bazaar keributan
Malam itu malam takbiran di komplek Permata Indah. Untuk meramaikan suasana sekaligus mengeratkan tali silaturahmi, ibu RT setempat (yang lebih aktif dari Pak RW) membuat sebuah program kerja festival komplek. Isi dari program itu adalah sebuah sarana bagi para warga untuk menggelar pasar malam kecil-kecilan yang berlokasi di lapangan komplek. Ketua pelaksana dari acara tersebut adalah ibu RT sendiri, namun dibanding beliau, Seungkwan jauh lebih sibuk.
“Semangat ya semuanya! Kita suksesin proker bazaar takbiran ini!” seru Seungkwan dari atas panggung kecil di salah satu sisi lapangan.
“Lo doang yang semangat,” komentar Ale yang ikut menjadi tumbal proker.
Setelah segala keributan (grup 3M doang yang ribut) dan kerepotan (ditanggung Seungkwan) menjelang acara, akhirnya malam ini tiba juga. Sejak siang tadi, beberapa warga saling membantu menyiapkan lapangan untuk sebagai tempat acara. Meja-meja dan tenda disusun, dekorasi dipasang, Seungkwan digulingkan dari panggung karena dianggap berisik dan menganggu konsentrasi.
Waktu berganti menjadi sore. Stand mulai terisi satu per-satu. Inti dari acara adalah bazaar kreasi warga, baik itu makanan atau barang. Puncak acara juga sebenarnya bazaar di sore hari, karena acara hiburan di malam hari paling hanya diisi segelintir orang saja (dikarenakan kebanyakan ibu-ibu harus kembali masuk ke dapur rumah masing-masing untuk memasak masakan lebaran).
Stand pertama yang akan ditemui begitu melewati pintu masuk yang terbuat dari gapura styrofoam bekas agustusan itu adalah meja resepsionis yang membagikan voucher untuk ditukar dengan bingkisan kecil-kecilan nanti (dibuat menggunakan dana donasi 5 juta dari Minghao beberapa waktu lalu). Meja itu dijaga oleh Chan yang kerap kali menatap keramaian di tengah komplek dengan raut sedih.
“Gue juga pengen join…kenapa malah disuruh jaga pintu masuk sih??? Kaga ada pintunya juga.”
Seperti itu keluh Chan sesekali.
“Heh elu jangan ngambil dua vouchernya bocah!”
Dan seperti itu omelnya sesekali pada anak kecil yang iseng.
Secara garis besar, bazaar berlangsung seperti sebuah bazaar pada umumnya. Orang-orang berlalu lalang berburu makanan dan beberapa barang lain yang dijual (ada amplop lebaran (tanpa isi), ada perhiasan manik-manik, ada cangkang ketupat (dibuat dadakan by request), hingga hampers siap bagi, hingga kue lebaran). Kebanyakan datang untuk berburu takjil.
“Yang mau beli di tes rukun iman dulu,” celetuk Jeonghan yang datang untuk melihat-lihat, tapi malah disuruh membantu Dokyeom dan Jun untuk melayani pembeli.
“Nanti kalau ada promo natal, Jeonghan di tes pake ayat Alkitab ya,” balas Joshua yang gagal mendapat antrian priotitas takjil karena tidak lolos tes.
Beberapa stand bubar tidak lama setelah jam buka puasa, yang tersisa sekarang adalah stand masakan, kue lebaran, serba-serbi lebaran, dan stand parsel dan bingkisan milik Minghao. Tetapi kebanyakan masih berada di lapang dan menikmati acara sampai selesai. Tidak sedikit juga warga yang memilih berbuka puasa di lapang. Setelah jeda ishoma, keramaian berlanjut.
Di atas panggung kecil, ada Mingyu sebagai lelaki penghibur dan Woozi sebagai pengurus sound system yang siap meramaikan acara dengan lantunan lagu. Kadang Mingyu rebutan mikrofon dengan Seungkwan yang juga ingin bernyanyi. Sedangkan Woozi tidak sekalipun disodorkan mikrofon (karena hak suaranya masih dicabut) (hak suara Mingyu sudah dikembalikan karena dia harus bernyanyi) (Mingyu tidak dibayar) (Woozi juga tidak dibayar).
Para anggota grup 3M tentunya diam di lapang hingga acara tuntas sampai habis (dikarenakan mereka ditugaskan untuk membantu membereskan lapang nantinya).
“Jam delapan mic dimatiin ya,” ucap Seungkwan yang lewat sambil mengecek situasi.
“Biar gak berisik ya Kwan?” tanya Wonwoo yang menonton Mingyu menyanyi.
“Mic-nya mau dipinjem masjid buat takbiran, Mas,” jawab Seungkwan sambil mengecek kertas bertuliskan rundown acara.
“Miskin banget komplek kita gak kebeli mic baru apa?” komentar Chan yang akhirnya terbebas dari meja resepsionis.
“Kenapa gak beli mic bluetooth Shopee?” timpal Soonyoung.
Percakapan tidak penting pun terjadi. Mereka berdebat soal siapa orang kaya di kompleks yang harus berdonasi mikrofon dan mereka menunjuk Woozi karena dia satu-satunya warga yang paling mengerti soal alat elektronik musik. Hak suaranya masih dicabut dan Mingyu masih bernyanyi. Sekarang dia berduet rap dengan Soonyoung. Kata Vernon suara Soonyoung seperti orang kumur-kumur.
Di tengah percakapan (yang mirip keributan karena orangnya ada banyak), datang Seungcheol yang celingukan.
“Ada yang liat Sherina? Sherina???”
Yang lain ikut celingukan mencari. Pencarian terhenti saat terdengar berbagai bunyi ledakan.
Duar! Pletak! Ciittt!
Bunyi petasan-petasan kecil meledak (petasan bawang, petasan kupu-kupu, dan petasan kecil lainnya, bisa dibeli di toko Minghao). Disusul sorakan ramai anak-anak yang bermain petasan. Di lahan kering kosong di belakang lapang, mereka berkumpul. Sherina yang dicari-cari ada di dalam kelompok itu. Seungcheol berlari panik.
“Aduh Sherina! Jangan main itu nak…bahaya…kamu belum bisa main petasan,” Seungcheol dari kejauhan menghampiri dengan raut khawatir. “Sherina main kembang api aja ya…”
“Tapi om, Sherina pemimpin regu petasan kita!” cegah Kenzo. Seungcheol tertohok. Sherina tersenyum manis, lalu mengeluarkan sekotak petasan bawang dari tas kecilnya.
“Liat Papa, aku bisa lempar petasan!” serunya sebelum mulai melempar petasan itu ke permukaan lapang. Suara pletak pletok mulai terdengar. Sherina berteriak dan melompat riang, Kenzo mengacungkan jempol. Seungcheol mengucap istigfar di dalam hati sambil memegang kepalanya, pusing. Dari belakangnya, datang Joshua yang menyodorkan minyak angin. Tidak lama kemudian Dokyeom selaku komisi disiplin anak-anak datang.
“ADUH SIAH BARUDAK HATI-HATI MAIN PETASANNYA ATUH, SINI AH KALIAN AKU DISIPLINKAN DULU!”
Teriak Dokyeom sedikit panik. Sekarang semua anak-anak itu membentuk barisan di depan Dokyeom dengan kedua tangan dalam pose istirahat. Sesekali akan terdengar sorakan siap setiap Dokyeom selesai menyampaikan amanatnya.
“Cik sekali lagi, bisa mengutamakan keselamatan dalam bermain petasan? Bisa pake petasan yang kecil-kecil aja?” tanya Dokyeom dengan nada tegas yang dibuat-buat.
“Siap bisa!” seru anak-anak dengan kompak, bahkan Sherina juga ikutan teriak.
“GUYS SEBELUM PULANG TUKERIN DULU VOUCHER BINGKISAN DI STAND KO HAO YA!”
Seungkwan ikut teriak.
“OI, YANG HAMPERS LEBARANNYA BELUM DIAMBIL NYAMPE BESOK AUTO HANGUS.”
Minghao juga berteriak dengan jutek.
“SIAPA LAGI YANG MAU REQUEST LAGU? INI MINGYU SIAP JADI BIDUAN KATANYA.”
Ale menarik perhatian warga.
“SINI LO ALE GUE MASUKIN KE PANCI MAMAHNYA DOKYEOM!”
Mingyu mengejar Ale.
“MEDIS UNYONG MAU PINGSAN MEDIS–EH GAK JADI, KAYAKNYA UNYONG MAU KESURUPAN…ADA PAK USTAD DI SINI?”
Jun berteriak panik melihat Soonyoung yang merangkak di tengah lapang.
Di tengah keramaian itu, ada Vernon yang sibuk menjelajah setiap stand yang ada dan mencoba atau membeli setiap makanan dan barang yang disajikan. Setiap tiba di depan stand makanan, ia akan bertanya.
“Do you sell escargots?” tanya Vernon dengan ekspresi polos dan santai.
“Hah? Air got?” Mamah Dokyeom, si pemilik stand kebingungan.
“TUTUT NON, TUTUT!” teriak Dokyeom yang baru kembali ke meja setelah mendisiplinkan anak-anak yang bermain petasan.
“Bang Kyeom! Dipanggil Pa Ustad disuruh takbiran!” teriak Chan (yang juga disuruh bergabung ke dalam unit pasukan divisi takbir).
“Wah, kalian gabung paduan suara masjid ya,” komentar Wonwoo yang sedang lewat, hendak pulang karena disuruh Wanda beres-beres rumah. Wonwoo tidak berteriak, namun berhasil memancing emosi. Mereka mulai berteriak lagi.
“Buruan balik lu sana!” teriak Soonyoung dan Minghao kompak.
“Ngikut-ngikutin aja lu!” teriak keduanya lagi, masih kompak. Detik selanjutnya mereka saling senggol.
“Senggol bacok kenapa tuh?” tanya Ale yang sebelumnya selamat dari kejaran Mingyu.
“Gue denger suara si Ale mana anaknya anjir??? Mau gue jadiin ketupat gantung!” datang Mingyu yang masih dendam karena sebelumnya Ale mengganti musik untuk lagu yang sedang dinyanyikannya menjadi versi dangdut. Ale berlari lagi, Mingyu mengejar, Kenzo yang melihat kakaknya dikejar ikut berlari.
“Aku mau ikut kejar-kejaran sama Om Mingyu!” teriak Kenzo.
“Kakak Kenzo aku mau ikut!” Sherina yang baru saja dituntun Seungcheol ikut berlari.
“Astagfirullah Sherina...” Seungcheol hampir menangis.
Malam itu adalah malam takbiran yang normal di komplek Permata Indah.