let me tell you a tale — The storyteller and the liar
People often use the concept of books to describe someone's life. Life is like a book, containing chapters and pages, Sometimes written into series and published in several editions; each edition might apply a different perspective, might come from a different perspective. We can't judge someone based on the chapter we walked in. No matter how close we are to someone, or how long we have known them, there is always a chapter we don't know about.
Sometimes, we don't even know a thing. Sometimes we can't even read the full chapter and are stuck with only blurbs, excerpts, and synopsis. Sometimes we only see glimpses of someone's life. What we think as a chapter of someone's life, might be just a glimpse of it. And those glimpses of life aren't enough as a guide to understand someone. They aren't even enough for us to be able to guess the genre of the story.
Mentari always knew that Heksa Samudera Khagi had a story. She always knew since the beginning, that he had a story he put behind the walls that surrounded him. However, she couldn't guess what kind of story was hidden in the life of Samudera Khagi. She knew there was something but she couldn't guess what exactly this something was. As far as she knew, it could be a simple life story of a young man. It could be a sad memory from childhood. It could be a burden on his shoulders.
And she never thought it could be the combination of all.
She never thought the story of Samudera Khagi would be all genre, theme, trope, and plot mixed together in an unstructured manner. And her so-called love story was not a love story at all.
Mentari berdiri di depan unit apartemen dengan nomor 1103 tertera pada pintu. Tangan kanannya baru saja menekan bel, sedangkan tangan kirinya sibuk menyeimbangkan barang bawaan. Ada satu ikat bunga marigold yang dari pengirim tanpa nama, ada paper bag berisi sup krim dan minuman herbal, dan ada tas selempangnya. Ia tidak pernah tahu bahwa Heksa tinggal di apartemen, atau fakta bahwa ia memiliki sebuah unit di sini. Alamat yang tertulis pada detail pemesan bunga bukanlah alamat yang menuju kompleks apartemen ini. Perempuan itu pun, mulanya, mengira bahwa ia akan mengunjungi rumah keluarga Khagi. Namun sepertinya—atau seperti biasa— Heksa membuat dinding di sekitarnya.
Tidak sampai dua menit, terdengar bunyi klik tanda pintu dibuka dari dalam. Pintu besar berwarna hitam itu akhirnya terbuka, menampilkan sosok laki-laki dengan kaos longgar dan celana parasut. Rambutnya sedikit berantakan dan terlihat lepek, sebuah plester penurun demam tertempel di keningnya, kulitnya terlihat pucat dan kusam, tidak ada setitik pun energi terpampang pada wajahnya; Heksa terlihat berantakan.
“Maaf ngerepotin.” Adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Suara yang biasanya lembut dan bernada ceria itu kini terdengar jauh lebih berat dari biasanya, dan terdengar serak khas suara orang sakit. Bersamaan dengan itu ia melebarkan pintu, memberi ruang untuk Mentari melangkah masuk.
“Kalau ada tamu itu disapa, Samudera, bukan minta maaf.” Ucap perempuan itu dengan nada sedikit sarkas selagi ia melepaskan sepatunya. Biasanya, Heksa akan mengeluarkan tawa kecil akan respon seperti itu. Namun kali ini, ia tidak bisa bereaksi apa-apa. “Kalau kamu ngerasa nggak enak karena hari itu, aku juga jadi ngerasa nggak nyaman. Jadi, jangan ngerasa bersalah, Samudera.”
Heksa masih berdiri di dekat pintu, satu tangannya masih menahan pintu yang terbuka itu. Mentari di hadapannya berdiri dengan raut tegas. Satu tangannya yang bebas bertengger di pinggang, tanda keseriusannya. Keduanya seolah berada dalam lomba tatap menatap, beradu soal siapa yang lebih keras kepala. Akhirnya, Heksa menyerah. Laki-laki itu menghela napas sebelum menyunggingkan senyum.
“Apa kabar, Mentari?”
“Yang perlu ditanya kabarnya sekarang itu kamu.”
Sambil terkekeh, Heksa melangkah mendahului Mentari menuju ruang tengah. Unit apartemen itu merupakan tipe 1 kamar dengan ruang tengah tanpa sekat. Kamar mandinya terletak tepat di samping pintu masuk. Heksa mengarahkannya ke dapur, di mana terletak sebuah counter dengan bangku di depannya. Mentari meletakkan barang bawannya di atas counter. Hal pertama yang ia berikan pada laki-laki yang kini duduk di salah satu bangku itu adalah bunga.
“Flower delivery.” Ucap Mentari ceria. “Kayaknya anonymous sender yang sama kayak kemarin kemarin. Anggap aja sekalian bunga buat jenguk orang sakit.”
Heksa meraih bunga itu pelan, memperhatikannya sejenak sebelum meletakannya kembali ke atas meja. Ia duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja selagi Mentari membongkar barang bawannya.
“Ada microwave ‘kan?”
Tanpa menunggu jawaban, perempuan itu sudah menjelajah dapur yang tidak luas itu. Ia memasukkan kotak makan berisi sup krim ke dalam microwave. Selagi menunggu, ia menuanggkan minuman herbal yang ia kemas dalam termos kecil ke dalam sebuah gelas kaca.
“Diminum dulu.” Ucapnya sambil menyodorkan gelas tersebut. “Dari kapan sakit? Nggak ke dokter?”
“Dari kemarin, belum ke dokter. Maaf ngerepotin.” Ucap Heksa pelan dengan raut bersalah seraya bergerak untuk meraih gelas itu.
“Minum dulu baru minta maaf.” Lagi, Mentari merespon dengan tegas. Heksa pun tidak membalas lagi dan langsung mengangkat gelas di tangannya untuk meneguk isinya. Racikan minuman herbal itu seketika menghangatkan tubuhnya dan membuat tenggorokannya terasa lebih baik. Selagi ia minum, Mentari beranjak untuk mengeluarkan sup dari dalam microwave. Ia memperhatikan bagaimana perempuan itu bergerak cekatan, seolah sudah sangat terbiasa merawat orang sakit. Ia juga menyadari raut wajah perempuan itu yang lebih serius dari biasanya—juga sedikit gurat khawatir di sana. Beberapa saat kemudian, sup itu sudah tersaji di hadapannya. Mentari pun sudah duduk di bangku di sebelahnya.
“Tar—” Heksa membuka mulutnya untuk memulai percakapan, namun Mentari memotong kalimatnya.
“Makan dulu.”
Lagi, Heksa tidak melawan dan menuruti perkataan perempuan itu. Lima belas menit kemudian, laki-laki itu selesai menyantap sup krim buatan Mentari. Tubuhnya terasa lebih segar dan bertenaga, terihat dari warna yang mulai menghiasi wajahnya kembali.
“Jadi udah boleh minta maaf belum sekarang?” Heksa memulai pembicaraan lagi. Ketegasan dalam raut wajah Mentari pun kini sudah hilang.
“Iya boleh.” Angguknya. Ia melipat kedua tangan di atas meja, menunggu Heksa melanjutkan kalimatnya.
“Maaf ngerepotin ya, Mentari.” Mulai laki-laki itu pelan. “Maaf juga belum sempet ngobrol lagi setelah hari itu.”
Ada perasaan yang campur aduk muncul saat Mentari mendengar permintaan maaf itu. Pikirannya langsung berkelana pada hari saat ia menyatakan perasaannya, berikut bagaimana akhir dari peristiwa itu. Tentang bagaimana dirinya pulang dengan penuh tanda tanya, penuh rasa penasaran, dan sedikit kekecewaan. Kata maaf tidak menjawab satu pun pertanyaannya, atau menjelaskan tentang apa yang terjadi pada hubungan keduanya sekarang. Ia merasa harus marah, harus protes tentang kenapa Heksa tidak bisa menerima perasannya jika kenyataannya laki-laki itu membutuhkannya. Her intrusive thoughts wanted her to be angry, to blame him, and to ask for explanation right there and in an instant. Tapi melihat laki-laki di depannya sekarang, yang terlihat bahkan kesulitan untuk berjalan tegap, membuatnya kembali melunak. Membuatnya tidak bisa marah, tidak bisa merasa kecewa sama sekali. Karena Samudera Khagi juga tidak terlihat baik-baik saja.
“Jujur ya, Samudera,” Mulai Mentari dengan nada tenang. “Aku mungkin marah. Aku mungkin marah kalau seandainya sekarang kamu lagi ketawa ketawa. Tapi kalau kamunya aja kayak gini, gimana aku bisa marah? Justru malah jadi aku yang ngerasa bersalah kalau seandainya aku marah marah dan maki kamu sedangkan kamunya lagi sekarat gini.”
Heksa menundukkan kepalanya. Kedua tangannya memeluk gelas kaca yang sudah dingin itu dengan erat. Meskipun sekilas, Mentari bisa menangkap raut bersalah yang tidak kunjung pergi itu. Raut bersalah yang ditemani raut frustrasi, dan lelah.
“Maaf ya, Mentari.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
“Kamu pembohong handal ya, Samudera?” Pertanyaan itu membuat si pemilik nama akhirnya menoleh. Ia disambut oleh tatapan serius yang menelisik, yang dilayangkan oleh Mentari. “Ada banyak tentang kamu, banyak banget, yang kamu sembunyiin. Dan semuanya bukan hal yang sepele sama sekali. Tapi kamu selalu bikin semuanya keliatan sepele, seolah emang nggak ada apa-apa. Aku nggak bisa dan nggak mau percaya soal itu lagi sekarang.”
Laki-laki itu mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja. Terlihat keraguan di wajahnya, tentang haruskah ia membuka mulut atau menutup pembicaraan dengan senyum simpul. Melihat keheningan itu, Mentari bicara lagi.
“Sekarang jawab aku, kenapa nggak bisa, Samudera?” Tanyanya dengan penuh penekanan, dengan nada menuntut.
Akhirnya, Heksa pun luluh. Laki-laki itu menatap perempuan di sebelahnya dengan sorot teduh dan senyum simpul. Kedua bibirnya berucap pelan.
“Mau denger cerita nggak, Mentari?”
Keduanya kini berada di area ruang tengah. Mereka duduk di atas karpet lembut dengan meja kopi sebagai pembatas di antara keduanya. Heksa kini sudah terlihat lebih segar setelah pergi mandi sebentar. Ia sudah tidak mengenakan plester penurun demam, rambutnya disisir asal dengan tangan agar sedikit lebih rapi, dan ia sudah berganti pakaian. Selagi laki-laki itu menuangkan air putih ke dalam gelas untuk keduanya, Mentari memperhatikan sekelilingnya. Apartemen itu terlihat under decorated. Tidak banyak dekorasi, dan hanya diisi oleh furnitur seperlunya. Apartemen ini tidak terlihat seperti tempat tinggal yang ditempati setiap hari.
“Kamu nggak tinggal disini, ya?” Ia pun melontarkan pertanyaan itu.
“Iya,” Angguk Heksa sambil menyodorkan gelas berisi air mineral pada Mentari. “Aku cuma nginep sesekali biar nggak ada hantunya.”
Atmosfer di antara keduanya sudah sedikit lebih santai dari sebelumnya. Sedikit ketegangan dan kecanggungan yang sempat menemani kini sudah hilang. Mentari pun sudah tidak bersikap setegas sebelumnya, sama seperti Heksa yang mulai mendapatkan energinya kembali untuk bersikap seperti biasanya.
“Kamu nggak ngabarin keluarga atau kerabat?” Mentari ingin menanyakan hal itu begitu ia melihat sosok Heksa yang kusut tadi. Laki-laki itu nyaris tidak bisa mengurus dirinya sendiri tapi tetap melaluinya sendirian?
“Takut bikin khawatir dan ngerepotin.” Jawaban itu tidak mengejutkan sama sekali. If anything, that answer was just so him. “Bilang ke kamu juga bikin khawatir dan ngerepotin sebenernya tapi kita perlu ngobrol juga.”
“We should, indeed.” Angguknya setuju.
Selain karena ada isu khusus yang perlu dibahas, Mentari juga merasa bahwa ia lagi-lagi perlu mencari tahu lebih banyak tentang Heksa Samudera Khagi. Bahwa ternyata, apa yang ia ketahui tentang laki-laki itu bahkan tidak sampai setengahnya dari yang bisa dicari tahu. Misalnya, tentang orang-orang terdekatnya. Topik itu muncul di kepalanya saat pandangannya jatuh pada sebuah figura foto di meja televisi. Foto dari seorang wanita dan seorang anak laki-laki.
“Ibu kamu?” Tanyanya, sebagai permulaan dari percakapan yang pasti akan menjadi panjang itu.
Selama ini, pola dalam hubungan mereka selalu sama. Keduanya berjalan di jalan yang sama, Mentari menemukan sebuah persimpangan yang menuju ke kehidupan Heksa, dan laki-laki itu membangun dinding bata untuk menutup jalan dan akhirnya membuat Mentari memutar arah. Tetapi kali ini, Mentari memilih untuk mencongkel satu per satu batu bata dalam dinding itu, dan melihat ada apa dibaliknya.
“Iya, aku manggilnya Ami.” Dan kali ini, Heksa membiarkan dindingnya terkelupas sedikit.
“Ayah kamu?” Pertanyaan itu terucap dengan hati-hati. Bagaimanapun, Mentari tidak bisa sembarang membuat lubang pada dinding. Berbanding dengan kekhawatirannya, Heksa terlihat tidak terusik sama sekali.
“Udah meninggal.” Jawaban itu seketika membuat Mentari merasa canggung. Melihat itu, ia buru-buru menambahkan. “Udah lama dan aku udah nggak berduka juga, jadi nggak apa-apa kalau dibahas. Ayah kecelakaan waktu aku SMP.”
“Ah, oke...” Kemudian, kedua mata perempuan itu menangkap figura yang lain. Foto seorang anak perempuan yang terpisah dari foto keluarga lainnya. “Itu...siapa?”
Heksa mengikuti arah pandangnya. Sebuah senyum langsung terukir saat pandangannya jatuh pada foto anak perempuan berambut hitam panjang yang sedang memegang setangkai bunga itu. Terlihat ada keraguan pada wajah laki-laki itu sebelum akhirnya menjawab.
“Adik.” Jawab Heksa, masih memandangi foto itu dengan sorot teduh, namun juga penuh kerinduan. “Adik aku.”
Fakta baru itu cukup mengejutkan. Selama berbulan-bulan keduanya saling mengenal, tidak pernah sekalipun kata adik keluar dari mulut Heksa. Pun tidak pernah laki-laki itu menunjukkan indikasi bahwa dirinya adalah seorang kakak. Tapi lagi, laki-laki itu memang tidak pernah banyak mengungkapkan identitas dirinya.
“Aku kira kamu anak tunggal.” Komentar perempuan itu.
“Dia sekolah di luar negeri. Ya bisa dibilang aku jadi anak tunggal sementara.” Laki-laki itu terkekeh sedikit. Anehnya, kekehan itu terdengar sendu.
“Dia mirip kamu nggak?”
“Hmm katanya sih, tingkahnya mirip aku sedikit. Tapi aku nggak percaya. Dia gampang dibohongin soalnya, kalau aku kan enggak.” Pandangannya menerawang, seolah sedang melihat kilas balik masa kecilnya bersama sang adik, yang belum diketahui namanya itu. “Dia nggak suka mint choco, sukanya es krim strawberry sama cookies and cream. Terus lebih suka Carbonara dibanding Bolognese. Mirip aku kan kalau soal seleranya?”
“Jangan-jangan genetik keluarga kamu emang nggak suka mint choco.” Canda Mentari, membuat suasana di antara keduanya terasa semakin santai, dan tenang. Heksa tertawa pelan mendengarnya. Sejenak, mereka lupa pada inti masalahnya — Heksa membuat mereka lupa pada inti masalahnya.
“Kalau diinget inget lagi ya, kayaknya waktu kecil aku emang pernah beberapa kali makan es krim mint choco. Cuma belum ada kesadaran buat bilang nggak suka aja. Nah waktu udah besar kan makin bebas berpendapat ya kita, baru deh keluar jati diri aku yang nggak suka mint choco.”
Cerita pun terus berlanjut. Tentang kenangan masa kecilnya, tentang liburan musim panasnya tahun lalu, tentang permainan basketnya di awal semester, dan tentang pengalaman kerja terbarunya.
“Di keluarga aku banyak dokter. Aku juga bisa dibilang pure blood kedokteran, kalau seandainya aku nerusin minat jadi dokter. Tapi ternyata akhiran SMA aku malah lebih minat sama bisnis.”
Laki-laki itu bercerita dari satu topik ke topik lainnya dengan luwes, seolah setiap topik saling bersambungan — saling terikat dengan topik lainnya. Tiba-tiba saja mereka sudah membicarakan banyak hal.
“Kamu pernah nanya soal danau kan? Nah waktu kecil aku sekeluarga pernah beberapa kali piknik di sana. Jadi kalau kamu liat aku di sana, itu aku lagi nostalgia aja judulnya.”
Ada banyak yang diceritakan, namun belum ada yang menjawab pertanyaan sebenarnya yang perlu dijawab.
“Terus apalagi ya...kamu mau tau apalagi, Tar?” Laki-laki itu duduk bertopang dagu dengan satu tangan. “Masih punya pertanyaan nggak, Tar?”
“Masih.” Jawab perempuan yang duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja itu. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan sebelum melanjutkan. “Kamu masih belum jawab pertanyaan utamanya. Kamu belum jawab soal hal terpenting yang pengen aku tau sekarang.”
Kalimat itu berhasil mengubah atmosfer. Rasa nostalgia yang muncul dari cerita-cerita menyenangkan tadi langsung berganti dengan rasa tegang yang penuh antisipasi. Keduanya duduk dalam keheningan selama beberapa saat, seolah sedang sama-sama menyiapkan diri. Yang satu sedang merangkai naskah cerita, yang satu sedang menyiapkan telinganya untuk mendengar.
“Apalagi yang pengen kamu tau, Tar?”
Perempuan itu menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Semua yang jadi alesan kenapa aku nggak boleh jatuh cinta sama kamu.” Keduanya kembali terdiam. Heksa merapatkan kedua bibirnya, terlihat sedang menyusun kata untuk diucapkan. Sambil menunggu, Mentari melontarkan pertanyaannya lagi. “Kenapa nggak bisa, Samudera?”
Pertanyaan itu sudah mengganggunya selama tiga hari belakangan ini. Tetapi seberapa banyak, seberapa lama pun ia berpikir, ia tidak menemukan jawabannya di mana. Ia tidak menemukan salahnya di mana. Pertanyaan yang jawabannya hanya dimiliki oleh Samudera Khagi.
“Karena aku punya banyak yang harus aku pikirin, Tar.” Mulai Heksa sebagai jawaban awal. Sebuah kerutan muncul otomatis pada kening Mentari. Laki-laki itu pun melanjutkan. “Aku punya banyak banget yang lagi aku pikirin, yang harus aku pikirin, yang mau aku pikirin, dan banyak yang lebih penting dibanding jatuh cinta.”
Mentari masih menatap laki-laki di depannya dengan raut bingung. Jawaban yang baru didengarnya terasa terlalu sederhana, terlalu klise, untuk bisa ia terima dengan mudah. Dan cukup bersifat kontradiksi dengan sikapnya; keramahannya, kebaikannya.
“Apa yang kamu pikirin, Samudera?” Tanya Mentari dengan nada penasaran. Tatapannya penuh rasa keingintahuan.
“Hmm…semua hal?” Heksa memberi senyum simpul disela ucapannya. “Ada banyak yang aku prioritasin sekarang, dan aku nggak bisa nambah lagi.”
Jawaban yang terlalu klasik, sehingga terdengar seperti sebuah kebohongan. Laki-laki itu menghabiskan satu jam untuk bercerita kesana kemari namun ini adalah jawaban yang ia berikan? Mentari sampai berpikir lebih baik ia menerima penolakan mentah. Lebih baik Heksa mengatakan bahwa ia tidak memiliki perasaan apapun. Lebih baik seperti itu, dibanding jawaban yang lagi-lagi hanya memantik pertanyaan baru. Melihat ketidakpuasan yang nampak dengan jelas pada raut Mentari, laki-laki itu segera melanjutkan.
“Kayak kata kamu, isi kepala aku lebih dari sekedar makan, futsal, basket, kerja, kucing, kuliah, dan promo makan. Isi kepala aku lebih banyak dan lebih rumit dari semua itu. Tapi, Tar, cinta nggak termasuk ke dalam isi kepala aku sekarang.”
Jawaban yang cukup klasik, tetapi juga cukup menyakitkan. Karena bersama jawaban yang tidak terlalu istimewa itu, dibawanya fakta bahwa Mentari pun tidak terlalu istimewa untuk menjadi salah satu penghuni pikiran laki-laki itu. Mungkin karena ia tidak terlalu istimewa, jawaban yang diberikan pun tidak terlalu istimewa. Namun kemudian, apa pula yang bisa diekspektasikan?
Mentari menyunggingkan senyum pahit.
“Kamu lagi bohong nggak, Samudera?”
“Kok bohong?”
“You're a good storyteller.” Mentari menatap laki-laki itu tepat di mata, mencoba mencari gurat kejujuran, atau mungkin kebohongan. “But you could also be a good liar. Di antara cerita yang kamu ceritain , aku nggak tau sejauh apa benernya, sebanyak apa benernya.”
Mendengar hal itu, Heksa menghela napasnya. Ia terdiam sejenak dan terlihat berpikir, kembali merangkai naskah cerita. Mentari di hadapannya menunggu dengan seksama.
“Love is a complex thing you can't take lightly, or impulsively. It requires a big portion in your head, in your life. I can't do that right now. I can't ask you to do that either.” Jelas Heksa beberapa saat kemudian. Meskipun ia bicara dengan tenang seperti biasanya, gurat kecemasan dan keputusasaan tersirat samar disana. Mungkin, rasa putus asa karena merasa tidak memiliki kuasa. “I already have a lot on my mind and I can't add another.”
“Kan aku bilang nggak harus sekarang.” Mentari menegakkan posisinya tatapannya serius dan meyakinkan, menunjukkan kegigihan.
“Tar…” Lirih laki-laki itu dengan nada memohon. He was a good liar but guess he couldn't lie about his true feelings.
“Say you don't like me, then. Tell me that you don't have any feelings for me.” Tantang perempuan itu. Ia menunggu, menunggu Heksa membuka mulutnya dan menolaknya secara tegas. Tidak ada kata yang keluar. “Selama kamu nggak bisa bilang kamu nggak punya perasaan apapun buat aku, aku anggap aku belum ditolak. Dan aku nggak bakal kemana-mana. Aku bisa nunggu sampai kamu punya jawaban yang pasti. Aku bisa berusaha buat bikin kamu bisa ngasih jawaban yang pasti.”
“That's risky, Tar. Too much of a risk.” Geleng Heksa.
Love was a dangerous game, for both of them. One could break her heart, the other could lose his way. He could not take a risk, at all. But she could, and she would.
She would be willing to take one — no, she would be willing to take every risk.
“I'll be the only one to take the risk.”
“Aku nggak bisa biarin kamu—”
“I'll take the risk, Samudera.” Potong Mentari, dengan tegas dan yakin. Sorot matanya kini hanya menunjukkan satu, determination. “Let me take the risk.”
And that was the start of his dangerous game — filled with difficult choices and traps. A battle of logic and heart.