let me tell you a tale — The losing game


A game ends with either a win or a loss. It's always a fifty-fifty chance. But a love game is a little bit different. Sometimes the goal is not about winning or losing. Sometimes the chances are higher than half. Sometimes you don't have the chance at all but still playing the game anyway. Some people play for the fun of it; the challenging atmosphere or the fluttering feeling. Some play to actually win, to end up in a relationship, to own your opponent. Some try their luck because trying won't hurt, although they still get heartbroken in the end. Some people play because they're just so in love they can't hold back their feelings. They play because they love the game, no matter how dangerous or how hopeless it can be.

Mentari was part of the last category. She played the love game simply because she was able to. She had love to share, she had enough love paying a grand amount for the game was nothing for her. She wanted to pursue her love, she didn't care if the game was dangerous or if she could lose. The thing was, she didn't know much about games. She wasn't the best at playing games. Let alone betting in a game of love. She was so nice and so full of love she didn't mind losing as long as she could enjoy the game.

Unrequited love was already a dangerous game, to begin with. The fact that the opponent was someone who couldn't fall in love only made it a losing game.

Loving Samudera Khagi was a losing game, she knew it from the start. There were times when she got greedy — became hopeful and naive, thinking she could win the game. Though, most of the time she knew hope was a forbidden element in their game. In a relationship built of uncertainty, hope was never in sight — shouldn't be in sight. The only hope she dared to keep was to be able to love him until the end of the game — until the end of their story. She loved him with the thought of losing in mind, knowing and accepting that Samudera Khagi wasn't someone she could possess. The man wasn't hers to keep. The man belonged to many people before her and she was only a backburner. Therefore when he ditched their plans, ignored her messages, and showed up ten minutes before her birthday ended, she knew she was losing him.

Loving Samudera Khagi was a losing game, and they reached the last chapter of the game — the last chapter of their story.


Mentari berjalan menuju pintu dengan terburu-buru begitu ia mendengar suara ketukan. Pada umumnya orang merasa cemas dan curiga saat ada yang mengetuk pintu rumah hampir tengah malam. Ada banyak opsi tidak mengenakan tentang siapa yang mungkin bertamu. Tetapi ada kemungkinan bahwa yang datang adalah orang yang ditunggu-tunggu. Mentari mengabaikan semua kemungkinan buruk demi satu kemungkinan itu. Begitu pintu terbuka, ia disambut oleh sosok laki-laki yang begitu familiar. Kurus berambut hitam sedikit panjang, dengan hoodie hitam dan celana berwarna mencolok, adalah sosok yang ditunggunya — Heksa.

“Selamat ulang taun, Mentari.”

Hembusan napas lega keluar dari mulutnya begitu ia mendengar suara itu. Terdengar sedikit parau dan lesu, namun diusahakan ceria. Sama seperti senyumnya yang lebar dan tulus, namun terlihat penuh usaha. Pun matanya yang menatap ramah, namun menampakkan jejak tangis. Heksa tampil baik-baik saja, tetapi Mentari tahu betul laki-laki itu sedang berantakan. Sangat berantakan. Meskipun demikian, di tengah badai yang sedang melanda, Heksa menyempatkan diri untuk menemuinya.

“Maaf telat, ya.” Ucap Heksa tanpa menanggalkan senyumnya. Kemudian ia mengangkat sebuah kotak putih yang berisi kue ulang tahun. Perlahan senyumnya berubah jenaka. “Beli kuenya di ujung dunia nih.”

“Aku udah hampir nangis tadi.” Balas Mentari disertai senyuman lega. “I thought you wouldn't make it.

Kecemasannya seharian itu langsung pudar, terbilas oleh rasa lega dan senang karena dirinya diberikan kesempatan untuk melihat Heksa hari ini. Merasa lega karena diberikan kesempatan untuk mengukir satu lagi kenangan tentang Samudera Khagi yang akan diingatnya seumur hidup — untuk ia ingat seumur hidup. Mungkin merasa lega karena keadaan masih cukup baik untuk tidak menyelesaikan cerita keduanya secara tiba-tiba, ataupun dengan akhir yang tidak selesai. Karena masih bisa melihatnya, masih bisa menghabiskan waktu bersama, sebelum keadaan kembali menarik laki-laki itu keluar dari rengkuhannya. Dan seiring dengan pikiran itu muncul, senyumnya sendiri terasa berubah pahit.

Seperti hari ulang tahunnya yang akan segera berakhir, ia merasa cerita keduanya pun akan segera bertemu akhir.

Seperti yang sering Mentari bilang pada Zoya. Bahwa waktunya bersama Heksa memang tidak akan pernah menyentuh kata selamanya. Seindah apapun bab yang sedang dibaca pada akhirnya akan habis juga. Di ujung jalan pun sudah menanti akhir yang diprediksikan. Tapi justru karena itu, Mentari jadi ingin menikmati setiap detik yang berlalu, dan setiap emosi yang dirasakan. Ia ingin menikmati cerita ini tanpa pusing memikirkan akhirnya, tanpa berharap apapun; pada Heksa, pada hubungan keduanya, ataupun pada akhir ceritanya. Ia ingin menikmati ceritanya dengan Samudera Khagi selagi bisa, selagi ada, selagi tidak ada salahnya. Sekarang pun masih sama.

Ia ingin menikmati lembaran terakhir ceritanya.

“Cepet tiup, keburu tengah malem, Tar,” Suara Heksa menariknya dari lamunan singkat itu. Di depan wajahnya ada kue ulang taun dengan lilin yang menyala, menunggu untuk ditiup. “Jangan lupa bikin harapan.”

Mentari menyatukan kedua tangannya dan memejamkan mata. Berucap dalam hati dengan cepat, mengucap harapan yang sama seperti yang selalu ia utarakan di setiap ulang tahun, namun dengan sedikit tambahan.

Semoga aku dan Samudera dipertemukan dengan takdir yang lebih baik, suatu hari nanti.

“Semoga selalu jadi Mentari yang secerah matahari.” Ucap Heksa setelah lilin ditiup, meninggalkan asap pudar.


Keduanya kini berada di dapur, duduk bersebelahan sambil memakan sepotong kue di piring masing-masing. Seperti biasanya, kediaman Mentari selalu tenang dan hangat. Bahkan di tengah malam, saat angin musim hujan bertiup kencang, saat mereka duduk dibawah lampu yang redup. Ada jejak-jejak perayaan di sana. Bak cuci piring yang penuh, kotak kue di meja makan, dan bunga-bunga segar yang mendekorasi.

“Aku ketinggalan pesta ya.” Komentar Heksa di sela-sela makan.

“Iya, datengnya pas udah mau close gate sih.” Balas Mentari dengan nada bercanda. Laki-laki itu pun terkekeh pelan.

“Ngapain aja hari ini?” Tanya Heksa kemudian. Mentari menyuapkan potongan terakhir kuenya ke dalam mulut sebelum menjawab. Ia memulai cerita tentang hari ulang tahunnya.

“Pagi-pagi aku ke toko buat ambil bunga sementara Oma bikin sarapan. Terus aku face time Mama dan Papa. Siangnya aku nungguin kabar kamu.” Kalimat terakhirnya membuat Heksa mengeluarkan tatapan bersalah. Sebelum laki-laki itu meminta maaf, Mentari segera melanjutkan. “Sore-sore Zoya dateng, dan kita bertiga bareng Oma masak buat makan malem. Oma bikin masakan tradisional yang aku lupa namanya, Zoya beli kue dari toko favorit aku, dan banyak ucapan ulang taun yang aku terima.”

“Hari aku baik-baik aja, istimewa tapi nggak ada sesuatu yang out of ordinary.” Lanjut Mentari lagi. Kemudian ia meletakkan tangannya pada lengan Heksa. “Jadi aku punya banyak ruang buat nampung cerita kamu, Samudera.”

Yang disebut namanya tersenyum. Ia menaruh pandangan pada tangan perempuan itu, yang berada di atas tangannya. Raut wajahnya terlihat ragu, seperti sedang menimbang apakah ia ingin bercerita atau tidak. Tetapi raut wajahnya juga tidak bisa berbohong bahwa ada sejuta cerita di sana yang menunggu untuk dikeluarkan. Raut wajahnya, rambut berantakannya, dan mata sembabnya tidak bisa menyembunyikan hari yang lelah itu.

“Mau cerita tentang hari ini, Samudera?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian. “Misalnya kamu kemana aja hari ini?”

“Aku cerita sedikit aja ya.” Ucapnya sebelum mengehela napas berat. “Aku hari ini capek banget.”

Mentari mengusap pelan tangan laki-laki itu, memberinya sedikit kekuatan untuk memulai ceritanya. Heksa memberikan senyum singkat atas gestur kecil itu. Ia pun melanjutkan.

“Aku nyetir Jakarta-Bandung-Jakarta kayak orang gila. Kayaknya besok badan aku sakit semua deh, faktor u.” Mulainya sambil terkekeh. Namun sekeras apapun tawanya, Mentari tahu bahwa cerita ini bukan untuk ditertawakan. “Ole ada di Bandung, aku abis jemput dia. Terus kita pulang ke rumah Ami dan ngobrol banyak.”

Heksa mengambil jeda. Ia terlihat seperti sedang menyusun struktur lanjutan ceritanya. Memilah mana yang bisa diceritakan, dan mana yang akan ia telan sendiri seperti biasanya. Ia membuat ceritanya terdengar seperti cerita anekdot keluarga biasa disaat Mentari sudah tahu jelas bahwa ceritanya jauh lebih berat dari itu.

“Ole akhirnya pulang ke rumah aku.” Lanjut Heksa sambil tersenyum. “Dia juga akhirnya mau terbuka sama aku soal perasaannya selama ini, dan apa yang dia lewatin sendirian selama ini.”

Mentari ikut tersenyum lega mendengarnya. Walaupun sepertinya, kalau melihat raut Heksa yang belum tenang sama sekali, sepertinya semua ini hanya permulaan. Masih banyak yang menanti laki-laki itu. Banyak yang hampir semuanya, tidak pernah ia ceritakan. Banyak yang hampir semuanya tidak Mentari ketahui.

“Kalau kamu kapan, Samudera? Kapan mau terbuka soal semuanya?” Tanyanya pelan dan lembut, namun terdengar sedikit retorik. Bukan karena tidak serius bertanya, tetapi bisa menebak jawabannya.

“Segitu aja ya.” Dan dugaan Mentari pun benar, Heksa memilih untuk menelan semuanya sendirian. Saat nyaris hancur pun, Heksa memilih untuk menelan semuanya sendirian. Saat kedua kakinya nyaris tak sanggup menopang tubuhnya pun, Heksa memilih untuk tetap berjalan sendirian.

“Nggak nangis, Samudera?” Tanya Mentari kemudian. Menyadari bahwa perempuan itu memeprhatikan mata sembabnya, Heksa menggeleng dengan senyuman.

“Udah.” Jawabnya. “Udah semua nangisnya biar sekarang bisa senyum.”

Heksa bagi Mentari masih seorang pembohong handal. Senyum malaikatnya tidak bisa menutupi rasa lelah di sana. Senyumnya bagi Mentari pun sama menyakitinya seperti tangisnya. Senyum itu adalah sebuah tipuan untuk anak kecil, tetapi keduanya bukan anak kecil. Senyum itu, dibanding memberi kepastian bahwa semuanya baik-baik saja, justru malah memperjelas bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Dan mungkin tidak akan bisa menjadi baik-baik saja dalam waktu dekat.

“Tar,” Panggil Heksa beberapa saat kemudian. “Aku sekalian ngucapin selamat natal, selamat taun baru, dan selamat libur dari sekarang ya. Takut kelupaan.”

Heksa juga ahlinya mengelak. Ahlinya mengemas hal-hal pahit dalam rangkaian kata manis. Ahlinya memutar arah sampai tujuan aslinya tidak terlihat lagi, terlupakan. Ia ahli menutupi hal besar dibalik cuplikan cerita sederhana. Dan ia ahli membuat Mentari percaya — membuat Mentari tidak memiliki pilihan selain percaya. Perempuan itu tidak punya pilihan selain memaksa dirinya sendiri untuk percaya. Saat mendengar ucapan laki-laki itu pun, Mentari memaksa dirinya sendiri untuk percaya bahwa laki-laki itu hanya akan sibuk merayakan hari libur yang menyenangkan bersama keluarganya; bukan menghilang dari pandangannya atau tenggelam dalam bebannya sendiri.

When will I be able to see you again, Samudera?” Tanyanya pelan.

Ada jeda yang panjang setelah pertanyaan itu terlontar. Hening mengisi udara di antara keduanya. Yang ditanya terlihat merangkai jawaban — mencari jawaban yang bisa diberikan dibalik raut tenangnya. Yang bertanya menatapnya sama tenang. Mentari tidak menantikan jawaban apa-apa. Ia tidak berekspektasi atau merasa cemas tentang apa yang akan didengarnya karena ia sudah tahu. Ia sudah tahu dan sudah menerima kenyataan pahit yang selalu terpampang nyata dihadapannya.

Samudera Khagi wasn't hers to keep. He belonged to many people before her. He put others before himself but she wasn't included in those others. He wouldn't chose himself; nor his desires which included her on the list. She couldn't expect him to chose her, to prioritize her — he told her many times and she memorized it by heart.

Saat Heksa membuka mulutnya untuk menjawab, Mentari bahkan tidak merasakan antisipasi.

“Nanti.” Adalah jawabannya.

Nanti adalah satu kata dengan interpretasi yang luas. Nanti adalah satu kata yang pasti namun tidak presisi. Karena itu, kata nanti sering digunakan untuk menjawab hal yang tidak pasti.

Tidak pasti apakah Mentari akan mendapat ucapan selamat pagi esok hari atau selamat tahun baru minggu depan. Tidak pasti apakah Heksa akan mengangkat telfonnya esok hari atau mengarsipkan ruang obrolan mereka. Tidak pasti apakah malam ini adalah sebuah perpisahan atau sekedar pertemuan.

“Nanti ya.” Ucap Heksa lagi. Kedua tangannya meraih satu tangan perempuan itu, mengusap punggung tangannya dengan kedua ibu jari. Dengan suara yang lebih pelan — a powerless voice — ia mengulangi jawabannya. “Nanti ya, Mentari.”

His version of “later” can be as near as tomorrow, can be as percise as next birthday, but most of the time, it was as far as hope.

She chose to be blind to time and distance.

“Iya.”

Nanti adalah jawaban yang tidak pasti, tapi Mentari selalu menerima jawaban itu.


Malam semakin larut. Tengah malam sudah berlalu cukup lama. Piring masing-masing sudah kosong. Tidak ada percakapan khusu lainnya selama waktu berlalu itu. Hanya ada dua manusia yang berbincang tentang hari masing-masing, meskipun pastinya Mentari yang paling banyak bercerita.

Hari ulang tahun Mentari resmi berakhir. Seiring malam semakin larut, pertemuan keduanya pun harus berakhir.

“Aku dapet kupon ulang taun nggak?” Canda Mentari sambil menggeserkan kotak kue ke tengah meja agar tidak tersenggol. “Atau boleh request hadiah ulang taun mungkin?”

“Hmm tergantung kamu maunya apa.” Jawab Heksa. “Kalau minta hadiah uang satu miliyar nggak dulu.”

“Tadinya aku mau minta diambilin bulan.” Balas Mentari. Untuk sesaat atmosfer di antara keduanya terasa sangat ringan. Keduanya kembali bertukar senyum dan tawa kecil. Keluar permintaan-permintaan konyol dari mulutnya. Minta diambilkan bulan, dibelahkan lautan, dibawa ke negeri dongeng, dan lain-lain. Dibalik obrolan ringan itu terselip fakta menyakitkan bahwa permintaan yang lebih masuk akal seperti ingin menghabiskan waktu bersama, terasa lebih tidak mungkin dibanding bertemu dengan alien.

Kemudian, Heksa kembali berucap dengan serius.

“Jangan minta yang susah susah ya, Tar, biar bisa aku kabulin.” Ucapnya yang juga terdengar seperti sebuah permohonan. To only ask for something within his power. Although, he didn't have much power in this situation.

Mentari pun tersenyum. Ia membuka mulutnya dan berucap pelan.

Grant me a wish, then.”

Di antara permintaan-permintaan yang tidak masuk akal, Mentari memilih satu. Bukan tentang bulan, alien, atau negeri dongeng; walaupun mungkin tetap sama tidak masuk akalnya, dan sama tidak mungkinnya untuk dikabulkan. Meskipun begitu ia ingin menggunakan kesempatannya memilih satu dari banyak hal yang diinginkan.

Sebuah harapan.

Ada banyak yang diinginkan, tapi yang paling bisa dilakukan hanyalah berharap. Yang bisa dipilih olehnya adalah sebuah harapan. Harapan itu sendiri pun terdengar tidak tahu diri. Sudah tahu tidak boleh berharap tapi masih saja berharap. Tapi kalau boleh, kalau diizinkan untuk menjadi tidak tahu diri dan berharap, Mentari ingin berharap. Ia ingin menaruh harapan pada keinginannya yang tidak tahu diri.

Tell me your wish.”

Heksa memutar badan menghadap Mentari. Satu tanganya di atas meja, menopang dagunya. Posisi itu membuat Mentari mendapat akses penuh terhadap wajahnya. Perempuan itu mengambil kesempatan untuk memperhatikan wajah itu lama-lama. Memperhatikan dengan lekat wajah yang dilihatnya sekarang. Wajah yang dilihatnya sekarang bukan wajah terbaiknya, namun Mentari tetap ingin melihatnya lama-lama dan mengingatnya selamanya. Selagi bisa, ia ingin menikmati wajah yang hampir selalu tenang itu. Setiap garis dan lekuk yang membentuk wajah yang cantik itu. Setiap sorot mata yang teduh ataupun yang jenaka, setiap senyum yang manis ataupun usil, dan setiap bentuk ekspresi yang dipasangnya. Selagi bisa, ia ingin menikmati suara yang selau seperti melodi itu. Setiap tawa, setiap kata, setiap kali laki-laki itu memanggil namanya; setiap desibel suara yang bisa didengarnya. Selagi bisa, ia ingin menikmati sosoknya. Memperhatikan geraknya, merespon kalimatnya, mencium wanginya, dan mengingat semua yang bisa diingatnya tentang Samudera Khagi.

Seolah yang dilihat akan pergi.

Mentari mengulurkan satu tangannya, menangkup wajah laki-laki itu. Yang disentuh memejamkan mata sebentar, luruh pada sentuhan itu. Saat membuka matanya lagi, ia disambut oleh sepasang mata yang menatapnya lekat — menatapnya sendu dan rindu. Kemudian bibirnya pun terbuka, menyampaikan permohonan yang diucapkan dengan memohon. Mentari mengutarakan keinginan tidak tahu diri itu.

Please don't be in love with someone else, Khagi.

Dan kalau bisa, Mentari ingin menjadi satu satunya yang bisa. Satu satunya yang bisa mendengar cerita konyol tentang batu peliharaan, satu satunya yang dibelikan es krim, satu satunya yang menikmati laut bersama, satu satunya yang melihat Samudera Khagi dengan segala lukanya. Kalau bisa dan kalau boleh serakah, ia ingin menjadi satu satunya yang paling tahu tentang laki-laki itu. Apa makanan kesukaannya, kartun favoritnya, baju kesayangannya, dan apa yang membuatnya senang. Bagaimana hangat genggaman tangannya, bagaimana nyaman pelukannya, dan bagaimana lembut bibirnya.

Saat Heksa mendekatkan wajahnya dan menautkan kedua bibir mereka, Mentari ingin menjadi satu satunya yang bisa merasakan, menikmati, dan mengingat waktu ini. Saat Heksa menangkup kedua sisi wajahnya dan memperdalam ciuman mereka, Mentari ingin menjadi satu-satunya yang diinginkan seperti ini oleh laki-laki itu. Jika mereka adalah mimpi satu sama lain, maka Mentari ingin menjadi satu-satunya yang menghuni mimpi itu. Kalau ia tidak bisa memiliki Samudera Khagi, maka ia tidak ingin ada orang lain yang bisa. Dan keegoisan serta keserakahan itu begitu meledak di dalam dirinya sampai terasa sesak. Mentari merasa begitu ingin egois dan ingin serakah sampai tanpa sadar air mata mulai berkumpul di pelupuknya.

A birthday was supposed to be a happy day. A birthday kiss from someone you love supposed to make you feel you're on cloud 9. But she teared up. She felt her eyes getting warmed with tears, a lump in her throat, and her heart ached. For an unknown reason, she felt sad. She didn't blush like a ripped tomato, her legs didn't feel like gummy bears, and her heard didn't pound like crazy. For an unknown reason, she couldn't feel too happy.

Maybe she did know the reason.

Maybe because they're reading the very last pages of their story. Maybe because the ending felt so close and clear. She could see the ending she didn't wish to see. She could sense the ending she wanted to ignore. Maybe because the kiss felt like a goodbye. The gentle and delicate kiss felt like a heart-shattering goodbye.

Saat laki-laki itu menarik diri dengan senyum, ada kesedihan yang menghalangi kebahagiaan untuk leluasa muncul dalam senyumnya. Ada tatapan yang sulit diartikan. Matanya menatap begitu lekat, seperti sedang memperhatikan setiap lekuk wajah Mentari. Dimulai dari rambut panjangnya, pipi kembungnya, bibir merahnya, dan sepasang mata bulat yang menatapnya dibalik helaian bulu mata yang lentik. Seperti berusaha mengingat selagi bisa. Diusapnya air mata yang jatuh meluncur pada pipi perempuan itu, tanpa bertanya alasannya menangis. Dan Heksa menatapnya dengan teduh, dengan ramah, dengan penuh perasaan. Namun tidak ada setitik pun nyala harapan di sana.

When he looked at her with despair in his eyes, she knew she was losing him.

Maka saat ia membuka mulutnya, Mentari tahu kalimat apapun yang keluar tidak akan pernah bisa menjadi janji.

I don't want to be in love with someone else, Tar.”