let me tell you a tale — How their story ended


The end of a story can be anywhere. Different from fairy tales where the ending is always a lived-happily-ever-after, a story of life can end in a halt; like a cliffhanger, discontinued, forgotten. It can start the moment you enter university but end on a random afternoon during the fall semester. It can start in a random coffee shop one afternoon and end in another random coffee shop two years later. The end can be anywhere at any time. Sometimes you won't guess it's ending.

Interestingly — or sadly — enough, the ending of Heksa and Mentari's story was predictable.

The ending came along with the beginning of their story — the dangerous game, her losing game. While leaving curiosity and yet another uncertainty, the ending was clear and concise; and while the ending came in the middle of a sunny day in January, it wasn't a halt. Instead, their ending approached them slowly, giving him enough time to think and giving her enough sign to notice. He decided it was time for an end, she caught up immediately.

The ending happened shortly, but she could feel every moment of it — every second of losing him. She could feel how Samudera Khagi slowly slipped out of her grip. Until it was time for her to let him go because it was time for him to throw them away.

Until the only thing that was there for her to wait was the ending.


Mentari berdiri dengan gugup di dalam toko bunga — sekarang sedang direnovasi menjadi sebuah kafe. Ia baru saja selesai mensortir bunga dan sekarang sedang merapikan beberapa barang di area kafe. Sebentar lagi ia akan melakukan soft opening untuk kafe itu. Di atas salah satu meja, tergeletak lembaran kertas, kain, dan alat jahit. Akhir semester telah tiba, artinya ia harus menyelesaikan karyanya segera. Tetapi, tidak satupun dari alasan di atas merupakan penyebab rasa gugupnya. Rasa gugupnya datang karena ia akan bertemu seseorang.

Tentu saja, seseorang itu adalah Heksa Samudera Khagi.

Setelah hari-hari berlalu tanpa kabar, akhirnya ia bisa melihat laki-laki itu lagi. Ia penasaran tentang kabarnya. Apakah lingkaran hitam di bawah matanya masih nampak, apakah pipinya semakin kurus, apakah tidurnya tenang dan nyaman? Apakah ia baik-baik saja? Hari yang berlalu tidak terlalu banyak, masih bisa dihitung oleh jemari. Tetapi rasa rindunya tetap banyak. Rindu karena peduli dan khawatir. Tetapi lagi, alasan dari rasa gugupnya bukanlah pertemuan mereka, namun alasan dibalik pertemuan itu.

Samudera Khagi itu tidak bisa ditebak. Maka Mentari pun tidak bisa menebak apa yang akan mereka bicarakan hari ini. Sejauh pengetahuannya, Heksa bisa saja datang untuk sekedar menyapa, untuk memesan bunga, untuk sekedar menampakkan dirinya, untuk memberi kabar. Ia bisa datang untuk meminjam peluknya atau mendengar suaranya. Ia juga bisa datang membawa cerita libur akhir tahunnya. Heksa bisa membawa apa saja ke meja obrolan, terlalu banyak untuk bisa ditebak dengan pasti. Karena itulah Mentari merasa gugup.

Tetapi mungkin juga, Mentari gugup karena tahu apa yang akan dibicarakan.

Jantungnya melompat saat lonceng di pintu berbunyi, menandakan seseorang baru saja masuk. Segera sosok yang familiar nampak dalam pandangannya. Terlihat rapih walau hanya mengenakan pakaian santai. Wajahnya terlihat lebih baik dibanding kali terakhir keduanya bertemu. Tulang rahangnya masih telihat tegas, namun bukan dalam artian kurus. Matanya terlihat ramah teduh tanpa jejak air mata. Terakhir, ada senyuman ramah di sana. Senyuman yang membuat Mentari ikut tersenyum dengan sangat lega.

“Hai, Khagi.” Sapanya sambil tersenyum. Sementara yang disapa membalas dengan senyum simpul.

“Apa kabar, Tar?” Lontarnya. Mendengar itu, Mentari menatapnya sedikit kesal.

“Yang harusnya ditanya kabar itu kamu, Samudera.” Balasnya sambil berjalan menuju meja, menarik bangku, dan duduk. Heksa terkekeh sebentar sebelum mengikuti, duduk di sebrang perempuan itu. “Apa kabar, Samudera?”

Heksa tidak langsung menjawab. Ada jeda waktu dimana dirinya terlihat berpikir, kemudian menghembuskan napas panjang.

“Baik.”

“Jangan bohong.”

“Sekarang cukup baik, tapi nggak baik-baik banget.”

Mentari memperhatikan laki-laki di hadapannya sekali lagi. Memang, laki-laki itu terlihat lebih baik. Tetapi masih tidak terlihat baik-baik saja. Tidak ada bekas tangis atau lingkaran hitam, namun masih ada lelah di sana. Heksa masih terlihat lelah. Seperti habis menempuh perjalanan panjang, seperti sudah melewati banyak rintangan, dan seperti sudah menyelesaikan banyak masalah. Rambut lembut dan bervolume, pakaian rapi dengan tema cerah, dan senyumnya tidak bisa menyembunyikan jejak lelahnya. Lelah karena apa, itulah yang ingin Mentari ketahui.

“Sekarang gantian, kamu apa kabar, Mentari?”

Kini Heksa duduk dengan lebih santai. Ia bertopang dagu sambil menatap lawan bicaranya. Tentu saja, Mentari tidak bisa melawan mata itu. Ia menahan rasa penasarannya sebentar, menahan seribu pertanyaan yang ingin ia lempar secara bersamaan.

“Baik, tapi nggak ada yang istimewa.” Mulai Mentari. “Aku kuliah kayak biasa, bantu Oma selama libur, dan sekarang lagi nyelesain proyek desain semester ini. Hari-hari aku biasa aja, tapi cukup buat aku.”

Glad to hear that.” Respon Heksa pelan sambil kembali bersandar pada kursi.

The only thing wasn't enough was your presence.” Lanjut Mentari, menarik perhatian Heksa. “I missed you.”

Lebih dari rindu, ada banyak jenis perasaan yang memenuhi dirinya belakangan ini. Rasa rindu, khawatir, takut, bingung dan rasa kosong. Perasaan-perasaan itu jadi semakin sulit untuk dirasa saat Mentari tidak tahu cara mengolahnya. Ia ingin melihat Heksa namun tidak tahu laki-laki itu ada di mana. Ia khawatir terjadi sesuatu namun tidak tahu juga apa yang sedang terjadi. Kemudian merasa sedikit kosong, saat mengingat bahwa semuanya mungkin adalah proses dari sebuah kehilangan yang akan segera datang. Mungkin memang benar demikian, karena Heksa kini memasang ekspresi yang tidak tenang.

Ucapannya membuat laki-laki itu menatapnya bersalah. Ia menundukkan kepalanya sebentar. Ada helaan napas sebelum ia kembali menghadapi Mentari.

“Maaf ya, munculnya lama.”

It took so long for him to be able to face her again. It took him so long, maybe to gather up courage or organize his thoughts. Even so, his reappearance didn't feel like a comeback or a return, but rather a surrender. As if he came for an interrogation and a confession — not the good one.

“Kamu kemana aja, Samudera?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian sebagai permulaan. “Sibuk banget ya?”

“Iya.” Angguk Heksa pelan. “Aku sibuk ketemu banyak orang jadi nggak sempet ngabarin kamu.”

“Habis ketemu siapa aja?” Tanya Mentari lagi meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.

“Ketemu Ole, Kaisar, Rumi…”

Nama dari orang-orang yang tidak dikenalnya — kecuali Maure — itu terdengar familiar. Nama yang ia ketahui siapa saja pemiliknya dan seperti apa rupanya. Nama yang pernah disebut dalam ceritanya. Sayangnya nama-nama itu sebatas familiar saja. Ia tahu siapa pemiliknya namun tidak tahu siapakah mereka dan apa yang terjadi dengan mereka. Ia tahu ada sesuatu rumit di antara mereka. Cukup rumit sampai membuat laki-laki di hadapannya kadang terlihat tidak bernyawa. Mentari tahu tetapi disaat yang bersamaan ia tidak tahu. Ia tahu ada sesuatu namun tidak tahu apa tepatnya sesuatu itu. Karena Heksa selalu bilang semua itu bukan untuk dipikirkan olehnya. Namun bagaimana tidak, kalau sesuatu itu mempengaruhi hidupnya — dan ceritanya bersama Heksa?

“Kalian apa kabar? Kalian semua baik-baik aja?” Dan hanya itu yang Mentari tanyakan, karena tahu hanya sejauh itu pertanyaan yang bisa dijawab — yang akan dijawab oleh Heksa.

“Baik tapi nggak begitu baik.” Jawab Heksa sedikit lesu. “Belakangan ini semuanya lagi...rumit dan berantakan.”

Mentari tanpa sadar mulai menegakkan punggungnya, mengantisipasi lanjutan kalimat dari Heksa. Kedua tngannya menggenggam satu sama lain dengan gugup. Frekuensi detak jantungnya mulai berubah. Kecemasan datang seiring raut wajah laki-laki itu terlihat semakin serius — dan putus asa. Dari cara Heksa mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja, caranya menatapnya sebelum mengalihkan pandangan lagi, dan caranya tersenyum. Senyum itu kini bukan senyum ramah yang diberikan saat menyapa, bukan juga senyum lega saat melihat seseorang yang sudah lama tidak dijumpai. Senyum itu adalah senyuman yang lelah — dan bersalah. Mentari pun kembali diingatkan pada rasa gugupnya yang sempat hilang. Rasa gugup karena tahu apa yang mungkin dibicarakan. Rasa gugup karena tahu apa yang akan terjadi. Kini gugupnya perlahan berubah menjadi cemas dan takut.

“Ah enggak, emang selalu rumit dan berantakan.” Koreksi Heksa sambil tersenyum getir. “Tapi belakangan ini rumit dan berantakannya pake banget.”

Di awal tahun saat hidup penuh dengan suasana baru dan terasa menyegarkan, ada cerita Heksa dan Mentari yang tidak memiliki banyak perubahan. Masih berlandaskan ketidakpastian dan tanpa harapan. Satu dua hal yang pasti hanyalah perasaan untuk satu sama lain dan akhir yang menanti — dalam waktu yang sangat dekat.

Mentari merasa gugup dan cemas seiring obrolan berlanjut, namun tidak sedikitpun ia merasa terkejut. Ia merasa gugup namun ia tahu bahwa hari ini akan datang. Ia gugup karena tahu, saat ini, kemana obrolan akan berjalan.

“Ada banyak yang harus diurusin, dan…sebagainya.” Lanjut Heksa. Mentari bisa merasakan napasnya tercekat untuk beberapa saat. “Ada terlalu banyak yang harus diurusin, Tar. Lebih banyak dari dugaan aku.”

Raut bersalah, nada bicara yang lesu, jeda yang lama antar kalimat — gerak-gerik Heksa hanya membuat semuanya terlihat semakin jelas. Laki-laki itu membuat semuanya semakin jelas, akhir dari cerita keduanya.

Mentari didn't have much experience with love, but she knew that expression. That long, guilty, and sad expression. It looked like someone who was about to break up with their partner. Like someone who was about to leave. Like someone who was about to break a heart.

Samudera Khagi looked like he was going to break her heart.

I took some time to clear my head and sort my thoughts.” Dan nada bicara laki-laki itu terdengar semakin segan, semakin enggan. “Semuanya lebih rumit dari yang aku kira dan nggak bisa selesai semudah yang aku kira. Kita udah ngelurusin masalah sama satu sama lain, but we still have tangled strings within ourselves. Bukan cuma orang-orang disekitar aku — Ole, Kaisar, Rumi, tapi aku sendiri perlu lebih banyak waktu.”

Seiring kata demi kata meluncur dari mulut laki-laki itu, semakin Mentari merasa ada jarum yang menusuk jantungnya. Bukan dari pedas atau pahitnya kata yang didengar, melainkan dari rasa tahu. Rasa sakit yang perlahan dirasakannya itu datang karena perempuan itu tahu, apa arti dari semua itu. Mentari tahu apa yang akan terjadi, namun sepotong kecil hatinya masih berharap bahwa semua ini bukan seperti apa yang ia pikirian. Bahwa hari ini keduanya hanya sedang berbincang, lalu pergi makan siang, dan bicara di telfon malam hari nanti. Bahwa hari ini, saat ini, keduanya bukan sedang berpisah.

“Samudera—”

She knew she'd lose him but still, she wished she wouldn't.

“Aku…bakal pergi, Tar.”

Satu kalimat itu cukup untuk membuat jantungnya merasakan hantaman keras yang anehnya terasa menyesakkan dibanding sakit. Pelupuknya mulai terasa hangat oleh air mata hanya dalam hitungan detik. Telapak tangannya berkeringat, tenggorokannya terasa sakit. Satu kalimat sederhana yang terasa lebih berat, lebih sulit diproses dibanding sebuah karya ilmiah. Kalimat yang ia tahu akan selalu menghantui hubungan keduanya namun tetap saja, ia kesulitan untuk menerimanya. Ia tahu semua ini akan terjadi, ia siap menerima semua ini, tetapi bukan berarti akan terasa mudah. Ia siap kehilangan namun bukan berarti tidak akan terasa sakit.

It hurt her even more seeing him being so powerless — filled with nothing but surrender and despair.

“Kemana?” Meskipun begitu, Mentari masih mengeluarkan usaha terbaiknya untuk bersikap tenang. “Kenapa pergi?”

We need to take a break to heal ourselves.” Lagi, Heksa menghela napas berat. “Di samping semua itu, prioritas aku masih sama. Keluarga dan sahabat aku. Aku harus mastiin semuanya baik-baik aja. Aku perlu fokus sama mereka. I can't divide my attention to other things. I don't and I won't have time for other things.”

She was included in those other things. 'They' were included in those other things. She couldn't do anything about it.

“Jauh nggak?” Tanya Mentari lagi.

“Jauh.” Jawab Heksa dengan berat. “I'm going abroad, Tar. Aku, Ami aku, dan Ole mau pergi.”

Senyum pahit muncul pada wajah perempuan itu selama sepersekian detik, kekaguman pada Samudera Khagi yang masih saja bercerita sesedikit mungkin. Hanya sebentar saja ia merasa kecewa, karena selebihnya adalah perasaan sedih. Mentari bahkan tidak punya waktu banyak untuk merasa kecewa dan mengutuk keadaan. Kecewanya tidak akan menahan Heksa di sisinya.

“Kapan perginya?” Tanya Mentari lagi.

“Besok.”

Dan Mentari bahkan tidak punya banyak waktu untuk berpamitan.

Can't I stay by your side?” Mentari mencoba meraih tangan Heksa; terlalu jauh untuk digenggam. Tangan itu seperti tidak ingin digenggam. “Can't you keep me at the back of your head instead of throwing me away?

Seperti biasanya. Tidak apa-apa ia tidak menjadi prioritas laki-laki itu. Tidak apa-apa ia menjadi eksistensi yang terlupakan. Tapi jangan dibuang, jangan ditinggalkan sepenuhnya. Mentari memang siap untuk kehilangan tapi apakah satu-satunya cara adalah kehilangan? Apakah harus kehilangan seutuhnya?

“Nggak bisa, Tar.” Sesuai dugaan, itulah jawaban Heksa. “I don't think I can.”

He couldn't and she shouldn't. She shouldn't and she couldn't deal with this the same way they dealt with this back then. She couldn't make another relationship rule to suspend her defeat. She couldn't volunteer herself to be a backburner. He wouldn't let her either. That would be another waiting game of uncertainty, and eventually it would turn into a losing game.

When will I be able to see you again, Khagi?

Pertanyaan itu dilontarkan dengan sangat pelan, setengah berbisik, dan seperti diucapkan sambil memohon untuk diberikan jawaban. Tetapi Heksa masih belum mempunyai jawaban yang bisa menyenangkan hatinya.

“Nggak tau.”

Saat kata belum dan nanti berubah menjadi tidak, maka secuil harapan kosong yang tersisa pun terbang. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menahan laki-laki itu tetap di sisinya. Not even her enormous amount of love. Not even her warm teardrops. Not even herself.

“Kamu perginya lama?” Tanya Mentari setelah menyeka tetesan air mata yang sempat jatuh. “Berapa lama?”

“Nggak tau.” Heksa mengulang jawaban yang sama. “Mungkin cuma liburan, mungkin tinggal sementara, mungkin nggak pulang lagi.”

Bulir air mata kembali jatuh menodai pipi merona Mentari. Heksa terlihat sedikit berkutik, ingin menghapus air mata itu, namun menahan diri. Mungkin cukup tahu diri bahwa dirinya yang menjadi penyebab jatuhnya air mata itu tidak sepantasnya berlagak menghapusnya.

Akhir dari cerita yang dirasa semakin mendekat itu, kini ada di depan mata — ada di bawah kakinya. Mentari sedang berpijak pada halaman terakhir dari cerita itu. Ia bertarung di jalur kalah dan kini saatnya kekalahan itu tiba. Dan tidak ada pilihan lain selain menghadapi dan menerimanya.

So this is how we end, Khagi?” Lirih Mentari beberapa saat kemudian.

They went through a rollercoaster road of emotions and pages of books only to get back to square one in the end. By square one it meant, nothing. Because Samudera Khagi wasn't made for love. They lived in two different worlds, one was filled with rainbow the other was always under a storm. They carried different burdens on their shoulders; one carried her love for everyone, the other carried basically everything other than himself. She could never be more important than everything else.

They tried to love and to make it work. He tried and she tried harder, but he was harder on himself and the reality was cruel. She caught a glimpse of his love but that was all she could get.

In the end of the day, Samudera Khagi still couldn't add more to his plate. In the end of the day, Mentari couldn't have him.

Maybe this is how we should've been.”

In the end of the day, all they had were empty promises and far away hopes.