let me tell you a tale — The Rules of Love
Do you know what's the role of a rule?
When people want to control something, they make a rule; a set of rules that comes with consequences. They analyze the problems — the possible flaws, the pictured situations, the characteristics, the goals — and construct a set of rules that hopefully can fix them. Sometimes it's about students in the classroom, sometimes it's about a co-living space, sometimes it's about curfew hours, or maybe rules of living in general. Basically, anything that can be controlled, or they wish to control.
Sometimes, it can be about a relationship.
A relationship consists of two or more parties. It is not a one-way thing where you have the full control of it. It consists of various thoughts, characteristics, and points of view combined into one head. Therefore to make sure everyone is on the same page heading towards the same goal, you make a rule. You make a rule that either can be beneficial for both parties or can protect both parties. A business merger, collaboration, partnership, co-working, and even interpersonal relationships. It can be formal written rules, like a business contract, school rules, or a prenup. It can be unwritten, like when you don't invade a friend's house without permission — and don't invade someone's heart, someone's life unless you're ready to be responsible for any consequences.
That was also the role of rules in Heksa and Mentari's relationship.
When things got complicated, too blurred to be understood, and too uncontrollable, the first solution that came into Mentari's mind was to clear everything. They needed to clear everything and sort their thoughts and feelings all over again. They needed to go back to square one and see, where did it all go wrong. They needed to put everything under control again. She needed to put everything — her own heart — under control.
But the simplest choice was actually to give up on everything.
It would be a clean ending if she gave up, and he gave up too. It would be a clean ending if she didn't try to hold onto the very last strings of hope. But she couldn't. She couldn't just give up and end everything. So she chose a new path, she negotiated a new path. In this dangerous game, she negotiated a set of rules to suspend her defeat.
The rules of love.
A rule was usually either benefiting both parties or protecting both parties. Theirs were a little bit different. The rules weren't made to benefit them — each lost another, the chance of having one another. It didn't benefit their heart and minds either — they had to suppress their feelings and might go crazy at the thought of it. The rules didn't protect them, it prevented them from hurting each other. The rules protected themselves from the guilt of hurting others. And the rules protected themselves from falling deeper when they shouldn't have been.
The rules were made to control the uncontrollable. That's the role of their rules.
Matahari bersinar terik di langit setelah mendung dan hujan melanda beberapa hari belakangan ini. Tahun baru akan segera datang, suasana di mana-mana mulai ramai. Ada yang sibuk belanja bahan dan perlengkapan untuk perayaan malam tahun baru; ada yang mondar-mandir bertemu teman, keluarga, dan kerabat; ada yang datang dan pergi untuk berlibur.
Di tengah ramainya suasana menjelang tahun baru itu, Mentari memilih tenang. Ia memilih sebuah coffee shop yang sering ia datangi. Tempatnya tidak terlalu besar tetapi halamannya luas. Suasananya yang tenang menjadikan tempat ini salah satu destinasi pelajar untuk mengerjakan tugas. Musim ujian akhir semester masih berlangsung, tetapi dijeda oleh kereta libur dalam satu minggu terakhir. Mentari belum menyelesaikan semua tugas akhir semesternya, namun hari ini ia memilih untuk menenggelamkan diri dalam sketsa asal pada bukunya. Sesekali, ia melihat ke sekelilingnya dan mengambil beberapa foto. Interior kafe, minuman yang ia pesan, buku gambarnya, halaman beralaskan rumput hijau. Apapun yang terlihat tenang dan menenangkan.
Saat itulah sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Satu nama yang mampu membuatnya refleks menahan napas muncul di layar: Samudera Khagi.
Jemarinya mengambang di atas layar ponsel, sedang menimbang haruskah ia membuka pesan yang masuk itu atau tidak. Walaupun pada akhirnya ia merasa menghindar dan saling berjauhan bukanlah bagian dari perjanjian. Ia memutuskan untuk membuka pesan itu, dan membalasnya.
Tepat saat ia baru saja mengetuk layar, matanya lebih dulu menangkap sosok dibalik pesan tersebut. Sosok yang saat ini sedang menatapnya dengan ekspresi sedikit terkejut, Heksa. Laki-laki itu berdiri dengan nampan berisikan pesanannya. Terlepas dari pesan yang dikirim, sepertinya Heksa tidak menyangka keduanya akan bertemu seperti ini. Terlihat jelas dari bagaimana dirinya berdiri dengan sedikit kikuk. Kini benar-benar tidak ada alasan lagi untuk keduanya menghindari pertemuan. Mentari pun melambaikan tangannya, dan Heksa berjalan menuju mejanya.
“Hai,” sapa Heksa pelan selagi meletakkan nampan ke atas meja.
“Hai, Samudera.”
Percakapan terakhir mereka kembali muncul di kepalanya — dan memang belum terlupakan sama sekali. Tentang peraturan yang dibuatnya, yang ia yakini akan membuat garis batas yang jelas di antara keduanya. Walaupun sejujurnya, untuk sekarang, Mentari masih tidak yakin seperti apa bentuk dari garis itu.
“Kamu liat aku di sini?” Tanya Mentari memulai obrolan.
“Liatnya waktu lagi jalan tadi. Nggak tau kalau kamu ada di sini.”
“Pantes aja keliatan kaget.”
Dan itu adalah awal mula dari keduanya yang kini duduk berhadapan sambil bercakap-cakap ringan. Membahas tanggal penting di kalender akademik, progress perkuliahan masing-masing, dan sebagainya. Berbeda dari kebanyakan waktu belakangan ini, kali ini keduanya hanyalah dua teman kuliah biasa. Mungkin kedepannya pun, seperti inilah garis yang dimaksud itu.
“Tar,”
Keduanya sedang fokus pada kegiatan masing-masing —Mentari sibuk menggambar di bukunya, Heksa membaca artikel-artikel ilmiah di ponselnya— saat Heksa memutuskan untuk membuka suara.
“Kenapa?” Perempuan itu mengalihkan pandangannya dari buku sebentar.
“Soal peraturan yang kemarin,” Mulai Heksa lagi yang membuat Mentari memberikan perhatiannya secara penuh. Percakapan terakhir itu masih tersimpan jelas di dalam ingatannya seperti baru terjadi satu menit yang lalu. Perempuan itu juga masih ingat berapa banyak waktu yang ia perlukan untuk mengumpulkan keberanian dan keyakinan untuk mengungkapkannya. Ia menatap Heksa dengan tatapan menanti. “Mau bikin di kertas nggak?”
Kini ekspresi Mentari berubah sedikit bingung. Dalam kepalanya, ia pikir Heksa akan melakukan semacam negosiasi. That he would negotiate something to suspend his defend —like what she did when she initiated the rules of their relationship. Tapi ternyata Samudera Khagi was just being Samudera Khagi.
“Kita tulis di kertas terus tanda tangan, lucu kan?”
The only person she knew would randomly did random things just for fun, Samudera Khagi.
Honestly, from the deepest of her heart, she wished he'd give in. Still, she held onto the very last strings of hope even though the said hope never existed to begin with. But the man in front of her was so calm, so put together as if he was just living a normal life these days. Samudera Khagi didn't seem bothered at all, and it gave additional proof that this relationship was not on his priority list, at all.
And that he was fine with losing her.
She wondered what went on in his head these past few days. From the day he decided to give her the so-called clarification to this very day. She wanted to know the thought process that brought him to this point — scribbling their relationship on paper as if it was just a silly agreement that didn't affect him at all. Maybe it didn't affect him. Maybe it didn't affect him since their relationship didn't and wouldn't make it to the top 10 of his priority list. Maybe, he was just good at processing emotions, solving problems, and handling troubles. Or maybe deep down he was glad he had something that could control him and his feelings.
“Beneran kamu tulis?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian, berusaha mengintip selembar kertas di bawah tangan laki-laki itu. Heksa mengangkat kertas yang sedari tadi ia coret-coret, menunjukkan gambar sepasang manusia dengan bentuk yang unik.
“Tulisan tangan aku jelek, kamu aja yang tulis hehe.” Ia menyerahkan kertas itu pada Mentari agar perempuan itu bisa menuliskan peraturan yang ia sebutkan dalam percakapan mereka sebelumnya. Peraturan yang katanya bersifat dia arah, ditujukan untuk satu sama lain. Tapi sebenarnya, siapa yang lebih membutuhkan peraturan itu?
Rule number one: Don’t cross the line unless he is ready to fall in love
“Ada esensinya nggak kita kayak gini?” Tanya perempuan itu bercanda selagi menulis.
“Nggak ada sih,” Heksa mengangkat kedua bahunya. “Eh, ada.”
Mentari mengangkat pandangannya sebentar untuk menatap laki-laki itu.
“Biar kalau aku lupa, kamu bisa tempelin kertasnya ke muka aku.”
Keduanya kembali diselimuti hening saat Mentari melanjutkan kegiatan menulisnya. Beberapa saat kemudian, ia selesai. Ia menunjukkan kertas yang sekarang sudah berisikan peraturan-peraturan dalam hubungan keduanya itu. Di bagian bawah kertas, ada gambar buatan Heksa, yang katanya adalah representasi mereka berdua. Heksa menjadi yang pertama untuk menandatangani kertas itu, diikuti oleh Mentari.
“Gambar aku keren ‘kan?” Ucap Heksa bangga sambil menunjuk gambar sepasang orang yang unik itu.
“Gak mirip sama kita. Kamu bikinnya ngasal ‘kan?”
“Iya, soalnya kalau aku gambarnya serius, takut kebagusan.”
Terik matahari siang itu tidak terasa menyengat sama sekali. Panasnya cukup untuk orang-orang bisa menikmati hari yang cerah tanpa harus kerepotan karena kegerahan. Siang itu, terasa seperti hari yang indah untuk memulai sesuatu yang baru. Tahun baru, semester baru, fase hubungan yang baru. Bagi Mentari, di siang yang cerah itu, ia memulai sebuah lembaran baru dalam dirinya sendiri. Iya, bukan lembaran dalam hidupnya, tetapi lembaran di dalam dirinya. Lembaran itu berisi sudut pandang baru, pola pikir baru, dan perasaan baru yang muncul setelah kontemplasi dalam waktu yang cukup lama.
Rule number two: Don’t cross the line unless he is ready to make me be a part of his life.
Menjadi Mentari yang pandai mengontrol perasaannya adalah lembaran yang baru itu. Untuk kebaikannya sendiri, ia menahan dirinya sendiri untuk tidak jatuh cinta pada laki-laki di hadapannya.
“Mentari,” Panggil Heksa setelah beberapa saat. Perempuan yang sebelumnya sedang berpikir itu, kembali menaruh atensinya pada laki-laki di sebrangnya.
“Iya?”
“Do you think I will cross the line?” Tanya Heksa. Kali ini, tidak ada nada jenaka dalam bicaranya.
“No, never.” Jawab Mentari singkat. “But I might.”
Rule number three: Don’t cross the line unless he is ready to commit himself into this relationship.
Unless I am ready to commit myself into this uncertain, blurred, neverending relationship.
Untuk kebaikannya sendiri, ia menahan dirinya sendiri untuk tidak jatuh cinta lebih jauh, lebih dalam, pada laki-laki di hadapannya. Tapi bagaimanapun, Mentari sudah jatuh dari lama dan sudah cukup jauh jatuhnya. Peraturan yang dibuatnya adalah cara yang ia ciptakan supaya tidak jatuh lebih dalam sampai tenggelam —supaya dirinya tetap mengambang di permukaan, supaya kakinya tetap menapak tanah. Cara yang ia ciptakan supaya Samudera Khagi tidak membuatnya jatuh lebih jauh. Juga cara yang ia ciptakan supaya tidak kehilangan laki-laki itu sepenuhnya.
“Kamu diem doang aku bisa jatuh cinta, Samudera.”
“Waduh, berat.”
And rule number four—the unspoken one: Don’t cross the line, Mentari.
“Eh itu dihitung melanggar peraturan harusnya.” Ujar Heksa cepat. Ia kemudian mengambil selembar kertas lagi dari buku catatan yang Mentari bawa. “Kita tulis yang spesifik juga ya, biar nggak bingung mana aja yang termasuk ke peraturan.”
But rules were meant to be broken, people said.
The rules they made seemed to be a little vague. The said rules didn't have definite rules, yet. The lines were somewhere near the friendship, but how could they measure that, actually? Anything outside the friendship line was prohibited but did they they ever have a clear measurement? Anything that was done with particular emotions underlying those actions, but did they ever do something without emotions? Without specific intentions, even though they didn't realize it? Anything that could make the other party —that could make her— fall in love, but how could she decide when the mere existence of him already made her fall?
And she realized once again, uncertainty and obscurity were always the biggest enemies—the main villains of their relationship.
“Mulai sekarang ngomong gitu dibanned ya.” Heksa bersuara lagi.
Mentari menyilangkan kedua tangan di atas meja, menaruh perhatian penuh.
“Kalau gitu ngasih es krim dan milk tea hasil promo gratisan juga harus dilarang.” Mentari akhirnya menanggapi.
“Bukannya sharing is caring ya?”
“Exactly, don't care for me too much.”
“Nggak perlu ngajakin aku makan makanan kesukaan aku lagi berarti ya. Nggak perlu kupon-kupon traktir juga.”
“Nggak perlu telfonan kecuali keadaan darurat.” Tambah Mentari yang langsung disetujui oleh Heksa.
“Kalau ketemu cukup nyapa aja?”
“Nggak perlu cerita soal kegiatan masing-masing.”
“Nggak usah carpooling lagi juga ya. Nggak perlu nengokin kalau aku lagi sakit.”
And the list went on and on. They continued listing everything, even the smallest action that could bring out the slightest romantic feelings. They made clear what and which, what and how their actions affect each other. Each mention of actions or behavior was equal to a step away from each other. The more actions or behaviors listed, the clearer the lines were.
Maybe if they tried hard, they could defeat the uncertainty and obscurity.
“Sampai ketemu di semester baru, Samudera.”
Dan seiring matahari turun, percakapan dan pertemuan pun menemui akhir. Dua gelas kosong, dua piring kecil, dan lembaran kertas terletak asal di atas meja. Mereka adalah sebagian saksi bisu sekaligus bukti konkret dari peraturan dan perjanjian yang dibuat tentang hubungan keduanya. Dua buah tanda tangan resmi turut dibubuhkan pada kertas perjanjian, menandakan keseriusan dan komitmen. Pada detik keduanya mengucap pisah di sini, peraturan itu akan berlaku se-berlaku berlakunya.
“Sampai ketemu lagi, Mentari.”
She realized the danger of reqruited love, but let's be real, was she quitting the game or was she starting another game? The game of resisting and holding back, maybe.