sakha, yang tentunya tidak digubris. Kini, hanya Saora saja yang menjadi pentonton. “Yaudah lo aja. Gimana gue tadi?”
“Ya jawaban gue juga sama kayak si Varo…” Jawab gadis itu. “Paling ini sih, lo gak usah terlalu banyak improvisasi. Lagu-lagunya Tulus kan bukan lagu yang banyak pake teknik vokal.”
“Nah itu pendapat yang gue butuh! Emang dasar si Varo males mikir.” Ucap Sakha kesal, tidak lupa dengan ekspresi julid-nya. Ia berjalan menuju meja tempat ponselnya berada untuk mengganti lagu. Usai lantunan lagu-lagu manis dari Tulus, kini intro dari lagu yang sangat familiar terdengar. Lagu yang sudah seperti lagu wajib pernikahan. Karena itu Saora sempat mengernyit heran.
“Lagu-lagu pilihan lo bukan anak muda banget dah A Thousand Years. Lo ngapain nyanyi lagu ini? Mau nikah?” Tanyanya.
“NIKAH MATA LO!” Sergah laki-laki itu cepat. “Gue disuruh nyanyi di nikahan orang sama Bunda gue.” Jelasnya kemudian.
“Hah?”
“Ya ini salah satu hukuman ngerusakin Tupperware.” Keluh Sakha. “Udah dengerin aja lo.”
Dengan itu, lagu pun dimulai.
“Heart…beat…fast…colors and promises~”
Berbeda saat menyanyikan lagu Monokrom dari Tulus sebelumnya, kal ini Sakha memulai dengan suara yang lebih rendah. Suara yang sangat jarang terdengar mengingat laki-laki itu yang kebanyakan bicara dalam nada tinggi alias sewot. Suaranya itu juga berhasil membawa suasana baru pada lagu A Thousand Years yang mungkin sudah Saora dengarkan sebanyak seribu kali saking populernya lagu itu. Ia yang mulanya merasa malas saat mendengar intro dari lagu itu, kini mendengarkan dengan snagat seksama—nyaris tanpa berkedip. Seperti Sakha yang bernyanyi dengan penuh penghayatan, Saora pun sangat menghayati penampilan itu. Padahal lagu yang dinyanyikan bukan lagu yang istimewa, bukan lagu yang unik, juga bukan lagu yang ia sukai. Tetapi gadis itu seolah terhipnotis oleh nyanyian itu. Ia bahkan sampai tidak sadar bahwa lagu sudah selesai.
“Gimana?” Tanya laki-laki itu begitu lagu berakhir. Namun setelah beberapa saat, Saora masih belum menjawab. Akhirnya Sakha menjentikkan jarinya di depan wajah gadis itu. “Woi jawab!”
“Huh?” Saora yang terlalu menghayati nyanyian akhirnya kembali ke realita.
“Bagus kagak gue?” Tanya Sakha untuk yang kedua kalinya.
“Oh iya…”
“Iya iya apa yang jelas dong ah,”
“Iya bagus. Suara lo dari sananya udah bagus, nyanyiin lagu apa aja juga kayanya bakal bagus.” Jawab Saora pada akhirnya. “Lo juga jago nyanyinya jadi harusnya mau nyanyiin lagu apa aja juga bisa. Kalau padus juga suara lo itu menonjol tapi gak ngehalangin yang lain.”
Pujian itu sempat membuat Sakha, yang sedang mengatur kursi untuknya duduk, mematung di tempatnya sejenak. Ia Saora tatapan tidak percaya, tidak menyangka kalimat bagus akan keluar dari mulut gadis itu. Ekspresi Sakha yang seolah meragukan ucapannya itu membuatnya menaikkan alis matanya.
“Apa?”
“Ga, ga nyangka aja lo bisa ngomong yang baik-baik.”
“MAKSUD LO?”
Kalau dipikir-pikir, hubungan pertemanan keduanya memang bukan tipe pertemanan yang harmonis. Tidak terlalu sering terjadi percakapan normal di antara Sakha dan Saora. Awal mulanya saja dari insiden yang tidak mengenakkan—yang untungnya sudah selesai.
“Eh Sa, Bunda gue beneran nyuruh lo main ke rumah anjir!” Mulai Sakha setelah beberapa saat.
“Hah?” Gadis itu refleks menoleh dengan sorot mata yang melebar.
“Sumpah. Kok bisa sih Bunda gue baik sama lo? Pake pelet ya lo?”
“ENAK AJA!”
Saora jadi teringat kembali pada kepanikannya saat pertama kali di-chat oleh ibunya Sakha. Saat bertemu di GOR tiga hari yang lalu, wanita itu benar-benar memberikan aura yang tidak ramah. Yah, meskipun ketidakramahannya itu hanya ditujukan kepada Sakha, karena wanita itu masih menyapanya dengan lembut. Tetapi mereka tidak sempat berbincang karena ojek pesanan Saora lebih dulu tiba. Karena itulah ia merasa panik saat tahu ibunya Sakha meminta nomor teleponnya.
Tapi seperti yang diketahui, hasilnya diluar dugaan.
“Bunda lo pengen punya anak lagi kali.” Tambah Saora asal. “Kalau gue kandidat anak yang mau diadopsi gimana lo?”
“Amit-amit.” Jawab Sakha secepat kilat sambil bergidik ngeri, membuat Saora menendang kursinya pelan.
“Lo gak mau punya sodara?”
“Udah punya.”
“HAH kirain lo anak tunggal?” Tanya Saora yang kaget sungguhan atas fakta baru itu. “Keliatan anak mami banget soalnya.”
“Maksud lo anak mami??? Gue bukan anak manja ya!” Balas Sakha tidak terima, namun kemudian ia melanjutkan dengan serius. “Gue punya adik cowok satu, masih SMP.”
“IH SERU!” Ucap Saora dengan antusias. Sebagai anak tunggal, pembicaraan tentang anak bersaudara sering kali menarik baginya. “Adik lo lucu gak?”
“Udah segede gaban gitu mana ada lucunya.” Jawab Sakha sambil memutar bola mata malas memikirkan sosok adiknya. “Lo anak tunggal?”
“Iya…” Angguk Saora. Eskpresinya berubah sedikit sedih. “Makannya gue suka tiba-tiba ngajakin lo sama si Varo main game, itu gue gak ada temen main game di rumah.”
“Oohh…” Kali ini Sakha yang menganggukkan kepala. “Kalau lo mau adik gue aja ambil.”
“Kakak macam apa lo??? Gue aduin Bunda lo ya!”
“Idih sombong lo mentang-mentang Bunda gue suka sama lo.” Balas laki-laki itu sambil memberi tatapan malas pada Saora yang tersenyum puas. Beberapa detik kemudian ia kembali ke mode serius. “Eh tapi beneran ini tar Sabtu si Varo mau ke rumah gue, lo kalau mau ikutan, ikut aja.”
Ucapan itu menarik perhatian Saora, membuatnya ikut masuk ke mode serius.
“Beneran lo?”
“Ya iya, kenapa emang?”
“Ya…lo kan temenan sama Varo kayaknya udah lama gitu, gue jatohnya outsider gak sih?”
Sebenarnya bukan kali ini saja Saora berpikir demikian. Dari awal ia tidak berekspektasi ia dan Sakha akan berlanjut sebagai teman. Makannya ia seringkali merasa kaget campur terharu setiap menyaksikan kebaikan Sakha terhadap dirinya. Ketika melihat pertemanan Sakha dan Alvaro, ia bisa langsung tahu kalau keduanya sudah berteman sejak lama. Terkadang, diam-diam, ia merasa sedikit aneh saat menghabiskan waktu bersama keduanya walaupun hanya sekedar makan siang di kantin. Alasannya karena ia merasa seperti orang baru yang tiba-tiba datang dan masuk ke dalam sebuah pertemanan yang sudah terjalin sejak lama.
“Bahasa lo outsider outsider…” Komentar Sakha beberapa saat kemudian. “Kagak lah emangnya gue sama si Varo ngebangun komplotan rahasia???”
Belum sempat Saora merespons, laki-laki itu sudah bicara lagi.
“Santai aja kali ah. Emangnya kalau baru kenal jadi gaboleh temenan gitu? Gaboleh gabung? Ibu-ibu arisan kompleks kali yang begitu. Gue sama si Varo bodoamat soal yang gituan. Lagian Bunda gue seneng kalau gue bawa temen ke rumah.” Ucapnya panjang lebar. Kalimatnya itu nyaris membuat Saora merasa tersentuh ((untuk yang kesekian kalinya)) andaikan laki-laki itu tidak menambahkan kalimat terakhir. “Jangan so malu-malu gitu lo biasa juga gatau malu.”
“Maksud lo????”
“Gue sharelock aja dah rumah gue. Lo kalau mau dateng tinggal dateng.” Ucap Sakha, mengabaikan reaksi kesal gadis itu. Tidak lama kemudian, layar ponsel dalam genggaman gadis itu menyala, menunjukkan notifikasi pesan masuk dari Sakha—sekaligus memperlihatkan nama kontaknya. Sontak laki-laki itu membuka mulutnya dramatis. “LO NAMAIN KONTAK GUE SAKHA TUPPERWARE?”
Di saat yang bersamaan, Sakha tanpa sengaja memperlihatkan layar yang menampilkan ruang obrolannya bersama Saora—mengekspos nama kontak gadis itu. Sekarang, giliran Saora yang memasang ekspresi dramatis.
“LO JUGA NAMAIN KONTAK GUE SAORI SAOS TIRAM!”