semestastellar

semesta untuk dunia yang fiksi – alternative universe(s)


Malam itu malam takbiran di komplek Permata Indah. Untuk meramaikan suasana sekaligus mengeratkan tali silaturahmi, ibu RT setempat (yang lebih aktif dari Pak RW) membuat sebuah program kerja festival komplek. Isi dari program itu adalah sebuah sarana bagi para warga untuk menggelar pasar malam kecil-kecilan yang berlokasi di lapangan komplek. Ketua pelaksana dari acara tersebut adalah ibu RT sendiri, namun dibanding beliau, Seungkwan jauh lebih sibuk.

“Semangat ya semuanya! Kita suksesin proker bazaar takbiran ini!” seru Seungkwan dari atas panggung kecil di salah satu sisi lapangan.

“Lo doang yang semangat,” komentar Ale yang ikut menjadi tumbal proker.

Setelah segala keributan (grup 3M doang yang ribut) dan kerepotan (ditanggung Seungkwan) menjelang acara, akhirnya malam ini tiba juga. Sejak siang tadi, beberapa warga saling membantu menyiapkan lapangan untuk sebagai tempat acara. Meja-meja dan tenda disusun, dekorasi dipasang, Seungkwan digulingkan dari panggung karena dianggap berisik dan menganggu konsentrasi.

Waktu berganti menjadi sore. Stand mulai terisi satu per-satu. Inti dari acara adalah bazaar kreasi warga, baik itu makanan atau barang. Puncak acara juga sebenarnya bazaar di sore hari, karena acara hiburan di malam hari paling hanya diisi segelintir orang saja (dikarenakan kebanyakan ibu-ibu harus kembali masuk ke dapur rumah masing-masing untuk memasak masakan lebaran).

Stand pertama yang akan ditemui begitu melewati pintu masuk yang terbuat dari gapura styrofoam bekas agustusan itu adalah meja resepsionis yang membagikan voucher untuk ditukar dengan bingkisan kecil-kecilan nanti (dibuat menggunakan dana donasi 5 juta dari Minghao beberapa waktu lalu). Meja itu dijaga oleh Chan yang kerap kali menatap keramaian di tengah komplek dengan raut sedih.

“Gue juga pengen join…kenapa malah disuruh jaga pintu masuk sih??? Kaga ada pintunya juga.”

Seperti itu keluh Chan sesekali.

“Heh elu jangan ngambil dua vouchernya bocah!”

Dan seperti itu omelnya sesekali pada anak kecil yang iseng.

Secara garis besar, bazaar berlangsung seperti sebuah bazaar pada umumnya. Orang-orang berlalu lalang berburu makanan dan beberapa barang lain yang dijual (ada amplop lebaran (tanpa isi), ada perhiasan manik-manik, ada cangkang ketupat (dibuat dadakan by request), hingga hampers siap bagi, hingga kue lebaran). Kebanyakan datang untuk berburu takjil.

“Yang mau beli di tes rukun iman dulu,” celetuk Jeonghan yang datang untuk melihat-lihat, tapi malah disuruh membantu Dokyeom dan Jun untuk melayani pembeli.

“Nanti kalau ada promo natal, Jeonghan di tes pake ayat Alkitab ya,” balas Joshua yang gagal mendapat antrian priotitas takjil karena tidak lolos tes.

Beberapa stand bubar tidak lama setelah jam buka puasa, yang tersisa sekarang adalah stand masakan, kue lebaran, serba-serbi lebaran, dan stand parsel dan bingkisan milik Minghao. Tetapi kebanyakan masih berada di lapang dan menikmati acara sampai selesai. Tidak sedikit juga warga yang memilih berbuka puasa di lapang. Setelah jeda ishoma, keramaian berlanjut.

Di atas panggung kecil, ada Mingyu sebagai lelaki penghibur dan Woozi sebagai pengurus sound system yang siap meramaikan acara dengan lantunan lagu. Kadang Mingyu rebutan mikrofon dengan Seungkwan yang juga ingin bernyanyi. Sedangkan Woozi tidak sekalipun disodorkan mikrofon (karena hak suaranya masih dicabut) (hak suara Mingyu sudah dikembalikan karena dia harus bernyanyi) (Mingyu tidak dibayar) (Woozi juga tidak dibayar).

Para anggota grup 3M tentunya diam di lapang hingga acara tuntas sampai habis (dikarenakan mereka ditugaskan untuk membantu membereskan lapang nantinya).

“Jam delapan mic dimatiin ya,” ucap Seungkwan yang lewat sambil mengecek situasi.

“Biar gak berisik ya Kwan?” tanya Wonwoo yang menonton Mingyu menyanyi.

Mic-nya mau dipinjem masjid buat takbiran, Mas,” jawab Seungkwan sambil mengecek kertas bertuliskan rundown acara.

“Miskin banget komplek kita gak kebeli mic baru apa?” komentar Chan yang akhirnya terbebas dari meja resepsionis.

“Kenapa gak beli mic bluetooth Shopee?” timpal Soonyoung.

Percakapan tidak penting pun terjadi. Mereka berdebat soal siapa orang kaya di kompleks yang harus berdonasi mikrofon dan mereka menunjuk Woozi karena dia satu-satunya warga yang paling mengerti soal alat elektronik musik. Hak suaranya masih dicabut dan Mingyu masih bernyanyi. Sekarang dia berduet rap dengan Soonyoung. Kata Vernon suara Soonyoung seperti orang kumur-kumur.

Di tengah percakapan (yang mirip keributan karena orangnya ada banyak), datang Seungcheol yang celingukan.

“Ada yang liat Sherina? Sherina???”

Yang lain ikut celingukan mencari. Pencarian terhenti saat terdengar berbagai bunyi ledakan.

Duar! Pletak! Ciittt!

Bunyi petasan-petasan kecil meledak (petasan bawang, petasan kupu-kupu, dan petasan kecil lainnya, bisa dibeli di toko Minghao). Disusul sorakan ramai anak-anak yang bermain petasan. Di lahan kering kosong di belakang lapang, mereka berkumpul. Sherina yang dicari-cari ada di dalam kelompok itu. Seungcheol berlari panik.

“Aduh Sherina! Jangan main itu nak…bahaya…kamu belum bisa main petasan,” Seungcheol dari kejauhan menghampiri dengan raut khawatir. “Sherina main kembang api aja ya…”

“Tapi om, Sherina pemimpin regu petasan kita!” cegah Kenzo. Seungcheol tertohok. Sherina tersenyum manis, lalu mengeluarkan sekotak petasan bawang dari tas kecilnya.

“Liat Papa, aku bisa lempar petasan!” serunya sebelum mulai melempar petasan itu ke permukaan lapang. Suara pletak pletok mulai terdengar. Sherina berteriak dan melompat riang, Kenzo mengacungkan jempol. Seungcheol mengucap istigfar di dalam hati sambil memegang kepalanya, pusing. Dari belakangnya, datang Joshua yang menyodorkan minyak angin. Tidak lama kemudian Dokyeom selaku komisi disiplin anak-anak datang.

“ADUH SIAH BARUDAK HATI-HATI MAIN PETASANNYA ATUH, SINI AH KALIAN AKU DISIPLINKAN DULU!”

Teriak Dokyeom sedikit panik. Sekarang semua anak-anak itu membentuk barisan di depan Dokyeom dengan kedua tangan dalam pose istirahat. Sesekali akan terdengar sorakan siap setiap Dokyeom selesai menyampaikan amanatnya.

Cik sekali lagi, bisa mengutamakan keselamatan dalam bermain petasan? Bisa pake petasan yang kecil-kecil aja?” tanya Dokyeom dengan nada tegas yang dibuat-buat.

“Siap bisa!” seru anak-anak dengan kompak, bahkan Sherina juga ikutan teriak.

“GUYS SEBELUM PULANG TUKERIN DULU VOUCHER BINGKISAN DI STAND KO HAO YA!”

Seungkwan ikut teriak.

“OI, YANG HAMPERS LEBARANNYA BELUM DIAMBIL NYAMPE BESOK AUTO HANGUS.”

Minghao juga berteriak dengan jutek.

“SIAPA LAGI YANG MAU REQUEST LAGU? INI MINGYU SIAP JADI BIDUAN KATANYA.”

Ale menarik perhatian warga.

“SINI LO ALE GUE MASUKIN KE PANCI MAMAHNYA DOKYEOM!”

Mingyu mengejar Ale.

“MEDIS UNYONG MAU PINGSAN MEDIS–EH GAK JADI, KAYAKNYA UNYONG MAU KESURUPAN…ADA PAK USTAD DI SINI?”

Jun berteriak panik melihat Soonyoung yang merangkak di tengah lapang.

Di tengah keramaian itu, ada Vernon yang sibuk menjelajah setiap stand yang ada dan mencoba atau membeli setiap makanan dan barang yang disajikan. Setiap tiba di depan stand makanan, ia akan bertanya.

Do you sell escargots?” tanya Vernon dengan ekspresi polos dan santai.

“Hah? Air got?” Mamah Dokyeom, si pemilik stand kebingungan.

“TUTUT NON, TUTUT!” teriak Dokyeom yang baru kembali ke meja setelah mendisiplinkan anak-anak yang bermain petasan.

“Bang Kyeom! Dipanggil Pa Ustad disuruh takbiran!” teriak Chan (yang juga disuruh bergabung ke dalam unit pasukan divisi takbir).

“Wah, kalian gabung paduan suara masjid ya,” komentar Wonwoo yang sedang lewat, hendak pulang karena disuruh Wanda beres-beres rumah. Wonwoo tidak berteriak, namun berhasil memancing emosi. Mereka mulai berteriak lagi.

“Buruan balik lu sana!” teriak Soonyoung dan Minghao kompak.

“Ngikut-ngikutin aja lu!” teriak keduanya lagi, masih kompak. Detik selanjutnya mereka saling senggol.

“Senggol bacok kenapa tuh?” tanya Ale yang sebelumnya selamat dari kejaran Mingyu.

“Gue denger suara si Ale mana anaknya anjir??? Mau gue jadiin ketupat gantung!” datang Mingyu yang masih dendam karena sebelumnya Ale mengganti musik untuk lagu yang sedang dinyanyikannya menjadi versi dangdut. Ale berlari lagi, Mingyu mengejar, Kenzo yang melihat kakaknya dikejar ikut berlari.

“Aku mau ikut kejar-kejaran sama Om Mingyu!” teriak Kenzo.

“Kakak Kenzo aku mau ikut!” Sherina yang baru saja dituntun Seungcheol ikut berlari.

“Astagfirullah Sherina...” Seungcheol hampir menangis.

Malam itu adalah malam takbiran yang normal di komplek Permata Indah.


Hari itu sebenarnya hanyalah hari biasa di kalender. Suatu hari libur di bulan puasa, di mana para warga komplek Permata Indah sibuk menikmati harinya masing-masing. Namun, tidak pernah ada hari yang biasa bagi anggota grup 3M (makan, minum, main futsal) (bukan jumlah harta anggotanya). Se-biasa-biasanya hari, pasti ada saja minimal satu kejadian yang membuat heran. Hari ini ada lebih dari satu kejadian yang membuat heran.

Singkat cerita, saat itu adalah waktu tarawih dilaksanakan. Sebagian anggota grup sedang berada di masjid bersama kebanyakan warga kompleks lainnya. Sebagian lagi sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Misalnya Mingyu dan Woozi yang saat ini sedang berada di depan toko Minghao, menunggu Cisya (pacar Mingyu) yang mengambil pesanan makanan ke depan komplek. Toko kelontong Minghao seharusnya sudah tutup sekarang, mengingat jam menunjukkan pukul delapan. Tetapi untuk alasan yang enggan diungkap kepada publik (Mingyu dan Woozi), Minghao masih membuta tokonya.

Setelah membeli minuman kemasan dari toko, artis dan produser lagu itu berdiri di teras ditemani Minghao yang sibuk menyapu teras toko (padahal terasnya bersih). Tidak lama kemudian, datang dua pembeli lain yang cukup familiar bagi Mingyu. Salah satunya adalah perempuan berkulit terang pucat bermata sipit, dengan rambut hitam yang dicepol menggunakan jepit rambut. Dia adalah Malika. Di sebelahnya, berdiri seorang perempuan yang lebih pendek dan lebih muda dengan wajah yang sedikit bulat dan mata yang yang bulat juga. Mingyu baru melihatnya di kompek ini namun ia merasa mengenali wajah itu.

“Bentar gue kayak kenal muka lo…” ucap Mingyu begitu melihat wajah si rambut wolfcut dari dekat. Orang yang di maksud menoleh, mereka bertatapan. Mata keduanya sama-sama membulat kaget.

“Lah elu????”

Perempuan berambut wolfcut itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ale (user ketupatmingyu), salah satu penggemar Mingyu yang kerap kali dipertanyakan jiwa penggemarnya. Mingyu mengenali wajahnya karena Ale rajin menghadiri acaranya mulai dari konser, wawancara, hingga fansign.

Mingyu menatap dengan raut kaget. Perasaannya campur aduk–ada kaget, kebingungan, dan dendam.

Ale hanya cengar-cengir.

“Eh Mingyu, ketemu di sini hehe,” sapanya canggung (yang sebenarnya lebih terdengar seperti rasa bersalah. Dia bicara sambil menghindari Mingyu yang menatapnya tajam. Malika yang ada di sana ikut heran. Woozi ikut heran. Hanya Minghao yang terlihat semangat (sudah jelas alasannya kenapa).

“Kok lo ada di sini sih???” tanya Mingyu tajam. Kemudian ia bertanya pada Malika, “Kalian saling kenal?”

“Oh, Ale adik kelas saya waktu SMA, terus sekarang satu kampus juga, dia maba,” jelas Malika. Namun, yang lain masih heran.

“Terus ngapain di sini? Lagi main?” tanya Woozi ikut penasaran. Mingyu lebih penasaran.

“Lho, kalian gak tau? Ale kan kakaknya Kenzo…” ucap Malika heran. “Iya hehe, sebenernya gue warga sini…”

Woozi menatap tidak percaya. Minghao sebagai korban sifat tengil Ale mulai terlihat kesal.

Ale tersenyum kikuk, Mingyu murka.

“SINI LO ALE!”

Mingyu mengejar, Ale berlari.

Keduanya berlari meninggalkan teras toko kelontong Minghao, meninggalkan Woozi yang memilih untuk kembali ke rumah Mingyu lebih dulu. Ale berlari panik, Mingyu berlari penuh emosi. Pasalnya, Ale ini sering membully Mingyu (seperti kebanyakan orang). Mulai dari menanggapi cuitan media sosial Mingyu dengan kalimat yang menohok, membuat meme menggunakan wajah Mingyu, mengejek, hingga mengerjainya saat jumpa fans (memberi hadiah berisi jebakan atau aksesoris konyol, misalnya).

Mingyu dan Ale berlari ke arah gerbang, sepertinya Ale hendak menuju rumahnya. Tubuhnya yang lumayan mungil membuatnya bisa berlari lebih cepat dibanding Mingyu. Di saat yang bersamaan, nampak Cisya berjalan kaki di kejauhan sambil menenteng kresek makanan. Ale pun mengubah arahnya menuju Cisya, yang kini terlihat bingung dengan pemandangan seorang perempuan muda dan gapura komplek di belakangnya (maksudnya Mingyu).

Mingyu berhasil menyusul, Ale berdiri di belakang Cisya.

“Mama Cisya tolong aku mau dipukul Mingyu!” teriak Ale.

“Curang lo Ale!” Mingyu ikut teriak. “Bub, si Ale ketupat ternyata kakaknya Kenzo!”

Terungkap sudah misteri siapa orang dibalik akun media sosial ketupatmingyu. Secara kebetulan atau mungkin takdir, dia adalah warga dari komplek Permata Indah. Kalau dipikir-pikir, Ale memang lolos kriteria sebagai warga komplek. Dia tengil, banyak tingkah, dan lucu–contoh karakter yang banyak ditemukan tinggal di komplek. Misteri selanjutnya adalah bagaimana bisa Mingyu yang lahi dan besar di kompek itu tidak mengenali Ale sama sekali. Mungkinkah dia sudah pikun?

“Ya emang, terus kenapa?” tanya Ale sewot, masih berdiri di belakang Cisya.

“Kenapa lo gak bilang lo warga sini???”

“Lo gak pernah nanya???”

“Liat Bub dia nyebelin?!” adu Mingyu pada Cisya.

Cisya bingung, heran, paham dengan konteksnya, lalu menghela napas lelah. Dia memukul lengan Mingyu (tapi kalau kata Mingyu tidak kerasa apa-apa).

“Kamu ih iseng banget, malu sama badan!” omelnya pada Mingyu. Mingyu langsung diam, Ale tersenyum senang, Mingyu kesal lagi, Cisya menggeleng pasrah. Ale lengah, Mingyu berhasil meraih telinganya dan menjewernya pelan. Dia melampiaskan rasa kesalnya.

“Aduh ih sakit!” protes Ale sambil berusaha melepaskan diri. Cisya mendecak lalu memukul lengan Mingyu pelan (masih tidak kerasa apa-apa bagi Mingyu)

“Gyu ih bocah banget…” komentarnya. Sambil cemberut, Mingyu melepaskan Ale.

“Marahin dia Mama Cisya!”

“Lebaran nanti gue doain lo dimasak jadi opor!”

“Liat Mama Cisya, masa aku mau disuruh jadi opor!”

Cisya dan Mingyu belum menikah, tetapi rasanya ia seperti sedang menghadapi pertengkaran ayah dan anak sungguhan (padahal umur Ale hanya beberapa tahun lebih muda dari mereka). Pada akhirnya, Cisya mengajak Ale untuk ikut makan bersama Woozi di rumah Mingyu. Mingyu protes tapi tidak berani melawan Cisya. Woozi menyambut ketiganya dengan raut stress.

Begitulah pertemuan singkat yang mengharukan antara Mingyu artis dan penggemar terbesarnya, Ale ketupat.

Sementara itu, di dalam toko ada Minghao dan Malika yang sedang mengobrol dengan santai, membicarakan topik yang itu-itu saja (karena ingin mengobrol tetapi tidak tahu mau membahas apa).

Sementara itu lagi, selagi keduanya mengobrol, ada dua anak kecil masing-masing memegang jajanan dan uang, menunggu untuk dianggap keberadaannya oleh si pemilik toko.

“Om Hao lagi sibuk pdkt sama Cece Malika. Kita bayarnya nanti aja, Sherina. Nanti aku tanya Om Dokyeom kalau kayak gini kita dosa atau enggak.”


Setelah drama pemaksaan kepada Woozi untuk tinggal sementara di kompleks Permata Indah, sahur kembali datang. Dini hari itu, sekumpulan orang (bocah) datang berombongan menuju rumah Dokyeom di salah satu ujung kompleks. Anak-anak berusia sekolah dasar itu membawa senjata masing-masing. Toples hadiah dari supermarket, sutil kayu, botol minum (bukan Tupperware), dan sarung. Di depan rumah bercat kopi susu itu, berdiri pemimpin pasukan yang mengenakan kaos (yang sobek sedikit kerahnya), celana training panjang, dan sarung yang melingkar di pundak.Seperti biasa, hari ini waktunya mereka membangunkan warga untuk sahur.

“Om Dokyeom!” seru anak-anak kompleks itu semangat. Ada juga yang mengantuk sambil celingukan. Dokyeom memasang wajah tegas, dalam hati sedikit sedih karena tidak ada yang memanggilnya Kak atau Aa.

“Langsung masuk formasi!” perintahnya dengan suara lantang.

Anak-anak itu pun membentuk tiga barisan dengan rapih. Dokyeom mengangguk puas. Kemudian, dia mulai memperhatikan sepuluh anak yang berbaris itu. Pandangannya berhenti pada satu anak yang mengenakan piyama bergambar Mario Bros. Helaan napas keluar dari mulutnya.

“Itu kamu yang pake piyama Mario,” panggilnya. Si anak terlihat bingung. “Ai kamu ngapain ikutan kan kamu Katolik???”

Anak itu menyengir.

“Soalnya kayak yang seru, Om.”

“Nanti mami papi kamu nyariin atuh…” ucap Dokyeom sambil meletakkan tangan di pinggang.

“Aku malah disuruh Mami ikutan, biar capek terus tidur pules,” jawab anak itu; senang, percaya diri, antusias.

Di sebelahnya, ada Kenzo.

“Biarin aja Om, their body their choice,” ucap Kenzo; bangga, percaya diri, merasa keren.

Kobe ah elu,” decak Dokyeom. (Kobe singkatan dari kokolot begog, biasa diucapkan ke anak kecil, bisa diartikan sebagai sok tahu). Laki-laki itu mengambil wadah baskom berwarna biru yang tadi digantungkan di pagar rumahnya (karena ember pink masih tersimpan di rumah Jeonghan). “Yaudah let’s go berangkat!”

Suara heboh ember ditabuh diiringi nyanyian saur…saur pun mulai terdengar. Tidak terlalu berisik karena takut mengganggu yang tidak berpuasa, namun cukup keras sampai bisa terdengar ke dalam rumah. Hanya berselang beberapa rumah, mereka sampai di rumah keluarga Mingyu, di mana Woozi menginap untuk hari ini sebelum resmi pindah ke kontrakan di sebelah warnet dan fotokopi milik Soonyoung. Mungkin sudah mulai rindu pada sahabatnya, Dokyeom menelepon Mingyu sambil melemparkan kerikil ke jendela kamar laki-laki itu.

Apaan anjir???” sapa Mingyu begitu telepon diangkat.

“Hayu ikutan rombongan saur, ajakin si Uji,” ajak Dokyeom. Anak-anak bersorak. Woozi terdengar berdecak dan mengumpat. Dokyeom mencoba memohon. “Hayu atuh kita kekurangan vokal di sini. Kalau ada kalian berdua kan nanti jadi merdu suaranya.”

Setelah berbagai negosiasi dan paksaan (lebih banyak paksaannya), Mingyu keluar dari rumahnya sambil menggeret Woozi yang jauh lebih kecil darinya. Di tangannya yang satu, ada mikrofon karoke berwarna emas yang dibeli di online shop yang bunyinya this bluetooth device is ready to pair. Sesuai dugaan, paduan suara terdengar lebih rapi dan menyatu, walaupun di sela-sela, Mingyu selalu menyanyikan bait lagunya.

~I can ask you a hundred times~” begitu nyanyinya. “~and it’s okay if you don’t have an answer~don’t change your heart, ‘cuz mine won’t ever~

“WOW!” sorak para anak-anak padahal tidak mengerti arti lagunya. Mingyu tersenyum senang, Woozi menghela napas.

“Mingyu pernah ditolak sembilan kali sama ceweknya yang sekarang,” komentarnya, sebagai balasan atas dirinya yang digusur paksa untuk mengikuti rombongan.

“Ih kasian…” sorakan berubah menjadi belas kasihan. Mingyu badmood.

“Tapi ujungnya diterima guys,” ucapnya meyakinkan.

“Gara-gara kasian?” celetuk Kenzo polos. Mingyu gondok.

“Gue getok kepala lo pake mic,” ancamnya. Kenzo menyengir, cengengesan.

Rombongan kembali berjalan, baskom dan topes dipukul, suara dilantangkan. Tiba mereka di depan rumah Wonwoo, di mana laki-laki itu sedang duduk di teras, dalam balutan kaos longgar dan celana piyama. Menurut buku panduan, pemandangan itu artinya hanya satu: Wonwoo sedang diusir istrinya.

“Maswon, ngapain jam segini diem di luar?” tanya Dokyeom. Wonwoo berjalan menuju pagar.

“Disuruh Wanda diem di luar biar nggak ganggu masak,” cengirnya.

Dokyeom, Mingyu, dan Woozi menghela napas. Anak-anak bingung. Wonwoo terlihat senang-senang saja.

“Mau ikut kita aja gak Mas?” ajak Mingyu, disetujui oleh yang lain.

Wonwoo sumringah. Tangannya baru saja bergerak untuk membuka kunci pagar saat istrinya, Wanda, muncul dari balik pintu rumah sambil berkacak pinggang. Satu tangannya memegang sutil. Dia menggelengkan kepala.

“Emang kamu masih masuk seleksi umurnya, Mas?” tanya Wanda saat suaminya meminta izin. Wonwoo sedikit cemberut. Dia hanya lebih tua dua tahun dari Mingyu, Dokyeom, dan Woozi.

“Gue nggak ikut deh,” ucap Wonwoo akhirnya sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Ketiga “pemuda” itu kini tertegun. Masing-masing bergantian melihat satu sama lain dan rombongan anak-anak kompleks. Kalimat Wanda seolah menghantui ketiganya. Memangnya mereka juga masih lolos seleksi umur untuk menjadi Pasukan Pembangun Sahur ini? Mereka bukan lagi anak muda, jadi sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan?

“Iya yah guys kita teh udah tua kenapa masih aja gini-ginian,” keluh Dokyeom selaku tumbal utama sambil menatap baskom di tangannya. Tangannya menyeka air mata khayalan di pelupuknya, merasa miris dengan diri sendiri. Pasalnya, sehabis ini dia harus menjaga stand makanan sahur bersama Jun. Lalu bekerja seperti orang pada umumnya, lalu membuat takjil untuk dijual. Dia sekarang melihat ke arah anak-anak. “Nanti mah kalian aja lah sendiri, da gak akan ada begal ini. Atau panggil yang lain aja atuh da banyak.”

Anak-anak sedih. Mereka takut bertemu genderuwo. Dokyeom menghela napas pasrah. Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di depan rumah Seungcheol, dimana Sherina datang berlari dari dalam rumah dan langsung berdiri di balik pagar seolah menunggu kedatangan mereka. Raut wajahnya sumringah.

“Halo Om Dokyeom!” sapa gadis kecil itu ramah. Dokyeom yang melihatnya langsung menghampiri.

“Euleuh kamu teh kenapa jam segini suka main di luar?” tanyanya khawatir.

“Aku bosen Om,” gadis itu mengerucutkan bibirnya. Dokyeom bingung, sudah tahu arah pembicaraan ini. Terlebih, saat Sherina melihat Kenzo di antara pasukan. “Aku mau ikutan teriak saur saur lagi sama Kak Kenzo!”

Di saat yang bersamaan, Seungcheol selaku ayahnya keluar dari rumah dan berlari menghampiri putri kecilnya.

“Aduh Sherina cantik…dibilangin belum waktunya bangun…” duda satu anak itu berucap sambil meraih tangan putrinya. Sherina berpegangan erat pada pagar.

“Biarin aja Sherina join kita!” seru Mingyu, tidak tega melihat anak kecil itu. “Kasian dia butuh temen. Gak usah khawatir ‘kan ada gue, Dokyeom, Woozi, Kenzo yang jagain.”

“Justru karena yang jagain kalian, gue jadi khawatir,” cibir Seungcheol. Walaupun pada akhirnya Seungcheol pasrah dan membiarkan Sherina kembali berpetualang. Sambil berjalan masuk kembali ke rumahnya, dia bergumam, “Besok Sherina gue ganti aja kali ya namanya?”

Tidak lama kemudian, rombongan tiba di depan toko kelontong Minghao, di mana sebuah pemandangan tidak lazim sedang terjadi. Terlihat dari luar toko bahwa di dalam sedang ada beberapa pembeli. Salah satunya adalah Malika, mahasiswi yang tinggal di kos-kosan milik ibunya Ichan, yang disukai oleh Minghao. Keduanya sedang berdiri berhadapan, terpisahkan oleh etalase kaisr. Terdengar sayup obrolan mereka.

“Kenapa lu ga minta delivery aja?” tanya Minghao dengan nada yang dibuat acuh tak acuh.

“Saya lagi gabut aja, gak bisa tidur jadi pengen jalan-jalan. Terus biar gak ngerepotin terus Ko hehe, kosan kan lumayan jauh dari sini,” ucap Malika lembut.

“Oh, bagus deh,” balas Minghao asal (padahal kita semua tahu hatinya berdebar senang).

Kenzo yang juga mengetahui pergosipan HaoLika menarik-narik ujung kaos Dokyeom dengan semangat. Laki-laki itu mengisyaratkan para anak-anak untuk diam. Kemudian, dia dan Mingyu bertatapan penuh arti. Sebagai sahabat yang baik, keduanya tidak akan tinggal diam atas pemandangan ini.

“Siap-siap teriak yah,” bisik Dokyeom pada anak-anak. Mereka bingung.

“Kan Ko Hao gak puasa? Kenapa dibangunin?” tanya Sherina penasaran.

“Ini bukan soal puasa,” jawab Kenzo, dengan gaya sok dewasa. “Ini soal cinta.”

“Keren juga lu Kenzo,” komentar Mingyu. Woozi menatap heran dan skeptis.

Yang lain mengangguk saja, tidak terlalu mengerti. Kemudian, Dokyeom menginstruksikan semuanya untuk bersiap teriak. Tidak lupa memberi tahu sebanyak tiga kali kalau mereka harus berteriak dengan kompak, sesuai nada, dan lantang. Woozi yang menjadi konduktor (ditunjuk secara paksa) mengangkat tangan dengan malas, lalu mulai menyisyaratkan hitungan mundur. Tiga…dua…satu…

“SAUR!! SAUR!!” teriak mereka kompak, sambil memukul baskom dan toples di tangan.

Dua sejoli yang sedang mengobrol itu menoleh kaget, obrolannya terhenti. Minghao keluar dari balik etalase dengan wajah galaknya. Sapu lidi berada pada satu tangannya. Langkahnya cepat.

“GUE KAGA PUASA MONYET! MAJU LO SEMUA GUE PUKUL PAKE SAPU SATU-SATU!” teriaknya sambil mengacungkan sapu ke arah rombongan yang semuanya sedang memasang wajah cengengesan itu.

“KABUR!!” teriak mereka lebih kompak lagi. Kenzo lari paling depan, disusul anak-anak lain. Dokyeom mengekor sambil menggendong Sherina yang tertawa excited. Mingyu lari membawa baskom yang ditinggalkan Dokyeom. Bahkan Woozi pun ikut kabur.

Semuanya menghabiskan sisa perjalanan sambil tertawa senang. Ada yang senang karena merasa seru, ada yang senang karena senang saja, ada yang senang karena mendapat bahan untuk mengolok-olok sahabatnya di lain hari (tebak oknum).


Once upon a time, there was this young man named Heksa. Heksa Samudera Khagi, or I'd like to refer to as Samudera. As his name said, he was as calm as the sea but also as mysterious. The sea hid mysteries under its tides. Humans have only discovered less than 10% of the ocean. Samudera Khagi seemed to living up to his name. He hid tales behind his smile, I had only discovered a glimpse of it. Nevertheless, let me tell you the tale about it — the tale from the sea.

Samudera Khagi apart from his story was just your ordinary yet intriguing university friend. He lived like a university student would live, with a touch of unhinged mind and silly behavior. He was this tall, skinny, fair-skinned man with a fluffy black hair. His brown eyes were droopy, sometimes they looked sleepy. His thin lips made a perfect line when he smiled, sometimes they looked like a square bracket — but he was the cutest when he giggled. Everyone would agree he had a kindergarten teacher's voice. His voice was my favorite melody. A gentle masculine voice — a soft crisp voice with a hint of feminine tone. Even his movements and gestures were gentle and delicate as silks.

Samudera talked a lot when he had the energy to. Introverted blood cells ran in his veins; he wasn't outgoing but he was still sociable. As a business major, he had to be skilled at social interaction, so he did. He hustled here and there doing part-time jobs and probably built up some social interaction with business people. People would like him with no doubt — whether they liked his personality or were enchanted by his communication skills. He might seem unapproachable sometimes but he was a kind soul. He was a sweet talker and a great storyteller, but he was also a good liar.

He was a good eldest son, a loving brother, and a loyal best friend. He committed himself to his family and friends. People barely caught him busy living his life to the fullest. People barely caught a glimpse of his life. Most knew him as simply Heksa; an acquaintance, a friend, a student. He lived a private life; he kept his family life and matters mainly to himself and you wouldn't catch him slipping. In compensation for his mysterious life, he disclosed a 1001 guide about him freely. His favorite food, his boiled egg preference, his vibrant colored pants collection, his Lego progress, and even the passcode of his apartment unit. Things about him I got to know easily in return for his personal matters I didn't dig. Although, I caught a glimpse of it.

Long short story the world was small and some people knew each other. Sometimes the world was just too small for you to do things secretly. Sometimes the universe just loves to intervene.

At first, it was this subtle hunch about Samudera being the typical saddest clown character. One word that must be included when describing him was joy. He wasn't a cheerful happy virus guy, but he was never a blue person. I started to wonder if he was full of joy or if he hid that sadness. Then the hunch turned into the savior complex urge to discover something about him — and save him. He was the storm and I had to be the sunlight. Although, he managed to twist his way out of my suspicion, using stories he made me believe were the only truth.

For a second I believed so. I believed there was nothing to worry about him. The only thing — or two — to be worried about were his charms and my feelings.

Another long short story, I fell in love. It wasn't because of the savior complex. It wasn't because I believed I could be his sunlight. I just fell. Funny enough all these hunches, assumptions, suspicion — and confrontation — only to fall in love with him on a random day in November. All these series of events and I fell in love because I was swayed by his charms. Falling in love with him wasn't an easy journey, but summoning love itself was easy.

I mean how couldn't I? How couldn't I not fall for him? How couldn't I fall for his smile, his laugh, his jokes, his kindness, and the way he treated me? How couldn't I not fall for Samudera Khagi — and everything about him? However, he couldn't feel the same. He couldn't fall in love.

Samudera Khagi wasn't meant to fall in love.

It took me a love rejection — more than one, I think — to finally understand that there was more than a story behind him. He wasn't hiding sadness behind his smile but more complicated than that. He said he had a lot on his plate; believe it was more than a lot and it wasn't just a normal plate. He wasn't for those who love him. He was for the burden and responsibilities he entitled himself to. My assumption was right but it was more complicated than that.

It took us endless push-pull cycles for him to finally uncover himself, page by page. The truth was, he was tangled in a complicated string I could never fully understand. It wasn't only about himself but also his family and friends — which added more reason why I didn't have the must to know. All this time he was busy taking care of everyone around him, the ones he cared for. He made sure of their well-being even their happiness. Everyone had their own problems and struggles — within and among themselves. They were on the verge of crumbling down, he made sure everyone stayed under his roof. He neglected his own desire to focus on everyone else. He swallowed everything alone.

It took him several breakdowns to finally show himself to me. He showed his vulnerable side to me. A sight I wished I never had to see. He was exhausted, he was lifeless, he was suffering from the heavy burdens that were way too heavy for his skinny body. He showed his weak side but all I saw was a young man being too hard on himself. Nobody asked him to do everything. He wasn't obligated to take care of everything, it wasn't solely his responsibility — but he did anyway. He was being too hard on himself he didn't allow himself to be happy — and to be in love.

Still, human was driven by desire. There was a time when he did follow his desire. He allowed himself to taste selfishness by following his heart — which led him to us. The most popular phrase that came out of his mouth was 'not yet'. He couldn't fall in love yet, he couldn't love me yet. But there was a time when he allowed himself to. Believe me, it was beautiful. I got a taste of his love and it was beautiful. I got to see his endless smile, I got to hear his sweet voice late at nigh, I could hold his hand, I could pull him into my embrace. I got to feel how warm his hug was — and how sweet his kiss was.

That was all I ever got.

At the end of the day, still, he couldn't choose me. He couldn't choose between his life or everyone he cared for because there wasn't any choice in the beginning. There would never be a choice because he had a predetermined heart. His choice would always be his family — and everyone he considered as one. He was too hard on himself he chose to let us go because he believed he wasn't supposed to chase his own desire. He shouldn't follow his heart — and me.

At the end of the day, he left. He left to take care of what needed to be taken care of. He left, hopefully, to heal himself and to come back in a happier version of him.

Finally, that's how our story ended.

Our story wasn't as pretty as I imagined it. I said I'd write him as someone I love and I'd write myself as someone who loves him. But little did I know loving someone isn't always pretty. Little did I know that our story not only includes the warmth and beauty of love but also the pain of losing and waiting. Blank pages, smudged words, and scrapped papers were all hidden beneath the so-called tale. Our story has its own chaotic pages and that's part of loving him. And little did I know I wasn't a saint, I wasn't an angel. I was a mere human unable to control my feelings, inevitable to feelings, and I had my selfish part too where I chose feelings over logic.

I want to apologize for that. For not being able to write him beautifully, for not being able to write us beautifully. I'm sorry I can't feign ignorance to the scars, to the flaws, to the imperfectness of our story as well as every tragic part of it. Because I came to the conclusion that the art of loving him was to acknowledge its beauty and its beast.

Nevertheless, here I present to you the tale of us. The tale of Samudera Khagi and the woman who loves him truly, Mentari.



The end of a story can be anywhere. Different from fairy tales where the ending is always a lived-happily-ever-after, a story of life can end in a halt; like a cliffhanger, discontinued, forgotten. It can start the moment you enter university but end on a random afternoon during the fall semester. It can start in a random coffee shop one afternoon and end in another random coffee shop two years later. The end can be anywhere at any time. Sometimes you won't guess it's ending.

Interestingly — or sadly — enough, the ending of Heksa and Mentari's story was predictable.

The ending came along with the beginning of their story — the dangerous game, her losing game. While leaving curiosity and yet another uncertainty, the ending was clear and concise; and while the ending came in the middle of a sunny day in January, it wasn't a halt. Instead, their ending approached them slowly, giving him enough time to think and giving her enough sign to notice. He decided it was time for an end, she caught up immediately.

The ending happened shortly, but she could feel every moment of it — every second of losing him. She could feel how Samudera Khagi slowly slipped out of her grip. Until it was time for her to let him go because it was time for him to throw them away.

Until the only thing that was there for her to wait was the ending.


Mentari berdiri dengan gugup di dalam toko bunga — sekarang sedang direnovasi menjadi sebuah kafe. Ia baru saja selesai mensortir bunga dan sekarang sedang merapikan beberapa barang di area kafe. Sebentar lagi ia akan melakukan soft opening untuk kafe itu. Di atas salah satu meja, tergeletak lembaran kertas, kain, dan alat jahit. Akhir semester telah tiba, artinya ia harus menyelesaikan karyanya segera. Tetapi, tidak satupun dari alasan di atas merupakan penyebab rasa gugupnya. Rasa gugupnya datang karena ia akan bertemu seseorang.

Tentu saja, seseorang itu adalah Heksa Samudera Khagi.

Setelah hari-hari berlalu tanpa kabar, akhirnya ia bisa melihat laki-laki itu lagi. Ia penasaran tentang kabarnya. Apakah lingkaran hitam di bawah matanya masih nampak, apakah pipinya semakin kurus, apakah tidurnya tenang dan nyaman? Apakah ia baik-baik saja? Hari yang berlalu tidak terlalu banyak, masih bisa dihitung oleh jemari. Tetapi rasa rindunya tetap banyak. Rindu karena peduli dan khawatir. Tetapi lagi, alasan dari rasa gugupnya bukanlah pertemuan mereka, namun alasan dibalik pertemuan itu.

Samudera Khagi itu tidak bisa ditebak. Maka Mentari pun tidak bisa menebak apa yang akan mereka bicarakan hari ini. Sejauh pengetahuannya, Heksa bisa saja datang untuk sekedar menyapa, untuk memesan bunga, untuk sekedar menampakkan dirinya, untuk memberi kabar. Ia bisa datang untuk meminjam peluknya atau mendengar suaranya. Ia juga bisa datang membawa cerita libur akhir tahunnya. Heksa bisa membawa apa saja ke meja obrolan, terlalu banyak untuk bisa ditebak dengan pasti. Karena itulah Mentari merasa gugup.

Tetapi mungkin juga, Mentari gugup karena tahu apa yang akan dibicarakan.

Jantungnya melompat saat lonceng di pintu berbunyi, menandakan seseorang baru saja masuk. Segera sosok yang familiar nampak dalam pandangannya. Terlihat rapih walau hanya mengenakan pakaian santai. Wajahnya terlihat lebih baik dibanding kali terakhir keduanya bertemu. Tulang rahangnya masih telihat tegas, namun bukan dalam artian kurus. Matanya terlihat ramah teduh tanpa jejak air mata. Terakhir, ada senyuman ramah di sana. Senyuman yang membuat Mentari ikut tersenyum dengan sangat lega.

“Hai, Khagi.” Sapanya sambil tersenyum. Sementara yang disapa membalas dengan senyum simpul.

“Apa kabar, Tar?” Lontarnya. Mendengar itu, Mentari menatapnya sedikit kesal.

“Yang harusnya ditanya kabar itu kamu, Samudera.” Balasnya sambil berjalan menuju meja, menarik bangku, dan duduk. Heksa terkekeh sebentar sebelum mengikuti, duduk di sebrang perempuan itu. “Apa kabar, Samudera?”

Heksa tidak langsung menjawab. Ada jeda waktu dimana dirinya terlihat berpikir, kemudian menghembuskan napas panjang.

“Baik.”

“Jangan bohong.”

“Sekarang cukup baik, tapi nggak baik-baik banget.”

Mentari memperhatikan laki-laki di hadapannya sekali lagi. Memang, laki-laki itu terlihat lebih baik. Tetapi masih tidak terlihat baik-baik saja. Tidak ada bekas tangis atau lingkaran hitam, namun masih ada lelah di sana. Heksa masih terlihat lelah. Seperti habis menempuh perjalanan panjang, seperti sudah melewati banyak rintangan, dan seperti sudah menyelesaikan banyak masalah. Rambut lembut dan bervolume, pakaian rapi dengan tema cerah, dan senyumnya tidak bisa menyembunyikan jejak lelahnya. Lelah karena apa, itulah yang ingin Mentari ketahui.

“Sekarang gantian, kamu apa kabar, Mentari?”

Kini Heksa duduk dengan lebih santai. Ia bertopang dagu sambil menatap lawan bicaranya. Tentu saja, Mentari tidak bisa melawan mata itu. Ia menahan rasa penasarannya sebentar, menahan seribu pertanyaan yang ingin ia lempar secara bersamaan.

“Baik, tapi nggak ada yang istimewa.” Mulai Mentari. “Aku kuliah kayak biasa, bantu Oma selama libur, dan sekarang lagi nyelesain proyek desain semester ini. Hari-hari aku biasa aja, tapi cukup buat aku.”

Glad to hear that.” Respon Heksa pelan sambil kembali bersandar pada kursi.

The only thing wasn't enough was your presence.” Lanjut Mentari, menarik perhatian Heksa. “I missed you.”

Lebih dari rindu, ada banyak jenis perasaan yang memenuhi dirinya belakangan ini. Rasa rindu, khawatir, takut, bingung dan rasa kosong. Perasaan-perasaan itu jadi semakin sulit untuk dirasa saat Mentari tidak tahu cara mengolahnya. Ia ingin melihat Heksa namun tidak tahu laki-laki itu ada di mana. Ia khawatir terjadi sesuatu namun tidak tahu juga apa yang sedang terjadi. Kemudian merasa sedikit kosong, saat mengingat bahwa semuanya mungkin adalah proses dari sebuah kehilangan yang akan segera datang. Mungkin memang benar demikian, karena Heksa kini memasang ekspresi yang tidak tenang.

Ucapannya membuat laki-laki itu menatapnya bersalah. Ia menundukkan kepalanya sebentar. Ada helaan napas sebelum ia kembali menghadapi Mentari.

“Maaf ya, munculnya lama.”

It took so long for him to be able to face her again. It took him so long, maybe to gather up courage or organize his thoughts. Even so, his reappearance didn't feel like a comeback or a return, but rather a surrender. As if he came for an interrogation and a confession — not the good one.

“Kamu kemana aja, Samudera?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian sebagai permulaan. “Sibuk banget ya?”

“Iya.” Angguk Heksa pelan. “Aku sibuk ketemu banyak orang jadi nggak sempet ngabarin kamu.”

“Habis ketemu siapa aja?” Tanya Mentari lagi meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.

“Ketemu Ole, Kaisar, Rumi…”

Nama dari orang-orang yang tidak dikenalnya — kecuali Maure — itu terdengar familiar. Nama yang ia ketahui siapa saja pemiliknya dan seperti apa rupanya. Nama yang pernah disebut dalam ceritanya. Sayangnya nama-nama itu sebatas familiar saja. Ia tahu siapa pemiliknya namun tidak tahu siapakah mereka dan apa yang terjadi dengan mereka. Ia tahu ada sesuatu rumit di antara mereka. Cukup rumit sampai membuat laki-laki di hadapannya kadang terlihat tidak bernyawa. Mentari tahu tetapi disaat yang bersamaan ia tidak tahu. Ia tahu ada sesuatu namun tidak tahu apa tepatnya sesuatu itu. Karena Heksa selalu bilang semua itu bukan untuk dipikirkan olehnya. Namun bagaimana tidak, kalau sesuatu itu mempengaruhi hidupnya — dan ceritanya bersama Heksa?

“Kalian apa kabar? Kalian semua baik-baik aja?” Dan hanya itu yang Mentari tanyakan, karena tahu hanya sejauh itu pertanyaan yang bisa dijawab — yang akan dijawab oleh Heksa.

“Baik tapi nggak begitu baik.” Jawab Heksa sedikit lesu. “Belakangan ini semuanya lagi...rumit dan berantakan.”

Mentari tanpa sadar mulai menegakkan punggungnya, mengantisipasi lanjutan kalimat dari Heksa. Kedua tngannya menggenggam satu sama lain dengan gugup. Frekuensi detak jantungnya mulai berubah. Kecemasan datang seiring raut wajah laki-laki itu terlihat semakin serius — dan putus asa. Dari cara Heksa mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja, caranya menatapnya sebelum mengalihkan pandangan lagi, dan caranya tersenyum. Senyum itu kini bukan senyum ramah yang diberikan saat menyapa, bukan juga senyum lega saat melihat seseorang yang sudah lama tidak dijumpai. Senyum itu adalah senyuman yang lelah — dan bersalah. Mentari pun kembali diingatkan pada rasa gugupnya yang sempat hilang. Rasa gugup karena tahu apa yang mungkin dibicarakan. Rasa gugup karena tahu apa yang akan terjadi. Kini gugupnya perlahan berubah menjadi cemas dan takut.

“Ah enggak, emang selalu rumit dan berantakan.” Koreksi Heksa sambil tersenyum getir. “Tapi belakangan ini rumit dan berantakannya pake banget.”

Di awal tahun saat hidup penuh dengan suasana baru dan terasa menyegarkan, ada cerita Heksa dan Mentari yang tidak memiliki banyak perubahan. Masih berlandaskan ketidakpastian dan tanpa harapan. Satu dua hal yang pasti hanyalah perasaan untuk satu sama lain dan akhir yang menanti — dalam waktu yang sangat dekat.

Mentari merasa gugup dan cemas seiring obrolan berlanjut, namun tidak sedikitpun ia merasa terkejut. Ia merasa gugup namun ia tahu bahwa hari ini akan datang. Ia gugup karena tahu, saat ini, kemana obrolan akan berjalan.

“Ada banyak yang harus diurusin, dan…sebagainya.” Lanjut Heksa. Mentari bisa merasakan napasnya tercekat untuk beberapa saat. “Ada terlalu banyak yang harus diurusin, Tar. Lebih banyak dari dugaan aku.”

Raut bersalah, nada bicara yang lesu, jeda yang lama antar kalimat — gerak-gerik Heksa hanya membuat semuanya terlihat semakin jelas. Laki-laki itu membuat semuanya semakin jelas, akhir dari cerita keduanya.

Mentari didn't have much experience with love, but she knew that expression. That long, guilty, and sad expression. It looked like someone who was about to break up with their partner. Like someone who was about to leave. Like someone who was about to break a heart.

Samudera Khagi looked like he was going to break her heart.

I took some time to clear my head and sort my thoughts.” Dan nada bicara laki-laki itu terdengar semakin segan, semakin enggan. “Semuanya lebih rumit dari yang aku kira dan nggak bisa selesai semudah yang aku kira. Kita udah ngelurusin masalah sama satu sama lain, but we still have tangled strings within ourselves. Bukan cuma orang-orang disekitar aku — Ole, Kaisar, Rumi, tapi aku sendiri perlu lebih banyak waktu.”

Seiring kata demi kata meluncur dari mulut laki-laki itu, semakin Mentari merasa ada jarum yang menusuk jantungnya. Bukan dari pedas atau pahitnya kata yang didengar, melainkan dari rasa tahu. Rasa sakit yang perlahan dirasakannya itu datang karena perempuan itu tahu, apa arti dari semua itu. Mentari tahu apa yang akan terjadi, namun sepotong kecil hatinya masih berharap bahwa semua ini bukan seperti apa yang ia pikirian. Bahwa hari ini keduanya hanya sedang berbincang, lalu pergi makan siang, dan bicara di telfon malam hari nanti. Bahwa hari ini, saat ini, keduanya bukan sedang berpisah.

“Samudera—”

She knew she'd lose him but still, she wished she wouldn't.

“Aku…bakal pergi, Tar.”

Satu kalimat itu cukup untuk membuat jantungnya merasakan hantaman keras yang anehnya terasa menyesakkan dibanding sakit. Pelupuknya mulai terasa hangat oleh air mata hanya dalam hitungan detik. Telapak tangannya berkeringat, tenggorokannya terasa sakit. Satu kalimat sederhana yang terasa lebih berat, lebih sulit diproses dibanding sebuah karya ilmiah. Kalimat yang ia tahu akan selalu menghantui hubungan keduanya namun tetap saja, ia kesulitan untuk menerimanya. Ia tahu semua ini akan terjadi, ia siap menerima semua ini, tetapi bukan berarti akan terasa mudah. Ia siap kehilangan namun bukan berarti tidak akan terasa sakit.

It hurt her even more seeing him being so powerless — filled with nothing but surrender and despair.

“Kemana?” Meskipun begitu, Mentari masih mengeluarkan usaha terbaiknya untuk bersikap tenang. “Kenapa pergi?”

We need to take a break to heal ourselves.” Lagi, Heksa menghela napas berat. “Di samping semua itu, prioritas aku masih sama. Keluarga dan sahabat aku. Aku harus mastiin semuanya baik-baik aja. Aku perlu fokus sama mereka. I can't divide my attention to other things. I don't and I won't have time for other things.”

She was included in those other things. 'They' were included in those other things. She couldn't do anything about it.

“Jauh nggak?” Tanya Mentari lagi.

“Jauh.” Jawab Heksa dengan berat. “I'm going abroad, Tar. Aku, Ami aku, dan Ole mau pergi.”

Senyum pahit muncul pada wajah perempuan itu selama sepersekian detik, kekaguman pada Samudera Khagi yang masih saja bercerita sesedikit mungkin. Hanya sebentar saja ia merasa kecewa, karena selebihnya adalah perasaan sedih. Mentari bahkan tidak punya waktu banyak untuk merasa kecewa dan mengutuk keadaan. Kecewanya tidak akan menahan Heksa di sisinya.

“Kapan perginya?” Tanya Mentari lagi.

“Besok.”

Dan Mentari bahkan tidak punya banyak waktu untuk berpamitan.

Can't I stay by your side?” Mentari mencoba meraih tangan Heksa; terlalu jauh untuk digenggam. Tangan itu seperti tidak ingin digenggam. “Can't you keep me at the back of your head instead of throwing me away?

Seperti biasanya. Tidak apa-apa ia tidak menjadi prioritas laki-laki itu. Tidak apa-apa ia menjadi eksistensi yang terlupakan. Tapi jangan dibuang, jangan ditinggalkan sepenuhnya. Mentari memang siap untuk kehilangan tapi apakah satu-satunya cara adalah kehilangan? Apakah harus kehilangan seutuhnya?

“Nggak bisa, Tar.” Sesuai dugaan, itulah jawaban Heksa. “I don't think I can.”

He couldn't and she shouldn't. She shouldn't and she couldn't deal with this the same way they dealt with this back then. She couldn't make another relationship rule to suspend her defeat. She couldn't volunteer herself to be a backburner. He wouldn't let her either. That would be another waiting game of uncertainty, and eventually it would turn into a losing game.

When will I be able to see you again, Khagi?

Pertanyaan itu dilontarkan dengan sangat pelan, setengah berbisik, dan seperti diucapkan sambil memohon untuk diberikan jawaban. Tetapi Heksa masih belum mempunyai jawaban yang bisa menyenangkan hatinya.

“Nggak tau.”

Saat kata belum dan nanti berubah menjadi tidak, maka secuil harapan kosong yang tersisa pun terbang. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menahan laki-laki itu tetap di sisinya. Not even her enormous amount of love. Not even her warm teardrops. Not even herself.

“Kamu perginya lama?” Tanya Mentari setelah menyeka tetesan air mata yang sempat jatuh. “Berapa lama?”

“Nggak tau.” Heksa mengulang jawaban yang sama. “Mungkin cuma liburan, mungkin tinggal sementara, mungkin nggak pulang lagi.”

Bulir air mata kembali jatuh menodai pipi merona Mentari. Heksa terlihat sedikit berkutik, ingin menghapus air mata itu, namun menahan diri. Mungkin cukup tahu diri bahwa dirinya yang menjadi penyebab jatuhnya air mata itu tidak sepantasnya berlagak menghapusnya.

Akhir dari cerita yang dirasa semakin mendekat itu, kini ada di depan mata — ada di bawah kakinya. Mentari sedang berpijak pada halaman terakhir dari cerita itu. Ia bertarung di jalur kalah dan kini saatnya kekalahan itu tiba. Dan tidak ada pilihan lain selain menghadapi dan menerimanya.

So this is how we end, Khagi?” Lirih Mentari beberapa saat kemudian.

They went through a rollercoaster road of emotions and pages of books only to get back to square one in the end. By square one it meant, nothing. Because Samudera Khagi wasn't made for love. They lived in two different worlds, one was filled with rainbow the other was always under a storm. They carried different burdens on their shoulders; one carried her love for everyone, the other carried basically everything other than himself. She could never be more important than everything else.

They tried to love and to make it work. He tried and she tried harder, but he was harder on himself and the reality was cruel. She caught a glimpse of his love but that was all she could get.

In the end of the day, Samudera Khagi still couldn't add more to his plate. In the end of the day, Mentari couldn't have him.

Maybe this is how we should've been.”

In the end of the day, all they had were empty promises and far away hopes.



Samudera Khagi wasn't someone I could have for my own. I'd like to start with that.

Samudera Khagi was always an interesting person. At first because of his charms, then his personality, and finally his story. He might look like your university friend you hang out with from time to time. He could be a nice friend you fell in love with. When you hear my stories, he might sound like a heartbreaker — which despite not being entirely wrong, I wouldn't agree.

Samudera Khagi wasn't a heartbreaker, he was just someone you couldn't have — I couldn't have. I knew he wasn't just someone I could win over by love. I've had my assumption for a long time, although it took me some time to reach the conclusion. There was a time when I held onto a thread of hope. There was a time when I believed we could be something. There was actually a time when everything was so promising. Everything was also an empty promise, sadly. Hope was getting far away, reality became so clear, and the end of us was more and more visible. That's how I knew I'd get a heartbreak, but he wasn't a heartbreaker.

Samudera Khagi wasn't someone I could have, therefore I knew I'd lost him.

I was aware of what I was getting into the moment I decided to fall in love with him. I was aware of the danger, the risk, and the possible end. I was aware that Samudera Khagi wasn't just someone you could fall in love with and have a cute love story with. Unrequited love was a dangerous game on its own. The fact that Samudera Khagi wasn't made for love only made it a losing game. He wasn't made for love, he was made to bear a burden — which actually was a situation he made for himself.

I was aware that I'd lose him. I didn't know when or how but surely I'd lose him someday. Our story wasn't set for a happy ending or an eternity. If anything, our story was set to end — probably in a short time and in the worst way possible. So, I let go of the hopes and promises — I shouldn't hold ones in the first place. I held to the only thing I could, which was love. I held onto my love for him and let go of anything else. I said to myself that I'd love him and I'd continue to love him while I could. In a story where the ending was predetermined, the best I could do was to enjoy the story while it lasted.

I was aware of the moment when I was losing him. I was aware of the whole process. He was barely in sight, our plans were canceled, he ignored my messages, and we didn't talk about it when we met. We avoided the topic of being together and staying together because those were false hopes. We avoided the topic of missing, disappearing, and suffering — and losing — because we were aware enough about what was happening. I was aware enough of what was happening.

When he came with a cake ten minutes before my birthday ended, looked exhausted from driving, crying, and living in general, I could sense what was happening. When he talked about saying holiday greetings in advance, I could sense what was coming. When he held my hands and kissed me gently — slowly, I could sense what he was doing. And when I didn't feel excited about the kiss and cried instead, I knew we were heading toward the end.

He was making a pretty last scene, because I was losing him.

I was losing him and I'd let him go because holding him would only result in nothing. I was losing him, I knew it, and I would let it happen. I was a desire he could resist, a chapter he could skip, and a backburner he could put at the very back of his life. We were a burden he could throw away to lighten up his shoulders. I was willing to be thrown away if things were getting heavier for him.

I was losing him and I'd let him go. Because Samudera Khagi wasn't someone I could have and I was bound to lose him.



A game ends with either a win or a loss. It's always a fifty-fifty chance. But a love game is a little bit different. Sometimes the goal is not about winning or losing. Sometimes the chances are higher than half. Sometimes you don't have the chance at all but still playing the game anyway. Some people play for the fun of it; the challenging atmosphere or the fluttering feeling. Some play to actually win, to end up in a relationship, to own your opponent. Some try their luck because trying won't hurt, although they still get heartbroken in the end. Some people play because they're just so in love they can't hold back their feelings. They play because they love the game, no matter how dangerous or how hopeless it can be.

Mentari was part of the last category. She played the love game simply because she was able to. She had love to share, she had enough love paying a grand amount for the game was nothing for her. She wanted to pursue her love, she didn't care if the game was dangerous or if she could lose. The thing was, she didn't know much about games. She wasn't the best at playing games. Let alone betting in a game of love. She was so nice and so full of love she didn't mind losing as long as she could enjoy the game.

Unrequited love was already a dangerous game, to begin with. The fact that the opponent was someone who couldn't fall in love only made it a losing game.

Loving Samudera Khagi was a losing game, she knew it from the start. There were times when she got greedy — became hopeful and naive, thinking she could win the game. Though, most of the time she knew hope was a forbidden element in their game. In a relationship built of uncertainty, hope was never in sight — shouldn't be in sight. The only hope she dared to keep was to be able to love him until the end of the game — until the end of their story. She loved him with the thought of losing in mind, knowing and accepting that Samudera Khagi wasn't someone she could possess. The man wasn't hers to keep. The man belonged to many people before her and she was only a backburner. Therefore when he ditched their plans, ignored her messages, and showed up ten minutes before her birthday ended, she knew she was losing him.

Loving Samudera Khagi was a losing game, and they reached the last chapter of the game — the last chapter of their story.


Mentari berjalan menuju pintu dengan terburu-buru begitu ia mendengar suara ketukan. Pada umumnya orang merasa cemas dan curiga saat ada yang mengetuk pintu rumah hampir tengah malam. Ada banyak opsi tidak mengenakan tentang siapa yang mungkin bertamu. Tetapi ada kemungkinan bahwa yang datang adalah orang yang ditunggu-tunggu. Mentari mengabaikan semua kemungkinan buruk demi satu kemungkinan itu. Begitu pintu terbuka, ia disambut oleh sosok laki-laki yang begitu familiar. Kurus berambut hitam sedikit panjang, dengan hoodie hitam dan celana berwarna mencolok, adalah sosok yang ditunggunya — Heksa.

“Selamat ulang taun, Mentari.”

Hembusan napas lega keluar dari mulutnya begitu ia mendengar suara itu. Terdengar sedikit parau dan lesu, namun diusahakan ceria. Sama seperti senyumnya yang lebar dan tulus, namun terlihat penuh usaha. Pun matanya yang menatap ramah, namun menampakkan jejak tangis. Heksa tampil baik-baik saja, tetapi Mentari tahu betul laki-laki itu sedang berantakan. Sangat berantakan. Meskipun demikian, di tengah badai yang sedang melanda, Heksa menyempatkan diri untuk menemuinya.

“Maaf telat, ya.” Ucap Heksa tanpa menanggalkan senyumnya. Kemudian ia mengangkat sebuah kotak putih yang berisi kue ulang tahun. Perlahan senyumnya berubah jenaka. “Beli kuenya di ujung dunia nih.”

“Aku udah hampir nangis tadi.” Balas Mentari disertai senyuman lega. “I thought you wouldn't make it.

Kecemasannya seharian itu langsung pudar, terbilas oleh rasa lega dan senang karena dirinya diberikan kesempatan untuk melihat Heksa hari ini. Merasa lega karena diberikan kesempatan untuk mengukir satu lagi kenangan tentang Samudera Khagi yang akan diingatnya seumur hidup — untuk ia ingat seumur hidup. Mungkin merasa lega karena keadaan masih cukup baik untuk tidak menyelesaikan cerita keduanya secara tiba-tiba, ataupun dengan akhir yang tidak selesai. Karena masih bisa melihatnya, masih bisa menghabiskan waktu bersama, sebelum keadaan kembali menarik laki-laki itu keluar dari rengkuhannya. Dan seiring dengan pikiran itu muncul, senyumnya sendiri terasa berubah pahit.

Seperti hari ulang tahunnya yang akan segera berakhir, ia merasa cerita keduanya pun akan segera bertemu akhir.

Seperti yang sering Mentari bilang pada Zoya. Bahwa waktunya bersama Heksa memang tidak akan pernah menyentuh kata selamanya. Seindah apapun bab yang sedang dibaca pada akhirnya akan habis juga. Di ujung jalan pun sudah menanti akhir yang diprediksikan. Tapi justru karena itu, Mentari jadi ingin menikmati setiap detik yang berlalu, dan setiap emosi yang dirasakan. Ia ingin menikmati cerita ini tanpa pusing memikirkan akhirnya, tanpa berharap apapun; pada Heksa, pada hubungan keduanya, ataupun pada akhir ceritanya. Ia ingin menikmati ceritanya dengan Samudera Khagi selagi bisa, selagi ada, selagi tidak ada salahnya. Sekarang pun masih sama.

Ia ingin menikmati lembaran terakhir ceritanya.

“Cepet tiup, keburu tengah malem, Tar,” Suara Heksa menariknya dari lamunan singkat itu. Di depan wajahnya ada kue ulang taun dengan lilin yang menyala, menunggu untuk ditiup. “Jangan lupa bikin harapan.”

Mentari menyatukan kedua tangannya dan memejamkan mata. Berucap dalam hati dengan cepat, mengucap harapan yang sama seperti yang selalu ia utarakan di setiap ulang tahun, namun dengan sedikit tambahan.

Semoga aku dan Samudera dipertemukan dengan takdir yang lebih baik, suatu hari nanti.

“Semoga selalu jadi Mentari yang secerah matahari.” Ucap Heksa setelah lilin ditiup, meninggalkan asap pudar.


Keduanya kini berada di dapur, duduk bersebelahan sambil memakan sepotong kue di piring masing-masing. Seperti biasanya, kediaman Mentari selalu tenang dan hangat. Bahkan di tengah malam, saat angin musim hujan bertiup kencang, saat mereka duduk dibawah lampu yang redup. Ada jejak-jejak perayaan di sana. Bak cuci piring yang penuh, kotak kue di meja makan, dan bunga-bunga segar yang mendekorasi.

“Aku ketinggalan pesta ya.” Komentar Heksa di sela-sela makan.

“Iya, datengnya pas udah mau close gate sih.” Balas Mentari dengan nada bercanda. Laki-laki itu pun terkekeh pelan.

“Ngapain aja hari ini?” Tanya Heksa kemudian. Mentari menyuapkan potongan terakhir kuenya ke dalam mulut sebelum menjawab. Ia memulai cerita tentang hari ulang tahunnya.

“Pagi-pagi aku ke toko buat ambil bunga sementara Oma bikin sarapan. Terus aku face time Mama dan Papa. Siangnya aku nungguin kabar kamu.” Kalimat terakhirnya membuat Heksa mengeluarkan tatapan bersalah. Sebelum laki-laki itu meminta maaf, Mentari segera melanjutkan. “Sore-sore Zoya dateng, dan kita bertiga bareng Oma masak buat makan malem. Oma bikin masakan tradisional yang aku lupa namanya, Zoya beli kue dari toko favorit aku, dan banyak ucapan ulang taun yang aku terima.”

“Hari aku baik-baik aja, istimewa tapi nggak ada sesuatu yang out of ordinary.” Lanjut Mentari lagi. Kemudian ia meletakkan tangannya pada lengan Heksa. “Jadi aku punya banyak ruang buat nampung cerita kamu, Samudera.”

Yang disebut namanya tersenyum. Ia menaruh pandangan pada tangan perempuan itu, yang berada di atas tangannya. Raut wajahnya terlihat ragu, seperti sedang menimbang apakah ia ingin bercerita atau tidak. Tetapi raut wajahnya juga tidak bisa berbohong bahwa ada sejuta cerita di sana yang menunggu untuk dikeluarkan. Raut wajahnya, rambut berantakannya, dan mata sembabnya tidak bisa menyembunyikan hari yang lelah itu.

“Mau cerita tentang hari ini, Samudera?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian. “Misalnya kamu kemana aja hari ini?”

“Aku cerita sedikit aja ya.” Ucapnya sebelum mengehela napas berat. “Aku hari ini capek banget.”

Mentari mengusap pelan tangan laki-laki itu, memberinya sedikit kekuatan untuk memulai ceritanya. Heksa memberikan senyum singkat atas gestur kecil itu. Ia pun melanjutkan.

“Aku nyetir Jakarta-Bandung-Jakarta kayak orang gila. Kayaknya besok badan aku sakit semua deh, faktor u.” Mulainya sambil terkekeh. Namun sekeras apapun tawanya, Mentari tahu bahwa cerita ini bukan untuk ditertawakan. “Ole ada di Bandung, aku abis jemput dia. Terus kita pulang ke rumah Ami dan ngobrol banyak.”

Heksa mengambil jeda. Ia terlihat seperti sedang menyusun struktur lanjutan ceritanya. Memilah mana yang bisa diceritakan, dan mana yang akan ia telan sendiri seperti biasanya. Ia membuat ceritanya terdengar seperti cerita anekdot keluarga biasa disaat Mentari sudah tahu jelas bahwa ceritanya jauh lebih berat dari itu.

“Ole akhirnya pulang ke rumah aku.” Lanjut Heksa sambil tersenyum. “Dia juga akhirnya mau terbuka sama aku soal perasaannya selama ini, dan apa yang dia lewatin sendirian selama ini.”

Mentari ikut tersenyum lega mendengarnya. Walaupun sepertinya, kalau melihat raut Heksa yang belum tenang sama sekali, sepertinya semua ini hanya permulaan. Masih banyak yang menanti laki-laki itu. Banyak yang hampir semuanya, tidak pernah ia ceritakan. Banyak yang hampir semuanya tidak Mentari ketahui.

“Kalau kamu kapan, Samudera? Kapan mau terbuka soal semuanya?” Tanyanya pelan dan lembut, namun terdengar sedikit retorik. Bukan karena tidak serius bertanya, tetapi bisa menebak jawabannya.

“Segitu aja ya.” Dan dugaan Mentari pun benar, Heksa memilih untuk menelan semuanya sendirian. Saat nyaris hancur pun, Heksa memilih untuk menelan semuanya sendirian. Saat kedua kakinya nyaris tak sanggup menopang tubuhnya pun, Heksa memilih untuk tetap berjalan sendirian.

“Nggak nangis, Samudera?” Tanya Mentari kemudian. Menyadari bahwa perempuan itu memeprhatikan mata sembabnya, Heksa menggeleng dengan senyuman.

“Udah.” Jawabnya. “Udah semua nangisnya biar sekarang bisa senyum.”

Heksa bagi Mentari masih seorang pembohong handal. Senyum malaikatnya tidak bisa menutupi rasa lelah di sana. Senyumnya bagi Mentari pun sama menyakitinya seperti tangisnya. Senyum itu adalah sebuah tipuan untuk anak kecil, tetapi keduanya bukan anak kecil. Senyum itu, dibanding memberi kepastian bahwa semuanya baik-baik saja, justru malah memperjelas bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Dan mungkin tidak akan bisa menjadi baik-baik saja dalam waktu dekat.

“Tar,” Panggil Heksa beberapa saat kemudian. “Aku sekalian ngucapin selamat natal, selamat taun baru, dan selamat libur dari sekarang ya. Takut kelupaan.”

Heksa juga ahlinya mengelak. Ahlinya mengemas hal-hal pahit dalam rangkaian kata manis. Ahlinya memutar arah sampai tujuan aslinya tidak terlihat lagi, terlupakan. Ia ahli menutupi hal besar dibalik cuplikan cerita sederhana. Dan ia ahli membuat Mentari percaya — membuat Mentari tidak memiliki pilihan selain percaya. Perempuan itu tidak punya pilihan selain memaksa dirinya sendiri untuk percaya. Saat mendengar ucapan laki-laki itu pun, Mentari memaksa dirinya sendiri untuk percaya bahwa laki-laki itu hanya akan sibuk merayakan hari libur yang menyenangkan bersama keluarganya; bukan menghilang dari pandangannya atau tenggelam dalam bebannya sendiri.

When will I be able to see you again, Samudera?” Tanyanya pelan.

Ada jeda yang panjang setelah pertanyaan itu terlontar. Hening mengisi udara di antara keduanya. Yang ditanya terlihat merangkai jawaban — mencari jawaban yang bisa diberikan dibalik raut tenangnya. Yang bertanya menatapnya sama tenang. Mentari tidak menantikan jawaban apa-apa. Ia tidak berekspektasi atau merasa cemas tentang apa yang akan didengarnya karena ia sudah tahu. Ia sudah tahu dan sudah menerima kenyataan pahit yang selalu terpampang nyata dihadapannya.

Samudera Khagi wasn't hers to keep. He belonged to many people before her. He put others before himself but she wasn't included in those others. He wouldn't chose himself; nor his desires which included her on the list. She couldn't expect him to chose her, to prioritize her — he told her many times and she memorized it by heart.

Saat Heksa membuka mulutnya untuk menjawab, Mentari bahkan tidak merasakan antisipasi.

“Nanti.” Adalah jawabannya.

Nanti adalah satu kata dengan interpretasi yang luas. Nanti adalah satu kata yang pasti namun tidak presisi. Karena itu, kata nanti sering digunakan untuk menjawab hal yang tidak pasti.

Tidak pasti apakah Mentari akan mendapat ucapan selamat pagi esok hari atau selamat tahun baru minggu depan. Tidak pasti apakah Heksa akan mengangkat telfonnya esok hari atau mengarsipkan ruang obrolan mereka. Tidak pasti apakah malam ini adalah sebuah perpisahan atau sekedar pertemuan.

“Nanti ya.” Ucap Heksa lagi. Kedua tangannya meraih satu tangan perempuan itu, mengusap punggung tangannya dengan kedua ibu jari. Dengan suara yang lebih pelan — a powerless voice — ia mengulangi jawabannya. “Nanti ya, Mentari.”

His version of “later” can be as near as tomorrow, can be as percise as next birthday, but most of the time, it was as far as hope.

She chose to be blind to time and distance.

“Iya.”

Nanti adalah jawaban yang tidak pasti, tapi Mentari selalu menerima jawaban itu.


Malam semakin larut. Tengah malam sudah berlalu cukup lama. Piring masing-masing sudah kosong. Tidak ada percakapan khusu lainnya selama waktu berlalu itu. Hanya ada dua manusia yang berbincang tentang hari masing-masing, meskipun pastinya Mentari yang paling banyak bercerita.

Hari ulang tahun Mentari resmi berakhir. Seiring malam semakin larut, pertemuan keduanya pun harus berakhir.

“Aku dapet kupon ulang taun nggak?” Canda Mentari sambil menggeserkan kotak kue ke tengah meja agar tidak tersenggol. “Atau boleh request hadiah ulang taun mungkin?”

“Hmm tergantung kamu maunya apa.” Jawab Heksa. “Kalau minta hadiah uang satu miliyar nggak dulu.”

“Tadinya aku mau minta diambilin bulan.” Balas Mentari. Untuk sesaat atmosfer di antara keduanya terasa sangat ringan. Keduanya kembali bertukar senyum dan tawa kecil. Keluar permintaan-permintaan konyol dari mulutnya. Minta diambilkan bulan, dibelahkan lautan, dibawa ke negeri dongeng, dan lain-lain. Dibalik obrolan ringan itu terselip fakta menyakitkan bahwa permintaan yang lebih masuk akal seperti ingin menghabiskan waktu bersama, terasa lebih tidak mungkin dibanding bertemu dengan alien.

Kemudian, Heksa kembali berucap dengan serius.

“Jangan minta yang susah susah ya, Tar, biar bisa aku kabulin.” Ucapnya yang juga terdengar seperti sebuah permohonan. To only ask for something within his power. Although, he didn't have much power in this situation.

Mentari pun tersenyum. Ia membuka mulutnya dan berucap pelan.

Grant me a wish, then.”

Di antara permintaan-permintaan yang tidak masuk akal, Mentari memilih satu. Bukan tentang bulan, alien, atau negeri dongeng; walaupun mungkin tetap sama tidak masuk akalnya, dan sama tidak mungkinnya untuk dikabulkan. Meskipun begitu ia ingin menggunakan kesempatannya memilih satu dari banyak hal yang diinginkan.

Sebuah harapan.

Ada banyak yang diinginkan, tapi yang paling bisa dilakukan hanyalah berharap. Yang bisa dipilih olehnya adalah sebuah harapan. Harapan itu sendiri pun terdengar tidak tahu diri. Sudah tahu tidak boleh berharap tapi masih saja berharap. Tapi kalau boleh, kalau diizinkan untuk menjadi tidak tahu diri dan berharap, Mentari ingin berharap. Ia ingin menaruh harapan pada keinginannya yang tidak tahu diri.

Tell me your wish.”

Heksa memutar badan menghadap Mentari. Satu tanganya di atas meja, menopang dagunya. Posisi itu membuat Mentari mendapat akses penuh terhadap wajahnya. Perempuan itu mengambil kesempatan untuk memperhatikan wajah itu lama-lama. Memperhatikan dengan lekat wajah yang dilihatnya sekarang. Wajah yang dilihatnya sekarang bukan wajah terbaiknya, namun Mentari tetap ingin melihatnya lama-lama dan mengingatnya selamanya. Selagi bisa, ia ingin menikmati wajah yang hampir selalu tenang itu. Setiap garis dan lekuk yang membentuk wajah yang cantik itu. Setiap sorot mata yang teduh ataupun yang jenaka, setiap senyum yang manis ataupun usil, dan setiap bentuk ekspresi yang dipasangnya. Selagi bisa, ia ingin menikmati suara yang selau seperti melodi itu. Setiap tawa, setiap kata, setiap kali laki-laki itu memanggil namanya; setiap desibel suara yang bisa didengarnya. Selagi bisa, ia ingin menikmati sosoknya. Memperhatikan geraknya, merespon kalimatnya, mencium wanginya, dan mengingat semua yang bisa diingatnya tentang Samudera Khagi.

Seolah yang dilihat akan pergi.

Mentari mengulurkan satu tangannya, menangkup wajah laki-laki itu. Yang disentuh memejamkan mata sebentar, luruh pada sentuhan itu. Saat membuka matanya lagi, ia disambut oleh sepasang mata yang menatapnya lekat — menatapnya sendu dan rindu. Kemudian bibirnya pun terbuka, menyampaikan permohonan yang diucapkan dengan memohon. Mentari mengutarakan keinginan tidak tahu diri itu.

Please don't be in love with someone else, Khagi.

Dan kalau bisa, Mentari ingin menjadi satu satunya yang bisa. Satu satunya yang bisa mendengar cerita konyol tentang batu peliharaan, satu satunya yang dibelikan es krim, satu satunya yang menikmati laut bersama, satu satunya yang melihat Samudera Khagi dengan segala lukanya. Kalau bisa dan kalau boleh serakah, ia ingin menjadi satu satunya yang paling tahu tentang laki-laki itu. Apa makanan kesukaannya, kartun favoritnya, baju kesayangannya, dan apa yang membuatnya senang. Bagaimana hangat genggaman tangannya, bagaimana nyaman pelukannya, dan bagaimana lembut bibirnya.

Saat Heksa mendekatkan wajahnya dan menautkan kedua bibir mereka, Mentari ingin menjadi satu satunya yang bisa merasakan, menikmati, dan mengingat waktu ini. Saat Heksa menangkup kedua sisi wajahnya dan memperdalam ciuman mereka, Mentari ingin menjadi satu-satunya yang diinginkan seperti ini oleh laki-laki itu. Jika mereka adalah mimpi satu sama lain, maka Mentari ingin menjadi satu-satunya yang menghuni mimpi itu. Kalau ia tidak bisa memiliki Samudera Khagi, maka ia tidak ingin ada orang lain yang bisa. Dan keegoisan serta keserakahan itu begitu meledak di dalam dirinya sampai terasa sesak. Mentari merasa begitu ingin egois dan ingin serakah sampai tanpa sadar air mata mulai berkumpul di pelupuknya.

A birthday was supposed to be a happy day. A birthday kiss from someone you love supposed to make you feel you're on cloud 9. But she teared up. She felt her eyes getting warmed with tears, a lump in her throat, and her heart ached. For an unknown reason, she felt sad. She didn't blush like a ripped tomato, her legs didn't feel like gummy bears, and her heard didn't pound like crazy. For an unknown reason, she couldn't feel too happy.

Maybe she did know the reason.

Maybe because they're reading the very last pages of their story. Maybe because the ending felt so close and clear. She could see the ending she didn't wish to see. She could sense the ending she wanted to ignore. Maybe because the kiss felt like a goodbye. The gentle and delicate kiss felt like a heart-shattering goodbye.

Saat laki-laki itu menarik diri dengan senyum, ada kesedihan yang menghalangi kebahagiaan untuk leluasa muncul dalam senyumnya. Ada tatapan yang sulit diartikan. Matanya menatap begitu lekat, seperti sedang memperhatikan setiap lekuk wajah Mentari. Dimulai dari rambut panjangnya, pipi kembungnya, bibir merahnya, dan sepasang mata bulat yang menatapnya dibalik helaian bulu mata yang lentik. Seperti berusaha mengingat selagi bisa. Diusapnya air mata yang jatuh meluncur pada pipi perempuan itu, tanpa bertanya alasannya menangis. Dan Heksa menatapnya dengan teduh, dengan ramah, dengan penuh perasaan. Namun tidak ada setitik pun nyala harapan di sana.

When he looked at her with despair in his eyes, she knew she was losing him.

Maka saat ia membuka mulutnya, Mentari tahu kalimat apapun yang keluar tidak akan pernah bisa menjadi janji.

I don't want to be in love with someone else, Tar.”



Love can be as pretty as flowers, don't you think?

Love at its finest state is prettier than a flower. It gives you a blooming feeling no flower can be compared — it blooms your heart in a way no flowers can.

Although the thing about flowers is, no matter how beautiful they are, they won’t bloom forever. sometimes, they wither as soon as they bloom.

Like flowers, love wouldn't bloom forever. So, when it did bloom, Mentari always tried to enjoy every second of it. Even if she knew it was temporary — especially when she knew it was temporary.

Romantic relationship was never on Heksa's list, he stated it several times. Not that he didn't want it but rather he didn't have the chance to. He couldn't fall in love freely — he couldn't live his life freely because of his circumstances. But he wanted to. He wanted to be a little selfish; to pursue what his heart desired. So when he was given a chance to be a little selfish, he took it immediately. He took her stretched hands, melted into her embrace, and he walked a step closer.

Her love was a flower and he received it. He watered the love so it could bloom.

Although again, they both knew it wouldn't bloom forever.


Pagi itu Mentari kembali disapa kembali oleh senyum lembut Heksa. Her favorite smile. Laki-laki itu bersandar pada pintu mobilnya yang terparkir di sebrang toko bunga tempat perempuan itu berada. Segera Mentari berjalan keluar toko yang sedang direnovasi itu dan menghampiri Heksa dengan senyum yang seimbang.

“Tidurnya nyenyak, Samudera?” Tanyanya disela senyum.

“Nyenyak dikit.” Jawab Heksa yang masih belum menanggalkan senyumnya. “Soalnya mimpinya aneh.”

“Kamu keliatan cerah hari ini.”

“Hahahaha, karena lagi tenang kali ya hidupnya?”

Setelah sapaan singkat itu, ia berjalan membukakan pintu mobil untuk Mentari. Tidak lama kemudian, sedan itu melaju menjauh dari toko bunga.

“Kita mau kemana?” Tanya Mentari tidak lama setelah Heksa mulai menginjak pedal gas.

“Pertama, kita makan.” Jawab Heksa tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depannya. “Terus...terus menyelamatkan dunia dari serangan alien.”

“Yang serius, Samudera!” Protes Mentari sementara Heksa terkekeh pelan. Tidak lama kemudian, mobil berhenti di lampu merah. Heksa pun menggunakan kesempatan itu untuk menoleh pada perempuan di kursi penumpang.

“Kamu mau kemana, Tar?”

Ada banyak jawaban yang ingin Mentari berikan. Ada banyak tempat — both physical and emotional place — yang ingin ia datangi bersama Heksa. Taman yang nyaman untuk keduanya berjalan santai sambil berpegangan tangan, kedai ramen kesukaan Heksa yang sudah lama tidak didatangi keduanya, bioskop untuk menonton film terbaru seperti dua orang yang sedang berkencan, kemanapun asalkan keduanya bersama; ada pula tempat seperti hari dimana keduanya bisa saling menggengam tangan satu sama lain tanpa ragu — hari, masa, dan waktu dimana keduanya bisa mencintai dan dicintai. Tapi sekedar diam di dalam mobil dalam perjalanan tanpa tujuan pun terdengar bagus. Kemanapun asalkan ia bisa melihat Heksa lama-lama.

Selama lampu merah yang sebentar itu pun, Mentari mengambil waktunya sebaik mungkin untuk melihat Heksa. Memperhatikan rambut hitamnya yang kini bertambah panjang — dan terlihat sehat walau pernah terkena bleach rambut. Rahang tegasnya terlihat sedikit berisi dibanding awal bulan lalu, walaupun lingkaran hitam di bawah matanya tetap terlihat jelas. Wajahnya terlihat berwarna walaupun masih terpampang sedikit rasa lelah di sana. Heksa tidak berbohong soal kabarnya yang baik sekarang, tetapi jejak hari-harinya yang tidak baik terlihat dengan jelas. Walaupun lagi, laki-laki itu bisa tersenyum ringan. Senyum yang ingin Mentari lihat selama mungkin.

“Aku mau liat samudera.” Jawab Mentari sambil tersenyum simpul. Sementara Heksa menatapnya bingung.

“Liat aku?” Tanyanya, menujuk diri sendiri. Mentari melepaskan tawa kecil.

“Laut. Ayo liat laut, Samudera.”


Bau laut, desiran ombak halus, dan terik matahari segera menyapa begitu Mentari menginjakkan kakinya ke atas hamparan pasir pantai. Heksa menyusul tidak lama setelahnya. Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan lebih dekat ke laut. Masing-masing dan senyum yang menghias wajah. Yang satu tersenyum melihat laut yang tenang, warnanya biru pekat berkilauan, tidak ada satu pun beban yang mengambang di atasnya; yang satu tersenyum melihat matahari yang bersinar cerah, ditemani awan-awan kecil, membagikan hangatnya pada lautan di bawahnya — tapi semua ini bukan tentang laut dan matahari.

“Aku bener 'kan, sebelah sini sepi dan nyaman?” Seru Mentari selagi kedua kakinya melangkah.

“Iya, lautnya keliatan, bukan lautan orang.”

Senyum Mentari semakin merekah melihat kepuasan yang terpampang pada wajah Heksa. Ia kini memutar badan menghadap laki-laki itu, berjalan dengan mode mundur.

“Lautnya di sana, Tar.” Komentar Heksa.

“Yang ini juga laut, nggak kalah cantik.” Balas Mentari. Heksa terkekeh sebentar sebelum mengulurkan satu tangannya. Perempuan itu menatap bingung. Akhirnya Heksa meraih tangannya lebih dulu.

“Nanti jatoh kalau jalan mundur gitu.” Jelasnya, menjawab tatapan bingung — dan raut tersipu — Mentari.

“Harusnya suruh aku jalan ngadep depan, bukan pegangan tangan, Samudera.” Ucap Mentari sambil membenarkan posisi jalannya, tanpa melepaskan tangan laki-laki itu. Tidak ada yang melepaskan tangan satu sama lain. Kalau Heksa merasa was-was Mentari akan tersandung dan jatuh, perempuan itu merasa was-was laki-laki di sebelahnya itu akan hilang. Entah terbang, entah dibawa oleh laut, entah dipisahkan oleh takdir — oleh situasi.

Tidak perlu waktu lama untuk keduanya sampai di ujung pantai. Buih ombak mulai menyentuh ujung sepatu keduanya. Mereka pun refleks melangkah mundur, lalu tertawa kecil karena sama-sama lupa untuk melepaskan sepatu sebelum berjalan lebih jauh tadi. Keduanya duduk di atas pasir, beberapa meter dari air.

“Aku penasaran,” Mulai Mentari memecah hening. “Apa kamu dinamain Samudera karena setenang samudera, atau kamu dinamain Samudera biar jadi setenang samudera?”

“Biar jadi penguasa samudera.” Jawab Heksa secepat kilat, membuatnya mendapatkan tatapan protes. Ia melayangkan senyum usil sebelum kemudian terdiam untuk menyusun jawaban. “Ami suka laut. Katanya, setiap ngeliat laut Ami ngerasa tenang. Aku dikasih nama Samudera karena Ami berharap aku bisa bawa perasaan yang laut kasih ke Ami. Katanya, Ami pengen aku bikin Ami — atau siapapun langsung ngerasa tenang disaat ngeliat aku.”

“Tapi laut nggak selalu tenang. Kadang ganas dan susah ditaklukin.” Komentar Mentari dengan raut penasaran. Heksa mengangguk sebagai tanda setuju.

“Ami pengen aku juga jadi setangguh lautan.”

“Tenang tapi tangguh...” Gumam Mentari sebelum mengalihkan pandangan dari Heksa, dan kini menatap laut sampai ke titik terjauh yang bisa dipandangnya. “Harapan Ami kamu udah terwujud. Anaknya bikin orang disekitarnya ngerasa tenang, selain itu juga tangguh banget ngadepin masalah sendirian.”

Heksa melontarkan senyuman sebagai jawaban. Ada keraguan di wajahnya, perihal apakah benar dirinya berhasil hidup memenuhi namanya. Kemudian keraguan tentang apakah benar untuk hidup sesuai namanya? Apakah benar untuk menelan semuanya sendirian? Walaupun tangguh, apakah benar bisa sendirian?

“Kalau kamu kenapa namanya Mentari?” Heksa bertanya balik. “Karena ceria dan cerah kayak matahari atau biar jadi ceria dan cerah kayak matahari?”

Pertanyaan itu membawa senyuman di wajah Mentari.

“Oma pengen aku jadi orang yang ceria, bawa energi positif, dan hidupnya cerah.” Jawabnya. Kemudian, ia menoleh pada Heksa. “Dan Oma pengen aku bisa bikin hangat orang-orang disekitar aku.”

“Harapan Oma kamu juga terwujud kalau gitu.” Ucap Heksa sebagai tanggapan. Ia terlihat berpikir sebentar sebelum melanjutkan. “Mentari Putri Bahari, berarti Mentari anak perempuan yang indah, ya?”

Kata Bahari memiliki banyak arti. Salah satunya elok atau indah. Tapi menariknya, juga memiliki arti “mengenai laut” atau “kelautan”.

“Iya.” Angguk Mentari. “Tapi nama Bahari aku beda sama Warteg Bahari ya.”

“Hahahahaha.” Heksa pun tergelak. Mengeluarkan tawa, yang sekeras apapun, akan terdengar lembut.

“Nama kamu bagus. Heksa Samudera Khagi.” Ucap Mentari setelah tawa keduanya mereda. “Berarti adik kamu Maure Zianne Khagi ya?”

Seperti biasa, nama Maure dan topik adik selalu berhasil membawa senyum pada wajah laki-laki itu. Walaupun senyumnya tidak selalu senyum bahagia. Kali ini juga, senyumnya tidak sepenuhnya bahagia. Seperti ada perih saat nama lengkap kakak beradik itu terucap.

“Menurut kamu nama itu bagus nggak, Tar?” Tanya Heksa sambil memandang laut di kejauhan. “Nama Khagi, bagus nggak?”

Mentari sempat memperhatikan Heksa sebentar, mencoba membaca raut wajahnya. Ada rasa bingung dan bimbang di sana.

“Bagus.” Jawab Mentari pelan. “Namanya cantik. Nama kamu, nama adik kamu, nama Khagi, semuanya cantik.”

Nama yang cantik, yang sayangnya, lebih sering disembunyikan dibanding dipamerkan.

“Kamu nggak suka namanya?” Tanya Mentari saat Heksa tidak merespon apa-apa.

I have mixed feelings about that.” Jawabnya pelan sambil menjatuhkan pandangan. Telunjuknya bermain dengan pasir. “Aku bawa nama itu tapi kadang rasanya aneh. Itu nama Ayah, nama keluarga, atau nama aku ya?”

Heksa tidak perlu menjelaskan lebih jauh untuk Mentari bisa menangkap maksudnya. Nama Khagi bukan perkara sepele, bukan sekedar nama yang fungsinya sebagai keperluan administrasi. Kalau Mentari boleh berasumsi, nama Khagi membawa banyak hal bagi Heksa. Nama dari ayah yang gagal menjadi suami untuk ibunya dan ayah yang meninggalkannya; tapi disaat yang bersamaan merupakan nama peninggalan ayahnya. Nama dari keluarga yang rumpang, yang terbelah dua, yang tidak nampak wujudnya; namun juga nama penanda anggota keluarga. Tetapi Khagi juga namanya. Nama yang akan dibawa seumur hidup dan kemudian ia turunkan pada keluarganya sendiri; menjadi entitas yang berbeda dari nama Khagi yang dibawa oleh ayahnya dan diberikan kepadanya. Heksa Samudera Khagi, itu namanya. Terlepas dari apa yang dibawanya, Khagi adalah namanya. Dan Mentari menyukai nama itu.

“Khagi.” Ucap — atau panggil Mentari. Si pemilik nama refleks menoleh. Ia disambut oleh senyum manis Mentari.

“Aku suka nama Khagi. Boleh aku panggil Khagi?”

Nama Khagi yang membawa banyak bimbang itu, saat keluar dari mulut Mentari, terdengar seperti sebuah nama biasa bagi Heksa. Tiba-tiba saja terdengar seperti hanya namanya sendiri. Ia pun membalas senyum perempuan itu.

“Iya, boleh.”

Jawaban itu membuat senyum Mentari semakin menjadi. Ada rasa hangat yang dirasa, yang bukan berasal dari panasnya matahari di atas. Melainkan dari laki-laki di sebelahnya, yang hari ini terasa begitu dekat untuk digapai. Dan memang itu yang Mentari lakukan. Satu tangannya bergerak untuk menggapai kepala laki-laki itu. Memberikan belaian pada puncak kepalanya.

“Sering-sering senyum ya, Khagi.”

Pada detik itu, Heksa menyerah pada sentuhannya. Ia memejamkan mata dan menikmati tangan yang mengusap kepalanya dengan lembut itu. Ia menyerah sebentar pada cinta yang diberikan. Dan Mentari menikmati pemandangan itu dengan hati yang mekar.


Keduanya kini berjalan menyusuri pantai. Mentari berjalan beberapa langkah di depan Heksa. Sesekali keduanya tertawa saat ombak kembali mengenai sepatu. Sesekali keduanya berjalan menjauhi air. Sesekali keduanya berhenti dan saling menoleh pada satu sama lain; memastikan wajah yang dilihat sedang berseri.

“Khagi.” Ucap Mentari tiba-tiba. Heksa yang semula memperhatikan buih ombak pun refleks menoleh, merasa terpanggil. “Samudera Khagi.”

“Iya, hadir di sini.” Balas Heksa.

“Aku suka Khagi.”

Mungkin karena cuacanya cerah, udaranya segar, dan suasanya tenang. Mungkin karena perasaan masing-masing sedang bagus. Mentari merasa langkahnya terasa ringan, dan ia merasa senyumnya Heksa pun selalu sungguhan. Ia merasa sedang berada di halaman sebuah buku, di mana para pemeran sedang menikmati masa tenang. Sebuah bagian dongeng di mana sang putri menghabiskan waktu yang indah bersama pangerannya. Mungkin karena cuacanya cerah, ia merasa kalau saat ini jatuh pun, rasanya tidak akan sakit. Karena ada Heksa yang menangkapnya.

“Mau jatuh, 'kan.” Ucap Heksa saat menahan lengan Mentari yang nyaris terjatuh.

“Sengaja, itu modus aku biar pegangan tangan lagi.”

“Waduh.”

“Kalau aku jatuh cinta bakal ditangkep juga nggak?”

Mungkin karena cuacanya cerah, Mentari merasa sangat jatuh cinta. Merasa sangat jatuh sampai tidak bisa melihat apa yang ada di depan matanya. Sampai yang dilihatnya saat ini hanyalah Samudera Khagi yang menurutnya lebih cantik dari laut yang sebenarnya. Samudera Khagi yang bisa ia gapai sesukanya.

“Bukannya udah ya?” Heksa balas bertanya.

“Udah ditangkep?”

“Udah jatuh cintanya.” Laki-laki itu menghentikan langkahnya. “Tapi ditangkepnya nanti ya.”

Mentari ikut menghentikan langkahnya. Ia memutar badan sehingga keduanya berhadapan.

“Aku belum bisa nangkep yang bener sekarang.” Lanjut Heksa. “Yang ada malah jatoh beneran.”

I told you I'll take the fall, Samudera.”

Mentari sudah benar-benar yakin. Bahwa yang ia inginkan saat ini adalah menjalani cerita yang ada didepannya tanpa ragu, dan tanpa memikirkan akhirnya. Untuk dirinya yang penuh cinta, bisa mencintai seseorang sudah menjadi titik kebahagiaan yang tinggi.

“Tar,” Mulai Heksa dengan sedikit serius, namun tanpa membuat suasana berubah tegang. “I have nothing to give to you. Aku nggak punya banyak cinta yang bisa aku bagi.”

I have enough love for the both of us.” Balas Mentari sambil memberikan assuring smile. “I have enough everything for the both of us, Samudera.”

Would your everything worth it if you lost me?

I don't know how exactly I would lose you, but I know you wouldn't leave me on your will.” Mentari menatap sepasang mata sayu itu dalam-dalam. “I haven't lost you yet, and that's what I care for right now.”

Heksa membalasnya dengan tatapan yang penuh dengan emosi. Ada rasa bersalah, ada rasa sedih, ada rasa frustrasi. Tapi Mentari justru merasa lega melihatnya karena emosi yang terpancarkan itu membuktikan sekali lagi bahwa ia tidak berada dalam hubungan ini sendirian. Bahwa Heksa, kalau diberi kesempatan, akan melangkah maju tanpa ragu.

I feel guilty for wanting your love.” Ucap Heksa pelan.

You can have my love.” Balas Mentari dengan nada pelan. “You can have all of my love.

I love you with the thought of losing in mind.” Lanjut Mentari lagi. “And it's okay if I lost you. We cannot change the inevitable. It's okay as long as you know that I love you and that my feelings for you will stay unwavering. So, whenever you want it, whenever you're ready, just come to me. Come to me and I'll show you the beauty and comfort of love.

Ah enggak, sekarang juga, kamu tinggal dateng ke aku, Samudera. Kamu tinggal dateng ke aku dan aku bakal kasih semua cinta yang bisa aku kasih buat kamu. Dan kalau nggak dikembaliin pun, nggak apa-apa. Aku nggak akan jadi kekurangan, aku nggak akan bangkrut.

Dan kalau menurut kamu cintaku mungkin berakhir sia-sia, kamu nggak sepenuhnya bener. Karena aku punya banyak cinta yang bisa aku sia-sia in buat kamu. Tapi lagi, nggak akan sia-sia sama sekali, Samudera. Aku nggak akan ngerasa cintaku jadi sia-sia.”

Heksa belum mengalihkan pandangannya dari Mentari. Ia terlihat tidak ingin mengalihkan pandangannya sama sekali. Ia melihat wajah itu lama-lama. Keduanya bertatapan dalam diam, tidak ada yang bersuara kecuali alam. Hembusan angin mengacak-acak rambut keduanya. Helaian mulai berlomba menutupi wajah Mentari. Namun tidak cukup untuk membuat perempuan itu mengalihkan pandangannya. Ada atmosfer tersendiri yang menyelubungi keduanya. Suasana yang hanya muncul di antara keduanya. Ketenangan yang dipancarkan satu sama lain, kehangatan yang diradiasikan lewat senyum satu sama lain, dan rasa ingin terhadap satu sama — desire — yang disampaikan lewat sorot mata.

Heksa mengambil langkah untuk mendekat. Tangannya terulur untuk menyingkirkan helaian rambut dari wajah Mentari. Kalau dilihat dari kejauhan, keduanya seperti sebuah adegan dari film romansa. Kedua pemeran utama yang menyadari perasaan satu sama lain, kemudian saling mengungkapkan cinta dengan laut sebagai saksinya. Kedua pemeran utama yang sedang menikmati masa tenang dengan berlibur ke pesisir. Kedua pemeran utama di akhir cerita, saat semuanya sudah baik-baik saja, dan siap menyambut hari-hari yang penuh cinta.

Tetapi laut dan matahari memiliki takdirnya masing-masing. Yang satu harus menanggung apapun yang mengambang di atasnya, dan menelan semua yang bisa ditelan sendirian. Yang satu harus merasa puas dengan menyinari makhluk yang dicintainya dari jauh, harus merasa puas hanya dengan memberikan hangatnya.

Seperti bunga dengan takdirnya yang layu setelah mekar, kisah keduanya pun tidak bisa mekar selamanya. Hari yang tenang dan hangat ini bisa berakhir segera. Dan baru bisa mekar kembali jauh di waktu yang tidak pasti.

“Kamu bilang aku boleh egois. Ada di sini sekarang, sama kamu, itu udah cukup egois. The fact I never left completely but rather chose to stall all these times was selfish enough of me.” Mulai Heksa sambil menyelipkan rambut Mentari ke belakang telinga. Kemudian, membawa satu tangan perempuan itu ke dalam genggaman. “Yet, honestly, I want to be a little more selfish than this.”

Samudera Khagi had a lot on his plate. He had his priority right. He had goals and purposes; as a family member, as a brother, and as a friend. But if being asked as himself, at the moment, he only wanted to drown himself in Mentari's pool of love.

For now, he could only taste the water with his palm.

“Nanti semua cinta yang aku terima, aku kembaliin.” Lanjut Heksa sambil mengusap pelan tangan dalam genggamannya. Lama, cukup lama ia memperhatikan tangan itu sebelum membawanya dekat ke wajah, mendaratkan kecupan pada buku jari perempuan itu. “Aku nggak bisa janji, tapi nanti ya.”

“Iya nggak apa-apa, Khagi.”

Dan mungkin karena cuacanya cerah dan Mentari sedang sangat sangat jatuh cinta, ia membiarkan dirinya dikendalikan oleh cinta itu. Tidak peduli bahwa laki-laki di depannya, saat ini, tidak bisa dimiliki. Selagi bisa digapai, ia akan menggapainya. Dan kali ini ia mengapai wajah Heksa, menangkupkan satu tangan di pipinya, membawa wajah itu mendekat.

“Yang ini juga nanti kembaliin ya, Khagi.” Ucap Mentari sesaat sebelum mendaratkan sebuah ciuman pada bibir laki-laki itu. Tidak lama, tidak lebih dari tiga detik sebelum ia menarik diri dengan wajah tersipu.

Dan Heksa pun, mungkin, karena cuacanya sedang cerah. Mungkin karena semuanya sedang tenang. Mungkin karena sedang ingin egois. Atau mungkin karena ia suka dipanggil Khagi. Laki-laki itu untuk pertama kalinya membiarkan dirinya tenggelam sebentar dalam cinta yang belum bisa ia kejar itu.

“Kalau dikembaliin sekarang boleh nggak, Tar?”

Untuk sesaat, cinta mereka mekar secantik bunga. Untuk sesaat, keduanya menikmati cinta yang mekar itu. Hanya sesaat, sebelum nanti tiba waktunya semuanya kembali layu.



Do you know anything about the rules of love? Everyone might have their own rules for love. Some others might follow the majority, the stereotypes, and the norm. But do you want to hear the truth? The only rule of love is: don’t make any rules. Don't make a rule in a heart game. Don't make a rule for uncontrollable things.

The moment you made the rule, you also unconsciously committed yourself to breaking the rules. The moment you agreed to the rules, you also unconsciously committed yourself to the temptation of breaking the rules. 

I've been told by many people that I was quite stubborn and persistent. I was the type to follow heart over logic because I believed feelings exist for us to feel them. It was okay to be emotional because humans were supposed to feel emotions anyway. I ignored the fact that we were given logic to protect the heart. Well, at least at some point I was conscious about it. There was a point where I relied more on my logic and chose to keep the heart safe, by suppressing it.

I made rules in my relationship with Samudera Khagi. The rules that held us back restrained us; it consisted of a reminder for us to not fall in love with each other — when we already did. The rules were made to control the uncontrollable, which was a human's heart. The rules restrained the emotions that already wandered, keeping them behind bars, behind walls, behind lines, or anything. The rules created a line between us. I decided to draw a clear line between us because I couldn’t handle it if our relationship stayed in the gray. I was greedy for a moment and I wanted more than just loving. I wanted to be loved. I wanted it to be fair, if he couldn't love me then he couldn't be loved by me.

To my disappointment, Samudera did quite well in following the rules. I did well in keeping the rules. The rules that I thought would vanish as soon as they're made, survived longer than I expected. Both me and Samudera knew how hard it was for us to hold ourselves back but somehow we made it this far. The difference was I endured everything because I didn't want us to come to an end; he endured everything because he didn't want to start something between us.

Truthfully, I made those rules so I wouldn't lose him — I didn't want to lose him yet. The only ending that I saw that night was losing him but I didn't want to. I was so close to losing him and the rules were made to keep him from going further. They were made to keep a relationship between us, to keep something between us. I made the rules to suspend my defeat, my loss. I made them to suspend the story.

And the rules were always meant for myself.

Samudera had a higher chance of breaking the rules. Well, he technically did break the rules, except he eluded his crime under the cheat day concept. But the thing was, he knew when to stop. He could cross the line but he had good self-control he could stop immediately. I could never. So, I decided to draw a clear line for myself, to remind me that if Samudera didn’t take a step forward, then I shouldn’t either. To remind me that unless he’s ready for love, I shouldn’t love him this much. To remind me, if we weren’t strict with ourselves — if I weren't strict with myself — we would end up in a very complicated situation. So I stopped myself from crossing the line. I stopped myself from stepping further into the dangerous game, and into his life. I wasn't sure about what would I get from successfully abiding the rule, but at least I knew what I wouldn't get. So I told myself to stay strong, to resist and hold myself back.

But the moment I told myself to stay unwaver, I was already wavering. 

I was the one saying all the things about keeping our relationship as friendly as possible. I was the one who acted tough and said the “crossing the line” thing. I was the one who braved myself enough to decide that it was better for the both of us to stay behind the line. But honestly, deep down, I knew I was being too confident with myself. I was arrogant to think I would be able to contain myself. Because the truth was, as expected, I only fell deeper and deeper.

I could hold myself from chasing him but I couldn't prevent my heart from feeling more. I could stop myself from crossing the line but I wasn't sure how many lines was there to draw. I wasn't even sure which lines, or what kind of lines we were talking about. Apparently, Zoya was right, there was never a clear line between us. Me and Samudera were already in a complicated situation to begin with and the lines were always blurry.

Therefore, when he put his head on my shoulder, I embraced him. I embraced him like I’ve always wanted to. Screw the rules because, at that very moment, I knew I was never going to be able to resist him, and I never would. I knew that I would always give in completely, even when I sounded like a pathetic girl waiting for a happy ending for her one-sided love. I knew I would never be able to stop loving him, even if he couldn’t let me into his life till the very end. Samudera Khagi could leave me completely in the dark with zero explanation, and I would still love him. He could leave me, literally, and I would still wait for him with my unwavering emotions. 

I will wait until he is ready to be loved by me and to love me.



Desire is one of the biggest enemies in one's life. It often becomes an obstacle, a temptation, that sways people from the right path and stops them from their original goal. Sometimes, it pushes people when they are supposed to stay, making them walk at the wrong pace. But do you know what the even bigger enemy is? It's the heart that feels. It's the heart where all the desires come from. It's the heart, that is weak to emotions — because it is supposed to feel and always feel something.

Humans are filled with desires and blessed with a heart that feels — aren't we?

And do you want to know what the biggest turning point in one's trajectory is? Love.

Love that turns ambition to grace, love that turns evil to good — and love that turns people away from the right path, from their dreams and goals, from everything they have before. Love can make people selfish; turning them blind and impulsive, losing their sense and logic. It's also love that guides people who lost their way; gives colors to the monotonous day and sheds light on their darkness. Love can be a life purpose, a goal, or a new dream, and can become the life itself. Love that can heal one's pain.

Love that tore down Mentari and Heksa's defense.

Mentari heard people say she was holding onto nothing — she couldn't disagree. It was always uncertainty and obscurity that underlie their relationship. When months passed with them still holding onto their defense, she was told to brace herself for a downfall. The fact was too strong to deny, but guess what's stronger? Human desire. Human's desire for love.

Their desire for love, their need for love — which their hearts were too weak to resist.

Heksa Samudera Khagi was never the type to show himself to everyone. He was never an open book, people could barely read the blurb — she could only read the blurb. He had a clear purpose and he hardly looked in any other direction. But there was one day when he got lost in an intersection of going through the original path or turning to where his heart desired — this one day when he couldn't put up a facade any longer. The day when he let down all of his defense walls, allowing Mentari to finally read the synopsis page. She could finally read his anger, his sadness, his scars, and wounds — all of the pain he had been holding alone. The day when he showed weakness, and basically every side of him he had been hiding. The day when his desire for love was stronger than his strength to fight for his life — and stronger than his strength to resist and hold back. The day when he almost give in.

And in that moment she knew, the desire to love him was always bigger than the desire to be loved by him.


Mentari tidak membuang waktu lama dan segera berangkat menuju tempat dimana Heksa berada. Ia langsung menemukan sosok yang dikenalnya begitu ia tiba di taman. Sosok laki-laki tinggi berambut pirang yang menarik perhatian di keramaian. Laki-laki itu berdiri menghadap danau kecil yang berada di tengah taman. Kemeja putihnya memantulkan sinar matahari, membuat sosok itu terlihat bersinar di tengah warna hijau yang memenuhi taman. Tanpa membuang waktu, Mentari menghampiri sosok itu.

“Samudera?” Panggil Mentari saat jarak keduanya hanya tinggal beberapa langkah lagi.

“Kamu betah banget ya, manggil Samudera.” Laki-laki itu menoleh dan seketika tersenyum menyambutnya.

“Supaya beda dari yang lain.” Balas Mentari. “Supaya kamu langsung tau itu aku.”

Keheningan menyelimuti keduanya. Bukan hal yang selalu terjadi, namun bukan suatu keanehan juga. Heksa Samudera Khagi yang sering banyak bicara itu, tidak jarang juga berubah menjadi setenang samudera. Pada saat-saat ini Mentari akan mencuri kesempatan untuk memandangnya lama-lama; mengingat sosoknya yang begitu tenang dan teduh.

Flowers delivery!” Seru Mentari beberapa saat kemudian, memberikan seikat bunga marigold yang ia rangkai dengan sepenuh hati, mengetahui siapa pengirim dan penerimanya. “Adik-kakak love language-nya ngasih bunga ya?”

“Makasih, ya.” Heksa meraih bunga itu. Ia melihat bunga itu lama sekali, dengan tatapan rindu dan senyum yang merupakan perpaduan dari senang dan sedih.

Lautan itu tidak selalu tenang. Tidak jarang juga, lautan itu hanya berisikan badai dan topan. Menarik ya, kadang sebuah nama bisa sangat menggambarkan pemiliknya. Seperti Mentari yang riang dan cerah; yang hangat seperti matahari.

Keduanya berdiri berdampingan, menatap danau yang airnya selalu tenang. Berdiri di bawah terik matahari yang cerah, namun tidak satu pun dari keduanya tampak menikmati hangatnya matahari hari ini.

“Tar,” Panggil Heksa setelah beberapa saat, menoleh pada perempuan di sebelahnya. “Aku boleh langgar peraturan nggak?”

Mentari mengerutkan keningnya sebentar. Ia melirik Heksa yang sedang menatapnya. Rautnya terlihat tenang. Namun, bukan tenang yang baik. Tenang yang muncul karena lelah dan tidak sanggup bergerak. Tenang yang muncul karena tidak ada energi untuk melawan. Mentari tahu bahwa ada yang tidak baik-baik saja — selalu tahu, sejak awal — tapi tetap saja, ia menatap Heksa penasaran.

“Kamu baik-baik aja, Samudera?” Tanyanya pelan nan lembut. Tanyanya penuh rasa ingin tahu, walaupun sudah tahu bahwa Heksa Samudera Khagi tidak pernah baik-baik saja. Kali ini, Heksa tidak hanya menoleh tetapi berdiri menghadapnya. Sorot matanya sudah cukup menjawab. Sorot mata yang lelah, yang ingin istirahat — sorot yang menginginkan cinta juga, mungkin. Perlahan, laki-laki itu menggeleng lesu.

“Aku izin langgar peraturan ya, Mentari.” Dengan satu kalimat itu, ia mengambil langkah mendekat. Ia memangkas habis jarak antara keduanya, lalu menjatuhkan kepalanya di pundak perempuan itu. Kedua tangannya perlahan melingkari tubuh yang lebih kecil dari dirinya itu. Dengan suara yang sedikit bergumam, ia bicara lagi. “Kayak gini dulu sebentar ya, Tar?”

Tanpa pikir panjang dan tanpa bicara, Mentari membalas pelukan itu sama lembutnya dan sama eratnya—tidak, lebih erat. Satu tangannya mengusap pelan punggung laki-laki itu, sementara tangannya yang lain mengusap lembut kepalanya. Ia mengabaikan puluhan kupu-kupu yang muncul di perutnya berkat pelukan itu, karena saat ini bukan waktunya untuk tersipu. Saat ini, tugasnya adalah untuk meminjamkan bahu dan peluk, dan memberi sedikit energi untuk tetap bertahan.

“Iya boleh, Samudera, boleh.” Ucapnya setengah berbisik. “Selalu boleh.”

Keduanya berada di posisi itu selama beberapa menit tanpa bertukar kata. Memang benar kalau ada yang bilang action speaks louder than words. Tidak perlu menumpahkan seribu kata, tidak perlu bicara sampai berbuih. Heksa tidak perlu melakukan itu untuk Mentari bisa menebak isi hati dan kepalanya. Pun sebaliknya. Cukup dengan pelukan yang erat dan hangat dari Mentari sebagai ungkapan perasannya; bahwa Mentari akan selalu ada disamping Heksa.

“Nangis aja, nggak apa-apa, Samudera.” Ucap Mentari setelah beberapa saat.

Hanya sekali lihat saja, ia tahu bahwa saat ini ada banyak sekali emosi yang sedang dipendam oleh laki-laki itu. Ada banyak yang dipendam, dan kemudian diredam karena laki-laki itu ingin menyimpan semuanya. Karena Heksa masih dan selalu berpikir bahwa ia harus menahan semuanya. Tapi Mentari ingin, setidaknya, Samudera Khagi bisa meledak semaunya saat sedang bersamanya. Ia ingin, ia berharap, laki-laki itu tidak perlu menahan semuanya sendirian saat bersamanya — ia ingin laki-laki itu bisa menunjukkan setiap sisi dari dirinya tanpa ragu saat bersamanya. Ia pun mengulangi kalimatnya. “Nangis aja, nggak apa-apa, Samudera.”

Seperti mantra, Heksa perlahan menjatuhkan air matanya. Perlahan, ia meruntuhkan dinding pertahanan yang selama ini selalu mengelilinginya. Dan untuk pertama kalinya, Heksa melakukannya. He stripped off his happy mask, he put off his strong facade, and appeared as bare as he could — as human as he was. Bersamaan dengan tangisnya, pelukannya pada perempuan itu pun makin erat. Kepalanya bergerak menelisik, mencari sudut ternyaman pada ceruk perempuan itu. Mencari titik terhangat untuk ia menenggelamkan dirinya.

“Berat, ya, Samudera?”

Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut laki-laki itu. Suara yang terdengar darinya selain hembusan napas hanyalah isakan pelan. Suara tangis itu, cukup untuk menggambarkan seberapa banyak sakit yang saat ini sedang dirasakan oleh laki-laki itu. Suara tangis itu juga, menyakiti Mentari.

Melihat Samudera Khagi yang sedang goyah ini, menyakiti Mentari.

“Aku lagi capek banget.” Lirih laki-laki itu.

Nyaris Mentari ikut menjatuhkan air matanya. Perasannya ikut campur aduk. Marah, sedih, bingung — ia tidak mengerti kenapa ia harus menyaksikan hal ini. Rasa amarah yang lalu kembali memenuhi hatinya; amarah tentang dirinya yang hanya bisa melihat tanpa melakukan apa-apa.

She was there, she was always there, so close to him but he never run to her arms. The thought of her being an audience frustrated her so much because she was able to do more than that — she could do more. Only if he allowed her, only if he reached out to her sooner.

“Makannya bebannya dibagi ke aku.” Ucap Mentari lembut dan tenang — berbanding dengan emosi yang dirasakannya saat ini — masih menepuk pelan punggung laki-laki itu. Kemudian, ia bicara dengan nada memohon. “Jangan ditanggung sendirian, Samudera. Bagi ke aku.”

Tapi, Heksa masih tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Dibanding meluapkan keluh kesahnya, dibanding mengungkapkan perasannya lewat kata-kata, dibanding membagi beban di pundaknya kepada orang lain, Heksa Samudera Khagi selalu lebih memilih untuk menangis dalam diam dan kesendirian.

Kali ini pun, Heksa Samudera Khagi memilih untuk menanggung semuanya sendirian (lagi).

“Aku nggak bisa kasih kamu energi kalau aku nggak tau apa yang bikin kamu kehabisan energi.”

Tetapi kali ini pun, Mentari tetap bersikap keras kepala. Ia akan menjadi keras kepala untuk bisa masuk ke dalam kehidupan laki-laki itu. Ia akan memaksa untuk meruntuhkan dinding yang menghalangi jalannya, membaca buku yang disembunyikan, mendengar cerita yang sunyi — ia akan memaksa untuk mencintai laki-laki itu. Katanya jalan yang dilalui keduanya itu buram. Tetapi kali ini Mentari tidak punya cukup logika untuk mengerti. Kali ini, saat ini, dirinya terlalu dipenuhi cinta dan hasrat untuk bisa berpikir jernih — untuk bisa sadar bahwa dirinya baru saja menginjakkan langkah di jalan yang buram lainnya. Saat ini, dirinya terlalu tidak peduli jalan apa yang akan dilaluinya. Bahkan kalau jalannya berlalu tanpa akhir, tanpa sebuah destinasi.

Would you like to share it a little bit with me, Samudera?” Ia bertanya lagi. “Tell me your stories.

Heksa masih belum menjawab. Dibanding bersuara, ia lebih memilih untuk mengeratkan pelukannya pada perempuan itu. Pelukan itu seperti menyampaikan dua hal. Berat beban yang dirasakan oleh Heksa saat ini, serta banyaknya perasaan yang ditahan selama berbulan-bulan ini. Perasaan itu menggunung dan meleleh sekaligus lewat satu pelukan itu. Pelukan yang menyampaikan apa yang tidak bisa disampaikan lewat kata. Bahwa Heksa membutuhkan Mentari, dan menginginkannya. Bahwa kali ini, saat ini, ia sedang — atau kembali — mengikuti hatinya. Seperti malam itu.

Bedanya kali ini, ia turut membiarkan hatinya mengambil keputusan.

Would you stay if I give you nothing?

Dan bahwa kali ini, Heksa menyerah.


“Aku sama Ole beda ibu.”

Adalah kalimat pembuka dari cerita yang disampaikan Heksa kali ini. Cerita yang akhirnya diceritakan, dan bukan ia simpan sendirian lagi.

“Ayah cerai sama Ami, terus nikah sama Mama Anne — mamanya Ole, dan akhirnya Ole lahir sebagai adik aku.” Lanjut Heksa lagi. Keduanya kini sudah duduk nyaman di pinggir danau dengan atmosfer yang lebih tenang. “Makannya nyaris nggak ada yang tau aku punya adik atau Ole punya kakak. Bahkan cuma sedikit yang tau kalau Ami sama Ayah cerai, atau Ayah udah nikah lagi. Terlepas dari aku yang nggak pernah cerita, kita semua emang private soal keluarga kita. We lived privately, silently, but peacefully.*”

Cerita itu sudah terdengar cukup berat, terlebih saat memperhatikan fakta bahwa Heksa masih kecil saat semuanya terjadi. Mentari meletakkan tangannya di atas tangan milk laki-laki itu, perlahan menggenggamnya.

“Dari awal emang udah nggak bagus ceritanya. Tapi, kita semua hidup nyaman walaupun keluarganya rumpang. Selama beberapa taun terakhir, baru rasanya berat.” Heksa menjatuhkan pandangannya, senyumnya terlihat pahit. “Ada masalah, yang titik awalnya ya dari masa kecil itu. Saling bersambung jadi sebab-akibat. Ada yang aku tau kenapa, ada yang aku sendiri nggak tau.”

Mentari kini mengerti hal baru. Semuanya bukan hanya tentang Heksa yang menutup diri, tetapi juga tetang Heksa yang juga kebingungan. Bahwa isi kepalanya tidak seperti buku yang bisa dibaca, melainkan kumpulan puzzle yang ia sendiri belum berhasil selesaikan. Dan ia semakin mengerti posisinya, bahwa memang bukan tempatnya untuk bergabung. Bahwa semua ini bukan hanya tentang Samudera Khagi.

“Terus, kamu inget waktu aku pesen congratulatory flowers? Itu buat Arumi, anak asuh Ayah yang sebenernya masih sepupu jauh sama aku. Terus kalau Kaisar tau kan? Dia sahabat aku, temen aku dari SMP. Kalau di kampus, Ole terkenalnya Maure anak Ilkom yang naksir Kaisar.” Heksa menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Dan kita berempat — aku, Ole, Kaisar, Arumi, semuanya entah gimana saling kenal. Masing-masing punya hubungan sama satu sama lain.”

He was tangled in complicated strings that tied the four of them together.

Ada lebih dari sekedar ‘masalah’ yang saat ini menahan laki-laki itu. Ada lebih dari sekedar beban pikiran, dari sekedar prioritas, yang saat ini menguasai laki-laki itu. He had too much on his plate.

“Disaat aku bilang bukan buat kamu pikirin, itu karena aku nggak mau kamu terlibat, Tar.” Ucap Heksa. Kali ini nadanya sedikit tegas. “I've had enough of innocent people got involved in this tangled strings.”

Mentari tidak terlalu percaya pada takdir atau benang merah. Ia lebih percaya kalau ia menginginkan seseorang, maka ia harus mengejar seseorang itu. Ia lebih percaya bahwa keputusan tentang ada atau tidak adanya seseorang di kehidupannya itu tergantung keputusannya, begitupun sebaliknya. Ia menghabiskan satu tahun lebih bersama Heksa namun ia tidak akan pernah masuk ke dalam dunia laki-laki itu tanpa persetujuannya.

Tapi ternyata semesta memberinya kejutan dengan menghadirkannya di antara benang merah yang menghubungan Heksa dan Maure.

“Itu ya yang bikin muka kamu keliatan capek terus? Yang paling berat?” Mentari mengangkat satu tangannya untuk merapikan rambut pirang yang menutupi mata pemiliknya itu. “You take care of a lot of people, on top of your problems.”

“Yang paling berat itu mikirin hubungan aku sama Ole.” Balas Heksa sembari tersenyum getir. “Aku sama Ole hubungannya nggak terlalu bagus belakangan ini. I've been stressed about that, mostly.

“Pantes aja aku nggak pernah liat kalian berdua.” Komentar Mentari. “Rambut pirang ini juga beneran buat cari perhatian ya?”

“Hahahaha, iya, biar ditanya.” Untuk pertama kalinya hari itu, atmosfer terasa lebih ringan sedikit. “Tapi nggak mempan. Yang ada malah makin kayak orang musuhan.”

You love her so much.” Ucap Mentari. Tanpa perlu bertanya, ia sudah bisa merasakan berapa besar cinta yang dimiliki Heksa pada adiknya. “She's the reason behind those flowers rejection, ya?”

“Hahahaha iya.” Dan sepertinya juga satu-satunya topik yang bisa membuat Heksa tertawa di tengah badai. “Aku nggak mau perhatian aku kebagi-bagi, aku nggak mau dia nanti mikir aku nggak sayang lagi sama dia, aku nggak mau mentingin orang lain selain dia. *She's at the top of my priority list.”

Tapi kalau sudah begini, apa tidak boleh ia membantu walau sedikit? Apa tidak boleh ia ikut memikirkan semuanya? Kalau sudah terlanjur tahu, mana bisa tidak memikirkan soal ini, bukan?

“Apa aku masih nggak boleh bantu?” Tanya Mentari pelan. “Sekedar nemenin kamu aja?”

“Kalau soal bantu itu nggak perlu. Aku juga pengen bilang aku nggak butuh kamu.” Jawab Heksa lesu. Kemudian ia melontarkan senyum simpul. “Tapi nantinya nambah daftar bohongnya aku.”

Mentari tidak merespon. Ia menunggu Heksa melanjutkan kalimatnya. Laki-laki itu membuka mulutnya lagi.

It would be a big lie if I said I don't want your love — I don't need your love.” Lirihnya. “Because the truth is I want it, I need it. I want to throw everything away and chase your love. My selfish thought told me to throw everything away except you.

“Kalau gitu nyerah aja, Samudera.” Mentari meletakkan satu tangannya yang lain di atas tangan Heksa, kini mengenggam tangan laki-laki itu dengan kedua tangan. “If it's too hard for you then say it. Say it to me, come to me. I'll always embrace you with open arms.”

Heksa memberikan senyum sebagai jawaban. Sorot matanya jatuh pada tangan yang menggenggamnya. Mungkin, sedang mempertanyakan pada dirinya sendiri, apakah boleh ia menikmati genggaman yang hangat ini di tengah masalahnya? Apakah boleh, ia menginginkan cinta di tengah semuanya?

I still can't make us into the top of my priority list, Tar.

Tetapi lagi-lagi, Heksa Samudera Khagi tidak akan pernah bisa menyerah sepenuhnya. Pertahanannya tidak akan pernah runtuh seutuhnya. Dan sekali lagi hubungan keduanya berakhir dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan.

Heksa Samudera Khagi hampir menyerah.