hari-hari pasukan pembangun sahur
Setelah drama pemaksaan kepada Woozi untuk tinggal sementara di kompleks Permata Indah, sahur kembali datang. Dini hari itu, sekumpulan orang (bocah) datang berombongan menuju rumah Dokyeom di salah satu ujung kompleks. Anak-anak berusia sekolah dasar itu membawa senjata masing-masing. Toples hadiah dari supermarket, sutil kayu, botol minum (bukan Tupperware), dan sarung. Di depan rumah bercat kopi susu itu, berdiri pemimpin pasukan yang mengenakan kaos (yang sobek sedikit kerahnya), celana training panjang, dan sarung yang melingkar di pundak.Seperti biasa, hari ini waktunya mereka membangunkan warga untuk sahur.
“Om Dokyeom!” seru anak-anak kompleks itu semangat. Ada juga yang mengantuk sambil celingukan. Dokyeom memasang wajah tegas, dalam hati sedikit sedih karena tidak ada yang memanggilnya Kak atau Aa.
“Langsung masuk formasi!” perintahnya dengan suara lantang.
Anak-anak itu pun membentuk tiga barisan dengan rapih. Dokyeom mengangguk puas. Kemudian, dia mulai memperhatikan sepuluh anak yang berbaris itu. Pandangannya berhenti pada satu anak yang mengenakan piyama bergambar Mario Bros. Helaan napas keluar dari mulutnya.
“Itu kamu yang pake piyama Mario,” panggilnya. Si anak terlihat bingung. “Ai kamu ngapain ikutan kan kamu Katolik???”
Anak itu menyengir.
“Soalnya kayak yang seru, Om.”
“Nanti mami papi kamu nyariin atuh…” ucap Dokyeom sambil meletakkan tangan di pinggang.
“Aku malah disuruh Mami ikutan, biar capek terus tidur pules,” jawab anak itu; senang, percaya diri, antusias.
Di sebelahnya, ada Kenzo.
“Biarin aja Om, their body their choice,” ucap Kenzo; bangga, percaya diri, merasa keren.
“Kobe ah elu,” decak Dokyeom. (Kobe singkatan dari kokolot begog, biasa diucapkan ke anak kecil, bisa diartikan sebagai sok tahu). Laki-laki itu mengambil wadah baskom berwarna biru yang tadi digantungkan di pagar rumahnya (karena ember pink masih tersimpan di rumah Jeonghan). “Yaudah let’s go berangkat!”
Suara heboh ember ditabuh diiringi nyanyian saur…saur pun mulai terdengar. Tidak terlalu berisik karena takut mengganggu yang tidak berpuasa, namun cukup keras sampai bisa terdengar ke dalam rumah. Hanya berselang beberapa rumah, mereka sampai di rumah keluarga Mingyu, di mana Woozi menginap untuk hari ini sebelum resmi pindah ke kontrakan di sebelah warnet dan fotokopi milik Soonyoung. Mungkin sudah mulai rindu pada sahabatnya, Dokyeom menelepon Mingyu sambil melemparkan kerikil ke jendela kamar laki-laki itu.
“Apaan anjir???” sapa Mingyu begitu telepon diangkat.
“Hayu ikutan rombongan saur, ajakin si Uji,” ajak Dokyeom. Anak-anak bersorak. Woozi terdengar berdecak dan mengumpat. Dokyeom mencoba memohon. “Hayu atuh kita kekurangan vokal di sini. Kalau ada kalian berdua kan nanti jadi merdu suaranya.”
Setelah berbagai negosiasi dan paksaan (lebih banyak paksaannya), Mingyu keluar dari rumahnya sambil menggeret Woozi yang jauh lebih kecil darinya. Di tangannya yang satu, ada mikrofon karoke berwarna emas yang dibeli di online shop yang bunyinya this bluetooth device is ready to pair. Sesuai dugaan, paduan suara terdengar lebih rapi dan menyatu, walaupun di sela-sela, Mingyu selalu menyanyikan bait lagunya.
“~I can ask you a hundred times~” begitu nyanyinya. “~and it’s okay if you don’t have an answer~don’t change your heart, ‘cuz mine won’t ever~”
“WOW!” sorak para anak-anak padahal tidak mengerti arti lagunya. Mingyu tersenyum senang, Woozi menghela napas.
“Mingyu pernah ditolak sembilan kali sama ceweknya yang sekarang,” komentarnya, sebagai balasan atas dirinya yang digusur paksa untuk mengikuti rombongan.
“Ih kasian…” sorakan berubah menjadi belas kasihan. Mingyu badmood.
“Tapi ujungnya diterima guys,” ucapnya meyakinkan.
“Gara-gara kasian?” celetuk Kenzo polos. Mingyu gondok.
“Gue getok kepala lo pake mic,” ancamnya. Kenzo menyengir, cengengesan.
Rombongan kembali berjalan, baskom dan topes dipukul, suara dilantangkan. Tiba mereka di depan rumah Wonwoo, di mana laki-laki itu sedang duduk di teras, dalam balutan kaos longgar dan celana piyama. Menurut buku panduan, pemandangan itu artinya hanya satu: Wonwoo sedang diusir istrinya.
“Maswon, ngapain jam segini diem di luar?” tanya Dokyeom. Wonwoo berjalan menuju pagar.
“Disuruh Wanda diem di luar biar nggak ganggu masak,” cengirnya.
Dokyeom, Mingyu, dan Woozi menghela napas. Anak-anak bingung. Wonwoo terlihat senang-senang saja.
“Mau ikut kita aja gak Mas?” ajak Mingyu, disetujui oleh yang lain.
Wonwoo sumringah. Tangannya baru saja bergerak untuk membuka kunci pagar saat istrinya, Wanda, muncul dari balik pintu rumah sambil berkacak pinggang. Satu tangannya memegang sutil. Dia menggelengkan kepala.
“Emang kamu masih masuk seleksi umurnya, Mas?” tanya Wanda saat suaminya meminta izin. Wonwoo sedikit cemberut. Dia hanya lebih tua dua tahun dari Mingyu, Dokyeom, dan Woozi.
“Gue nggak ikut deh,” ucap Wonwoo akhirnya sebelum kembali masuk ke dalam rumah.
Ketiga “pemuda” itu kini tertegun. Masing-masing bergantian melihat satu sama lain dan rombongan anak-anak kompleks. Kalimat Wanda seolah menghantui ketiganya. Memangnya mereka juga masih lolos seleksi umur untuk menjadi Pasukan Pembangun Sahur ini? Mereka bukan lagi anak muda, jadi sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan?
“Iya yah guys kita teh udah tua kenapa masih aja gini-ginian,” keluh Dokyeom selaku tumbal utama sambil menatap baskom di tangannya. Tangannya menyeka air mata khayalan di pelupuknya, merasa miris dengan diri sendiri. Pasalnya, sehabis ini dia harus menjaga stand makanan sahur bersama Jun. Lalu bekerja seperti orang pada umumnya, lalu membuat takjil untuk dijual. Dia sekarang melihat ke arah anak-anak. “Nanti mah kalian aja lah sendiri, da gak akan ada begal ini. Atau panggil yang lain aja atuh da banyak.”
Anak-anak sedih. Mereka takut bertemu genderuwo. Dokyeom menghela napas pasrah. Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di depan rumah Seungcheol, dimana Sherina datang berlari dari dalam rumah dan langsung berdiri di balik pagar seolah menunggu kedatangan mereka. Raut wajahnya sumringah.
“Halo Om Dokyeom!” sapa gadis kecil itu ramah. Dokyeom yang melihatnya langsung menghampiri.
“Euleuh kamu teh kenapa jam segini suka main di luar?” tanyanya khawatir.
“Aku bosen Om,” gadis itu mengerucutkan bibirnya. Dokyeom bingung, sudah tahu arah pembicaraan ini. Terlebih, saat Sherina melihat Kenzo di antara pasukan. “Aku mau ikutan teriak saur saur lagi sama Kak Kenzo!”
Di saat yang bersamaan, Seungcheol selaku ayahnya keluar dari rumah dan berlari menghampiri putri kecilnya.
“Aduh Sherina cantik…dibilangin belum waktunya bangun…” duda satu anak itu berucap sambil meraih tangan putrinya. Sherina berpegangan erat pada pagar.
“Biarin aja Sherina join kita!” seru Mingyu, tidak tega melihat anak kecil itu. “Kasian dia butuh temen. Gak usah khawatir ‘kan ada gue, Dokyeom, Woozi, Kenzo yang jagain.”
“Justru karena yang jagain kalian, gue jadi khawatir,” cibir Seungcheol. Walaupun pada akhirnya Seungcheol pasrah dan membiarkan Sherina kembali berpetualang. Sambil berjalan masuk kembali ke rumahnya, dia bergumam, “Besok Sherina gue ganti aja kali ya namanya?”
Tidak lama kemudian, rombongan tiba di depan toko kelontong Minghao, di mana sebuah pemandangan tidak lazim sedang terjadi. Terlihat dari luar toko bahwa di dalam sedang ada beberapa pembeli. Salah satunya adalah Malika, mahasiswi yang tinggal di kos-kosan milik ibunya Ichan, yang disukai oleh Minghao. Keduanya sedang berdiri berhadapan, terpisahkan oleh etalase kaisr. Terdengar sayup obrolan mereka.
“Kenapa lu ga minta delivery aja?” tanya Minghao dengan nada yang dibuat acuh tak acuh.
“Saya lagi gabut aja, gak bisa tidur jadi pengen jalan-jalan. Terus biar gak ngerepotin terus Ko hehe, kosan kan lumayan jauh dari sini,” ucap Malika lembut.
“Oh, bagus deh,” balas Minghao asal (padahal kita semua tahu hatinya berdebar senang).
Kenzo yang juga mengetahui pergosipan HaoLika menarik-narik ujung kaos Dokyeom dengan semangat. Laki-laki itu mengisyaratkan para anak-anak untuk diam. Kemudian, dia dan Mingyu bertatapan penuh arti. Sebagai sahabat yang baik, keduanya tidak akan tinggal diam atas pemandangan ini.
“Siap-siap teriak yah,” bisik Dokyeom pada anak-anak. Mereka bingung.
“Kan Ko Hao gak puasa? Kenapa dibangunin?” tanya Sherina penasaran.
“Ini bukan soal puasa,” jawab Kenzo, dengan gaya sok dewasa. “Ini soal cinta.”
“Keren juga lu Kenzo,” komentar Mingyu. Woozi menatap heran dan skeptis.
Yang lain mengangguk saja, tidak terlalu mengerti. Kemudian, Dokyeom menginstruksikan semuanya untuk bersiap teriak. Tidak lupa memberi tahu sebanyak tiga kali kalau mereka harus berteriak dengan kompak, sesuai nada, dan lantang. Woozi yang menjadi konduktor (ditunjuk secara paksa) mengangkat tangan dengan malas, lalu mulai menyisyaratkan hitungan mundur. Tiga…dua…satu…
“SAUR!! SAUR!!” teriak mereka kompak, sambil memukul baskom dan toples di tangan.
Dua sejoli yang sedang mengobrol itu menoleh kaget, obrolannya terhenti. Minghao keluar dari balik etalase dengan wajah galaknya. Sapu lidi berada pada satu tangannya. Langkahnya cepat.
“GUE KAGA PUASA MONYET! MAJU LO SEMUA GUE PUKUL PAKE SAPU SATU-SATU!” teriaknya sambil mengacungkan sapu ke arah rombongan yang semuanya sedang memasang wajah cengengesan itu.
“KABUR!!” teriak mereka lebih kompak lagi. Kenzo lari paling depan, disusul anak-anak lain. Dokyeom mengekor sambil menggendong Sherina yang tertawa excited. Mingyu lari membawa baskom yang ditinggalkan Dokyeom. Bahkan Woozi pun ikut kabur.
Semuanya menghabiskan sisa perjalanan sambil tertawa senang. Ada yang senang karena merasa seru, ada yang senang karena senang saja, ada yang senang karena mendapat bahan untuk mengolok-olok sahabatnya di lain hari (tebak oknum).