Love can be as pretty as flowers, don't you think?
Love at its finest state is prettier than a flower. It gives you a blooming feeling no flower can be compared — it blooms your heart in a way no flowers can.
Although the thing about flowers is, no matter how beautiful they are, they won’t bloom forever. sometimes, they wither as soon as they bloom.
Like flowers, love wouldn't bloom forever. So, when it did bloom, Mentari always tried to enjoy every second of it. Even if she knew it was temporary — especially when she knew it was temporary.
Romantic relationship was never on Heksa's list, he stated it several times. Not that he didn't want it but rather he didn't have the chance to. He couldn't fall in love freely — he couldn't live his life freely because of his circumstances. But he wanted to. He wanted to be a little selfish; to pursue what his heart desired.
So when he was given a chance to be a little selfish, he took it immediately. He took her stretched hands, melted into her embrace, and he walked a step closer.
Her love was a flower and he received it. He watered the love so it could bloom.
Although again, they both knew it wouldn't bloom forever.
Pagi itu Mentari kembali disapa kembali oleh senyum lembut Heksa. Her favorite smile. Laki-laki itu bersandar pada pintu mobilnya yang terparkir di sebrang toko bunga tempat perempuan itu berada. Segera Mentari berjalan keluar toko yang sedang direnovasi itu dan menghampiri Heksa dengan senyum yang seimbang.
“Tidurnya nyenyak, Samudera?” Tanyanya disela senyum.
“Nyenyak dikit.” Jawab Heksa yang masih belum menanggalkan senyumnya. “Soalnya mimpinya aneh.”
“Kamu keliatan cerah hari ini.”
“Hahahaha, karena lagi tenang kali ya hidupnya?”
Setelah sapaan singkat itu, ia berjalan membukakan pintu mobil untuk Mentari. Tidak lama kemudian, sedan itu melaju menjauh dari toko bunga.
“Kita mau kemana?” Tanya Mentari tidak lama setelah Heksa mulai menginjak pedal gas.
“Pertama, kita makan.” Jawab Heksa tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depannya. “Terus...terus menyelamatkan dunia dari serangan alien.”
“Yang serius, Samudera!” Protes Mentari sementara Heksa terkekeh pelan. Tidak lama kemudian, mobil berhenti di lampu merah. Heksa pun menggunakan kesempatan itu untuk menoleh pada perempuan di kursi penumpang.
“Kamu mau kemana, Tar?”
Ada banyak jawaban yang ingin Mentari berikan. Ada banyak tempat — both physical and emotional place — yang ingin ia datangi bersama Heksa. Taman yang nyaman untuk keduanya berjalan santai sambil berpegangan tangan, kedai ramen kesukaan Heksa yang sudah lama tidak didatangi keduanya, bioskop untuk menonton film terbaru seperti dua orang yang sedang berkencan, kemanapun asalkan keduanya bersama; ada pula tempat seperti hari dimana keduanya bisa saling menggengam tangan satu sama lain tanpa ragu — hari, masa, dan waktu dimana keduanya bisa mencintai dan dicintai. Tapi sekedar diam di dalam mobil dalam perjalanan tanpa tujuan pun terdengar bagus. Kemanapun asalkan ia bisa melihat Heksa lama-lama.
Selama lampu merah yang sebentar itu pun, Mentari mengambil waktunya sebaik mungkin untuk melihat Heksa. Memperhatikan rambut hitamnya yang kini bertambah panjang — dan terlihat sehat walau pernah terkena bleach rambut. Rahang tegasnya terlihat sedikit berisi dibanding awal bulan lalu, walaupun lingkaran hitam di bawah matanya tetap terlihat jelas. Wajahnya terlihat berwarna walaupun masih terpampang sedikit rasa lelah di sana. Heksa tidak berbohong soal kabarnya yang baik sekarang, tetapi jejak hari-harinya yang tidak baik terlihat dengan jelas. Walaupun lagi, laki-laki itu bisa tersenyum ringan. Senyum yang ingin Mentari lihat selama mungkin.
“Aku mau liat samudera.” Jawab Mentari sambil tersenyum simpul. Sementara Heksa menatapnya bingung.
“Liat aku?” Tanyanya, menujuk diri sendiri. Mentari melepaskan tawa kecil.
“Laut. Ayo liat laut, Samudera.”
Bau laut, desiran ombak halus, dan terik matahari segera menyapa begitu Mentari menginjakkan kakinya ke atas hamparan pasir pantai. Heksa menyusul tidak lama setelahnya. Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan lebih dekat ke laut. Masing-masing dan senyum yang menghias wajah. Yang satu tersenyum melihat laut yang tenang, warnanya biru pekat berkilauan, tidak ada satu pun beban yang mengambang di atasnya; yang satu tersenyum melihat matahari yang bersinar cerah, ditemani awan-awan kecil, membagikan hangatnya pada lautan di bawahnya — tapi semua ini bukan tentang laut dan matahari.
“Aku bener 'kan, sebelah sini sepi dan nyaman?” Seru Mentari selagi kedua kakinya melangkah.
“Iya, lautnya keliatan, bukan lautan orang.”
Senyum Mentari semakin merekah melihat kepuasan yang terpampang pada wajah Heksa. Ia kini memutar badan menghadap laki-laki itu, berjalan dengan mode mundur.
“Lautnya di sana, Tar.” Komentar Heksa.
“Yang ini juga laut, nggak kalah cantik.” Balas Mentari. Heksa terkekeh sebentar sebelum mengulurkan satu tangannya. Perempuan itu menatap bingung. Akhirnya Heksa meraih tangannya lebih dulu.
“Nanti jatoh kalau jalan mundur gitu.” Jelasnya, menjawab tatapan bingung — dan raut tersipu — Mentari.
“Harusnya suruh aku jalan ngadep depan, bukan pegangan tangan, Samudera.” Ucap Mentari sambil membenarkan posisi jalannya, tanpa melepaskan tangan laki-laki itu. Tidak ada yang melepaskan tangan satu sama lain. Kalau Heksa merasa was-was Mentari akan tersandung dan jatuh, perempuan itu merasa was-was laki-laki di sebelahnya itu akan hilang. Entah terbang, entah dibawa oleh laut, entah dipisahkan oleh takdir — oleh situasi.
Tidak perlu waktu lama untuk keduanya sampai di ujung pantai. Buih ombak mulai menyentuh ujung sepatu keduanya. Mereka pun refleks melangkah mundur, lalu tertawa kecil karena sama-sama lupa untuk melepaskan sepatu sebelum berjalan lebih jauh tadi. Keduanya duduk di atas pasir, beberapa meter dari air.
“Aku penasaran,” Mulai Mentari memecah hening. “Apa kamu dinamain Samudera karena setenang samudera, atau kamu dinamain Samudera biar jadi setenang samudera?”
“Biar jadi penguasa samudera.” Jawab Heksa secepat kilat, membuatnya mendapatkan tatapan protes. Ia melayangkan senyum usil sebelum kemudian terdiam untuk menyusun jawaban. “Ami suka laut. Katanya, setiap ngeliat laut Ami ngerasa tenang. Aku dikasih nama Samudera karena Ami berharap aku bisa bawa perasaan yang laut kasih ke Ami. Katanya, Ami pengen aku bikin Ami — atau siapapun langsung ngerasa tenang disaat ngeliat aku.”
“Tapi laut nggak selalu tenang. Kadang ganas dan susah ditaklukin.” Komentar Mentari dengan raut penasaran. Heksa mengangguk sebagai tanda setuju.
“Ami pengen aku juga jadi setangguh lautan.”
“Tenang tapi tangguh...” Gumam Mentari sebelum mengalihkan pandangan dari Heksa, dan kini menatap laut sampai ke titik terjauh yang bisa dipandangnya. “Harapan Ami kamu udah terwujud. Anaknya bikin orang disekitarnya ngerasa tenang, selain itu juga tangguh banget ngadepin masalah sendirian.”
Heksa melontarkan senyuman sebagai jawaban. Ada keraguan di wajahnya, perihal apakah benar dirinya berhasil hidup memenuhi namanya. Kemudian keraguan tentang apakah benar untuk hidup sesuai namanya? Apakah benar untuk menelan semuanya sendirian? Walaupun tangguh, apakah benar bisa sendirian?
“Kalau kamu kenapa namanya Mentari?” Heksa bertanya balik. “Karena ceria dan cerah kayak matahari atau biar jadi ceria dan cerah kayak matahari?”
Pertanyaan itu membawa senyuman di wajah Mentari.
“Oma pengen aku jadi orang yang ceria, bawa energi positif, dan hidupnya cerah.” Jawabnya. Kemudian, ia menoleh pada Heksa. “Dan Oma pengen aku bisa bikin hangat orang-orang disekitar aku.”
“Harapan Oma kamu juga terwujud kalau gitu.” Ucap Heksa sebagai tanggapan. Ia terlihat berpikir sebentar sebelum melanjutkan. “Mentari Putri Bahari, berarti Mentari anak perempuan yang indah, ya?”
Kata Bahari memiliki banyak arti. Salah satunya elok atau indah. Tapi menariknya, juga memiliki arti “mengenai laut” atau “kelautan”.
“Iya.” Angguk Mentari. “Tapi nama Bahari aku beda sama Warteg Bahari ya.”
“Hahahahaha.” Heksa pun tergelak. Mengeluarkan tawa, yang sekeras apapun, akan terdengar lembut.
“Nama kamu bagus. Heksa Samudera Khagi.” Ucap Mentari setelah tawa keduanya mereda. “Berarti adik kamu Maure Zianne Khagi ya?”
Seperti biasa, nama Maure dan topik adik selalu berhasil membawa senyum pada wajah laki-laki itu. Walaupun senyumnya tidak selalu senyum bahagia. Kali ini juga, senyumnya tidak sepenuhnya bahagia. Seperti ada perih saat nama lengkap kakak beradik itu terucap.
“Menurut kamu nama itu bagus nggak, Tar?” Tanya Heksa sambil memandang laut di kejauhan. “Nama Khagi, bagus nggak?”
Mentari sempat memperhatikan Heksa sebentar, mencoba membaca raut wajahnya. Ada rasa bingung dan bimbang di sana.
“Bagus.” Jawab Mentari pelan. “Namanya cantik. Nama kamu, nama adik kamu, nama Khagi, semuanya cantik.”
Nama yang cantik, yang sayangnya, lebih sering disembunyikan dibanding dipamerkan.
“Kamu nggak suka namanya?” Tanya Mentari saat Heksa tidak merespon apa-apa.
“I have mixed feelings about that.” Jawabnya pelan sambil menjatuhkan pandangan. Telunjuknya bermain dengan pasir. “Aku bawa nama itu tapi kadang rasanya aneh. Itu nama Ayah, nama keluarga, atau nama aku ya?”
Heksa tidak perlu menjelaskan lebih jauh untuk Mentari bisa menangkap maksudnya. Nama Khagi bukan perkara sepele, bukan sekedar nama yang fungsinya sebagai keperluan administrasi. Kalau Mentari boleh berasumsi, nama Khagi membawa banyak hal bagi Heksa. Nama dari ayah yang gagal menjadi suami untuk ibunya dan ayah yang meninggalkannya; tapi disaat yang bersamaan merupakan nama peninggalan ayahnya. Nama dari keluarga yang rumpang, yang terbelah dua, yang tidak nampak wujudnya; namun juga nama penanda anggota keluarga. Tetapi Khagi juga namanya. Nama yang akan dibawa seumur hidup dan kemudian ia turunkan pada keluarganya sendiri; menjadi entitas yang berbeda dari nama Khagi yang dibawa oleh ayahnya dan diberikan kepadanya.
Heksa Samudera Khagi, itu namanya. Terlepas dari apa yang dibawanya, Khagi adalah namanya. Dan Mentari menyukai nama itu.
“Khagi.” Ucap — atau panggil Mentari. Si pemilik nama refleks menoleh. Ia disambut oleh senyum manis Mentari.
“Aku suka nama Khagi. Boleh aku panggil Khagi?”
Nama Khagi yang membawa banyak bimbang itu, saat keluar dari mulut Mentari, terdengar seperti sebuah nama biasa bagi Heksa. Tiba-tiba saja terdengar seperti hanya namanya sendiri. Ia pun membalas senyum perempuan itu.
“Iya, boleh.”
Jawaban itu membuat senyum Mentari semakin menjadi. Ada rasa hangat yang dirasa, yang bukan berasal dari panasnya matahari di atas. Melainkan dari laki-laki di sebelahnya, yang hari ini terasa begitu dekat untuk digapai. Dan memang itu yang Mentari lakukan. Satu tangannya bergerak untuk menggapai kepala laki-laki itu. Memberikan belaian pada puncak kepalanya.
“Sering-sering senyum ya, Khagi.”
Pada detik itu, Heksa menyerah pada sentuhannya. Ia memejamkan mata dan menikmati tangan yang mengusap kepalanya dengan lembut itu. Ia menyerah sebentar pada cinta yang diberikan. Dan Mentari menikmati pemandangan itu dengan hati yang mekar.
Keduanya kini berjalan menyusuri pantai. Mentari berjalan beberapa langkah di depan Heksa. Sesekali keduanya tertawa saat ombak kembali mengenai sepatu. Sesekali keduanya berjalan menjauhi air. Sesekali keduanya berhenti dan saling menoleh pada satu sama lain; memastikan wajah yang dilihat sedang berseri.
“Khagi.” Ucap Mentari tiba-tiba. Heksa yang semula memperhatikan buih ombak pun refleks menoleh, merasa terpanggil. “Samudera Khagi.”
“Iya, hadir di sini.” Balas Heksa.
“Aku suka Khagi.”
Mungkin karena cuacanya cerah, udaranya segar, dan suasanya tenang. Mungkin karena perasaan masing-masing sedang bagus. Mentari merasa langkahnya terasa ringan, dan ia merasa senyumnya Heksa pun selalu sungguhan. Ia merasa sedang berada di halaman sebuah buku, di mana para pemeran sedang menikmati masa tenang. Sebuah bagian dongeng di mana sang putri menghabiskan waktu yang indah bersama pangerannya. Mungkin karena cuacanya cerah, ia merasa kalau saat ini jatuh pun, rasanya tidak akan sakit. Karena ada Heksa yang menangkapnya.
“Mau jatuh, 'kan.” Ucap Heksa saat menahan lengan Mentari yang nyaris terjatuh.
“Sengaja, itu modus aku biar pegangan tangan lagi.”
“Waduh.”
“Kalau aku jatuh cinta bakal ditangkep juga nggak?”
Mungkin karena cuacanya cerah, Mentari merasa sangat jatuh cinta. Merasa sangat jatuh sampai tidak bisa melihat apa yang ada di depan matanya. Sampai yang dilihatnya saat ini hanyalah Samudera Khagi yang menurutnya lebih cantik dari laut yang sebenarnya. Samudera Khagi yang bisa ia gapai sesukanya.
“Bukannya udah ya?” Heksa balas bertanya.
“Udah ditangkep?”
“Udah jatuh cintanya.” Laki-laki itu menghentikan langkahnya. “Tapi ditangkepnya nanti ya.”
Mentari ikut menghentikan langkahnya. Ia memutar badan sehingga keduanya berhadapan.
“Aku belum bisa nangkep yang bener sekarang.” Lanjut Heksa. “Yang ada malah jatoh beneran.”
“I told you I'll take the fall, Samudera.”
Mentari sudah benar-benar yakin. Bahwa yang ia inginkan saat ini adalah menjalani cerita yang ada didepannya tanpa ragu, dan tanpa memikirkan akhirnya. Untuk dirinya yang penuh cinta, bisa mencintai seseorang sudah menjadi titik kebahagiaan yang tinggi.
“Tar,” Mulai Heksa dengan sedikit serius, namun tanpa membuat suasana berubah tegang. “I have nothing to give to you. Aku nggak punya banyak cinta yang bisa aku bagi.”
“I have enough love for the both of us.” Balas Mentari sambil memberikan assuring smile. “I have enough everything for the both of us, Samudera.”
“Would your everything worth it if you lost me?“
“I don't know how exactly I would lose you, but I know you wouldn't leave me on your will.” Mentari menatap sepasang mata sayu itu dalam-dalam. “I haven't lost you yet, and that's what I care for right now.”
Heksa membalasnya dengan tatapan yang penuh dengan emosi. Ada rasa bersalah, ada rasa sedih, ada rasa frustrasi. Tapi Mentari justru merasa lega melihatnya karena emosi yang terpancarkan itu membuktikan sekali lagi bahwa ia tidak berada dalam hubungan ini sendirian. Bahwa Heksa, kalau diberi kesempatan, akan melangkah maju tanpa ragu.
“I feel guilty for wanting your love.” Ucap Heksa pelan.
“You can have my love.” Balas Mentari dengan nada pelan. “You can have all of my love.”
“I love you with the thought of losing in mind.” Lanjut Mentari lagi. “And it's okay if I lost you. We cannot change the inevitable. It's okay as long as you know that I love you and that my feelings for you will stay unwavering. So, whenever you want it, whenever you're ready, just come to me. Come to me and I'll show you the beauty and comfort of love.
Ah enggak, sekarang juga, kamu tinggal dateng ke aku, Samudera. Kamu tinggal dateng ke aku dan aku bakal kasih semua cinta yang bisa aku kasih buat kamu. Dan kalau nggak dikembaliin pun, nggak apa-apa. Aku nggak akan jadi kekurangan, aku nggak akan bangkrut.
Dan kalau menurut kamu cintaku mungkin berakhir sia-sia, kamu nggak sepenuhnya bener. Karena aku punya banyak cinta yang bisa aku sia-sia in buat kamu. Tapi lagi, nggak akan sia-sia sama sekali, Samudera. Aku nggak akan ngerasa cintaku jadi sia-sia.”
Heksa belum mengalihkan pandangannya dari Mentari. Ia terlihat tidak ingin mengalihkan pandangannya sama sekali. Ia melihat wajah itu lama-lama. Keduanya bertatapan dalam diam, tidak ada yang bersuara kecuali alam. Hembusan angin mengacak-acak rambut keduanya. Helaian mulai berlomba menutupi wajah Mentari. Namun tidak cukup untuk membuat perempuan itu mengalihkan pandangannya.
Ada atmosfer tersendiri yang menyelubungi keduanya. Suasana yang hanya muncul di antara keduanya. Ketenangan yang dipancarkan satu sama lain, kehangatan yang diradiasikan lewat senyum satu sama lain, dan rasa ingin terhadap satu sama — desire — yang disampaikan lewat sorot mata.
Heksa mengambil langkah untuk mendekat. Tangannya terulur untuk menyingkirkan helaian rambut dari wajah Mentari. Kalau dilihat dari kejauhan, keduanya seperti sebuah adegan dari film romansa. Kedua pemeran utama yang menyadari perasaan satu sama lain, kemudian saling mengungkapkan cinta dengan laut sebagai saksinya. Kedua pemeran utama yang sedang menikmati masa tenang dengan berlibur ke pesisir. Kedua pemeran utama di akhir cerita, saat semuanya sudah baik-baik saja, dan siap menyambut hari-hari yang penuh cinta.
Tetapi laut dan matahari memiliki takdirnya masing-masing. Yang satu harus menanggung apapun yang mengambang di atasnya, dan menelan semua yang bisa ditelan sendirian. Yang satu harus merasa puas dengan menyinari makhluk yang dicintainya dari jauh, harus merasa puas hanya dengan memberikan hangatnya.
Seperti bunga dengan takdirnya yang layu setelah mekar, kisah keduanya pun tidak bisa mekar selamanya. Hari yang tenang dan hangat ini bisa berakhir segera. Dan baru bisa mekar kembali jauh di waktu yang tidak pasti.
“Kamu bilang aku boleh egois. Ada di sini sekarang, sama kamu, itu udah cukup egois. The fact I never left completely but rather chose to stall all these times was selfish enough of me.” Mulai Heksa sambil menyelipkan rambut Mentari ke belakang telinga. Kemudian, membawa satu tangan perempuan itu ke dalam genggaman. “Yet, honestly, I want to be a little more selfish than this.”
Samudera Khagi had a lot on his plate. He had his priority right. He had goals and purposes; as a family member, as a brother, and as a friend. But if being asked as himself, at the moment, he only wanted to drown himself in Mentari's pool of love.
For now, he could only taste the water with his palm.
“Nanti semua cinta yang aku terima, aku kembaliin.” Lanjut Heksa sambil mengusap pelan tangan dalam genggamannya. Lama, cukup lama ia memperhatikan tangan itu sebelum membawanya dekat ke wajah, mendaratkan kecupan pada buku jari perempuan itu. “Aku nggak bisa janji, tapi nanti ya.”
“Iya nggak apa-apa, Khagi.”
Dan mungkin karena cuacanya cerah dan Mentari sedang sangat sangat jatuh cinta, ia membiarkan dirinya dikendalikan oleh cinta itu. Tidak peduli bahwa laki-laki di depannya, saat ini, tidak bisa dimiliki. Selagi bisa digapai, ia akan menggapainya. Dan kali ini ia mengapai wajah Heksa, menangkupkan satu tangan di pipinya, membawa wajah itu mendekat.
“Yang ini juga nanti kembaliin ya, Khagi.” Ucap Mentari sesaat sebelum mendaratkan sebuah ciuman pada bibir laki-laki itu. Tidak lama, tidak lebih dari tiga detik sebelum ia menarik diri dengan wajah tersipu.
Dan Heksa pun, mungkin, karena cuacanya sedang cerah. Mungkin karena semuanya sedang tenang. Mungkin karena sedang ingin egois. Atau mungkin karena ia suka dipanggil Khagi. Laki-laki itu untuk pertama kalinya membiarkan dirinya tenggelam sebentar dalam cinta yang belum bisa ia kejar itu.
“Kalau dikembaliin sekarang boleh nggak, Tar?”
Untuk sesaat, cinta mereka mekar secantik bunga. Untuk sesaat, keduanya menikmati cinta yang mekar itu. Hanya sesaat, sebelum nanti tiba waktunya semuanya kembali layu.