let me tell you a tale — The day he almost give in — and give up
Desire is one of the biggest enemies in one's life. It often becomes an obstacle, a temptation, that sways people from the right path and stops them from their original goal. Sometimes, it pushes people when they are supposed to stay, making them walk at the wrong pace. But do you know what the even bigger enemy is? It's the heart that feels. It's the heart where all the desires come from. It's the heart, that is weak to emotions — because it is supposed to feel and always feel something.
Humans are filled with desires and blessed with a heart that feels — aren't we?
And do you want to know what the biggest turning point in one's trajectory is? Love.
Love that turns ambition to grace, love that turns evil to good — and love that turns people away from the right path, from their dreams and goals, from everything they have before. Love can make people selfish; turning them blind and impulsive, losing their sense and logic. It's also love that guides people who lost their way; gives colors to the monotonous day and sheds light on their darkness. Love can be a life purpose, a goal, or a new dream, and can become the life itself. Love that can heal one's pain.
Love that tore down Mentari and Heksa's defense.
Mentari heard people say she was holding onto nothing — she couldn't disagree. It was always uncertainty and obscurity that underlie their relationship. When months passed with them still holding onto their defense, she was told to brace herself for a downfall. The fact was too strong to deny, but guess what's stronger? Human desire. Human's desire for love.
Their desire for love, their need for love — which their hearts were too weak to resist.
Heksa Samudera Khagi was never the type to show himself to everyone. He was never an open book, people could barely read the blurb — she could only read the blurb. He had a clear purpose and he hardly looked in any other direction. But there was one day when he got lost in an intersection of going through the original path or turning to where his heart desired — this one day when he couldn't put up a facade any longer. The day when he let down all of his defense walls, allowing Mentari to finally read the synopsis page. She could finally read his anger, his sadness, his scars, and wounds — all of the pain he had been holding alone. The day when he showed weakness, and basically every side of him he had been hiding. The day when his desire for love was stronger than his strength to fight for his life — and stronger than his strength to resist and hold back. The day when he almost give in.
And in that moment she knew, the desire to love him was always bigger than the desire to be loved by him.
Mentari tidak membuang waktu lama dan segera berangkat menuju tempat dimana Heksa berada. Ia langsung menemukan sosok yang dikenalnya begitu ia tiba di taman. Sosok laki-laki tinggi berambut pirang yang menarik perhatian di keramaian. Laki-laki itu berdiri menghadap danau kecil yang berada di tengah taman. Kemeja putihnya memantulkan sinar matahari, membuat sosok itu terlihat bersinar di tengah warna hijau yang memenuhi taman. Tanpa membuang waktu, Mentari menghampiri sosok itu.
“Samudera?” Panggil Mentari saat jarak keduanya hanya tinggal beberapa langkah lagi.
“Kamu betah banget ya, manggil Samudera.” Laki-laki itu menoleh dan seketika tersenyum menyambutnya.
“Supaya beda dari yang lain.” Balas Mentari. “Supaya kamu langsung tau itu aku.”
Keheningan menyelimuti keduanya. Bukan hal yang selalu terjadi, namun bukan suatu keanehan juga. Heksa Samudera Khagi yang sering banyak bicara itu, tidak jarang juga berubah menjadi setenang samudera. Pada saat-saat ini Mentari akan mencuri kesempatan untuk memandangnya lama-lama; mengingat sosoknya yang begitu tenang dan teduh.
“Flowers delivery!” Seru Mentari beberapa saat kemudian, memberikan seikat bunga marigold yang ia rangkai dengan sepenuh hati, mengetahui siapa pengirim dan penerimanya. “Adik-kakak love language-nya ngasih bunga ya?”
“Makasih, ya.” Heksa meraih bunga itu. Ia melihat bunga itu lama sekali, dengan tatapan rindu dan senyum yang merupakan perpaduan dari senang dan sedih.
Lautan itu tidak selalu tenang. Tidak jarang juga, lautan itu hanya berisikan badai dan topan. Menarik ya, kadang sebuah nama bisa sangat menggambarkan pemiliknya. Seperti Mentari yang riang dan cerah; yang hangat seperti matahari.
Keduanya berdiri berdampingan, menatap danau yang airnya selalu tenang. Berdiri di bawah terik matahari yang cerah, namun tidak satu pun dari keduanya tampak menikmati hangatnya matahari hari ini.
“Tar,” Panggil Heksa setelah beberapa saat, menoleh pada perempuan di sebelahnya. “Aku boleh langgar peraturan nggak?”
Mentari mengerutkan keningnya sebentar. Ia melirik Heksa yang sedang menatapnya. Rautnya terlihat tenang. Namun, bukan tenang yang baik. Tenang yang muncul karena lelah dan tidak sanggup bergerak. Tenang yang muncul karena tidak ada energi untuk melawan. Mentari tahu bahwa ada yang tidak baik-baik saja — selalu tahu, sejak awal — tapi tetap saja, ia menatap Heksa penasaran.
“Kamu baik-baik aja, Samudera?” Tanyanya pelan nan lembut. Tanyanya penuh rasa ingin tahu, walaupun sudah tahu bahwa Heksa Samudera Khagi tidak pernah baik-baik saja. Kali ini, Heksa tidak hanya menoleh tetapi berdiri menghadapnya. Sorot matanya sudah cukup menjawab. Sorot mata yang lelah, yang ingin istirahat — sorot yang menginginkan cinta juga, mungkin. Perlahan, laki-laki itu menggeleng lesu.
“Aku izin langgar peraturan ya, Mentari.” Dengan satu kalimat itu, ia mengambil langkah mendekat. Ia memangkas habis jarak antara keduanya, lalu menjatuhkan kepalanya di pundak perempuan itu. Kedua tangannya perlahan melingkari tubuh yang lebih kecil dari dirinya itu. Dengan suara yang sedikit bergumam, ia bicara lagi. “Kayak gini dulu sebentar ya, Tar?”
Tanpa pikir panjang dan tanpa bicara, Mentari membalas pelukan itu sama lembutnya dan sama eratnya—tidak, lebih erat. Satu tangannya mengusap pelan punggung laki-laki itu, sementara tangannya yang lain mengusap lembut kepalanya. Ia mengabaikan puluhan kupu-kupu yang muncul di perutnya berkat pelukan itu, karena saat ini bukan waktunya untuk tersipu. Saat ini, tugasnya adalah untuk meminjamkan bahu dan peluk, dan memberi sedikit energi untuk tetap bertahan.
“Iya boleh, Samudera, boleh.” Ucapnya setengah berbisik. “Selalu boleh.”
Keduanya berada di posisi itu selama beberapa menit tanpa bertukar kata. Memang benar kalau ada yang bilang action speaks louder than words. Tidak perlu menumpahkan seribu kata, tidak perlu bicara sampai berbuih. Heksa tidak perlu melakukan itu untuk Mentari bisa menebak isi hati dan kepalanya. Pun sebaliknya. Cukup dengan pelukan yang erat dan hangat dari Mentari sebagai ungkapan perasannya; bahwa Mentari akan selalu ada disamping Heksa.
“Nangis aja, nggak apa-apa, Samudera.” Ucap Mentari setelah beberapa saat.
Hanya sekali lihat saja, ia tahu bahwa saat ini ada banyak sekali emosi yang sedang dipendam oleh laki-laki itu. Ada banyak yang dipendam, dan kemudian diredam karena laki-laki itu ingin menyimpan semuanya. Karena Heksa masih dan selalu berpikir bahwa ia harus menahan semuanya. Tapi Mentari ingin, setidaknya, Samudera Khagi bisa meledak semaunya saat sedang bersamanya. Ia ingin, ia berharap, laki-laki itu tidak perlu menahan semuanya sendirian saat bersamanya — ia ingin laki-laki itu bisa menunjukkan setiap sisi dari dirinya tanpa ragu saat bersamanya. Ia pun mengulangi kalimatnya. “Nangis aja, nggak apa-apa, Samudera.”
Seperti mantra, Heksa perlahan menjatuhkan air matanya. Perlahan, ia meruntuhkan dinding pertahanan yang selama ini selalu mengelilinginya. Dan untuk pertama kalinya, Heksa melakukannya. He stripped off his happy mask, he put off his strong facade, and appeared as bare as he could — as human as he was. Bersamaan dengan tangisnya, pelukannya pada perempuan itu pun makin erat. Kepalanya bergerak menelisik, mencari sudut ternyaman pada ceruk perempuan itu. Mencari titik terhangat untuk ia menenggelamkan dirinya.
“Berat, ya, Samudera?”
Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut laki-laki itu. Suara yang terdengar darinya selain hembusan napas hanyalah isakan pelan. Suara tangis itu, cukup untuk menggambarkan seberapa banyak sakit yang saat ini sedang dirasakan oleh laki-laki itu. Suara tangis itu juga, menyakiti Mentari.
Melihat Samudera Khagi yang sedang goyah ini, menyakiti Mentari.
“Aku lagi capek banget.” Lirih laki-laki itu.
Nyaris Mentari ikut menjatuhkan air matanya. Perasannya ikut campur aduk. Marah, sedih, bingung — ia tidak mengerti kenapa ia harus menyaksikan hal ini. Rasa amarah yang lalu kembali memenuhi hatinya; amarah tentang dirinya yang hanya bisa melihat tanpa melakukan apa-apa.
She was there, she was always there, so close to him but he never run to her arms. The thought of her being an audience frustrated her so much because she was able to do more than that — she could do more. Only if he allowed her, only if he reached out to her sooner.
“Makannya bebannya dibagi ke aku.” Ucap Mentari lembut dan tenang — berbanding dengan emosi yang dirasakannya saat ini — masih menepuk pelan punggung laki-laki itu. Kemudian, ia bicara dengan nada memohon. “Jangan ditanggung sendirian, Samudera. Bagi ke aku.”
Tapi, Heksa masih tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Dibanding meluapkan keluh kesahnya, dibanding mengungkapkan perasannya lewat kata-kata, dibanding membagi beban di pundaknya kepada orang lain, Heksa Samudera Khagi selalu lebih memilih untuk menangis dalam diam dan kesendirian.
Kali ini pun, Heksa Samudera Khagi memilih untuk menanggung semuanya sendirian (lagi).
“Aku nggak bisa kasih kamu energi kalau aku nggak tau apa yang bikin kamu kehabisan energi.”
Tetapi kali ini pun, Mentari tetap bersikap keras kepala. Ia akan menjadi keras kepala untuk bisa masuk ke dalam kehidupan laki-laki itu. Ia akan memaksa untuk meruntuhkan dinding yang menghalangi jalannya, membaca buku yang disembunyikan, mendengar cerita yang sunyi — ia akan memaksa untuk mencintai laki-laki itu. Katanya jalan yang dilalui keduanya itu buram. Tetapi kali ini Mentari tidak punya cukup logika untuk mengerti. Kali ini, saat ini, dirinya terlalu dipenuhi cinta dan hasrat untuk bisa berpikir jernih — untuk bisa sadar bahwa dirinya baru saja menginjakkan langkah di jalan yang buram lainnya. Saat ini, dirinya terlalu tidak peduli jalan apa yang akan dilaluinya. Bahkan kalau jalannya berlalu tanpa akhir, tanpa sebuah destinasi.
“Would you like to share it a little bit with me, Samudera?” Ia bertanya lagi. “Tell me your stories.”
Heksa masih belum menjawab. Dibanding bersuara, ia lebih memilih untuk mengeratkan pelukannya pada perempuan itu. Pelukan itu seperti menyampaikan dua hal. Berat beban yang dirasakan oleh Heksa saat ini, serta banyaknya perasaan yang ditahan selama berbulan-bulan ini. Perasaan itu menggunung dan meleleh sekaligus lewat satu pelukan itu. Pelukan yang menyampaikan apa yang tidak bisa disampaikan lewat kata. Bahwa Heksa membutuhkan Mentari, dan menginginkannya. Bahwa kali ini, saat ini, ia sedang — atau kembali — mengikuti hatinya. Seperti malam itu.
Bedanya kali ini, ia turut membiarkan hatinya mengambil keputusan.
“Would you stay if I give you nothing?“
Dan bahwa kali ini, Heksa menyerah.
“Aku sama Ole beda ibu.”
Adalah kalimat pembuka dari cerita yang disampaikan Heksa kali ini. Cerita yang akhirnya diceritakan, dan bukan ia simpan sendirian lagi.
“Ayah cerai sama Ami, terus nikah sama Mama Anne — mamanya Ole, dan akhirnya Ole lahir sebagai adik aku.” Lanjut Heksa lagi. Keduanya kini sudah duduk nyaman di pinggir danau dengan atmosfer yang lebih tenang. “Makannya nyaris nggak ada yang tau aku punya adik atau Ole punya kakak. Bahkan cuma sedikit yang tau kalau Ami sama Ayah cerai, atau Ayah udah nikah lagi. Terlepas dari aku yang nggak pernah cerita, kita semua emang private soal keluarga kita. We lived privately, silently, but peacefully.*”
Cerita itu sudah terdengar cukup berat, terlebih saat memperhatikan fakta bahwa Heksa masih kecil saat semuanya terjadi. Mentari meletakkan tangannya di atas tangan milk laki-laki itu, perlahan menggenggamnya.
“Dari awal emang udah nggak bagus ceritanya. Tapi, kita semua hidup nyaman walaupun keluarganya rumpang. Selama beberapa taun terakhir, baru rasanya berat.” Heksa menjatuhkan pandangannya, senyumnya terlihat pahit. “Ada masalah, yang titik awalnya ya dari masa kecil itu. Saling bersambung jadi sebab-akibat. Ada yang aku tau kenapa, ada yang aku sendiri nggak tau.”
Mentari kini mengerti hal baru. Semuanya bukan hanya tentang Heksa yang menutup diri, tetapi juga tetang Heksa yang juga kebingungan. Bahwa isi kepalanya tidak seperti buku yang bisa dibaca, melainkan kumpulan puzzle yang ia sendiri belum berhasil selesaikan. Dan ia semakin mengerti posisinya, bahwa memang bukan tempatnya untuk bergabung. Bahwa semua ini bukan hanya tentang Samudera Khagi.
“Terus, kamu inget waktu aku pesen congratulatory flowers? Itu buat Arumi, anak asuh Ayah yang sebenernya masih sepupu jauh sama aku. Terus kalau Kaisar tau kan? Dia sahabat aku, temen aku dari SMP. Kalau di kampus, Ole terkenalnya Maure anak Ilkom yang naksir Kaisar.” Heksa menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Dan kita berempat — aku, Ole, Kaisar, Arumi, semuanya entah gimana saling kenal. Masing-masing punya hubungan sama satu sama lain.”
He was tangled in complicated strings that tied the four of them together.
Ada lebih dari sekedar ‘masalah’ yang saat ini menahan laki-laki itu. Ada lebih dari sekedar beban pikiran, dari sekedar prioritas, yang saat ini menguasai laki-laki itu. He had too much on his plate.
“Disaat aku bilang bukan buat kamu pikirin, itu karena aku nggak mau kamu terlibat, Tar.” Ucap Heksa. Kali ini nadanya sedikit tegas. “I've had enough of innocent people got involved in this tangled strings.”
Mentari tidak terlalu percaya pada takdir atau benang merah. Ia lebih percaya kalau ia menginginkan seseorang, maka ia harus mengejar seseorang itu. Ia lebih percaya bahwa keputusan tentang ada atau tidak adanya seseorang di kehidupannya itu tergantung keputusannya, begitupun sebaliknya. Ia menghabiskan satu tahun lebih bersama Heksa namun ia tidak akan pernah masuk ke dalam dunia laki-laki itu tanpa persetujuannya.
Tapi ternyata semesta memberinya kejutan dengan menghadirkannya di antara benang merah yang menghubungan Heksa dan Maure.
“Itu ya yang bikin muka kamu keliatan capek terus? Yang paling berat?” Mentari mengangkat satu tangannya untuk merapikan rambut pirang yang menutupi mata pemiliknya itu. “You take care of a lot of people, on top of your problems.”
“Yang paling berat itu mikirin hubungan aku sama Ole.” Balas Heksa sembari tersenyum getir. “Aku sama Ole hubungannya nggak terlalu bagus belakangan ini. I've been stressed about that, mostly.”
“Pantes aja aku nggak pernah liat kalian berdua.” Komentar Mentari. “Rambut pirang ini juga beneran buat cari perhatian ya?”
“Hahahaha, iya, biar ditanya.” Untuk pertama kalinya hari itu, atmosfer terasa lebih ringan sedikit. “Tapi nggak mempan. Yang ada malah makin kayak orang musuhan.”
“You love her so much.” Ucap Mentari. Tanpa perlu bertanya, ia sudah bisa merasakan berapa besar cinta yang dimiliki Heksa pada adiknya. “She's the reason behind those flowers rejection, ya?”
“Hahahaha iya.” Dan sepertinya juga satu-satunya topik yang bisa membuat Heksa tertawa di tengah badai. “Aku nggak mau perhatian aku kebagi-bagi, aku nggak mau dia nanti mikir aku nggak sayang lagi sama dia, aku nggak mau mentingin orang lain selain dia. *She's at the top of my priority list.”
Tapi kalau sudah begini, apa tidak boleh ia membantu walau sedikit? Apa tidak boleh ia ikut memikirkan semuanya? Kalau sudah terlanjur tahu, mana bisa tidak memikirkan soal ini, bukan?
“Apa aku masih nggak boleh bantu?” Tanya Mentari pelan. “Sekedar nemenin kamu aja?”
“Kalau soal bantu itu nggak perlu. Aku juga pengen bilang aku nggak butuh kamu.” Jawab Heksa lesu. Kemudian ia melontarkan senyum simpul. “Tapi nantinya nambah daftar bohongnya aku.”
Mentari tidak merespon. Ia menunggu Heksa melanjutkan kalimatnya. Laki-laki itu membuka mulutnya lagi.
“It would be a big lie if I said I don't want your love — I don't need your love.” Lirihnya. “Because the truth is I want it, I need it. I want to throw everything away and chase your love. My selfish thought told me to throw everything away except you.”
“Kalau gitu nyerah aja, Samudera.” Mentari meletakkan satu tangannya yang lain di atas tangan Heksa, kini mengenggam tangan laki-laki itu dengan kedua tangan. “If it's too hard for you then say it. Say it to me, come to me. I'll always embrace you with open arms.”
Heksa memberikan senyum sebagai jawaban. Sorot matanya jatuh pada tangan yang menggenggamnya. Mungkin, sedang mempertanyakan pada dirinya sendiri, apakah boleh ia menikmati genggaman yang hangat ini di tengah masalahnya? Apakah boleh, ia menginginkan cinta di tengah semuanya?
“I still can't make us into the top of my priority list, Tar.
Tetapi lagi-lagi, Heksa Samudera Khagi tidak akan pernah bisa menyerah sepenuhnya. Pertahanannya tidak akan pernah runtuh seutuhnya. Dan sekali lagi hubungan keduanya berakhir dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan.
Heksa Samudera Khagi hampir menyerah.